Atas apapun yang terjadi hari ini, umpatan kotor, keluhan kesakitan, kutukan demi kutukan yang berujung pada kesialan… Maha tidak ingin melontarkannya. Barang sedikit pun mulutnya rapat total.Pada apa yang di terimanya. Dan kedua matanya yang melihat semuanya dengan jelas. Ada yang kacau. Terlepas dari apa yang terjadi hari ini dan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang di masa lalunya dulu. Demi apapun Maha mencoba menahan mulutnya untuk jangan berkata kotor.Karena bagaimanapun cinta itu baik. Memiliki atau tidak, cinta tetap cinta. Dan Maha telah lebih dulu mengambil jalan untuk merebut apa yang patut dirinya miliki, memaksanya untuk harus mau mencintai Maha selayaknya dirinya mencurahkan cinta itu.Namun, permainan ini sungguh di luar kendali bahkan haknya dalam mencinta. Semuanya tergantung si pemilik terdahulu. Ini benar-benar lemparan bom tepat waktu yang sangat mencekik lehernya sampai sesak bernapas.Kenapa?Itu saja pertanyaan Maha.Kala hatinya bisa selangkah lebih deka
Karena ini Ardika. Maka mudah bagi Ayana Kalias untuk mencintainya.Tahu mengapa?Mengapa sangat Ayana cintai lelaki sejenis Ardika Aksara yang sebenarnya lebih banyak lelaki di luar sana mencintainya. Yang berjuang mengejar cintanya demi bisa membawanya ke pelaminan.Mengapa Ardika Aksara yang begitu Ayana tempatkan di hatinya, pada bagian teratas kehidupannya.Mengapa Ardika Aksara jika orang lain yang mengejarnya menjanjikan sejuta bahagia. Yang rela menunggunya dan menemaninya tanpa keluhan.Mengapa Ardika Aksara?Karenanya, karena Ardika Aksara adalah seseorang yang tidak pernah Ayana temukan di belahan bumi mana pun. Yang sayangnya telah Ayana campakkan. Yang telah Ayana buang layaknya bungkus nasi tak berbekas. Terseret angin, terombang-ambing bersama debu jalanan yang karenanya sangat Ayana sesalkan.Yang kehadirannya mampu melengkapi kekurangan Ayana. Yang keburukannya di tutupi oleh cinta yang Ardika curahkan. Yang aibnya telah Ardika terima sebagai bentuk penerimaan cinta.
Naomi Aksara baru saja merasakan bahagia.Yang selama ini selalu diidamkannya: memiliki mama selayaknya teman-temannya. Yang memandikannya di pagi hari. Mendandaninya, memasakkan makanan kesukaannya, membawakan bekal untuknya, mengajarinya banyak hal termasuk menari yang baru saja di tekuninya.Naomi Aksara baru saja menemukan arti getaran dari bibir mungilnya kala memanggil seorang wanita dengan sebutan mama.Yang menjawab lewat senyuman dan memberikan pelukan hangat. Yang tidak memarahinya sesalah apapun perilakunya. Yang menegurnya tanpa membuatnya menangis. Yang mengusapi kulitnya ketika benda tajam menggoresnya. Yang mengabulkan banyak hal tanpa penolakan.Tapi perkataan papanya pagi ini sangat mencengangkan. Di saat anak-anak seusianya hanya tahu tentang bermain dan bergerombol bersama teman-temannya, Ardika Aksara mengatakan bahwa mamanya telah kembali ke rumah orangtuanya. Yang tentu tidak Naomi ketahui kadar kebenarannya. Apalagi artinya.Satu yang pasti, ada sosok lain di be
Di masa mudanya dulu, Mija menjadi perempuan yang sangat di segani. Selain berasal dari kalangan berada, Mija menjadi satu-satunya putri yang sangat di banggakan oleh keluarga besarnya; Srikandi. Tidak heran, semua kebutuannya terpenuhi dengan apik dan semua keinginannya terpenuhi tanpa halangan biaya. Semuanya yang menjurus atas nama Mija, di mata keluarganya, perempuan itu sangat di ratukan.Sampai-sampai semua orang menjadi musuhnya dalam selimut demi bisa melihat seberapa kuat dan di mana titik kelemahan seorang Mija. Barulah ketika di dapat, mereka akan menghancurkan Mija dengan mudah meski setelahnya ada nyawa-nyawa yang melayang.Toh siapa yang peduli menyoal itu?Yang kaya tetap yang paling jaya di masanya. Tetap yang paling unggul tanpa bisa di ganggu gugat. Tidak bisa di kalahkan dengan mudahnya. Apalagi sekadar menjatuhkan namanya. Berani menyentuh ratu di keluarga Srikandi, neraka menanti.“Harusnya kamu melihat seperti apa wajah suamimu.”Ah, Mija ingat kalimat itu. Kalim
Dalam satu tahun ini, sepanjang tahun 2020, sudah kedua kalinya gugatan perceraian Pulung sambet. Dan status janda—kedua kalinya—pun dirinya labeli. Tidak butuh waktu lama. Semua karena uang dan koneksi, maka selembar surat berlogo pengadilan berada tepat di genggaman Pulung. Enggan membacanya, Pulung sudah tahu isinya. Tanpa perlu menebak apalagi berpikir untuk menangisinya.Setelah tahu, hari di mana Ardika berpaling dan memilih mencintai orang lain—terlepas dari benar dan salahnya—Pulung tahu bahwa kini dirinya telah sepenuhnya kehilangan Ardika. Tidak ada amarah ketika Pulung hengkangkan kakinya dari sana. Hanya ada luka yang tersisa karena ternyata, belajar ikhlas dalam mencintai tidak semudah bayangannya. Pun begitu, luka itu hadir karena dirinya memberi peluang untuk terluka.Jangan di tanya bagaimana rasanya? Sakit. Sudah pasti. Tapi dari sini Pulung memahami konsep jatuh cinta yang datang dan pergi tanpa paksa memaksa. Sama halnya dengan Ardika yang pernah jatuh cinta terhada
Setelah kejadian itu, hari di mana Naomi merasakan kehilangan melingkupi semangat hidupnya. Kini, tidak ada lagi Naomi Aksara yang cerewet dan suka memerintah. Tidak ada lagi Naomi Aksara yang bersemangat kala menyambut pagi untuk mandi dan meminta di buatkan sarapan. Tidak ada lagi Naomi Aksara dengan suara cemprengnya berseru untuk pergi ke sanggar tari.Semuanya telah berganti dengan suasana dingin yang mencekam. Tidak adanya kehangatan di rumah besar Ardika meski lampu-lampu mewah bergelantungan. Penghuninya tidak lagi pandai membangun karakter meski ruang obrolan begitu lebar terbuka.Yang tersisa kini hanyalah Naomi yang asik dengan mainannya. Naomi yang begitu betah mengurung diri di kamarnya dan keluar jika ada keperluan. Makan pun lebih banyak dilakukan di dalam kamarnya. Bi Sinah jadi punya tugas tambahan untuk putri majikannya.Jika dulu—atau kalau masalah ini tidak pernah mendera keluarga Aksara, bi Sinah akan mengumpat dan merutuki kelakuan Naomi yang persis setan. Memint
Begitu cepatnya beranjak. Dari detik ke menit. Menit ke jam. Jam bergulir berganti hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Bulan menjadi berbulan-bulan dan tahun berganti. Semua itu tak lepas dari perputaran waktu yang lejitannya secepat meteor jatuh.Dan selama itu pula, perasaan Rambe tak pernah berubah. Kian bertumbuh iya. Kadarnya tidak sedikitpun berkurang apalagi terbagi. Melewati hari-hari terberat dalam hidupnya, kini titik itu menyeretnya pada kenyataan yang paling membahagiakan hidupnya.Ingat kalimat: ‘memulai denganmu tidak ada salahnya.’Benar. Tepat sekali. Kalimat penuh ajakan itu tengah merundung hatinya. Bahwasannya Ayana Kalias mau dengan terbuka menerima dirinya. Yang meski Rambe ketahui takkan mudah mendapatkan hati perempuan berstatus sebagai sahabatnya itu—mantan—dulu.Yang saat ini sedang menggoda Rambe habis-habisan sehingga embusan napasnya berkejaran dan detak jantungnya tak beraturan. Ayana… benar-benar diluar ekspektasinya selama mereka mengenal. Perempuan j
Ingat saat di mana masa-masa sulit menghampirinya?Sebagian orang akan menganggap itu bencana bahkan mengutuknya dengan kejam. Mencaci maki takdir Tuhan yang tak pernah bekerja sesuai garisnya. Membenci Tuhan bahkan sampai marah lekas melupakan. Seolah tidak sadar siapa penguasa di sini. Siapa yang memiliki alam raya seisinya dan siapa yang berhak mengambil dalam satu kali jentikan jari.Begitulah manusia. Yang kadang suka lupa dan berbuat sesuka hati. Inginnya di mengerti namun enggan untuk mengenal bagaimana caranya mengerti. Meminta di pahami namun berbuat semena-mena seolah sudah yang paling benar. Seolah memang dirinyalah yang paling bisa dan tahu segalanya.Itu hanya sisi dari sebagian manusia yang enggan bersyukur. Tidak tahu caranya berterima kasih dengan benar dan menikmati apa yang sedang Tuhan berikan. Aturan, jika mereka mengenal konsep Tuhan, takkan ada rasa benci apalagi mulut yang mengumpatkan kalimat-kalimat kotor. Tuhan kok di salahkan. Lucu, kan?Namun ada juga manus
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da