Adalah Dante yang sangat merasa bahwa hidupnya lebih dari sempurna.Bagaimana tidak?Semua angannya tercapai. Impiannya terpenuhi dengan jalan mulus tanpa satu pun penghalang. Semua duri yang menghalangi telah Dante singkirkan. Tidak peduli apakah ada karma di kehidupan selanjutnya atau tetap baik-baik saja seperti sekarang ini.Adalah Dante yang begitu memuja putri pertamanya. Bersama Ardika Aksara—dulu—yang Dante jadikan senjata agar bisa memiliki lelaki itu.Armina Aksara berumur dua tahun setengah. Parasnya yang cantik dengan rambut kecokelatan alami. Khas milik Ardika ada di Armina. Tubuhnya yang gendut sangat menambah kesan bahwa bayi itu amatlah sehat. Dan gigi-giginya yang mulai memenuhi mulutnya. Keseluruhan lukisan di wajah Armina adalah perpaduan milik Ardika dan Dante.Sebelum ini, kehidupan Dante tak bisa dikatakan baik-baik saja. Memulai dari drama kehamilan yang itu hasil benihnya Ardika. Dilanjutkan dengan status istri siri yang sangat menguras tenaga. Olokan demi olok
Tak banyak yang bisa Maha lakukan selain diam dan menjadi pengamat. Dalam drama, lakon-lakonnya tengah Maha jalankan. Peran-perannya sudah sesuai seperti dalam narasi. Alurnya juga campuran karena mengungkap banyak misteri yang perlu di sibak. Tidak mudah namun menyerah bukan jalannya.Belum tahu bagaimana hasil garapannya. Tapi mencoba selalu yang Maha lakukan. Kunci keberhasilannya selain memilih bertahan dalam pertarungan, Maha punya jutaan cara untuk tidak pernah berhenti berusaha. Dan di sinilah hasil akhirnya.Setelah lelah yang mendera menuntut dirinya menjadi seorang sutradara. Maha bisa menikmati dengan napas yang terhela teratur.“Semua infonya valid. Kemungkinan besar ada campur tangan dari pihak keluarga Mija yang tak kasat mata.” Jelas Mira—asistennya. Wanita paruh baya yang telah bersama Maha sejak berdirinya perusahaan. “Tapi jika ditelusuri lebih detail, buktinya mengarah ke Aksara.”Kejutan. Maha hendak marah awalnya. Mendengar kata ‘kemungkinan’ yang lebih terkesan k
Pulang ke rumah menjadi yang sangat malas untuk Naomi lakukan. Selain malas berurusan dengan mama tirinya, Naomi benci sebenci-bencinya kepada balita seumuran Armani.Sebenarnya tidak ada yang salah dengan bayi tersebut. Namun karena sudah terpatri di otak Naomi bahwa posisinya tergeser dengan kehadiran makhluk kecil itu, jadilah selamanya terdoktrin di pikirannya.Kini, Naomi benar-benar menjadi seorang kakak yang kejam. Pernah suatu hari berkata: karena bayi itu yang membuat mama Pulung pergi dari sini. Karena Dante membuat papanya berpisah dengan mama Pulung. Sungguh, Naomi tidak banyak bicara namun sekali berucap tajamnya pisau bisa mengalahkan segalanya.Bukan bermaksud menyalahkan apa yang sudah terjadi. Tidak tahukan pikiran para orang dewasa bahwa Naomi hanya bocah berumur lima tahun yang sedang iri-irinya melihat semua kawannya menggandeng ibunya? Tidak tahukah para orang dewasa bahwa menjadi ada di dunia ini tanpa kehadiran seorang ibu sangat Naomi benci? Tidak tahukah para
Bagi Maharaja yang memiliki sejuta kesakitan dalam hidupnya, di sodori nasihat: pilihlah pasangan yang membuat hatimu tenang. Yang menempatkan dirimu di dalam hatinya. Yang mau mendengarkan segala keluh kesahmu tentang dunia. Pasangan yang bersedia ada bersamamu dalam suka dan duka. Serius, itu menyenangkan. Meringankanmu dalam segala hal di tiap perjalanan.Tentu saja kakinya menjadi sangat kaku. Pulung bukannya menyambut dengan suguhan makan malam atau segelas air mineral. Justru berceramah perkara dirinya yang terus melajang. Padahal jika perempuan itu tahu karena siapa dirinya menjomblo… tamat sudah riwayatnya.Sekali ini saja Maha berbuat baik. Berbesar hati untuk tidak menambah muatan di pikiran Pulung. Biarkan saja dulu ibu satu anak itu fokus pada Baraja. Toh jika harus Maha lamar Pulung di waktu yang sudah tepat dan matang, ada dukungan Bara di dalamnya. Bocah dua tahun itu sangat mengidolakan Maha. Bukan hendak sombong namun begitu fakta bekerja.“Memangnya sulit cinta sama
Pagi-pagi sekali melihat cucu pertamanya berada di kediamannya, Aksara tersenyum bahagia. Begitu juga dengan Naomi yang berlari masuk ke dalam dekapan sang opa.“Omi kangen opa,” ujarnya.Lekas Aksara peluk bocah tujuh tahun itu. Melayangkan tubuhnya ke udara. Meski sudah berumur, nampaknya kesehatan selalu Aksara terapkan. Olahraga rutin dan mengonsumsi makanan sehat menjadikan tubuhnya tetap bugar di usia senja.“Opa juga kangen Omi. Kangen banget.”Jika sudah di sandingkan, kedua orang ini takkan melihat sekitarnya. Mereka lebih terlihat seperti ayah dan anak, terkadang. Lalu berganti seperti kawan akrab yang sedang bertukar pikiran memecahkan masalah. Kedua alis masing-masing akan berkerut bersamaan. Tidak heran, kekompakan mereka tiada tandingan.“Makan dulu,” tegur Mija. Wanita paruh baya yang makin bersinar di usia tuanya berseru lumayan kencang. Suami dan cucunya sangat tidak bisa di kendalikan. “Opa juga. Omi, oma masak kesukaan kamu.”“Wah!” Keduanya bersamaan berlari. Bahka
Ardika dan Dante bersitegang.Mendengar bagaimana Dante mengatai putrinya ‘berengsek’ yang tak patut sama sekali untuk dilontarkan. Menyentil sebagian harga dirinya terinjak-injak. Entah Ardika yang sudah muak dengan hubungan ini atau memang sudah hampa sejak awal. Yang pasti tanpa keraguan dirinya gaungkan: PERPISAHAN. Itu saja.Yang sayangnya di tolak mentah-mentah oleh Dante. Tidak tahu maunya perempuan itu apa. Setelah mengancam dengan cara membeberkan rahasia yang sejauh ini tersimpan apik. Toh itu sudah tidak berlaku bagi Ardika. Semuanya masa lalu. Jadi di sebarkan pun takkan memiliki pengaruh apapun.“Kita nggak pernah cocok. Please, Dante. Ayo kita pisah.” Sudah sangat putus asa Ardika menyatakan keinginannya. Yang terus-terusan di tolak berupa gelengan oleh Dante. “Kamu maunya apa?”“Kamu.”Bajingan!Orang gila mana yang telah mengenalkan Ardika pada perempuan semenjijikkan Dante. Yang dengan sadar pernah Ardika tunggangi. Mengerang nikmat dan mendesah hebat. Otaknya sangat
Pulung sedang gabut di penghujung weekend ini. Pasalnya, waktu yang biasa dirinya habiskan bersama Baraja justru terambil alih oleh Maha yang membawa putranya berjalan-jalan. Janji melihat pinguin di kebun binatang benar-benar Maha kabulkan. Sedang Pulung tengah mengalami sindrom malas maksimal yang mengharuskan tubuhnya rebahan secara estetik.Jadi ya gitu. Cuma guling sana guling sini dan ketika lelahnya gegoleran sudah mendera, Pulung akan beranjak ke dapur. Mencari-cari apa saja yang bisa mengganjal perut dan melepas dahaga kerongkongannya. Dan begitu usai dengan acara ganyemnya, Pulung akan kembali melaksanakan niatnya untuk hanya mencintai kasur sepanjang hari ini. Capek dengan kasurnya kembali kakinya bertandang menuju dapur. Kali ini memasak apa saja bahan-bahan yang ada dalam kulkas. Lalu memakannya sendiri.Kerennya, bereksperimen sendiri untuk dinikmati diri sendiri. Fucek memang! Cringe jomblo nggak pernah ada baik-baiknya selain ngenes.Dan hingga sore hari di mana tubuhn
Pagi-pagi sekali kondisi rumah Maha sudah riweh maksimal.Pulung dengan tetek bengek urusan dapur. Dan Maha yang sibuk total perkara baju untuk Baraja. Tidak itu saja. Lelaki yang bertelanjang dada itu menyiapkan beberapa pakaian pengganti, popok, susu dan camilan yang biasa Bara makan lekas di susun ke dalam tas khusus bayi.Selesai dengan keribetan yang di ciptakan sendiri. Beralih pada Bara yang anteng ganyem biskuit susunya. Mukanya masih cemong dengan liurnya yang semalam banjir. Rambutnya juga awut-awutan tapi tawanya tak luntur. Menonton serial kartun kesukaannya Masha and The Bear—yang Maha tebak takkan balita dua tahun itu pahami.“Ayo mandi.”“Yeay.” Soraknya.Asli! Cuma Baraja bocil yang suka dengan air. Mendengar ajakannya untuk mandi saja, semua biskuit yang ada di tangannya tercampak ke lantai. Sungguh ironis nasib camilannya.“Ikut papa, oke.”“Owkey.”Gayanya sangat dewasa sekali. Jempol dan jarinya menyatu kala menjawab. Persis seperti orang dewasa.“Paaa inta muuu?”
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da