"Ada telepon dari Mas Dimas, Pak," ucapku sambil menunjukkan layar ponsel."Kita keluar dulu," perintah Pak Pram. Dia langsung membelokkan badannya ke arah pintu keluar.Aku tersenyum menyoroti Jingga. Kemudian pamit pada gadis mungil dengan senyum semringah. "Tante ke depan dulu ya, mau ngobrol sama papanya Jingga," ucapku."Kalau ngobrol sama papaku, boleh lama kok," canda Jingga."Anak manis harus istirahat ya, Tante nanti ke kamar lagi Jingga harus udah tidur," suruhku sambil bangkit dari duduk lalu ikut Pak Pram keluar dari kamar.Aku melangkahkan kaki ini dengan cepat, sebab ayunan langkah Pak Pram sangat kilat. Dia duduk di bangku yang ada di ruangan televisi. Kemudian memerintahkan aku duduk dengan memukul bangku tersebut dengan tangannya.Setelah aku duduk, dia memintaku untuk menghubungi Mas Dimas kembali."Sekarang teleponnya?" tanyaku agak sedikit malu."Iya, mau tahu dia itu ngomong apa sih?" Pak Pram penasaran, kalau aku justru tidak sama sekali."Kayaknya nggak perlu, Pa
"Ide apa itu, Pak?" tanyaku padanya."Kamu ikut saya aja sekarang, kita antar berkas itu," ajak Pak Pram."Tapi Jingga____" Aku memutuskan kata-kata yang ingin kusampaikan."Pamit dulu, bilang mau ikut saya, pasti dia malah setuju," ucap Pak Pram.Kemudian aku masuk ke kamar Jingga lagi untuk pamit. Dia masih membuka matanya, duduk ditemani bibi. Aku segera menghampiri dan menumbuhkan tanganku dengan tangan Jingga."Anak pintar, Tante pergi dulu sama papanya Jingga ya," ucapku padanya. Jingga tersenyum dan matanya berbinar-binar."Tante mau pergi sama papaku? Ini beneran? Aku nggak mimpi kan? Terus nanti Tante balik nggak?" Jingga tidak percaya, bahkan dia mencoba bertanya berulang-ulang."Aku akan balik ke rumah Jingga, kalau gadis manis yang di hadapanku ini sudah sembuh, mau janji makan yang banyak nggak?" Gadis kecil yang cantik dan pintar itu langsung memelukku."Tante aku sayang sama Tante, sungguh kehadiran tante Inggit menyempurnakan hidupku," ucap Jingga.Aku mengernyitkan d
"Ayo, masuk!" ajak Pak Pram.Aku terdiam karena membayangkan wajah Mas Dimas saat bertemu denganku nanti. Dia pasti maki-maki aku nantinya.Namun, saat aku ingin mengayunkan kaki lagi, ponselku berdering dan itu adalah panggilan masuk dari Mas Dimas."Pak, Mas Dimas telepon," ucapku gugup. Tanganku gemetar saat ia menghubungi."Angkat, bilang aja masih di jalan," jawab Pak Pram.Akhirnya aku usap layar ponsel dan bicara seperti yang disarankan Pak Pram. Suamiku hanya memastikan apa aku mengirimkan berkas-berkas."Kalau udah sampai kantor, kamu di depan aja, jangan masuk!"kecam Mas Dimas. Ternyata dia masih malu mengakui aku sebagai istrinya.Setelah itu dia mematikan sambungan telepon secara sepihak.Seketika aku pun berubah pikiran, apa yang tadi sudah menjadi rencana Pak Pram aku batalkan."Pak, saya nggak mau masuk. Ini titip buat Mas Dimas aja berkasnya. Saya belum siap," ucapku membuat mata Pak Pram menyipit."Heh, kamu gimana sih? Kan kita mau bikin Dimas malu," jawabnya.Namun,
"Sudahlah, masuk dulu ke ruangan rapat," perintah Pak Pram.Pak Pram masuk lebih dulu, kemudian gantian aku menyalip Mas Dimas yang masih tercengang. Namun dia menghadang secara tiba-tiba. Tangannya dibentangkan seraya tidak memperbolehkan aku masuk."Kamu ngapain ikut masuk segala? Bukankah udah selesai tugasnya, nganter berkas doang kan?" tanya Mas Dimas.Sebenarnya aku kasihan melihatnya, bagaimana reaksinya nanti jika tahu dia terhengkang karena aku yang menggantikan posisinya."Pergi sana jangan ke sini lagi! Kamu itu hanya lulusan SMK, tidak mungkin berada di kantor ini. Lulusan D3 minimalnya," papar Mas Dimas.Aku masih terdiam belum melayani dia bicara, aku masih bingung takut salah jika langsung bicara padanya. "Kenapa masih di situ? Budeg apa bolot sih kamu?" Mas Dimas semakin meninggikan suaranya.Aku menghela napas sebentar. Kemudian menghampiri Mas Dimas lebih dekat lagi."Mas, aku diperintahkan Pak Pram untuk masuk, jadi tolong minggir ya," pintaku dengan lembut."perasa
"Silakan kamu persentasi di depan, Inggit, waktu dan tempat saya persilakan," ucap Pak Pram tambah membuatku gugup gemetar. Aku terdiam sebab tidak pernah melakukan hal yang Pak Pram perintahkan tadi, persentasi di depan umum, meskipun hanya beberapa orang yang hadir. Namun, bagiku ini adalah hal langka.Dulu aku sekolah menengah kejuruan memang pernah mempelajari hal ini. Di mana hanya belajar dan belum mempraktekkan. Ada baiknya aku coba supaya tidak menunjukkan diri ini bodoh di hadapan Mas Dimas."Baik, Pak. Saya akan maju untuk persentasi," tuturku sambil bangkit dan maju ke hadapan mereka. Kini aku berdiri di hadapan sepuluh orang yang akan aku pimpin nantinya, termasuk Mas Dimas."Nggak mutu!" Mas Dimas nyeletuk seperti itu."Dimas, bisa diam nggak mulut kamu itu?" Pak Pram membelaku.Dia terlihat kesal karena sempat menggebrak meja kembali. Aku hanya menelan ludah sambil menghela napas panjang melihat suamiku tidak bisa terima apa yang dilihatnya sekarang."Saya berdiri di si
Semua terdiam ketika Pak Satria yang bicara. Dia bahkan menunjukkan berkas untuk masuk ke salah satu universitas swasta di Jakarta.Aku menelan ludah, bukan untuk berpuas diri, akan tetapi ingin mengucapkan terima kasih pada Pak Satria yang telah menyelamatkanku dari hujatan para marketing yang hadir."Kamu, Dimas, tahu kan konsekuensinya telah membohongi perusahaan? Terlebih merahasiakan identitas istri sendiri," tutur Pak Satria. "Saya tahu semua, bahkan kamu sempat mengumpat bos kamu sendiri sebagai_____ Saya kira tak perlu disebutkan," tambah Pak Satria."Tapi, Pak. Saya tidak bermaksud seperti itu," jawab Mas Dimas."Sudah, jangan mengelak. Kamu mau tetap bekerja di sini sebagai marketing atau mengundurkan diri? Terserah pilih yang mana," pungkas Pak Satria. "Rapat ditutup, dan saya akan menandatangani surat diangkatnya Inggit sebagai kepala marketing," paparnya lagi.Akhirnya semua bubar dengan menggenggam keputusan yang sudah diambil oleh atasannya. Mereka tidak bisa protes lag
"Kita periksa lebih dalam lagi, Pak. Tadi kami cek gula darah anak Bapak tinggi, apa ada keturunan?" tanya dokter."Iya, almarhumah ibunya, saat melahirkan Jingga, dia menderita diabetes, sampai akhirnya seminggu setelahnya meninggal dunia," terang Pak Pram. Aku turut memperhatikan dia bicara."Yang saya khawatirkan, putri bapak juga mengalami hal yang sama dan komplikasinya ke ginjal, ini baru dugaan sementara, kita akan melakukan beberapa pemeriksaan lagi," tutur dokter.Aku melihat ke arah Pak Pram yang sangat terlihat sedih wajahnya, binar matanya yang selalu ceria kini menjadi berembun. Pak Pram yang selalu tampak tegar tiba-tiba menjadi sosok laki-laki lemah ketika sang putri sakit tak berdaya.Tiba-tiba aku teringat sosok bapak yang sama persis seperti Pak Pram, almarhum tak pernah rela melihat putrinya terluka. Dia selalu menginginkan aku bahagia meskipun harus bercucuran keringat dan mempertaruhkan nyawa. 'Pak, Inggit kangen Bapak,' batinku ikut menangis.Aku menelan ludah sa
Aku melihat ke arah jam tangan, masih pukul tiga sore, tapi Mas Dimas nyuruh aku datang ke rumahnya. Apa dia sudah pulang dari kantor?"Kamu nggak kerja, Mas?" tanyaku padanya."Aku cuti barusan, males, udah nggak semangat kerja, turun jabatan segala. Makanya kamu temui aku sekarang di rumah ya, kan kamu belum mulai aktif kerja," perintah Mas Dimas seenaknya.Aku menoleh ke arah Pak Pram dan Pak Satria. Ingin rasanya aku mengadu pada mereka, tapi Mas Dimas adalah suamiku, seharusnya aku tidak melulu bicara tentang rumah tanggaku pada orang lain. Ditambah perceraian belum resmi, seharusnya aku masih menjaga martabat Mas Dimas sebagai kepala keluarga."Ya udah, aku mau, tapi nggak di rumah, aku mau ketemu di satu tempat, Cafe Enak, gimana?" Aku menawarkan pilihan lain."Baiklah, aku setuju, satu jam lagi ya," seru Mas Dimas. Kemudian sambungan telepon pun terputus setelah kami menemukan kesepakatan.Usai mengangkat telepon, aku kembali ke tengah-tengah Pak Pram dan anaknya. Mereka suda