Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.
Ternyata seseorang itu adalah Bryan.
Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil.
"Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.
Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"
Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-remang dengan aroma bahan bakar begitu menyeruak. Yang menerangi hanyalah lampu mobil saja.
"Kita di garasi, Sayang. Kamu ketiduran, jadi aku berniat membawa kamu ke dalam lewat belakang saja." tukas Bryan menjelaskan dengan lembut.
Ya ampun.
"Dan maaf aku tidak sempat menghidupkan lampu. Sebent-"
Segera aku menahan ujung lengan dari kemeja Bryan ketika gestur tubuh Bryan seakan hendak berbalik entah mungkin untuk menghidupkan lampu supaya lebih terang dan tidak menakutkan.
"Tidak usah, Bryan. Biarkan saja begini." sergahku berupaya menghentikan Bryan.
"Sungguh? Kamu tidak ketakutan lagi?"
Melihat ekspresi lelah bercampur khawatir di wajah Bryan membuatku tersenyum tipis secara naluriah. Aku menggelengkan kepala, "Iya. Tadi aku terkejut saja, bukan ketakutan."
Usai mengatakan itu aku beranjak bangkit dari kursi mobil. Seatbelt-ku entah sejak kapan tidak terlilit melindungi tubuhku, mungkin sudah dilepaskan Bryan tadi sebelum hendak menggendongku.
Secara naluriah Bryan kemudian sedikit bergeser mundur untuk memberi jarak supaya aku bisa mendapatkan ruang lebih luas setelah keluar dari mobil. Tapi karena aku belum bisa benar-benar berjalan sendiri, maka begitu aku sudah berdiri keluar dari mobil, Bryan langsung saja mengambil tanganku agar aku dapat bertumpu kepadanya.
"Terimakasih, Bryan."
"Sama-sama, Sayangku."
Tapi belum sempat aku mengambil langkah lagi, dalam sekejap kedua lengan Bryan sudah mengangkatku dalam gendongannya. Spontan aku mengalungkan tangan ke leher Bryan sebagai bentuk menjaga diri sebab terkejut tidak menduga itu akan terjadi sekaligus takut kalau-kalau saja terjatuh.
"Bryan!" seruku memekik.
"Hm?"
"Kenapa malah menggendong aku begini? Kamu kan capek! Barang-barang di jok belakang nanti bagaimana?"
Mendengarku sangat cerewet begitu entah bagaimana justru malah membuat senyum di bibir Bryan mengembang sempurna. Walau dengan remang-remang dari lampu mobil, namun aku masih dapat melihat sekaligus merasakan dengan jelas betapa hangat dan terasa menenangkan senyuman tersebut.
"Supaya lebih cepat saja. Aku akan meminta bantuan sekuriti untuk membawa barang-barang ke dalam besok. Yang terpenting obat kamu ada di dalam tas, kan?" jawab Bryan sembari melirik sekilas tas selempang kecil terjulur bergantungan di lenganku sebab tidak ikut terangkat dengan kedua lengan Bryan bersama tubuhku.
Baiklah. Aku harus mengerti maksud baik Bryan. Mungkin Bryan juga sudah sangat lelah sehingga memilih langsung menggendongku supaya lebih cepat. Sehingga aku langsung saja mengangguk untuk mengiyakan keseluruhan kata-kata Bryan, termasuk bagian mengenai obat-obat tersebut.
Tidak lama setelah itu Bryan melangkah sembari menggendongku ke sudut ruangan garasi. Pintu berukuran lumayan besar di sana kemudian terbuka secara otomatis begitu langkah Bryan sudah berhenti di depannya.
Namun karena rasa kantuk sebenarnya masih bersarang di dalam diriku, jadi alih-alih mengawasi ke mana langkah Bryan menuju, aku justru malah berbalik berusaha mencari kenyamanan di dada Bryan.
"Kamu mengantuk sekali ya?" bisik Bryan seiring terus mengambil langkah. Dalam keadaan sudah mulai setengah sadar akibat termakan rasa kantuk, aku mengangguk saja. "Hum."
"Tidurlah."
Sayup-sayup aku mendengar suara Bryan berbicara lagi. Kelopak mataku sudah memejamkan diri sejak tadi, namun sebagian dari kesadaranku yang tersisa masih tertinggal menemani langkah demi langkah Bryan.
Bahkan hingga akhirnya Bryan berhasil masuk dan menurunkanku di atas sebuah ranjang setelah beberapa menit berjalan, dapat aku rasakan Bryan kemudian mengecup keningku singkat namun mendalam sebelum memakaikan selimut kepadaku.
"Kamu tidak tidur juga, Bryan?" Mataku sedikit terbuka dengan sayu untuk menatap wajah Bryan. Ia mengelus lembut rambutku sebelum memberi jawaban. "Belum. Aku akan menutup garasi dan mematikan mobil terlebih dahulu. Setelah itu aku akan menyusul."
"Ah, begitu."
Tapi aku buru-buru menambahkan lagi disela rasa kantuk mendera. "Jangan terlalu lama tinggalkan aku sendiri, Bryan."
Seketika kekehan kecil lolos begitu saja dari bibir Bryan. Ia menarik hidungku sekilas sebelum bangkit berdiri setelah duduk di sudut ranjang akibat menemaniku sejenak.
"Iya, Sayang."
Terasa seakan sisi manjaku menguap keluar begitu saja ketika berada di sisi Bryan. Aku kemudian menggeliat di atas ranjang berusaha mencari kenyamanan di balik selimut selagi Bryan akan beranjak. Namun sebelum benar-benar meninggalkanku di ranjang, Bryan berbisik kecil di telingaku.
"Selamat beristirahat, Putri Tidur."
***
Saat aku terbangun membuka mata, di sampingku sudah ada Bryan tengah memandangi dengan wajah khas bangun tidur. Begitu kelopak mataku terbuka, senyum Bryan langsung mengembang tipis.
"Good morning, Babe."
Sapaan dari Bryan membuatku secara naluriah ikut tersenyum bersama meski kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya. "Good morning, Bryan." balasku dengan sedikit serak.
Tangan besar Bryan kemudian bergerak mengelus lembut wajahku. Menyentuh rahang lalu mengusap bibirku dengan ibu jari.
"Kamu tahu, Kaitlyn? Aku terkadang terus bertanya-tanya, bagaimana bisa Tuhan menciptakan kamu se-sempurna ini?"
Ucapan Bryan itu sebenarnya terdengar agak terlalu berlebihan sehingga dapat mengundang tawa kecil untuk lolos begitu saja dari bibirku seiring kehangatan mulai menjalari wajahku hingga merona merah. Tapi Bryan tampak begitu serius mengatakan itu selagi memandangi dengan tegas sembari sibuk menyusuri wajahku dengan jari jemarinya.
"Jangan berlebihan, Bryan." ujarku seraya mengukir senyum lembut untuk Bryan. Sekarang aku menarik tanganku ke atas sehingga dapat memegang tangan Bryan di wajahku.
Bryan menggelengkan kepala.
"Tidak berlebihan, itu kenyataannya. Sampai aku takut kalau-kalau saja seseorang berusaha mencurimu dariku."
Dapat aku lihat mata Bryan begitu redup seakan menyiratkan kegelisahan akibat sedang mengkhawatirkan sesuatu. Yang aku ragu itu sekedar kecemburuan atau rasa takut biasa karena segelap itulah kedua mata Bryan berbicara.
"Tapi sekarang aku di sini bersama kamu, kan?"
Sengaja aku sedikit bergeser supaya lebih dekat dengan Bryan. Ia kemudian tertawa kecil, namun bukan tawa biasa. Melainkan seakan mengejek diri sendiri, dan itu terdengar memilukan.
Aku mengerti.
Mungkin Bryan bertingkah begitu karena menertawakan diri sendiri. Sebab mau bagaimana Bryan berusaha meyakinkan bahwa segalanya baik-baik saja dan akan kembali seperti sediakala, namun hingga saat ini, aku tetaplah cangkang kosong, dimana sama sekali tidak memiliki ingatan meski kecil tentang hubungan ini atau Bryan sendiri.
Sekujur tubuhku mungkin terlihat sama, namun aku bukan Kaitlyn Adams yang dahulu Bryan tahu, dan fakta itu tentu saja sangat menyakitinya.
"Maaf."
Yang dapat keluar dari mulutku hanyalah kata-kata maaf saja. Tak dapat dipungkiri jika aku sendiri merasa sakit atas kenyataan sekejam ini. Tapi berbeda dengan Bryan, tidak ada alasan bagiku untuk merasa lebih tersakiti disaat aku sendiri bahkan tidak memiliki ingatan.
Tawa kecil Bryan langsung berhenti begitu saja. Ia kemudian dengan tegas menghardik, "Kamu kenapa minta maaf?"
"Sebab aku tidak kembali sebagai Kait—"
Tapi belum sempat aku menuntaskan kalimatku, Bryan sudah membungkamku dengan satu ciuman kasar—namun dalam sekejap membuat gairah dalam diriku terbangun.
Sehingga dalam sekejap Bryan sudah memegang kendali atas diriku.
Dan kali ini, kekang kendali tersebut tidak akan dihentikan oleh orang lain selain Bryan.
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sekarang aku malah berakhir terkagum-kagum dengan sosok Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan setelah menengok semua foto dan video dalam galeri smartphone-ku sendiri.Tidak, bagaimana bisa aku sekarang menjadi wanita sehebat itu di masa lalu? Sudah entah berapa kali aku memutar ulang video saat dimana Kaitlyn berlenggak-lenggok di atas stage memanjang itu. Terpukau sepenuhnya oleh bagaimana Kaitlyn dapat mengekspresikan diri sekaligus keindahan setiap gaun tersebut dengan sempurna.Tapi sensasi rasa senang ini entah mengapa tidak terasa seperti menyaksikan diri sendiri, melainkan sedang melihat seseorang lain. Seakan-akan Kaitlyn di dalam video itu bukanlah bagian dari sosok 'aku'.Apa mungkin karena aku tidak dapat mengingat bagaimana rasa tercipta disaat momen-momen itu berlangsung? Sehingga aku tidak bisa merasakan atau bahkan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi saat itu?Helaan nafas kemudian terhembus begitu saja. Seluruh foto d
"Pasien telah sadarkan diri!"Seketika satu ruangan ini menjadi begitu berisik begitu melihat kedua kelopak mataku sayup-sayup mulai terbuka. Sangat mengganggu namun aku tidak bisa berbuat hal selain mendengar keberisikan itu selagi rasa sakit teramat sangat menusuk menghunjam sekujur tubuhku dalam sekejap begitu kesadaranku kembali ke dunia ini.Terutama di bagian kepala dan tulang belakangku.Seakan aku sudah tertidur sangat lama di ranjang ini, dan kepalaku bagai dihunjam ribuan jarum dari berbagai arah.Sehingga secara sadar tidak sadar sekujur tubuhku kemudian menggeliat kesakitan secara histeris tidak terkendali di atas ranjang, membuat semua orang terkejut dan berusaha menenangkanku.Padahal aku sendiri bahkan seakan tidak bisa merasakan kendali atas tubuhku.Secara terburu-buru sekelompok orang dengan jubah medis kemudian mendatangi ruanganku. Melalui nametag di jubah mereka, aku dapat melihat mereka semua ada
Sejak beberapa jam setelah fajar menyingsing, aku sudah melakukan latihan menggerakkan anggota tubuhku. Bryan turut serta membantu sekaligus berusaha terus memberiku semangat, dengan seorang dokter fisioterapi juga mengawasi.Sungguh itu bukanlah hal mudah. Belajar duduk saja terasa begitu sulit bagiku. Benar-benar seperti seorang bayi.Tulang belakangku seakan terlalu lunglai untuk tegak, sehingga entah sudah berapa kali aku berujung hampir menyerah untuk kembali mencoba duduk tanpa bantuan kalau saja Bryan tidak buru-buru menyemangatiku.Aku rasa Bryan memanglah suamiku sebab sumber seluruh semangatku seakan bertumpu kepada dukungan darinya."Kita sudahi dulu untuk hari ini," ujar Dokter Wanda, ahli fisioterapi. Aku terdiam saja selagi duduk bersandar di ujung ranjang rumah sakit ini."Selalu bantu istri anda untuk berlatih, Pak. Mulai dari hal kecil seperti motorik otot tangan
"Aku yakin." Pertanyaan ambigu Revan memang membuatku sempat terdiam sejenak. Terlebih Revan terus saja bertingkah seakan mengetahui sesuatu. Namun aku juga tidak bisa mempercayai seorang hantu begitu saja, bukan? Sehingga aku menjawab tanda tanya dari Revan itu tanpa ragu. Tidak mungkin Bryan berbohong mengenai hal serius seperti itu. Semua orang-orang di sekitarku juga mengatakan bahwa Bryan adalah suami-ku. Andai kata Bryan sedang berbohong kepadaku, maka setidaknya salah satu diantara mereka akan mengatakan sebaliknya, kan? Melihat kedua mataku begitu menyiratkan keyakinan atas jawabanku, Revan menghela nafas. "Baiklah. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semoga keyakinanmu tidak berbalik menyerangmu, Kaitlyn."
Sekarang aku malah berakhir terkagum-kagum dengan sosok Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan setelah menengok semua foto dan video dalam galeri smartphone-ku sendiri.Tidak, bagaimana bisa aku sekarang menjadi wanita sehebat itu di masa lalu? Sudah entah berapa kali aku memutar ulang video saat dimana Kaitlyn berlenggak-lenggok di atas stage memanjang itu. Terpukau sepenuhnya oleh bagaimana Kaitlyn dapat mengekspresikan diri sekaligus keindahan setiap gaun tersebut dengan sempurna.Tapi sensasi rasa senang ini entah mengapa tidak terasa seperti menyaksikan diri sendiri, melainkan sedang melihat seseorang lain. Seakan-akan Kaitlyn di dalam video itu bukanlah bagian dari sosok 'aku'.Apa mungkin karena aku tidak dapat mengingat bagaimana rasa tercipta disaat momen-momen itu berlangsung? Sehingga aku tidak bisa merasakan atau bahkan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi saat itu?Helaan nafas kemudian terhembus begitu saja. Seluruh foto d
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.Ternyata seseorang itu adalah Bryan.Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil."Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-r
Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan."Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."Salah satu sisi romantis itu adalah i
Sekarang aku benar-benar mengharapkan sebuah kemungkinan dimana telingaku salah mendengar. Tapi itu tampak mustahil sebab sorot mata Bryan sama sekali tidak berkata demikian. Sehingga aku tidak dapat berkata-kata dan berujung menghindar dari melakukan kontak mata dengan Bryan.Hatiku begitu sakit saat mendengar kenyataan mengerikan itu. Tidak dapat kubayangkan bagaimana rasa hancur dialami Bryan saat menghadapi fakta sedemikian menyakitkan ini. Apa sungguh se-mengerikan itukah aku di waktu-waktu sebelum terbaring tidak berdaya di sini?"Maafkan aku, Bryan."Tanpa sadar airmata-ku berlinang begitu saja seiring membayangkan bagaimana hal sekejam itu bisa terjadi atas ulahku sendiri. Sangat egois dan mengerikan. Mendadak ketakutan mulai tumbuh dalam diriku. Takut kalau-kalau saja ingatank
"Permisi, Bu Adams." Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya. Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku. "Br ... yan!" Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketu