Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.
Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.
Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan.
"Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."
Salah satu sisi romantis itu adalah ini; memberi sebuket bunga mawar merah ini kepadaku secara tidak terduga setelah meminta ijin untuk mengangkat telpon seseorang.
Sudah tidak dapat lagi aku menahan diri untuk tidak mengukirkan rasa senangku. Sehingga sekarang aku langsung saja menjadi begitu berseri-seri dengan sebuah senyuman cerah sekaligus malu-malu menghiasi warna ekspresi wajahku.
Buket bunga mawar merah itu kemudian berpindah menjadi dalam genggaman kedua tanganku.
"Kamu kapan membeli ini, Bryan?" tanyaku selagi mengendus wangi dari mawar tersebut. Meski aku tahu Bryan selalu melakukan hal mengejutkan, namun aku tidak bisa untuk tidak bingung sekaligus keheranan tentang bagaimana bisa Bryan mendapatkan sebuket bunga mawar merah ini dengan begitu mudah dalam rentang waktu sangat singkat.
Tapi alih-alih memberi jawaban setelah duduk menghuni bangku bench di samping kursi roda-ku, Bryan malah mengedipkan mata kepadaku. "Rahasia."
Secara spontan aku melayangkan satu cubitan ke lengan berbalut kemeja milik Bryan sembari tergelak kecil. Sang empunya lengan kemudian meringis sebentar secara berlebihan, sengaja untuk menggodaku, namun setelah itu ikut tergelak bersamaku.
"Selamat karena sudah bisa kembali ke rumah, Sayang."
Seketika aku mengerjap kebingungan akibat mendengar kata Bryan.
"Sudah bisa kembali ke rumah?"
Sekali lagi Bryan tidak menjawabku. Ia malah bungkam dengan kedua mata membulat berbinar, beserta senyum penuh maksud mengembang di bibir tipis itu. Seakan memintaku untuk menarik kesimpulan sendiri selagi menyaksikan bagaimana guratan bahagia mematrikan diri di wajah Bryan.
Mendapati raut sedemikian cerah dari wajah Bryan membuatku membulatkan mata seakan tidak percaya hal tersebut akan terjadi. Apa aku salah mendengar Bryan? Sungguh aku berharap tidak salah menangkap maksud Bryan karena dalam sekejap rasa senang telah memenuhi dadaku.
"Sungguh? Kamu tidak sedang bercanda kan, Bryan?" ujarku mengajukan tanda tanya kepada Bryan dengan sedikit agak terlalu bersemangat. Tidak dapat kusembunyikan rasa senang nan bergejolak dalam dadaku ini dari Bryan.
Sebuah anggukan disertai senyum bahagia terkulum dari Bryan sedetik kemudian membuatku tak bisa berkata-kata lagi saking tidak dapat mengekspresikan bagaimana rasa senang memuncah begitu saja.
Bryan sangat tahu bagaimana aku begitu menantikan hari-hari dimana aku akhirnya bisa kembali ke rumah. Sudah selama satu minggu lebih ini aku hanya dapat menyaksikan bagaimana rumahku dan Bryan melalui foto-foto dalam smartphone Bryan.
Sehingga akibat gejolak rasa senang itu, aku menggeser kursi roda-ku ke hadapan Bryan kemudian secara naluriah bangkit menerjang tubuh Bryan begitu saja.
"Terimakasih, Bryan." ujarku berbisik tepat di telinga disela memeluk Bryan dengan erat. Ia untuk sesaat begitu terkejut atas tindakan agresif nan tidak terduga dariku itu. Tapi sedetik kemudian Bryan langsung membalas dekapanku sembari menghujani kecupan demi kecupan kecil di bahuku. Ia bahkan sekarang sedikit mengangkatku dengan lengan, berupaya membuatku duduk di atas kakinya.
"Terimakasih kembali, Sayangku."
Ya ampun.
Setengah akal sehatku sebetulnya masih sadar betapa ini sangat memalukan karena aku dan Bryan sedang mendiami tempat umum. Kami bahkan telah menjadi tujuan dimana atensi mata orang-orang berlalu-lalang di sekitar taman refreshing rumah sakit ini bertumpu.
Namun sisi lainku mengacuhkan itu. Perasaan itu mengisyaratkan rasa inginku atas dunia mengetahui betapa aku dan Bryan saling memiliki satu sama lain. Semakin aku bersama Bryan, semakin aku jatuh dalam daya tarik sosoknya.
Sesungguhnya aku sadar betul bagaimana cara kebanyakan suster-suster di rumah sakit ini memandangi Bryan. Tersirat ingin mendekati, atau bahkan hasrat ingin memiliki. Seringkali mereka berusaha menarik atensi Bryan dengan berlaku berlebihan selagi aku tidak di samping Bryan.
Semua itu membuatku tidak suka, cemburu, sekaligus tidak rasional dengan bertindak kekanakan sebagaimana sekarang ini.
Tapi mau bagaimana tindakan kekanakanku saat ini, seharusnya itu bukan masalah besar, bukan? Secara resmi aku dan Bryan sudah menjadi suami istri, tentu saja bukan hal memalukan jika terlihat begitu mesra dan intim.
Meski sangat berlebihan, tentu saja.
"Jadi kapan kita kembali ke rumah, Bryan?" tanyaku. Aku lepaskan dekapanku untuk menatap Bryan dengan mata berbinar sangat senang.
"Sudah tidak sabar, ya? Kamu menggemaskan sekali seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim, Kaitlyn." ledek Bryan sembari menarik ujung hidungku jahil.
"Tentu saja! Memang kamu suka aku terus di sini, Bryan?" dengusku balik bertanya. Secara sadar tidak sadar aku sedikit memajukan bibir manyun, ingin merajuk setelah digoda oleh Bryan.
"Bukan begitu, Kaitlyn sayang."
Sekarang tawa kecil Bryan semakin menjadi setelah menyaksikanku setengah merajuk. Aku cemberut saja melihat bagaimana wajah Bryan berseri-seri menertawakanku. Ia bahkan menjadi semakin tampan ketika sedang tertawa begini.
"Hanya saja menggoda kamu itu sangat menyenangkan." ujar Bryan disela gelak tawa tersebut.
Tidak lama kemudian Bryan menarik tubuhku hingga terjatuh kembali dalam dekapannya. Ia lantas menenggelamkan wajah sejenak di leherku, menghirup dalam-dalam aromaku, sebelum berbisik kecil di telingaku. "You're my only cure when I'm stressed out, babe."
Nafas hangat Bryan di leher membuatku menggelinjang sangat kegelian. Tapi begitu bisikan tersebut menghampiri telingaku, aku seketika bergeming akibat membungkam diri.
"Is everything alright? Apa ada sesuatu terjadi, Bryan?" tanyaku begitu Bryan melepaskan dekapan tersebut. Mengikuti intuisi, kedua tanganku lalu memegang wajah Bryan.
"Sepele, Sayang. Tidak usah terlalu dipikirkan, sekedar kerjaan di kant—"
Tidak ingin Bryan melanjutkan kalimat tersebut, langsung saja aku memotong dengan mencuri kecupan singkat di bibir Bryan.
"Mungkin aku kehilangan ingatan. Tapi mulai sekarang segala tentang kamu itu sama sekali bukan hal sepele untuk aku."
Kalimatku berhasil membuat Bryan bungkam sejenak. Sekarang berganti menjadi Bryan seakan jatuh tenggelam dalam jeratan tatapanku.
"Kamu kenapa bisa makin hari makin manis begini, Kaitlyn?"
Aku mengerjapkan mata kebingungan saat mendapati Bryan memberi respon demikian. Tapi sedetik kemudian Bryan menggigit ujung hidungku dengan gemas sembari tertawa lepas sekali lagi.
"Nanti aku cerita. Untuk sekarang, nikmati detik-detik sebelum kembali ke rumah, ya?"
***
Seiring mobil melaju dengan kecepatan normal, dapat aku lihat melalui kaca mobil di depan betapa sekarang langit sudah sangat menggelap. Sekilas aku melirik kepada Bryan di sampingku. Ia begitu fokus menyetir dengan satu tangan, meski beberapa kali berusaha membuatku tidak jenuh atau merasa sendiri dengan menggenggam tanganku.
Ternyata kembali ke rumah itu memakan waktu lumayan lama meski mengendarai mobil. Terlebih jika harus terjebak menghadapi kemacetan lalu lintas sebagaimana aku dan Bryan beberapa menit lalu.
Menurut cerita Bryan selama ini, lokasi rumah tersebut berjulang memang sedikit jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota. Semua itu atas keinginanku, karena aku sangat tidak suka berada di tempat terlalu berisik atau ramai.
Sedari tadi aku dapat mendengar samar-samar deburan ombak seiring mengitari bukit-bukit di sekitar. Andai saja sekarang tidak segelap ini, maka aku mungkin sudah dapat melihat bagaimana keindahan begitu asri dari sekelilingku.
"Tidur saja, nanti aku bangunkan. Masih 20 menit lagi, Sayang." ujar Bryan selagi memusatkan atensi ke depan. Ia mungkin sadar bagaimana aku sudah mulai kelelahan akibat menunggu terlalu lama.
"Tidak mau." Sembari menepuk kedua sisi wajah berupaya mengusir rasa kantuk, aku sedikit bergeser di atas kursi. "Aku tidak mau tidur!"
Tawa kecil kemudian lolos begitu saja dari bibir Bryan. Ia melirik sebentar kepadaku, sebelum kembali memakukan atensi ke depan.
"Yakin sanggup?"
Langsung saja aku mengangguk dengan sangat yakin. "Tentu saja! Kamu itu jangan meremehkan aku, yah!"
Mendengarku berseru dengan mendengus membuat Bryan berusaha lebih menahan diri untuk tidak menertawaiku.
"Kita taruhan saja, bagaimana?" ujar Bryan setelah berhasil meredam gelak tawa tersebut.
"Taruhan?"
"Iya. Semisal kamu masih bangun sampai kita sampai nanti, aku bakal menuruti satu keinginan kamu. Tapi kalau kamu ketiduran, maka sebaliknya. Kamu harus menuruti satu keinginan aku. Bagaimana, hm?"
Sungguh aku tidak mengerti kenapa suara Bryan mendadak terdengar begitu seksi saat mengatakan itu.
Tapi kata taruhan itu sendiri membuatku merinding sekaligus terbakar semangat. Tidak boleh aku menyia-nyiakan kesempatan itu, meski aku tahu Bryan sesungguhnya akan berusaha selalu menuruti segala keinginanku.
Apa mungkin ini karena aku sebelum kehilangan ingatan sangatlah kompetitif?
Sehingga kemudian aku mengiyakan Bryan tanpa ragu. "Baiklah. Ayo saja, aku tidak takut!"
Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.Ternyata seseorang itu adalah Bryan.Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil."Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-r
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sekarang aku malah berakhir terkagum-kagum dengan sosok Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan setelah menengok semua foto dan video dalam galeri smartphone-ku sendiri.Tidak, bagaimana bisa aku sekarang menjadi wanita sehebat itu di masa lalu? Sudah entah berapa kali aku memutar ulang video saat dimana Kaitlyn berlenggak-lenggok di atas stage memanjang itu. Terpukau sepenuhnya oleh bagaimana Kaitlyn dapat mengekspresikan diri sekaligus keindahan setiap gaun tersebut dengan sempurna.Tapi sensasi rasa senang ini entah mengapa tidak terasa seperti menyaksikan diri sendiri, melainkan sedang melihat seseorang lain. Seakan-akan Kaitlyn di dalam video itu bukanlah bagian dari sosok 'aku'.Apa mungkin karena aku tidak dapat mengingat bagaimana rasa tercipta disaat momen-momen itu berlangsung? Sehingga aku tidak bisa merasakan atau bahkan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi saat itu?Helaan nafas kemudian terhembus begitu saja. Seluruh foto d
"Pasien telah sadarkan diri!"Seketika satu ruangan ini menjadi begitu berisik begitu melihat kedua kelopak mataku sayup-sayup mulai terbuka. Sangat mengganggu namun aku tidak bisa berbuat hal selain mendengar keberisikan itu selagi rasa sakit teramat sangat menusuk menghunjam sekujur tubuhku dalam sekejap begitu kesadaranku kembali ke dunia ini.Terutama di bagian kepala dan tulang belakangku.Seakan aku sudah tertidur sangat lama di ranjang ini, dan kepalaku bagai dihunjam ribuan jarum dari berbagai arah.Sehingga secara sadar tidak sadar sekujur tubuhku kemudian menggeliat kesakitan secara histeris tidak terkendali di atas ranjang, membuat semua orang terkejut dan berusaha menenangkanku.Padahal aku sendiri bahkan seakan tidak bisa merasakan kendali atas tubuhku.Secara terburu-buru sekelompok orang dengan jubah medis kemudian mendatangi ruanganku. Melalui nametag di jubah mereka, aku dapat melihat mereka semua ada
Sejak beberapa jam setelah fajar menyingsing, aku sudah melakukan latihan menggerakkan anggota tubuhku. Bryan turut serta membantu sekaligus berusaha terus memberiku semangat, dengan seorang dokter fisioterapi juga mengawasi.Sungguh itu bukanlah hal mudah. Belajar duduk saja terasa begitu sulit bagiku. Benar-benar seperti seorang bayi.Tulang belakangku seakan terlalu lunglai untuk tegak, sehingga entah sudah berapa kali aku berujung hampir menyerah untuk kembali mencoba duduk tanpa bantuan kalau saja Bryan tidak buru-buru menyemangatiku.Aku rasa Bryan memanglah suamiku sebab sumber seluruh semangatku seakan bertumpu kepada dukungan darinya."Kita sudahi dulu untuk hari ini," ujar Dokter Wanda, ahli fisioterapi. Aku terdiam saja selagi duduk bersandar di ujung ranjang rumah sakit ini."Selalu bantu istri anda untuk berlatih, Pak. Mulai dari hal kecil seperti motorik otot tangan
Sekarang aku malah berakhir terkagum-kagum dengan sosok Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan setelah menengok semua foto dan video dalam galeri smartphone-ku sendiri.Tidak, bagaimana bisa aku sekarang menjadi wanita sehebat itu di masa lalu? Sudah entah berapa kali aku memutar ulang video saat dimana Kaitlyn berlenggak-lenggok di atas stage memanjang itu. Terpukau sepenuhnya oleh bagaimana Kaitlyn dapat mengekspresikan diri sekaligus keindahan setiap gaun tersebut dengan sempurna.Tapi sensasi rasa senang ini entah mengapa tidak terasa seperti menyaksikan diri sendiri, melainkan sedang melihat seseorang lain. Seakan-akan Kaitlyn di dalam video itu bukanlah bagian dari sosok 'aku'.Apa mungkin karena aku tidak dapat mengingat bagaimana rasa tercipta disaat momen-momen itu berlangsung? Sehingga aku tidak bisa merasakan atau bahkan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi saat itu?Helaan nafas kemudian terhembus begitu saja. Seluruh foto d
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.Ternyata seseorang itu adalah Bryan.Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil."Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-r
Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan."Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."Salah satu sisi romantis itu adalah i
Sekarang aku benar-benar mengharapkan sebuah kemungkinan dimana telingaku salah mendengar. Tapi itu tampak mustahil sebab sorot mata Bryan sama sekali tidak berkata demikian. Sehingga aku tidak dapat berkata-kata dan berujung menghindar dari melakukan kontak mata dengan Bryan.Hatiku begitu sakit saat mendengar kenyataan mengerikan itu. Tidak dapat kubayangkan bagaimana rasa hancur dialami Bryan saat menghadapi fakta sedemikian menyakitkan ini. Apa sungguh se-mengerikan itukah aku di waktu-waktu sebelum terbaring tidak berdaya di sini?"Maafkan aku, Bryan."Tanpa sadar airmata-ku berlinang begitu saja seiring membayangkan bagaimana hal sekejam itu bisa terjadi atas ulahku sendiri. Sangat egois dan mengerikan. Mendadak ketakutan mulai tumbuh dalam diriku. Takut kalau-kalau saja ingatank
"Permisi, Bu Adams." Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya. Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku. "Br ... yan!" Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketu