"Pasien telah sadarkan diri!"
Seketika satu ruangan ini menjadi begitu berisik begitu melihat kedua kelopak mataku sayup-sayup mulai terbuka. Sangat mengganggu namun aku tidak bisa berbuat hal selain mendengar keberisikan itu selagi rasa sakit teramat sangat menusuk menghunjam sekujur tubuhku dalam sekejap begitu kesadaranku kembali ke dunia ini.
Terutama di bagian kepala dan tulang belakangku.
Seakan aku sudah tertidur sangat lama di ranjang ini, dan kepalaku bagai dihunjam ribuan jarum dari berbagai arah.
Sehingga secara sadar tidak sadar sekujur tubuhku kemudian menggeliat kesakitan secara histeris tidak terkendali di atas ranjang, membuat semua orang terkejut dan berusaha menenangkanku.
Padahal aku sendiri bahkan seakan tidak bisa merasakan kendali atas tubuhku.
Secara terburu-buru sekelompok orang dengan jubah medis kemudian mendatangi ruanganku. Melalui nametag di jubah mereka, aku dapat melihat mereka semua adalah dokter dari berbagai jenis spesialis.
Ada apa sesungguhnya denganku?
Begitu menangani kehisterisan tak terkendali ini, salah satu dari mereka dengan sigap menyuntikkan sesuatu kepadaku, membuat sekujur tubuhku seketika berangsur menjadi lebih tenang sekaligus melemah disaat bersama.
Terpaksa aku berserah diri ketika dokter memeriksa tubuhku. Dari situ aku baru sadar ternyata tubuhku sekarang tengah terhubung dengan berbagai jenis alat-alat berat, membuatku semakin mengerti kenapa tubuhku bisa menjadi se-sakit ini.
Meski entah mengapa aku sama sekali tidak dapat mengingat bagaimana aku bisa berakhir di ranjang rumah sakit dengan kondisi se-mengenaskan ini.
Yang terlintas dalam kepalaku hanyalah Bryan Adams.
Siapa gerangan sang empunya nama, aku juga tidak tahu. Mungkin saja itu adalah orang berharga bagiku? Entahlah. Yang jelas aku tidak yakin itu namaku sebab Bryan Adams terdengar terlalu gagah untuk menjadi nama seorang wanita sepertiku.
"Dokter!"
Saat kondisi tubuhku sedang diperiksa oleh salah satu dari sekelompok dokter di depan ranjangku ini, tiba-tiba saja seseorang masuk ke dalam ruangan dengan sangat tergesa-gesa.
"Bagaimana keadaan Kaitlyn, Dok?" tanya orang itu memburu. Ia hendak menghampiri ranjangku, namun langkah besar itu langsung saja dicegat oleh suster dan beberapa dokter.
Jadi apa namaku Kaitlyn?
Mereka terlihat membicarakan sesuatu. Dari bagaimana orang itu memandangiku dari tempatnya berpijak selagi berbincang dengan dokter, tampak jelas bahwa mereka sedang membicarakanku.
Kami untuk sesaat saling bertukar kontak mata. Samar-samar dapat kudengar dokter menjelaskan kepada orang itu bagaimana kondisi aku sebelum sadar dan mengalami histeria. Akan tetapi saat aku hendak menguping obrolan dengan lebih saksama, dokter di depanku menginterupsi atensi dengan mengajukan tanda tanya kepadaku.
"Nyonya Adams, tolong kedipkan mata dua kali jika anda mengalami sakit kepala hebat."
Dokter ini baru saja memanggilku sebagai Nyonya Adams?
Meski sedikit kebingungan, namun aku mengedipkan kedua mataku untuk menjawab. Entah sejak kapan lidahku benar-benar terasa kelu dan seakan mati rasa sehingga aku tidak bisa mengeluarkan suara dengan jelas selain mengerang kesakitan.
Melihatku mengerjapkan kedua mata, dokter tersebut kemudian mengangguk sekilas sebelum mencatat sesuatu dengan cepat di notes.
"Selamat datang kembali, Bu Adams."
Dapat kurasakan ketulusan dalam kata-kata dari dokter di depanku ini. Ia bahkan tampak seakan hendak menitikkan airmata. Tapi aku sungguh terlalu lemah untuk membalas sehingga aku bergeming tidak memberi respon.
Lagipula memang aku sudah sakit seberapa lama sampai membuat dokter ini nyaris meneteskan airmata?
Aku benar-benar tidak tahu. Ingatan di dalam kepalaku seakan menghilang begitu saja. Seakan tidak ada satu petunjuk, bahkan sekedar tentang gerangan identitasku.
Sungguh bagai cangkang tanpa isi.
Perhatianku kemudian kembali ditujukan kepada orang tadi. Ia rupanya juga sedang mengamatiku dari sana, sehingga itu membuatku terpaksa kembali bertemu dengan kedua mata tegas miliknya.
Jantungku entah mengapa seakan menjadi lebih berisik seiring tenggelam dalam manik itu. Siapa gerangan orang itu?
Ia sangatlah tampan dengan rahang tajam terpahat begitu sempurna. Tidak terlalu sipit, namun memiliki alis tebal dengan sedikit rambut halus menghiasi dagu.
Sayang sekali aku tidak dapat mengingat dirinya meski sudah tercipta sedemikian sempurna.
Saat aku melepaskan kontak mata dengan orang tadi dan baru saja hendak memejamkan mata, entah bagaimana, secara tidak sengaja kedua mataku malah menangkap seseorang lain di sudut ruangan tengah menatapku cukup serius. Seseorang itu tidak jauh tampan namun terlihat sedikit menyedihkan dengan raut wajah muram.
Dan entah kenapa itu membuat dadaku seketika terasa begitu sesak.
***
Satu demi satu alat-alat di tubuhku mulai dilepas oleh dokter. Satu rumah sakit terus mengatakan aku sangatlah beruntung bisa mendapatkan keajaiban untuk kembali sadar setelah koma selama hampir satu tahun.
Dokter mengatakan aku mengalami amnesia akibat mengalami kecelakaan terlalu berat sebelum ini. Kecelakaan itu juga membuatku tidak bisa berbicara selama beberapa waktu akibat fungsi lidah dan tenggorokan sedang dalam masa memulihkan diri. Sungguh sebuah mukjizat bahwa aku bisa bangun dengan kondisi tubuh se-demikian sehat dan stabil setelah mengalami semua itu dan lama tak sadarkan diri.
Mulai besok aku harus mengikuti terapi untuk melatih kembali fungsi tubuhku. Hampir satu tahun berdiam diri di ranjang benar-benar membuat sekujur tubuhku bagaikan mayat hidup. Aku bahkan tidak dapat bergerak terlalu banyak.
Selain mengelus kepala orang di sampingku ini.
Pria tampan di awal tadi.
Yang masuk ke ruangan, namun kemudian diminta oleh suster-suster untuk menanti kabarku di luar saja.
Ia telah menceritakan tentang banyak hal mengenai diriku meski aku tidak dapat memberi respon lebih baik, sebelum jatuh terlelap di sampingku.
Termasuk tentang namaku, Kaitlyn Adams.
Atau nama dirinya, Bryan Adams.
Pantas saja nama Bryan Adams langsung muncul begitu saja di dalam kepalaku. Ternyata itu adalah nama dari suamiku sendiri.
Ya, ternyata aku sudah menikah. Sedikit terlalu mendebarkan sekaligus membuatku canggung sebab aku tidak dapat mengingat selain nama Bryan Adams itu, namun setidaknya untuk sekarang ini, tidaklah buruk memiliki suami setampan dan sebaik Bryan Adams ini.
Ia sedikit menegang saat tanganku mulai mengelus lembut wajahnya. Seakan-akan baru saja mengalami hal buruk. Tapi sedetik kemudian ketegangan itu berangsur menghilang seiring aku berusaha memberi kenyamanan.
Kegelisahan serta kantung hitam di bawah kedua mata itu sangat menjelaskan betapa selama ini Bryan telah menghabiskan waktu cukup berat disaat aku, istrinya, tidak sadarkan diri.
Ia tadi mengaku sangat merasa bersalah atas kecelakaan itu karena itu terjadi tepat setelah aku dan Bryan bertengkar hebat.
Fakta itu benar-benar membuat hatiku sakit bagai tersayat karena terlihat sangat jelas Bryan menyalahkan dirinya atas semua kejadian itu.
Padahal jika secara kasar, aku ini baru saja mengenal Bryan. Namun entah mengapa tubuh dan emosi dalam diriku seakan mengenal Bryan dengan sangat baik.
Sehingga aku tidak dapat membendung gejolak kepedihan di dalam tubuhku ketika melihat Bryan seakan menyalahkan dirinya sendiri.
Sungguh aku tidak menyukai itu.
"Permisi, Bu Adams."
Pintu ruanganku tiba-tiba saja digeser dari luar membuat atensi kedua mataku teralihkan dari memandangi Bryan.
Tidak berapa lama kemudian seorang dokter masuk bersama satu suster. Suara nakas besi didorong masuk oleh sang suster terdengar sedikit mengganggu sehingga membuat Bryan seketika terbangun dari tidurnya.
Laki-laki di sampingku ini mengusap kasar wajah bantal miliknya sebelum bangkit sekaligus mundur dari kursi di samping ranjangku dan mempersilahkan agar dokter dan suster itu mendekat ke ranjangku.
Dokter itu lalu melakukan check-up terakhir untuk hari ini kepadaku. Saat dokter sibuk melaksanakan tugasnya, atensi kedua mataku justru jatuh kepada Bryan di belakang sana. Ia tersenyum kepadaku seakan berusaha membuatku tenang selagi diperiksa dengan ekspresi wajah terlihat sangat menahan kantuk.
Hal itu membuatku tergelitik.
"Kondisi anda semakin membaik, Bu." ujar sang dokter senang selagi memeriksaku. Aku bergeming saja, tidak dapat menanggapi. Nanun kedua mataku bergulir melirik sekilas nametag milik dokter tersebut.
Dokter Andrea Maharani.
"Maaf jika kami mengganggu waktu istirahat anda. Ini check up terakhir untuk hari ini ya, Bu." lanjut Dokter Andrea menjelaskan.
"Tak mengapa, Dok."
Aku bersyukur Bryan dapat mewakiliku untuk memberi Dokter Andrea sebuah respon. Wanita dengan jubah terang itu lalu tertawa kecil. Ia dalam sekejap telah menyelesaikan tugas check-up tersebut sebelum berbalik kepada Bryan.
"Kondisi Bu Adams semakin stabil dan membaik untuk saat ini,"
Terlihat jelas bagaimana raut wajah Bryan tampak sangat lega ketika mendengar Dokter Andrea menjelaskan.
"Besok tolong jangan lupa temani Bu Adams untuk terapi ya, Pak." tambah Dokter Andrea kemudian.
Bryan mengangguk.
"Baik, Dokter."
Dokter Andrea lalu mengukir senyum tipis, "Kalau begitu saya ijin undur diri. Selamat beristirahat Bu, Pak."
Sejak beberapa jam setelah fajar menyingsing, aku sudah melakukan latihan menggerakkan anggota tubuhku. Bryan turut serta membantu sekaligus berusaha terus memberiku semangat, dengan seorang dokter fisioterapi juga mengawasi.Sungguh itu bukanlah hal mudah. Belajar duduk saja terasa begitu sulit bagiku. Benar-benar seperti seorang bayi.Tulang belakangku seakan terlalu lunglai untuk tegak, sehingga entah sudah berapa kali aku berujung hampir menyerah untuk kembali mencoba duduk tanpa bantuan kalau saja Bryan tidak buru-buru menyemangatiku.Aku rasa Bryan memanglah suamiku sebab sumber seluruh semangatku seakan bertumpu kepada dukungan darinya."Kita sudahi dulu untuk hari ini," ujar Dokter Wanda, ahli fisioterapi. Aku terdiam saja selagi duduk bersandar di ujung ranjang rumah sakit ini."Selalu bantu istri anda untuk berlatih, Pak. Mulai dari hal kecil seperti motorik otot tangan
"Aku yakin." Pertanyaan ambigu Revan memang membuatku sempat terdiam sejenak. Terlebih Revan terus saja bertingkah seakan mengetahui sesuatu. Namun aku juga tidak bisa mempercayai seorang hantu begitu saja, bukan? Sehingga aku menjawab tanda tanya dari Revan itu tanpa ragu. Tidak mungkin Bryan berbohong mengenai hal serius seperti itu. Semua orang-orang di sekitarku juga mengatakan bahwa Bryan adalah suami-ku. Andai kata Bryan sedang berbohong kepadaku, maka setidaknya salah satu diantara mereka akan mengatakan sebaliknya, kan? Melihat kedua mataku begitu menyiratkan keyakinan atas jawabanku, Revan menghela nafas. "Baiklah. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semoga keyakinanmu tidak berbalik menyerangmu, Kaitlyn."
"Permisi, Bu Adams." Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya. Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku. "Br ... yan!" Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketu
Sekarang aku benar-benar mengharapkan sebuah kemungkinan dimana telingaku salah mendengar. Tapi itu tampak mustahil sebab sorot mata Bryan sama sekali tidak berkata demikian. Sehingga aku tidak dapat berkata-kata dan berujung menghindar dari melakukan kontak mata dengan Bryan.Hatiku begitu sakit saat mendengar kenyataan mengerikan itu. Tidak dapat kubayangkan bagaimana rasa hancur dialami Bryan saat menghadapi fakta sedemikian menyakitkan ini. Apa sungguh se-mengerikan itukah aku di waktu-waktu sebelum terbaring tidak berdaya di sini?"Maafkan aku, Bryan."Tanpa sadar airmata-ku berlinang begitu saja seiring membayangkan bagaimana hal sekejam itu bisa terjadi atas ulahku sendiri. Sangat egois dan mengerikan. Mendadak ketakutan mulai tumbuh dalam diriku. Takut kalau-kalau saja ingatank
Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan."Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."Salah satu sisi romantis itu adalah i
Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.Ternyata seseorang itu adalah Bryan.Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil."Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-r
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Sekarang aku malah berakhir terkagum-kagum dengan sosok Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan setelah menengok semua foto dan video dalam galeri smartphone-ku sendiri.Tidak, bagaimana bisa aku sekarang menjadi wanita sehebat itu di masa lalu? Sudah entah berapa kali aku memutar ulang video saat dimana Kaitlyn berlenggak-lenggok di atas stage memanjang itu. Terpukau sepenuhnya oleh bagaimana Kaitlyn dapat mengekspresikan diri sekaligus keindahan setiap gaun tersebut dengan sempurna.Tapi sensasi rasa senang ini entah mengapa tidak terasa seperti menyaksikan diri sendiri, melainkan sedang melihat seseorang lain. Seakan-akan Kaitlyn di dalam video itu bukanlah bagian dari sosok 'aku'.Apa mungkin karena aku tidak dapat mengingat bagaimana rasa tercipta disaat momen-momen itu berlangsung? Sehingga aku tidak bisa merasakan atau bahkan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi saat itu?Helaan nafas kemudian terhembus begitu saja. Seluruh foto d
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.Ternyata seseorang itu adalah Bryan.Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil."Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-r
Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan."Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."Salah satu sisi romantis itu adalah i
Sekarang aku benar-benar mengharapkan sebuah kemungkinan dimana telingaku salah mendengar. Tapi itu tampak mustahil sebab sorot mata Bryan sama sekali tidak berkata demikian. Sehingga aku tidak dapat berkata-kata dan berujung menghindar dari melakukan kontak mata dengan Bryan.Hatiku begitu sakit saat mendengar kenyataan mengerikan itu. Tidak dapat kubayangkan bagaimana rasa hancur dialami Bryan saat menghadapi fakta sedemikian menyakitkan ini. Apa sungguh se-mengerikan itukah aku di waktu-waktu sebelum terbaring tidak berdaya di sini?"Maafkan aku, Bryan."Tanpa sadar airmata-ku berlinang begitu saja seiring membayangkan bagaimana hal sekejam itu bisa terjadi atas ulahku sendiri. Sangat egois dan mengerikan. Mendadak ketakutan mulai tumbuh dalam diriku. Takut kalau-kalau saja ingatank
"Permisi, Bu Adams." Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya. Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku. "Br ... yan!" Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketu