"Aku yakin."
Pertanyaan ambigu Revan memang membuatku sempat terdiam sejenak. Terlebih Revan terus saja bertingkah seakan mengetahui sesuatu. Namun aku juga tidak bisa mempercayai seorang hantu begitu saja, bukan? Sehingga aku menjawab tanda tanya dari Revan itu tanpa ragu.
Tidak mungkin Bryan berbohong mengenai hal serius seperti itu. Semua orang-orang di sekitarku juga mengatakan bahwa Bryan adalah suami-ku. Andai kata Bryan sedang berbohong kepadaku, maka setidaknya salah satu diantara mereka akan mengatakan sebaliknya, kan?
Melihat kedua mataku begitu menyiratkan keyakinan atas jawabanku, Revan menghela nafas.
"Baiklah. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semoga keyakinanmu tidak berbalik menyerangmu, Kaitlyn."
Apa maksud Revan?
Namun belum sempat aku mengeluarkan suara untuk menanyakan maksud Revan berkata mengerikan seperti itu, Revan sudah menghilang begitu saja. Aku bahkan belum sempat menanyakan mengapa Revan memanggilku sebagai Kaitlyn Evergreen!
Aku menarik nafas cukup dalam. Bagaimana aku bisa mempercayai Revan jika hantu itu saja bertingkah terlalu mencolok dan suka menghilang sesukanya?
Tapi setidaknya aku mengetahui satu hal: Kaitlyn Evergreen.
Apa mungkin itu adalah nama gadisku sebelum menikah dengan Bryan?
Selagi benak-benak dalam kepalaku terus terbayang akan sosok Kaitlyn Evergreen itu, tanganku kemudian meraih album foto dari tahun dimana aku dan Bryan menikah, yakni 2021.
Saat aku membuka album foto itu, foto-foto ketika acara mengucapkan ikrar suci berlangsung terlebih dahulu mengawali lembaran dari album tersebut. Terlihat bagaimana khidmat acara tersebut, meski tampaknya dihadiri hanya oleh beberapa orang saja.
Namun begitu lembaran berikutnya kusibak, tanganku seketika terhenti sejenak.
Sebuah foto berukuran cukup besar dengan kondisi mengenaskan; tercabik-cabik namun terlihat berusaha disatukan kembali dengan lakban bening, ada terpajang di sana, masih dengan nuansa sama, yakni di acara mengikat janji suci.
Walau sobekan-sobekan foto tersebut membuatku kesulitan melihat bagaimana ekspresi wajahku saat momen itu diabadikan, namun aku masih dapat mengenali itu adalah aku. Tapi aku tidak bisa mengenali seseorang di sampingku yang telah menjadi suami-ku. Sobekan itu seakan terkunci hanya kepada sosoknya, mengisyaratkan betapa marah dan bencinya seseorang yang mencabik-cabik foto ini terhadap dirinya.
Postur tubuh seseorang itu tidak begitu jauh dari Bryan. Jadi aku simpulkan Bryan memanglah suami-ku. Tapi mengapa foto ini malah harus berkondisi sangat mengenaskan seperti ini?
Apa aku yang telah melakukannya?
Kalau memang benar aku yang telah melakukannya di masa lalu, maka itu sangatlah mengerikan. Karena aku dapat merasakan bagaimana kebencian dan kemarahan tersebut terlihat dalam setiap sobekan itu. Itu benar-benar membuat sekujur tubuhku seperti diterpa angin malam, dingin menusuk hingga ke tulang.
Apa aku memang semarah itu dengan Bryan sebelum ini?
Tidak tahu mengapa, namun rasa takut tiba-tiba saja menggerogoti sekujur tubuhku. Takut kalau-kalau saja situasi sebelum ini sesungguhnya lebih dari sekedar sangat berantakan, namun aku justru melarikan diri sebab tidak berani menghadapinya.
Aku harus bagaimana?
Meski tanganku sedikit bergetar akibat ketakutan, dengan segenap rasa ingin tahu di dalam diri ini, segera kuberanikan diri untuk menyibak lembaran berikutnya hingga ke bagian foto-foto dimana resepsi berlangsung. Menghilang sudah rasa antusias-ku karena sekarang berujung memikirkan hal-hal yang bahkan tidak dapat kuingat.
Pesta resepsi tampaknya lebih meriah dengan mengundang lebih banyak orang. Berlokasi di sebuah lounge dalam gedung tinggi, dapat kulihat kemewahan sangat mewarnai resepsi tersebut. Tapi sekali lagi aku terhenyak saat foto-fotoku bersama Bryan tampak begitu rusak. Meski beberapa foto tidak sehancur foto sebelumnya dimana sampai tercabik-cabik, namun wajah Bryan tercoret habis dengan kasar. Bahkan hingga membuatku tidak dapat melihat wajahnya, berbanding terbalik dengan wajah bahagia-ku yang terpatri dengan sempurna dalam foto itu.
Foto-foto itu membuatku merasa tidak nyaman, entah mengapa.
Sehingga alih-alih melihat album foto itu hingga tuntas seperti album-album sebelumnya, aku langsung saja menutup album foto tersebut dan menyatukannya bersama album-album yang sudah kulihat sebelumnya. Saat mataku menangkap keberadaan album terakhir, aku memilih untuk mengabaikannya dan ikut menyatukan album tersebut bersama album-album lain.
Aku meletak kembali album-album tersebut ke dalam laci nakas di sampingku. Untuk sekarang aku tidak akan melihat mereka. Akan kulanjutkan setelah Bryan kembali dari kantor, supaya Bryan dapat menjelaskan segalanya kepadaku. Mungkin dengan begitu ketakutan tidak berdasar-ku terhadap foto-foto rusak itu akan terjawabkan.
***
Saat aku membuka kedua kelopak mataku, Bryan sudah duduk di samping ranjangku sembari memandangi wajah tidur-ku dengan lembut.
"Hai, Putri Tidur." ujar Bryan menyapaku dengan senyuman hangat nan menggoda bergelantungan di ujung bibir menggemaskan miliknya itu. Sukses membuatku tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut mematrikan senyuman kecil akibat tersipu malu.
"Sekarang sudah jam berapa, Bryan?" tanyaku.
Bryan kemudian menjawab setelah melirik sekilas jam tangan miliknya, "9.22 PM."
Seketika mataku membulat dengan sempurna. Ya ampun, aku sudah tertidur berapa jam hari ini? Seingatku tepat setelah aku meletak album-album foto itu, sekitar jam setengah empat sore, Dokter Andrea mengunjungiku untuk melakukan check up rutin setiap beberapa jam sekali. Dan kemudian setelah itu ...
"Aku tidur lama sekali!"
Bryan tertawa geli mendengarku menjadi se-demikian ribut mengenai jam tidurku sepanjang hari ini. Batal sudah niatku untuk berleha-leha mengumpulkan seluruh tenaga dan kesadaran dalam raga ini seperti biasa setelah bangun tidur.
"Lalu, kamu sejak kapan kembali ke sini?" tanyaku sekali lagi kepada Bryan.
"Sudah dari tiga jam lalu, Sayang."
Segera aku berusaha beranjak dari ranjangku. Saat mendapatiku berangsur-angsur hendak bangkit, Bryan langsung saja membantuku dengan sangat telaten hingga terduduk bersandar di senderan ranjang rumah sakit.
"Terimakasih, Bryan."
"Anytime, honey."
Sesungguhnya aku sama sekali belum terbiasa menghadapi nama-nama kesayangan nan teramat manis dari Bryan kepadaku itu. Setiap Bryan memanggilku demikian mesra, selalu saja berujung membuat wajahku menghangat tersipu serta degup jantungku menjelma tidak tenang. Seakan sesuatu hangat sekaligus menggelikan sedang menggelitik sekujur tubuhku.
Mungkin aku sudah koma hampir setahun, namun aku tidaklah bodoh. Aku sangat sadar itu adalah bentuk ketertarikanku kepada Bryan sebagai lawan jenis, terlepas dari fakta Bryan memang suami-ku sendiri.
Melihat aku, istrinya, setengah tertegun dengan wajah menghangat tersipu akibat dipanggil dengan nama-nama manis oleh dirinya, Bryan tampak mencoba mengulum senyuman di ujung bibir.
"Kamu belum terbiasa dipanggil seperti biasa ya?"
Aku dengan malu-malu mengangguk. Sengaja kuhindari kedua mata coklat jernih milik Bryan di depanku, berupaya meminimalisir degupan bergemuruh nan berisik di dalam dadaku.
"Apa aku harus memanggil kamu Kaitlyn saja untuk sementara waktu?"
Kalimat tersebut spontan membuatku mengangkat kepala untuk melakukan kontak mata dengan Bryan. Ia rupanya juga sedang menatapku, sehingga sekarang kedua mata milik aku dan Bryan saling bertemu dengan satu sama lain.
"Kenapa?" tanyaku cepat.
Segelintir rasa tidak rela muncul begitu saja setelah mendengar Bryan mengutarakan niat tersebut.
"Ya karena kamu belum terbiasa dengan semua itu? Aku tidak mau membuat kamu tidak nyaman."
Bibirku membisu untuk sesaat. Lelaki di depanku ini memiliki kedua mata bulat dengan warna coklat jernih sangat elok untuk dipandangi. Bahkan aku sangat tidak keberatan jika harus tenggelam dalam daya tariknya. Namun itu sedikit membuatku menjadi sangat ingin tahu bagaimana rupa kedua mata elok itu jika menghadapi sesuatu dengan sangat serius.
Atau ketika sedang dikuasai oleh kemarahan.
Sebentar.
Mengapa aku bisa terbesit memikirkan hal sejauh itu mengenai Bryan?
"Belum terbiasa bukan berarti tidak suka."
Kuberanikan diri untuk meraih salah satu tangan Bryan lalu menarik tangan tersebut hingga menempel di depan dadaku. Aku ingin membuat Bryan tahu dan merasakan bagaimana detak jantungku saat ini.
Semula-mula itu membuat Bryan tampak salah tingkah meski tidak menolak. Tapi begitu menangkap maksudku berbuat demikian, Bryan menepis kecanggungan dan rasa salah tingkah itu dengan memejamkan kedua mata.
"Kamu bisa mendengarnya, kan?"
Kelopak mata Bryan kembali terbuka. Ia mengangguk saja untuk menjawabku. Aku kemudian melepaskan tangan besar Bryan hingga turun dari depan dadaku. Meski begitu tangan tersebut masih berada dalam genggamanku.
"Jangan berhenti memanggilku seperti biasa. Ingatanku mungkin lupa sehingga belum terbiasa, namun tidak dengan hatiku."
Tepat setelah aku mengucapkan rangkaian kata tersebut, tangan besar milik Bryan membalas genggamanku sangat erat, diselingi dengan Bryan membungkam seluruh kesadaranku dengan satu ciuman lembut nan mendalam dari bibirnya.
Meski terkejut atas tindakan tersebut, namun untuk sesaat aku merasa seakan terhipnotis dalam lumatan demi lumatan dari bibir Bryan. Sekujur tubuhku langsung menghangat bagai terbakar gejolak hasrat begitu mendapatkan sentuhan tersebut. Sehingga secara sadar tidak sadar, salah satu tanganku mulai melingkar di leher Bryan, dan memaksa supaya Bryan semakin memperdalam lumatan hangat itu terhadapku.
Apa ini berarti aku, Kaitlyn Adams, sedang merindukan suami-ku?
"Permisi, Bu Adams." Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya. Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku. "Br ... yan!" Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketu
Sekarang aku benar-benar mengharapkan sebuah kemungkinan dimana telingaku salah mendengar. Tapi itu tampak mustahil sebab sorot mata Bryan sama sekali tidak berkata demikian. Sehingga aku tidak dapat berkata-kata dan berujung menghindar dari melakukan kontak mata dengan Bryan.Hatiku begitu sakit saat mendengar kenyataan mengerikan itu. Tidak dapat kubayangkan bagaimana rasa hancur dialami Bryan saat menghadapi fakta sedemikian menyakitkan ini. Apa sungguh se-mengerikan itukah aku di waktu-waktu sebelum terbaring tidak berdaya di sini?"Maafkan aku, Bryan."Tanpa sadar airmata-ku berlinang begitu saja seiring membayangkan bagaimana hal sekejam itu bisa terjadi atas ulahku sendiri. Sangat egois dan mengerikan. Mendadak ketakutan mulai tumbuh dalam diriku. Takut kalau-kalau saja ingatank
Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan."Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."Salah satu sisi romantis itu adalah i
Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.Ternyata seseorang itu adalah Bryan.Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil."Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-r
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sekarang aku malah berakhir terkagum-kagum dengan sosok Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan setelah menengok semua foto dan video dalam galeri smartphone-ku sendiri.Tidak, bagaimana bisa aku sekarang menjadi wanita sehebat itu di masa lalu? Sudah entah berapa kali aku memutar ulang video saat dimana Kaitlyn berlenggak-lenggok di atas stage memanjang itu. Terpukau sepenuhnya oleh bagaimana Kaitlyn dapat mengekspresikan diri sekaligus keindahan setiap gaun tersebut dengan sempurna.Tapi sensasi rasa senang ini entah mengapa tidak terasa seperti menyaksikan diri sendiri, melainkan sedang melihat seseorang lain. Seakan-akan Kaitlyn di dalam video itu bukanlah bagian dari sosok 'aku'.Apa mungkin karena aku tidak dapat mengingat bagaimana rasa tercipta disaat momen-momen itu berlangsung? Sehingga aku tidak bisa merasakan atau bahkan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi saat itu?Helaan nafas kemudian terhembus begitu saja. Seluruh foto d
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.Ternyata seseorang itu adalah Bryan.Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil."Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-r
Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan."Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."Salah satu sisi romantis itu adalah i
Sekarang aku benar-benar mengharapkan sebuah kemungkinan dimana telingaku salah mendengar. Tapi itu tampak mustahil sebab sorot mata Bryan sama sekali tidak berkata demikian. Sehingga aku tidak dapat berkata-kata dan berujung menghindar dari melakukan kontak mata dengan Bryan.Hatiku begitu sakit saat mendengar kenyataan mengerikan itu. Tidak dapat kubayangkan bagaimana rasa hancur dialami Bryan saat menghadapi fakta sedemikian menyakitkan ini. Apa sungguh se-mengerikan itukah aku di waktu-waktu sebelum terbaring tidak berdaya di sini?"Maafkan aku, Bryan."Tanpa sadar airmata-ku berlinang begitu saja seiring membayangkan bagaimana hal sekejam itu bisa terjadi atas ulahku sendiri. Sangat egois dan mengerikan. Mendadak ketakutan mulai tumbuh dalam diriku. Takut kalau-kalau saja ingatank
"Permisi, Bu Adams." Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya. Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku. "Br ... yan!" Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketu