Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.
Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.
Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?
Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk menenggelamkan diri kepada satu sama lain.
Sampai kemudian Bryan akhirnya berbisik kecil dengan sensual di telingaku. "Terimakasih, Sayang."
Sedikit membuatku malu, namun aku mengangguk saja sebelum memilih mendekap Bryan lebih erat dan menenggelamkan diri ke dada bidang tersebut.
"Kamu hebat seperti biasa." bisik Bryan lagi, sontak membuat sekujur wajahku beserta telinga menghangat dalam sekejap. Ya, tentu saja ini sudah kesekian kali Bryan dan Kaitlyn melakukan hubungan sebagai suami istri. Dapat aku rasakan begitu. Namun itu terjadi sebelum aku, Kaitlyn, kehilangan ingatan, bukan?
Pujian Bryan tentu saja membuatku bangga dan senang. Kuakui itu. Lagipula, siapa tidak senang atau berbangga hati jika suami sendiri mengakui kepawaianmu dalam mengatasi urusan ranjang? Semua wanita tentu akan merasa sangat bahagia.
Tapi bukankah itu terlalu terang-terangan untuk diungkapkan? Aku malu!
"Aku malu, Bryan. Jangan diperjelas begitu!"
Bryan tertawa lepas mendengarku berseru demikian selagi semakin menenggelamkan diri saking menahan rasa malu.
"Kita biasa melakukan itu nyaris setiap hari. Tapi karena kamu baru saja sembuh, maka mungkin akan aku kurangi menjadi lima kali dalam seminggu saja?"
Membayangkan itu membuat wajah dan telingaku semakin memanas. Segera aku mengangkat kepala untuk memelas kepada Bryan supaya berhenti membahas tentang hal itu.
"Bryan!"
Rengekanku kemudian ditanggapi dengan tawa lepas Bryan selama beberapa saat. Namun setelah itu Bryan sedikit menurunkan kepala untuk memberi kecupan mendalam kepada keningku lumayan lama.
"Jangan berkata seperti tadi lagi, oke?" ujar Bryan kemudian.
Untuk sesaat aku mengerjapkan mata kebingungan. Tapi kemudian aku teringat rangkaian kata dari bibirku sebelum akhirnya dibungkam oleh Bryan dengan ciuman beberapa jam lalu.
"Hum."
Aku mengangguk saja.
Tepat setelah memberi respon, tangan Bryan kemudian dalam sekejap berganti mengelus lembut helaian rambutku. Kami saling memandangi satu sama lain dengan sendu. Seakan bersama-sama tenggelam begitu saja dalam daya tarik masing-masing.
Sampai aku akhirnya melepaskan dekapanku terhadap Bryan karena hendak bangkit duduk di ranjang. Tindakan itu membuat Bryan secara spontanitas ikut melepaskan dekapan tersebut. Ia menyusul bangkit duduk di sampingku.
“Kenapa, Sayang?”
“Tidak apa-apa. Kita belum sarapan, sudah hampir siang sekarang.”
Bryan tidak lagi menanggapi selain mengeluarkan deheman kecil. Tepat sebelum bangkit tentu saja aku mendekap selimut bersamaku. Berupaya menutupi sekujur tubuhku dengan selimut tersebut. Tapi Bryan tampak acuh saja meski sedang tidak mengenakan sehelai benang sama sepertiku.
Pandanganku kemudian mulai bergulir menjelajahi bagian demi bagian dari ruangan selagi tanganku mendekap erat ujung selimut di depan dada. Kamar ini didominasi oleh warna gading susu. Sangat luas dan terlihat mewah, dengan tirai tipis menutupi jendela kaca besar.
Saat atensi sibuk bergulir seiring sedang setengah terkagum-kagum dengan dekorasi serta kemegahan kamar tidur sendiri, secara tidak sengaja aku kemudian menangkap keberadaan sebuah benda di tengah ruangan kamar.
Yang dimana seketika membuatku bungkam terkejut.
"Itu.."
Dapat aku rasakan Bryan kemudian langsung mengikuti ke mana arah atensi kedua mataku terkunci.
Penjara besi seukuran manusia saat duduk dengan beralaskan karpet beludru merah disertai sebuah rantai menyambung ke dalam sedang berada di tengah ruangan.
Sungguh tidak terduga akan mendapati benda seperti itu menjulang di sana. Untuk apa benda itu bisa berada di sini?
Sembari masih terkejut dan berusaha menangkap maksud dari keberadaan jeruji besi tersebut meski terasa amat sulit, lantas aku alihkan atensi kepada Bryan di sampingku. “Bryan, kenapa benda-benda seperti itu bisa ada di sini?”
Melihat ketegangan tersirat dalam ekspresi wajahku, Bryan menghembuskan nafas dengan berat. Tapi bibir tipis itu tidak langsung terbuka menjelaskan. Ia terlebih dahulu mengatup diri selama beberapa saat. Seakan tengah berpikir sejenak untuk mencari atau setidaknya merangkai kata tepat sebelum menjelaskan segalanya.
"Kemarin aku lupa menyingkirkannya."
Tampak sulit sekali bagi Bryan untuk menjelaskan hal tersebut. Ia kemudian menambahkan lagi seraya bergeser hingga duduk di sudut ranjang dengan kaki terjulur ke bawah. "Itu selalu digunakan untuk aktivitas berbahaya diantara aku dan kamu, Kaitlyn."
“Aktivitas berbahaya?”
Sebuah anggukan kemudian menjadi respon dari Bryan. “Kita selalu mencoba banyak hal agar kehidupan ranjang kita lebih berwarna dan menantang adrenalin, Kaitlyn.”
Penjelasan dari Bryan berhasil membuatku bungkam dalam sekejap. Sunyi lantas bergema di dalam ruangan ini. Aku tidak dapat berkata-kata lagi. Bahkan sekarang sekujur lidahku seakan menolak untuk mengeluarkan meski sekedar satu kata akibat terkejut sekaligus terlalu malu untuk menghadapi kenyataan tersebut.
Apa se-beringas itu kehidupan ranjangku bersama Bryan selama ini?
Mendapati aku bahkan tidak bisa berbicara, Bryan kemudian mengacak singkat helaian rambutku dengan lembut.
“Tidak usah terlalu dipikirkan. Benda itu akan kusingkirkan nanti. Aku tidak akan mencoba hal-hal seperti itu jika kamu tidak mengizinkanku, Sayang.” bisik Bryan sekilas sebelum bangkit dari ranjang.
Sebab aku sesungguhnya masih belum bisa berkata-kata saking terlalu malu menghadapi kenyataan ini, maka aku menanggapi Bryan dengan sebuah anggukan kecil saja.
Tapi saat Bryan menghadap kepadaku, sialnya atensi kedua mataku kemudian justru malah terjatuh kepada bagaimana kondisi Bryan saat ini selagi berdiri di depanku. Sehingga jeritan kecil dalam sekejap lolos begitu saja dari bibirku selagi mencoba mengatup kedua kelopak mata supaya tidak dapat melihat Bryan dengan telapak tangan. Tak lupa satu cubitan kecil kemudian menyusul mendatangi lengan kekar Bryan.
“Ya Tuhan! Tolong segera kenakan celana kamu, Bryan!”
Suami-ku tertegun sebentar.
Tapi setelah itu alih-alih mendengarkan atau sekedar memberi respon selain tertawa kecil, Bryan malah menyingkirkan telapak tangan dari hadapan wajahku dengan cepat sebelum mendorongku hingga berbaring kembali di atas ranjang dengan tubuh tegap itu di atasku.
Pandanganku dan Bryan saling mengunci satu sama lain untuk beberapa saat sebelum Bryan kemudian berkata dengan serak, dimana itu membuat darah di dalam tubuhku seakan berd sir dengan cepat.
“Kamu harus terbiasa melihatku begini, Kaitlyn.”
Suara dan cara Bryan berbicara benar-benar mengakibatkan sekujur tubuhku lunglai dalam sekejap. Dapat aku rasakan sekarang wajah dan telingaku sudah bagai kepiting rebus saking terlalu menghangat.
Tanpa membiarkanku memberi respon lagi, Bryan membungkam seluruh akal sehatku dengan bibir tipis itu, untuk kesekian kalinya dalam waktu bahkan belum sehari ini.
Sehingga mengakibatkanku hampir setengah tidak sadar atas keberadaan Revan di samping jeruji besi itu sedang menyaksikanku dan Bryan dengan wajah menyiratkan kebencian secara mendalam.
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sekarang aku malah berakhir terkagum-kagum dengan sosok Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan setelah menengok semua foto dan video dalam galeri smartphone-ku sendiri.Tidak, bagaimana bisa aku sekarang menjadi wanita sehebat itu di masa lalu? Sudah entah berapa kali aku memutar ulang video saat dimana Kaitlyn berlenggak-lenggok di atas stage memanjang itu. Terpukau sepenuhnya oleh bagaimana Kaitlyn dapat mengekspresikan diri sekaligus keindahan setiap gaun tersebut dengan sempurna.Tapi sensasi rasa senang ini entah mengapa tidak terasa seperti menyaksikan diri sendiri, melainkan sedang melihat seseorang lain. Seakan-akan Kaitlyn di dalam video itu bukanlah bagian dari sosok 'aku'.Apa mungkin karena aku tidak dapat mengingat bagaimana rasa tercipta disaat momen-momen itu berlangsung? Sehingga aku tidak bisa merasakan atau bahkan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi saat itu?Helaan nafas kemudian terhembus begitu saja. Seluruh foto d
"Pasien telah sadarkan diri!"Seketika satu ruangan ini menjadi begitu berisik begitu melihat kedua kelopak mataku sayup-sayup mulai terbuka. Sangat mengganggu namun aku tidak bisa berbuat hal selain mendengar keberisikan itu selagi rasa sakit teramat sangat menusuk menghunjam sekujur tubuhku dalam sekejap begitu kesadaranku kembali ke dunia ini.Terutama di bagian kepala dan tulang belakangku.Seakan aku sudah tertidur sangat lama di ranjang ini, dan kepalaku bagai dihunjam ribuan jarum dari berbagai arah.Sehingga secara sadar tidak sadar sekujur tubuhku kemudian menggeliat kesakitan secara histeris tidak terkendali di atas ranjang, membuat semua orang terkejut dan berusaha menenangkanku.Padahal aku sendiri bahkan seakan tidak bisa merasakan kendali atas tubuhku.Secara terburu-buru sekelompok orang dengan jubah medis kemudian mendatangi ruanganku. Melalui nametag di jubah mereka, aku dapat melihat mereka semua ada
Sejak beberapa jam setelah fajar menyingsing, aku sudah melakukan latihan menggerakkan anggota tubuhku. Bryan turut serta membantu sekaligus berusaha terus memberiku semangat, dengan seorang dokter fisioterapi juga mengawasi.Sungguh itu bukanlah hal mudah. Belajar duduk saja terasa begitu sulit bagiku. Benar-benar seperti seorang bayi.Tulang belakangku seakan terlalu lunglai untuk tegak, sehingga entah sudah berapa kali aku berujung hampir menyerah untuk kembali mencoba duduk tanpa bantuan kalau saja Bryan tidak buru-buru menyemangatiku.Aku rasa Bryan memanglah suamiku sebab sumber seluruh semangatku seakan bertumpu kepada dukungan darinya."Kita sudahi dulu untuk hari ini," ujar Dokter Wanda, ahli fisioterapi. Aku terdiam saja selagi duduk bersandar di ujung ranjang rumah sakit ini."Selalu bantu istri anda untuk berlatih, Pak. Mulai dari hal kecil seperti motorik otot tangan
"Aku yakin." Pertanyaan ambigu Revan memang membuatku sempat terdiam sejenak. Terlebih Revan terus saja bertingkah seakan mengetahui sesuatu. Namun aku juga tidak bisa mempercayai seorang hantu begitu saja, bukan? Sehingga aku menjawab tanda tanya dari Revan itu tanpa ragu. Tidak mungkin Bryan berbohong mengenai hal serius seperti itu. Semua orang-orang di sekitarku juga mengatakan bahwa Bryan adalah suami-ku. Andai kata Bryan sedang berbohong kepadaku, maka setidaknya salah satu diantara mereka akan mengatakan sebaliknya, kan? Melihat kedua mataku begitu menyiratkan keyakinan atas jawabanku, Revan menghela nafas. "Baiklah. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semoga keyakinanmu tidak berbalik menyerangmu, Kaitlyn."
"Permisi, Bu Adams." Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya. Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku. "Br ... yan!" Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketu
Sekarang aku malah berakhir terkagum-kagum dengan sosok Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan setelah menengok semua foto dan video dalam galeri smartphone-ku sendiri.Tidak, bagaimana bisa aku sekarang menjadi wanita sehebat itu di masa lalu? Sudah entah berapa kali aku memutar ulang video saat dimana Kaitlyn berlenggak-lenggok di atas stage memanjang itu. Terpukau sepenuhnya oleh bagaimana Kaitlyn dapat mengekspresikan diri sekaligus keindahan setiap gaun tersebut dengan sempurna.Tapi sensasi rasa senang ini entah mengapa tidak terasa seperti menyaksikan diri sendiri, melainkan sedang melihat seseorang lain. Seakan-akan Kaitlyn di dalam video itu bukanlah bagian dari sosok 'aku'.Apa mungkin karena aku tidak dapat mengingat bagaimana rasa tercipta disaat momen-momen itu berlangsung? Sehingga aku tidak bisa merasakan atau bahkan membayangkan bagaimana itu bisa terjadi saat itu?Helaan nafas kemudian terhembus begitu saja. Seluruh foto d
Andai saja sebagian akal sehat tersisa tidak berusaha menolak buaian lumatan memabukkan itu dan tidak memaksaku sadar, mungkin sekarang Bryan sudah kembali berantakan sebagaimana sediakala.Sekarang aku berhasil menciptakan kembali jarak setelah menyudahi ciuman tersebut dan mendorong dada bidang Bryan menjauh dariku."Pergilah, Bryan. Di sana kamu sudah ditunggu, bukan?" ujarku berusaha mencairkan suasana setelah atmosfir bergairah tadi begitu memanas di dalam dapur ini. Sebenarnya aku sempat khawatir kalau-kalau saja tindakanku akan membuat Bryan kecewa dan kehilangan gairah terhadapku.Tapi aku beruntung setelah itu Bryan mendengus kecewa—namun tidak dengan cara menegangkan. Ia sekedar mencoba bergurau seakan-akan merajuk denganku. Sedikit kekanakan, namun terasa begitu menggemaskan bagiku."Kamu harus membayar semua ini setelah aku kembali, Sayang." dengus Bryan sembari membenahi letak dasi biru dongker miliknya. Sekarang berganti menjadi aku te
Sama seperti mencintai, bagiku, kata membenci juga sangat berat untuk diucapkan semudah itu. Aku tidak tahu mengapa Revan bisa dengan mudah mengatakan itu. Ia terlihat begitu yakin saat mengucapkan itu, seakan telah memendam itu sejak lama. Aku tidak dapat menghentikannya.Tapi aku juga tidak bisa menghentikan rasa tidak suka dalam diri ini akibat kata-kata mengisyaratkn kebencian Revan terhadap suami-ku itu.Itu memang benar, sekarang aku bahkan tidak memiliki ingatan sehingga tidak berhak untuk berkomentar. Namun bagiku rangkaian kata tersebut sangat menggangguk
Wangi semerbak dari mentega bersama roti bawang kemudian memenuhi udara dapur dengan style seperti mini bar ini dalam sekejap setelah Bryan memanggang roti tersebut.Sembari menunggu Bryan selesai menyiapkan sarapan, aku terlebih dahulu mengganjal lambungku dengan segelas susu stroberi dingin selagi bahu tegap berbalut kaos oblong milik Bryan itu sedang kujadikan sebagai tempat atensi kedua mataku bertumpu.Hari sudah sangat terik, aku dan Bryan benar-benar baru saja keluar usai mendiami kamar selama beberapa jam bahkan setelah terbangun. Yang dimana tentu saja dapur langsung menjadi destinasi berikutnya demi mengisi kembali daya energi tubuh. Tapi alih-alih membiarkanku menyiapkan sarapan, Bryan malah menyuruhku untuk duduk diam di kursistooldan membiarkan Bryan unjuk kepawaiannya dalam membuat sarapan setelah diti
Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk m
Dalam kondisi setengah sadar aku merasakan seseorang sedang mencoba mengangkatku dari tempat semestinya aku berada dengan menggendongku. Spontan saja itu membuatku terbangun dari tidur, meski kesadaranku atas sekeliling masih belum begitu awas.Ternyata seseorang itu adalah Bryan.Ia sedang berupaya menggendongku keluar dari mobil, dan aku baru saja menginterupsi tindakan tersebut sehingga sekarang aku masih terduduk di dalam mobil."Kembali tidur saja, Sayang. Aku akan menggendongmu sampai ke dalam, tenang saja." ujar Bryan disertai senyum tipis.Tapi alih-alih memberi respon kepada Bryan, aku malah sibuk mengedarkan atensi dengan kedua mata masih menyipit akibat habis bangun tidur. "Kita sekarang ada di mana?"Walau belum kesadaranku belum terkumpul sepenuhnya, namun aku tidaklah buta untuk menyadari sekarang aku dan Bryan sedang berada di dalam sebuah ruangan luas nan remang-r
Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan."Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."Salah satu sisi romantis itu adalah i
Sekarang aku benar-benar mengharapkan sebuah kemungkinan dimana telingaku salah mendengar. Tapi itu tampak mustahil sebab sorot mata Bryan sama sekali tidak berkata demikian. Sehingga aku tidak dapat berkata-kata dan berujung menghindar dari melakukan kontak mata dengan Bryan.Hatiku begitu sakit saat mendengar kenyataan mengerikan itu. Tidak dapat kubayangkan bagaimana rasa hancur dialami Bryan saat menghadapi fakta sedemikian menyakitkan ini. Apa sungguh se-mengerikan itukah aku di waktu-waktu sebelum terbaring tidak berdaya di sini?"Maafkan aku, Bryan."Tanpa sadar airmata-ku berlinang begitu saja seiring membayangkan bagaimana hal sekejam itu bisa terjadi atas ulahku sendiri. Sangat egois dan mengerikan. Mendadak ketakutan mulai tumbuh dalam diriku. Takut kalau-kalau saja ingatank
"Permisi, Bu Adams." Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya. Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku. "Br ... yan!" Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketu