Bagian 17 Berkorban “Tak semudah itu. kalian sedang berada di wilayahku. Sejak kapan harimau melepaskan buruannya.” Damar mengentakkan kakinya sebanyak tiga kali kemudian tanah di sekitar hutan bambu terbelah. Menciptakan lagi jarak antara kedua orang itu. “Apa maumu, katakan, agar aku bisa memenuhinya.” Bagus berkata demikian bukan untuk merendahkan martabatnya sebagai manusia harimau. Melainkan demi menyelamatkan Ana yang matanya hanya terbuka begitu saja. Tidak mati, tapi nyawanya seperti dipermainkan oleh Damar. Ia tahu bagaimana sakitnya tulang-belulang yang hancur menjadi serpihan halus. “Jangan mengemis. Aku tak mengajari kaumku seperti itu.” Damar mengubah wujudnya menjadi harimau putih besar. Ia tak menginginkan apa-apa dari sepasang kekasih itu. Hanya saja dia memberikan pelajaran agar tak ada lagi yang berani untuk mengulang kesalahan yang sama. Tahu apa yang diinginkan oleh penguasa Bukit Buas itu, Bagus pun kemudian mengubah wujudnya menjadi harimau kuning yang ukura
Bagian 18 Sungai Berliku “Sejak kapan ada sungai sepanjang ini di sini?” tanya Andra pada angin. Seumur hidupnya ia hampir menjelajahi semua wilayah Bukit Buas, rasa-rasanya sungai dengan bentuk seperti ular berkelok-kelok itu tidak pernah ada, bahkan airnya cenderung berwarna-warni seperti warna ular penjaga telaga. “Sejak aku di sini, semua yang tidak ada menjadi ada,” jawab Maya dengan tingkah kekanak-kanakannya.Tak ada sampan yang tersedia, juga tidak mungkin rasanya ada jembatan yang amat panjang sebagai penghujung jalan. “Apa mungkin kita salah jalan?” Andra hendak putar balik, ia ingin melewati hutan bambu aja, sebab ia mulai rasakan ibunya memanggil. Entah karena sebuah bisikan saja atau memang wanita itu butuh bantuan. Namun, saat ia ingin kembali. Jalan tersebut tertutup dengan pepohonan, amat rapat sampai tidak ada satu ekor burung pun yang bisa menembus wilayah itu. “Sepertinya nggak ada jalan lain kita harus lewat sungai ini.” Maya tak banyak bicara lagi. Perempuan
Bagian 19 Terjerat Rindu Andra memandang hutan di depan matanya. Wilayah yang benar-benar tak pernah ia jajaki selama tinggal di desa. Benar dugaannya, semuanya merupakan tipuan yang tak main-main, bisa menghilangkan nyawanya jika tak awas dalam berjalan. Namun, untuk mundur pun rasanya sudah tidak bisa. Ia harus ke puncak bukit mencari jawaban atas sakit di bagian jantung yang kerap ia terima, juga Andra harus .... “His, malesnya jalan sama dia. Di mana-mana ular itu licik, dia kok kayak nggak ada otaknya.” Andra melihat Maya yang dari tadi bermain air, membuang-buang benda itu ke udara lalu jatuh lagi ke sungai. Seperti orang yang tak pernah melihai pemandangan alam saja. Maya tak memikirkan batas waktu untuk sampai ke puncak hanya tersisa satu hari satu malam saja. Andra menghampiri Maya, menarik tangan perempuan separuh ular tersebut agar lekas berjalan ke hutan, wilayah yang akan mereka jajaki kini amat mendaki, perhitungan secara logika manusia biasa membutuhkan waktu berhar
Bagian 20 Basa-Basi Ana membuka matanya. Ia memperhatikan tangan lalu dirinya sendiri yang masih berbaring di ranjang dengan sehelai selimut saja. Matahari sudah beranjak, pagi buta sudah lewat. “Berarti tadi malam aku nggak mimpi, kan? Tadi malam aku sama dia bener-bener ....” Ana tak meneruskan ucapannya. Ia menoleh ke arah jendela. Di sana memang ada seseorang yang melewati malam panjang bersamanya sedang berdiri tegak. Tangannya yang kekar dilipat ke belakang. Terlihat sangat serius memperhatikan sesuatu. “Lihatin apa, sih?” Penasaran, Ana pun bangun dari tidurnya. Namun, ia terjeda sejenak. Tubuhnya serasa remuk redam bukan main. Tulang-tulangnya serasa ingin lepas. Ia pun berdiri perlahan-lahan, lalu melilitkan selimut yang tadinya lepas begitu saja. Pelan-pelan Ana berjalan ke arah jendela. Di mana lelaki berambut sebahu itu tak bergeming sedikit pun. Pelukis itu menyentuh bahu lelaki yang sedang termenung, tapi tetap tak ada respon apa pun. Ia kemudian melihat ke wajah B
Bagian 21 Kawanan Kera “Kamu kenapa?” Maya menoleh ke belakang, setiap sebentar Andra berhenti dan memegang dadanya di sebelah kiri. “Nggak apa-apa. Jalan aja terus. Hari udah siang. Setengah perjalanan aja belum kita lewati.” Pemuda itu berjalan dengan memejamkan mata setiap sebentar. Nyeri itu semakin menjadi saja ketika purnama hampir sempurna nanti malam. Biasanya ia hanya mengurung diri di kamar, meringkuk di karpet bulu sampai pagi datang dan nyerinya reda sendiri, begitu terus setiap bulannya. “Jauh banget, ya, ampun, hampir putus kakiku kalau gini terus. Mana perut lapar lagi,” gerutu Maya sendirian. Andra hanya menggeleng saja. Perempuan siluman di depannya terus-menerus lapar padahal baru saja menelan beberapa ekor ikan lebih banyak dari dirinya. Andra menahan nyeri dengan mencoba berjalan lebih cepat. Mungkin ketika sampai di puncak ia bisa meminta bantuan sang penguasa agar ia tak selalu kesakitan setiap bulannya. Namun, benarkah Damar bisa menolong, mengingat harimau
Bagian 22 Puncak Bukit Buas Maya masih menyemburkan sisa-sisa racun di mulutnya. Beberapa anak kera yang terkena bisa beracun tersebut kulitnya langsung melepuh dan perlahan-lahan mati.“Ayo cepat lari.” Bergantian Maya menarik tangan Andra untuk naik. Hari sudah sore, sedangkan puncak bukit masih belum terlihat. “Kalau begini caranya kapan kita sampai. Duh, ya ampun aku nggak mau jadi ular seumur hidup.” Maya memperhatikan sisiknya yang semakin banyak. Kini sudah sampai di pipinya meski belum penuh. Andra berpikir sejenak, secara logika memang mereka tak akan pernah sampai di puncak walau berjalan tanpa henti. Ia pun tak bisa mengharapkan bantuan ayahnya, sebab tabir gaib yang dibuat Damar telah ia rasakan. Putra semata wayang Ana itu hanya bisa mengandalkan diri sendiri saja. Dahan-dahan pohon itu begitu kokoh dan tua, ia yakin sangat kuat untuk dipijak. “Ayo, kita harus bergerak cepat. Nanti malam kalau jantungku udah sakit, kita nggak bisa ke mana-mana lagi.” Andra mengulurk
Bagian 23 Darah Yang Tumpah Maya dan Andra saling melihat satu sama lain. Ada banyak harimau berkumpul di sana, tapi tidak ada yang berani duduk di singgasana yang terbuat dari kayu hutan dan ada ukiran harimau berlapis emas. Semuanya terlihat menunggu dengan tenang. Dua makhluk setengah siluman itu tak berani mengganggu. Mereka hanya melihat saja. Tak luput mata unik Maya melihat dua ekor ikan dengan tubuh manusia di dalamnya. Pola melingkar seperti ular ada di sana. Bau anyir darah pun tercium dengan jelas. “Kenapa aku ngerasa ikan-ikan ini butuh darah, ya?” bisik Maya di telinga Andra. “Ya sama, makanya kita seperti antar nyawa ke sini.” Usai mengucapkan kata itu. Anak manusia harimau tersebut langsung memegang jantungnya. Debarnya terasa sakit dan nyeri bukan main. Ia tak menjerit hanya menahannya saja, lalu duduk di dekat pola melingkar. Semakin beringas dua ekor ikan peliharaan Damar. Ia sudah lapar dan menantikan darah separuh siluman yang akan tumpah dan menjadi makanan un
Bagian 24 CerewetDebu yang berpendar di udara itu terus turun dari puncak bukit. Mengikuti arah angin, menembus pepohonan, melewati beberapa kawanan binatang, sungai, danau dan beberapa sarang hantu, hingga debu tersebut sampai ke hutan bambu. Candra telah menanti di sana, mata tujuh warnanya bersinar terang. Debu itu kemudian masuk ke dalam tubuh yang telah dibungkus akar bambu selama tiga hari. Ular tujuh warna itu kemudian mengubah wujudnya menjadi seorang perempuan cantik. “Bangunlah.” Candra menyentuh tubuh Kanaya yang telah menyatu kembali. Saat itu juga Nay sadar, matanya mengerjap dengan cepat melihat perempuan cantik di depannya. Ia tahu itu siapa, sedikit pun kejadian selama tiga hari tak ia lupakan. Semuanya ia ingat termasuk siapa Andra. “Kau beruntung masih diberi ampunan oleh tuanku. Sayangnya, kau sekarang telah berbeda.” Candra mengulurkan tangannya, ia membantu Nay berdiri. Dua perempuan itu sama tingginya. Ada beberapa perubahan pada diri Nay yang tak gadis itu s