Bagian 16 Melawan Penguasa Tubuh harimau kuning yang merupakan jelmaan Bagus itu terlempar ke tepi hutan bambu. Ia harus menghadapi dua ekor harimau putih yang merupakan bawahan Damar. Sementara itu sang penguasa membawa Ana yang dililit akar bambu ke sebelah tempatnya duduk. “Akhirnya, aku punya pertunjukkan yang seru juga. Sudah lama tak menguji ketangkasan makhluk-makhluk yang tunduk di bawah kakiku.” Damar membuka akar bambu yang melilit tubuh Ana. Ia kemudian membaringkan wanita yang sedang tidak sadarkan diri itu ke dalam pangkuannya. Sengaja, ingin memantik kemarahan tamu yang datang dari jauh. Harimau kuning itu memamerkan taringnya yang sangat tajam, ia membuka mulutnya lebar-lebar ketika tahu Ana yang tak berdaya diperlakukan sekehendak hati Damar. Bagus pun mengubah wujudnya menjadi manusia biasa lagi. Ia menangkap salah satu harimau putih itu lalu melemparnya ke arah harimau putih lainnya. Terburu-buru Bagus berlari, ia tak rela kalau sampai Ana dijamah oleh lelaki lai
Bagian 17 Berkorban “Tak semudah itu. kalian sedang berada di wilayahku. Sejak kapan harimau melepaskan buruannya.” Damar mengentakkan kakinya sebanyak tiga kali kemudian tanah di sekitar hutan bambu terbelah. Menciptakan lagi jarak antara kedua orang itu. “Apa maumu, katakan, agar aku bisa memenuhinya.” Bagus berkata demikian bukan untuk merendahkan martabatnya sebagai manusia harimau. Melainkan demi menyelamatkan Ana yang matanya hanya terbuka begitu saja. Tidak mati, tapi nyawanya seperti dipermainkan oleh Damar. Ia tahu bagaimana sakitnya tulang-belulang yang hancur menjadi serpihan halus. “Jangan mengemis. Aku tak mengajari kaumku seperti itu.” Damar mengubah wujudnya menjadi harimau putih besar. Ia tak menginginkan apa-apa dari sepasang kekasih itu. Hanya saja dia memberikan pelajaran agar tak ada lagi yang berani untuk mengulang kesalahan yang sama. Tahu apa yang diinginkan oleh penguasa Bukit Buas itu, Bagus pun kemudian mengubah wujudnya menjadi harimau kuning yang ukura
Bagian 18 Sungai Berliku “Sejak kapan ada sungai sepanjang ini di sini?” tanya Andra pada angin. Seumur hidupnya ia hampir menjelajahi semua wilayah Bukit Buas, rasa-rasanya sungai dengan bentuk seperti ular berkelok-kelok itu tidak pernah ada, bahkan airnya cenderung berwarna-warni seperti warna ular penjaga telaga. “Sejak aku di sini, semua yang tidak ada menjadi ada,” jawab Maya dengan tingkah kekanak-kanakannya.Tak ada sampan yang tersedia, juga tidak mungkin rasanya ada jembatan yang amat panjang sebagai penghujung jalan. “Apa mungkin kita salah jalan?” Andra hendak putar balik, ia ingin melewati hutan bambu aja, sebab ia mulai rasakan ibunya memanggil. Entah karena sebuah bisikan saja atau memang wanita itu butuh bantuan. Namun, saat ia ingin kembali. Jalan tersebut tertutup dengan pepohonan, amat rapat sampai tidak ada satu ekor burung pun yang bisa menembus wilayah itu. “Sepertinya nggak ada jalan lain kita harus lewat sungai ini.” Maya tak banyak bicara lagi. Perempuan
Bagian 19 Terjerat Rindu Andra memandang hutan di depan matanya. Wilayah yang benar-benar tak pernah ia jajaki selama tinggal di desa. Benar dugaannya, semuanya merupakan tipuan yang tak main-main, bisa menghilangkan nyawanya jika tak awas dalam berjalan. Namun, untuk mundur pun rasanya sudah tidak bisa. Ia harus ke puncak bukit mencari jawaban atas sakit di bagian jantung yang kerap ia terima, juga Andra harus .... “His, malesnya jalan sama dia. Di mana-mana ular itu licik, dia kok kayak nggak ada otaknya.” Andra melihat Maya yang dari tadi bermain air, membuang-buang benda itu ke udara lalu jatuh lagi ke sungai. Seperti orang yang tak pernah melihai pemandangan alam saja. Maya tak memikirkan batas waktu untuk sampai ke puncak hanya tersisa satu hari satu malam saja. Andra menghampiri Maya, menarik tangan perempuan separuh ular tersebut agar lekas berjalan ke hutan, wilayah yang akan mereka jajaki kini amat mendaki, perhitungan secara logika manusia biasa membutuhkan waktu berhar
Bagian 20 Basa-Basi Ana membuka matanya. Ia memperhatikan tangan lalu dirinya sendiri yang masih berbaring di ranjang dengan sehelai selimut saja. Matahari sudah beranjak, pagi buta sudah lewat. “Berarti tadi malam aku nggak mimpi, kan? Tadi malam aku sama dia bener-bener ....” Ana tak meneruskan ucapannya. Ia menoleh ke arah jendela. Di sana memang ada seseorang yang melewati malam panjang bersamanya sedang berdiri tegak. Tangannya yang kekar dilipat ke belakang. Terlihat sangat serius memperhatikan sesuatu. “Lihatin apa, sih?” Penasaran, Ana pun bangun dari tidurnya. Namun, ia terjeda sejenak. Tubuhnya serasa remuk redam bukan main. Tulang-tulangnya serasa ingin lepas. Ia pun berdiri perlahan-lahan, lalu melilitkan selimut yang tadinya lepas begitu saja. Pelan-pelan Ana berjalan ke arah jendela. Di mana lelaki berambut sebahu itu tak bergeming sedikit pun. Pelukis itu menyentuh bahu lelaki yang sedang termenung, tapi tetap tak ada respon apa pun. Ia kemudian melihat ke wajah B
Bagian 21 Kawanan Kera “Kamu kenapa?” Maya menoleh ke belakang, setiap sebentar Andra berhenti dan memegang dadanya di sebelah kiri. “Nggak apa-apa. Jalan aja terus. Hari udah siang. Setengah perjalanan aja belum kita lewati.” Pemuda itu berjalan dengan memejamkan mata setiap sebentar. Nyeri itu semakin menjadi saja ketika purnama hampir sempurna nanti malam. Biasanya ia hanya mengurung diri di kamar, meringkuk di karpet bulu sampai pagi datang dan nyerinya reda sendiri, begitu terus setiap bulannya. “Jauh banget, ya, ampun, hampir putus kakiku kalau gini terus. Mana perut lapar lagi,” gerutu Maya sendirian. Andra hanya menggeleng saja. Perempuan siluman di depannya terus-menerus lapar padahal baru saja menelan beberapa ekor ikan lebih banyak dari dirinya. Andra menahan nyeri dengan mencoba berjalan lebih cepat. Mungkin ketika sampai di puncak ia bisa meminta bantuan sang penguasa agar ia tak selalu kesakitan setiap bulannya. Namun, benarkah Damar bisa menolong, mengingat harimau
Bagian 22 Puncak Bukit Buas Maya masih menyemburkan sisa-sisa racun di mulutnya. Beberapa anak kera yang terkena bisa beracun tersebut kulitnya langsung melepuh dan perlahan-lahan mati.“Ayo cepat lari.” Bergantian Maya menarik tangan Andra untuk naik. Hari sudah sore, sedangkan puncak bukit masih belum terlihat. “Kalau begini caranya kapan kita sampai. Duh, ya ampun aku nggak mau jadi ular seumur hidup.” Maya memperhatikan sisiknya yang semakin banyak. Kini sudah sampai di pipinya meski belum penuh. Andra berpikir sejenak, secara logika memang mereka tak akan pernah sampai di puncak walau berjalan tanpa henti. Ia pun tak bisa mengharapkan bantuan ayahnya, sebab tabir gaib yang dibuat Damar telah ia rasakan. Putra semata wayang Ana itu hanya bisa mengandalkan diri sendiri saja. Dahan-dahan pohon itu begitu kokoh dan tua, ia yakin sangat kuat untuk dipijak. “Ayo, kita harus bergerak cepat. Nanti malam kalau jantungku udah sakit, kita nggak bisa ke mana-mana lagi.” Andra mengulurk
Bagian 23 Darah Yang Tumpah Maya dan Andra saling melihat satu sama lain. Ada banyak harimau berkumpul di sana, tapi tidak ada yang berani duduk di singgasana yang terbuat dari kayu hutan dan ada ukiran harimau berlapis emas. Semuanya terlihat menunggu dengan tenang. Dua makhluk setengah siluman itu tak berani mengganggu. Mereka hanya melihat saja. Tak luput mata unik Maya melihat dua ekor ikan dengan tubuh manusia di dalamnya. Pola melingkar seperti ular ada di sana. Bau anyir darah pun tercium dengan jelas. “Kenapa aku ngerasa ikan-ikan ini butuh darah, ya?” bisik Maya di telinga Andra. “Ya sama, makanya kita seperti antar nyawa ke sini.” Usai mengucapkan kata itu. Anak manusia harimau tersebut langsung memegang jantungnya. Debarnya terasa sakit dan nyeri bukan main. Ia tak menjerit hanya menahannya saja, lalu duduk di dekat pola melingkar. Semakin beringas dua ekor ikan peliharaan Damar. Ia sudah lapar dan menantikan darah separuh siluman yang akan tumpah dan menjadi makanan un
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi