“Damar, aku akan pergi ke ibu kota. Kau tak akan bisa masuk, jadi daripada menunggu lama, kau tahu apa yang harus kau lakukan?” titah Demang Ranu pada abdinya. “Baik, Tuan, tapi ini adalah hari di mana para selir engkau izinkan untuk keluar sehari saja. Apa tetap dibawa, Tuan?” “Atur saja bagaimana baiknya. Aku mungkin akan kembali dalam dua atau tiga hari. Yang lebih penting jangan cari muka di depan prajurit pangeran siapa namanya itu.” “Pawana.” “Ah, itu dia. Jangan sampai dia tahu semua harta kekayaan kita berasal dari mana.” Demang Ranu menaiki pedati dengan menjadikan bahu Damar sebagai pijakan. Begitulah nasib babu kala itu. Pedati kemudian berangkat dan puri bisa dikatakan Damar adalah pengawasnya. Lelaki itu melihat ke dalam puri dan seperti biasa para selir saling membentuk kelompok dalam pertemanan. Tidak ada yang menyendiri termasuk Lintang dan Weni yang asyik menggunakan daun pacar di kuku. “Lihat, dia mengintip,” bisik Weni pada Lintang. “Bukan mengintip. Dia mem
“Aku pikir tadi kau dan kekasihmu itu yang celaka.” Weni naik satu pedati bersama dengan Lintang. “Tidak, justru aku pikir kau dan Paman tadi yang kena. Sepertinya masih dicari siapa korbannya. Apa pun itu semoga tidak akan membuat kita dikurung dalam puri selamanya.” Lintang merinding, tadi dia begitu dekat dengan suara jeritan saat kejadian berlangsung. “Bagaimana?” tanya Lintang pada Weni. “Ya, begitu-begitu saja, tapi kakiku jadi terkilir. Kami tak ada apa-apa selain dia memijat betisku. Kau sendiri bagaimana?” “Itu sudah bagus, ada pendekatan. Aku, ya, apalagi begitulah dengan dia, selagi ada kesempatan.” “Kau tak takut kalau ketahuan?” “Tidak, justru rasanya mendebarkan. Kami sama-sama butuh, kalau ada waktu tentu kami manfaatkan.” “Agak gila juga kau aku rasa.” “Ya, kau juga. Tapi gara-gara kejadian itu aku rasa penjagaan akan diperketat, lihat saja nanti.” Pedati terus berjalan membawa para selir kembali ke kediaman Demang Ranu. Semua turun ketika sudah sampai. Weni k
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Damar menurut saja saat ditarik Weni ke dalam kamar. Namun, gema suara Kinanti yang terngiang dari dalam jiwa membuatnya sadar kembali. “Tidak, Nyonya, maaf ini salah.” Damar melepas genggaman tangan Weni. Tapi gadis tengil itu tak terima. “Kenapa? Dia juga tidur, besok pagi baru akan bangun. Kau lemah, tak kuatkah?” “Bukan begitu, tapi aku sudah punya istri, dan kau sudah ada yang punya.” “Lalu, salahnya di mana?” Gadis tengil itu menaikkan dagunya, pertanda dia angkuh dan tak suka keinginannya diabaikan. “Ya, kita salah telah mengkhianati pasangan.” “Bukankah sudah biasa lelaki punya lebih dari satu istri.” “Istri, iya, bukan …” “Gundik maksudmu. Jadi aku ini salah karena menjadi gundik demang?”“Nyonya, aku tak tahu ada apa denganmu. Tapi aku pulang dulu. Jalani saja takdirmu.” Damar berjalan mundur sambil menundukkan kepala. “Jangan pergi kau!” Weni menarik tangan babu itu bahkan tanpa sadar cakarnya tumbuh dan menggores kulit Damar. “Ma
Meringkuk Weni di dalam kamarnya demi meredam hasrat akan haus darah manusia. Tadi nyaris sedikit saja lagi ia menerkam Kemangi. Untung saja Damar datang dan mengingatkan dirinya agar kembali. “Aduh, kenapa rasa laparku kian menjadi saja. Kenapa juga aku tidak suka makanan seperti biasanya,” gumam Weni yang mengendap-endap kembali ke luar. Kali ini kakinya ia jejakkan di tanah begitu perlahan. Setiap ada prajurit yang keliling menggunakan obor ia akan sembunyi. “Aku jadi tak suka panas api. Apa sebenarnya yang terjadi denganku?” Ingin rasanya gadis tengil itu memadamkan api yang ada di semua penjuru puri. Namun, ia harus berhasil mengendalikan rasa laparnya.Ada satu sisi puri yang sepi dari penjagaan. Weni ingin memanjat pagar bambu itu. Namun, ketika ia mengambil pijakan, tiba-tiba saja gadis itu bisa melompati pagar walau harus jatuh.Mendengar ada suara yang aneh, para penjaga mencari tahu dan secara alami Weni bersembunyi di bawah semak belukar.Setelah semua penjaga pergi bar
“Di sini memang hanya ada kita berdua, tapi di luar ada banyak orang,” ucap Damar apa adanya. “Ha ha, artinya kau juga ingin. Ya terserahlah, akhirnya aku tahu isi hatimu. Jangan sentuh aku, keluar sana!” Weni menepis tangan Damar. Babu itu lekas undur diri. Ia pasrah andai selir licik melaporkan dirinya pada Demang.“Nanti aku akan buat kau tak bisa menolak lagi walau ada demang di hadapan kita. Rasanya aku jadi semakin gatal saja beberapa hari ini. Tapi, tèrserah, asalkan aku bahagia seperti kata Lintang.” Gadis itu berbaring di ranjang yang telah dibersihkan para pelayan. Rasa dingin terus menjalar di dalam tubuhnya. Weni butuh kehangatan, lalu ia pun tidur di kolong ranjang. Ada ular kiriman lagi masuk ke dalam kamarnya. Namun, kali ini tidak ada adegan pembunuhan sesama jenis. Justru Weni bangun dan mengelus kepala ular berbisa yang dingin itu. “Kau kenapa mau diberbudak manusia, harusnya kita yang membunuh mereka,” ujarnya sambil mengecup kepala ular itu. “Pergilah, cari t
Terkejut setengah mati Kemangi ketika pagi hari saat makan bersama, Weni hadir dalam keadaan sehat tanpa kekurangan satu apa pun. Dua selir itu saling bertatapan. Namun, Kemangi berpaling. Lama-lama ia takut melihat Weni yang matanya memerah. “Aku tak suka buah, kau makan saja duluan.” Gadis tengil itu menyodorkan kates pada Lintang. Tidak demikian dengan Kemangi. Ia kehilangan nafsu makan ketika menatap Weni yang hanya mencomot ikan saja. Lalu ia pun menyudahi makan dan pergi ke kebun bunga sendirian. Niat selir licik itu ingin bertemu kekasihnya dan menanyakan mengapa gadis usil itu tak mati juga? “Mau ke mana?” Tiba-tiba saja Weni muncul di hadapan Kemangi. Selir jahat itu bergeser ke kiri, Weni ikut, begitu saja terus sampai tangan Kemangi ingin naik menampar pipi Weni. “Aku adukan kau pada demang kalau kau hidup lagi setelah mati!” “Adukan saja, aku katakan perselingkuhan dengan kekasihmu itu, sekalian dengan upaya pembunuhan yang kau lakukan!” ancam Weni kembali. Kemangi
“Dan dari sanalah semuanya terjadi.” Damar menyentuh rambut Candramaya yang tergerai angin malam. Sudah beberapa malam mereka mengenang masa lalu yang lebih banyak pahit daripada manisnya. “Dan kau lupa padaku. Aku memang perempuan yang hadir sebentar saja dalam hatimu. Terlalu berharap, tidak ingin melihatmu mati, hanya ingin kau bahagia, aku bahkan lupa dengan kebahagiaanku sendiri. Bodoh sekali aku jadi orang dulu. Untungnya sekarang aku siluman, jika hal itu tak menguntungkan bagiku, akan aku tinggalkan.” Candramaya memang sudah banyak berubah daripada saat ia bernama Weni. “Lalu mengapa kau masih bertahan tinggal ratusan tahun di Bukit Buas, tak mengaku sama sekali, tak buka mulut?” “Karena kau menutup semua pintu hatimu. Sudah pernah kau hitung berapa banyak perempuan di sisimu setelah kau jadi raja, kau tahu aku tidak dalam masa bersaing dengan siapa pun. Tapi aku tak mau pergi, jadi aku memilih melukai diri sendiri dengan tetap berada di sisimu, hei babu,” ucap Candramaya s
Akhirnya ranjang di kamar hotel itu berderit juga karena desakan hasrat dari seorang manusia harimau putih. Tentu ia tak mau melepas kesempatan seterang berlian di depan matanya. Candramaya yang kini menggunakan wajah aslinya membangkitkan semua kenangan masa lalu yang indah walau tak semuanya. Ular tujuh warna itu tak sanggup lagi berkelit. Ia tak mampu melawan kehendak penguasa yang sudah bosan hidup dengan manusia biasa. Deru AC di dalam kamar membuat kulit Candra semakin dingin dan semakin liarlah permainan dua siluman itu. Kuku yang tumbuh di tangan masing-masing membuat sprei, kasur dan bantal robek. Setiap goresan luka dari jemari Candra tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan rasa yang didapatkan Damar. Keduanya saling berburu dari setiap jengkal kulit lawan main dalam pelukan. Baik Candra maupun Damar sama beringasnya urusan ranjang. Tidak ada yang peduli berapa lama kamar itu berpenghuni. Damar hanya sedang mengulang adegan yang dulu katanya ia lakukan dalam keadaan
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi