"Ini uang sepuluh ribu buat belanja hari ini. Pokoknya harus cukup, jangan minta ke aku lagi. Oh iya, aku request makanan yang ada dagingnya kayak ayam, bukan tahu tempe terus yang kamu kasih ke aku."
Aku diam saja mendengar perkataan Mas Guntur yang meletakkan uang di atas meja dengan kesal. Dia sepertinya sudah kesal tiap hari aku beri makan tahu tempe."Kamu dengar gak, Dina?!" Dia kembali membentakku, bukanlah hal yang aneh lagi, aku sudah bosan mendengarnya."Enggak." Aku menjawab pendek. Bodo amat dengan semua ini, aku sudah muak."Istri kurang ajar kamu ya! Bukannya nurut sama suami, malah bantah terus. Jangan-jangan cita-cita kamu ini jadi istri durhaka, hah?!"Bodo amat. Aku mengangkat bahu, kembali menyelesaikan mencuci piring. Anggap saja angin lalu. Dia pikir, dia bisa menghidupi semua ini dengan uang segitu, hah?! Lucu."Ma, Pa! Aku harus bayar uang sekolah, kalau enggak, gak bisa ikut ujian nanti. Kenapa yang sekolahku belum dibayar? Temen-temen yang lain udah semua."Mendengar perkataan Putra—anak tunggal kami yang sudah sekolah kelas tiga SD, Mas Guntur langsung melotot menatapku. Dia sepertinya sedang kesal sekali."Kamu ini apa-apaan sih, Din? Uang sekolah anak belum dibayar. Aku itu tiap hari kasih kamu uang belanja untuk semua kebutuhan kita."Pikir saja sendiri, aku mendengkus kesal. Sungguh, kalau kalian ingin tau, kenapa aku tidak mau melawan, jawabannya sudah setiap hari aku melawan pada suamiku ini.Jawabannya seolah dia memberikanku uang satu juta setiap hari. Memangnya dia kira enak mengelola uang sepuluh ribu dengan semua yang harus diurus? Apakah dia tidak pernah berpikir sebelumnya?"Kamu minta ke Mama kamu! Papa mau kerja dulu atau kita nanti gak bakalan makan. Udah pusing banget Papa di rumah ini, jangan salahin aku kalau aku malah ceri pelampiasan baru di luar."Dih. Aku menatapnya sinis. Sungguh, kalau tidak durhaka, aku hampir saja melemparkan piring yang sedang aku cuci ke Mas Guntur. Sudah sejak tadi, tapi aku masih bisa berpikir jernih.Mas Guntur dengan kesal meninggalkan perumahan. Aku menghela napas pelan, menatap Putra yang masih berdiri, dia belum bergerak sedikit pun dari tempatnya tadi. Masih menunggu."Nanti Mama cari dulu ya, Nak, uangnya. Kamu siap-siap sekolah aja, nanti malah terlambat pergi ke sekolahnya."Putra menatap ku, kemudian berlari memelukku. Aku balas memeluk anakku satu-satunya ini. Mengusap kepalanya."Maafkan Mama, Sayang. Kamu malah jadi ikut susah begini. Tiap hari makan yang gak bergizi, di sekolah diejekin. Maafkan Mama, Nak." Aku memejamkan mata."Gak papa, Ma. Mama udah berusaha buat Putra biar tetep bisa lanjutin sekolah. Uang sepuluh ribu dari Papa tiap hari, Putra yakin banget pasti gak cukup kan, Ma? Bahkan Putra juga cuma dikasih uang seribu untuk jajan di sekolah.""Udah, Putra gak usah pikirin Mama. Putra pikirin sekolah aja, ya. Jangan mikirin Mama sama Papa. Biar Mama yang urus semuanya.""Mama gak capek? Putra bisa bantu kok."Tidak. Aku langsung menggelengkan kepala, mengerti arah pembicaraan Putra kemana. Dia berulang kali bilang ingin putus sekolah saja, agar aku tidak repot mengatur keuangan."Yuk, siap-siap, Nak. Jangan bilang itu lagi, Mama gak bakalan izinin."Sebenarnya juga, Putra pasti sudah muak karena tiap hari selalu ditagih uang sekolah, juga diejek teman-temannya yang mampu pergi ke kantin. Aku menghela napas pelan, membantu mengambilkan tas sekolah Putra, agar anakku itu pergi ke sekolah."Mama sayang Putra. Jangan berhenti sekolah demi Mama, Nak. Mama gak bakalan izinin."Putra menundukkan kepala, membuatku memeluknya. Aku menghela napas pelan. Hanya Putra satu-satunya kekuatanku saat ini."Semangat, Ma. Maaf gak bisa bantu banyak."Setelah Putra pergi ke sekolah, aku kembali masuk ke dalam rumah. Beres-beres sedikit, kemudian bersiap-siap untuk pergi. Aku memang ada acara setelah ini, harus segera datang.Pintu rumahku diketuk. Baru saja selesai mandi. Siapa sih yang datang pagi-pagi begini?"Mbak!"Aku langsung menepuk dahi melihat siapa yang datang pagi-pagi begini. Aku kira Mas Guntur kembali lagi ke rumah karena ada yang ketinggalan atau ingin melihatku masak apa."Pagi, Mbak!"Yang barusan datang adalah Rumi, adikku. Dia baru saja pulang dari luar kota setelah seminggu ada di sana untuk mengurus sesuatu."Boleh aku masuk, Mbak?" tanya Rumi membuatku mengernyitkan dahi, aneh."Biasanya juga langsung asal masuk. Gak usah pake izin segala kali. Kayak apa aja."Mendengar perkataanku, Rumi langsung tertawa, dia masuk ke dalam rumah, langsung menuju ke dapur."Kamu gak langsung pulang ke rumah Mama dan Papa? Langsung ke rumah Mbak?" tanyaku melihat koper yang ada di dekat pintu."Oh itu, aku mau tinggal di sini sementara waktu, Mbak. Disuruh Mama dan Papa, kan mereka bakalan sibuk banget.""Jadi tinggal disini dulu? Kenapa kamu gak tinggal di villa aja? Kan kamu tau sendiri gimana keadaan rumah ini, Rum.""Keadaan rumah ini? Gimana sih maksudnya, Mbak?"Aku menunjuk tempe dan tahu yang sudah matang di atas meja makan. Bodo amat soal Mas Guntur yang ingin makan daging atau apalah itu. Aku tidak akan memasak yang lain."Wow, tahu dan tempe. Di sana gak ada loh, Mbak. Makanannya aneh semua." Rumi langsung mencomot salah satu tempe yang ada di piring."Mbak mau pergi dulu abis ini, baru ke rumah Mama sama Papa buat minta tolong sesuatu. Kamu mau ikut?" tanyaku sambil kembali menyapu.Rumi langsung menganggukkan kepala. Dia mah memang selalu ikut saja apa yang aku bilang. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan adikku itu."Boleh aku minta rekaman CCTV yang udah kita pasang diam-diam, Mbak?"Mendengar itu, aku langsung menatap Rumi, kemudian menganggukkan kepala. "Nanti aja jangan di rumah ini. Kamu bisa lihat sepuasnya di jalan."Ya, kami memang memasang CCTV di rumah ini. Aku sendiri yang bilang harus karena ada sesuatu yang ingin aku buktikan sendiri."Yuk kita pergi, mobilnya udah di depan."Adikku itu langsung beranjak. Aku mengunci pintu rumah, kemudian melangkah anggun masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan rumah tadi."Mbak cantik. Harusnya Mbak pake baju kayak gini terus. Bukannya daster kumuh itu, terus juga Mbak gak cocok sama kehidupan itu, Rumi saranin Mbak secepatnya pergi dari rumah yang udah kayak neraka itu.""Pasti Rumi, tapi gak sekarang."Rumi menghela napas pelan mendengar jawabanku. Dia sudah tau apa yang hendak aku lakukan."Jangan terlalu lama menyiksa diri, Mbak. Aku memang dukung Mbak, tapi kalau udah keterlaluan, jangan salahin aku kalau aku nantinya ikut turun tangan.""Aman, Rumi. Mbak hanya ingin bermain-main saja dengan dia. Dia kira dengan seperti itu keren? Mbak akan membuat hidupnya perlahan tersiksa, perlahan, tapi benar-benar menyakitkan."***"Suami Mbak yang pelit itu masih ngasih uang sepuluh ribu setiap hari?""Iya. Ngapain Mbak ngasih makan tahu tempe kalau uang belanja yang dia kasih lebih dari itu?"Adikku itu langsung nyengir. Aku menatap keluar jendela mobil. Beberapa detik terdiam, ponselku berdering, aku langsung mengambilnya di dalam saku celana, ah teman lama. "Siapa, Mbak?" tanya Rumi sambil berusaha mengintip siapa yang menelepon. "Teman lama." Aku menjawab singkat sambil menggeser tombol berwarna hijau, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga. "Halo, Nada." Aku lebih dulu menyapa orang yang meneleponku ini, membuatnya terkekeh pelan. "Halo, Dina. Sahabatku yang sangat sabar ini, sepertinya kamu sedang di perjalanan ya? Bagaimana kehidupanmu sebagai istri dari Guntur yang terhormat?" Nada langsung tertawa mendengar perkataannya sendiri. "Jangan basa-basi. Apa mau kamu?" tanyaku cepat. "Santai, Din. Aku di sini sebagai sahabat yang baik buat kamu. Jangan kayak musuh gitu dong, kamu bilang ketus-ketus."Ak
"Gue penasaran banget sama istri Lo yang katanya pemalas itu. Nanti bolehlah main ke rumah lo.""Boleh. Lo liat sendiri aja gimana kelakuan istri gue."Aku menganggukkan kepala, kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi. Ini benar-benar menarik. Aku mendapatkan bahan lagi untuk melakukan apa yang harus aku lakukan untuk membalaskan semuanya. "Mbak lama banget." "Abis denger suara Mas Guntur tadi." Aku membalas perkataan Rumi yang langsung melebarkan matanya mendengar perkataanku barusan. "Hah?! Terus gimana, Mbak? Mbak ketahuan?"Mendengar itu, aku langsung tertawa. Jangankan ketauan, pasti Mas Guntur tidak akan mengenali siapa aku sebenarnya. Aku memang tidak pernah memakai make up di rumah. Itu sudah biasa. "Sebentar lagi kita masuk ke acara inti. Kamu mau ikut Mbak naik ke atas panggung?""Gak usah, Mbak." Rumi langsung menggelengkan kepalanya. Ah, baiklah. Rumi memang tidak mau, apa lagi kalau ketauan, itu semua akan merusak rencanaku, tapi tenang saja, aku akan mai
"Karena beberapa laporan, kantor ini akan melakukan perubahan. Mungkin menurunkan jabatan atau malah mungkin mengganti anggota. Saya sudah menyusun nama-nama anggotanya, jadi nanti tinggal dilihat saja."Semua langsung berbisik-bisik mendengar perkataanku. "Apa alasannya? Bukan. Bukan karena kantor ini akan bangkrut, tetapi karena performa ornag-orang yang ada di list tidak bagus dan tidak maksimal."Aku menatap semua orang yang memandangku. Mereka menatap terpesona, karena aku juga memang jarang sekali memakai make up. "Kalian coba untuk instrospeksi diri sendiri kalau performa kalian tidak bagus. Bisa list tadi dibawakan ke saya?"Tadi, aku sudah menjelaskan apa yang ingin aku lakukan pada Mas Guntur pada Bang Fino, kemudian dia langsung membuat apa yang aku inginkan. "Ini list namanya, Bu."Pandanganku tertuju ke nama Mas Guntur sebagai manager di perusahaan ini. Dia memang manager, tetapi pelit sekali pada istrinya, bahkan dia memberikan uang sepuluh ribu untuk keperluan kami s
"Kamu apa-apaan sih berlutut kayak gitu?" Mama tampak risih melihat Mas Guntur yang berlutut di kakiku. Entahlah, aku bingung apa yang Mas Guntur lakukan. Kenapa dia memohon-mohon seperti ini. Agar kerjaannya tidak hilang begitu?Untuk apa lagi kalau dia hanya memberikan nafkah sepuluh ribu untukku. "Tolong saya, Bu. Saya butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah anak saya. Saya mohon."Dih. Aku mengangkat sebelah alis, merasa kesal dengan ucapannya barusan. Rumi mengusap punggungku. Jangan sampai amarahku meledak di sini dan membuat keributan. Ini belum seberapa, masih banyak kejutan yang akan kami buat. "Haduh, sebaiknya kamu jangan di sini. Sana, saya gak suka ada orang yang melakukan kesalahan tapi seolah tidak melakukan kesalahan itu." Aku berkata pelan, tetapi tajam. Bang Fino juga berusaha menenangkanku. Tidak, aku tidak akan marah atau meledak di sini. Aku hanya sedikit emosi melihat pria menyebalkan ini. Menurut dia, kesalahan yang dia lakukan itu kecil, hah?!"Maafkan say
"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri." Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi. "Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!" "Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu. Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya. "Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi. "Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku. "Bahkan sama anaknya dia gak peduli!
"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa
"Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga
"Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m
"Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,
Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang
"Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t
"Hah?! Kamu serius, Rum?"Jujur saja, aku kaget sekali dengan perkataan Rumi, sekaligus senang. "Iya, Mbak langsung ke sini saja ya. Putri sudah pulang ke rumah."Alhamdulillah kalau begitu. Aku tersenyum senang. Kemudian langsung mematikan telepon dari Rumi, menoleh ke Bang Fino yang juga tampak ikutan senang. "Kabar yang benar-benar bagus, dek."Benar apa yang dikatakan oleh Bang Fino, ini memang kabar yang sangat bagus. Namun, sejujurnya hal ini adalah sesuatu yang aneh juga karena tidak mungkin tiba-tiba Putri pulang tanpa ada sesuatu aku merasa ada yang berbeda dan ada yang aneh juga.Entah kenapa perasaanku juga tidak enak karena ini sangat berbeda dari pada biasanya."Kamu mikirin apa lagi, Dek? Kan Putri juga sudah pulang ke rumah, harus nya kamu senang, bukan malah kelihatan sedih kayak gitu. Ada apa dengan kamu?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Jika tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku intinya justru aku merasa sangat aneh dan merasa ini sangat berbeda daripada bia
"Apa lagi mau kamu di sini?! Jangan-jangan kamu mengikuti aku ya?"Dia adalah saudaranya Mas Reza yang memang tidak setuju dulu ketika Mas Reza menikah dengan aku. Emang rata-rata keluarganya Mas Reza itu setuju dengan pernikahan aku tetapi mereka juga sebagian ada yang tidak setuju karena mereka melihat aku sebagai janda dan juga tidak punya masa depan ketika menikah dengan Mas Reza padahal Mas Reza sendiri pun tidak masalah dengan itu semua. Terserah mereka sajalah mereka yang punya hak untuk mereka sendiri aku tidak ikut campur Tetapi kalau sudah sampai seperti ini aku juga tidak akan terima dengan Apa perkataan mereka. "Kamu ini lucu Dina, aku ini ingin kamu mati dan aku ingin kamu merasakan yang kamu rasa kan."Hah?! Tunggu sebentar, benar-benar kaget ketika mendengar perkataannya apa yang baru saja dia katakan dan seperti itu emangnya aku melakukan hal yang di luar nalar atau Aku melakukan hal yang benar-benar buruk sampai dia mengatakan hal tersebut begitu? "Ada apa sih?! S
"Memang kurang ajar banget mereka itu!" Bang Fino tampak kesal sekali. Wajah nya memerah menahan marah. "Guntur memang begitu sejak dulu, Bang. Dia itu gak akan berhenti kalau dia gak masuk ke penjara. Jadi, memang aku harus menjebloskan dia ke penjara dulu baru dia bisa berhenti untuk tidak mengganggu hidup kita."Aku berusaha untuk menenangkan diri aku sendiri, jangan sampai terpancing oleh si Guntur itu. Dia memang sengaja agar aku dan juga Bang Fino marah dengan semua nya. "Gak bisa dibiarin ini semua, Dek. Kita pokok nya harus segera menyusun semua rencana, jangan sampai tiba-tiba kita yang kehilangan semua nya. Abang marah banget loh sama dia. Abang kesal sama dia."Sungguh sejujur nya aku paham sekali dengan apa yang Bang Fino katakan. Aku juga merasa kan hal tersebut, karena kami satu pemikiran. Baik lah, aku juga tidak aka. Membiarkan semua nya terjadi, aku juga akan mulai memikir kan semua nya, bagaimana cara nya si Guntur itu menyesal dengan semua yang dia lakukan sekara
"Tapi kenapa bisa Mas Reyza sampai diculik?"Lagi pula, siapa yang menculik Mas Reyza, ah aku tidak percaya sih sebenar nya, tetapi apa ini? Aku bingung sekali deh. Ah iya aku lupa kalau Bang Fino ada di luar, jadi nya aku juga tidak bisa terlalu lama. Memang Bang Fino tidka mau ikutan karena takut nanti malah membuat saudara Mas Reza berpikir yang aneh-aneh tentang aku. Kami juga senang menghindari dari perbuatan itu karena juga maka masuk Islam masih basah dan aku juga belum bisa melupakannya sama sekali. "Ini pasti gak mungkin foto nya Mas Reyza. Nanti aku tanya saja deh pada Mama nya Mas Reyza." Aku bergumam pelan, memasukkan foto tersebut ke dalam saku celanaku. Pandanganku terhenti ketika melihat buku yang diletakkan begitu saja di atas pakaiannya Mas Reza. Ini buku apaan apakah ini adalah buku harian nya Mas Reyza?Hmm, bisa sih ini. Aku juga langsung memasukkan buku nya ke dalam tasku. Setelah puas berkeliling dan juga menatap fotonya Mas Reza lumayan lama Aku akhirnya me