"Gue penasaran banget sama istri Lo yang katanya pemalas itu. Nanti bolehlah main ke rumah lo."
"Boleh. Lo liat sendiri aja gimana kelakuan istri gue."Aku menganggukkan kepala, kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi.Ini benar-benar menarik. Aku mendapatkan bahan lagi untuk melakukan apa yang harus aku lakukan untuk membalaskan semuanya."Mbak lama banget.""Abis denger suara Mas Guntur tadi." Aku membalas perkataan Rumi yang langsung melebarkan matanya mendengar perkataanku barusan."Hah?! Terus gimana, Mbak? Mbak ketahuan?"Mendengar itu, aku langsung tertawa. Jangankan ketauan, pasti Mas Guntur tidak akan mengenali siapa aku sebenarnya. Aku memang tidak pernah memakai make up di rumah. Itu sudah biasa."Sebentar lagi kita masuk ke acara inti. Kamu mau ikut Mbak naik ke atas panggung?""Gak usah, Mbak." Rumi langsung menggelengkan kepalanya.Ah, baiklah. Rumi memang tidak mau, apa lagi kalau ketauan, itu semua akan merusak rencanaku, tapi tenang saja, aku akan main cantik. Mas Guntur akan kesulitan mengenali siapa aku."Bu Arini mau ganti pakaian dulu?""Boleh." Aku menoleh ke Rumi yang bermain ponsel, dia tidak mau ikut, jadinya tidak berganti pakaian. "Mbak ganti pakaian dulu, ya, Rum.""Aman, Mbak."Beberapa menit aku mengganti pakaian. Aku menatap diriku sendiri di cermin. Di rumah, aku bagai upik abu, berusaha untuk berpikir keras bagaimana caranya agar bisa bertahan hidup dengan uang sepuluh ribu.Tenang saja, itu hanya sandiwara. Aku tidak semiskin itu. Aku juga mampu untuk membayar uang sekolah Putra. Semuanya juga aku mampu, tetapi apakah itu akan memberikan efek jera pada Mas Guntur?Biar nanti semuanya akan terbongkar sendiri dengan seluruh rencanaku. Rencana ini memang sudah matang, aku akan membuat Mas Guntur menderita dari apa yang aku rasakan sekarang.Juga, ada masa lalu dari semua ini, kenapa Mas Guntur tidak tau kalau aku anak orang kaya raya, padahal Rumi juga dikenal oleh Mas Guntur. Nanti akan aku ceritakan, tetapi perlahan. Seiring berjalannya cerita."Apakah Bu Arini sudah siap?"Aku menoleh, kemudian menganggukkan kepala. Aku sudah siap sejak tadi."Baik, kami persiapkan dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah ada panggilan, Ibu langsung naik saja ke atas panggung."Baiklah, aku mengerti. Mereka kembali keluar dari ruangan. Aku menghela napas pelan, menyenderkan kepala di kursi."Kenapa Mbak gak sekalian permaluin si Guntur itu?"Eh? Aku langsung menoleh ke Rumi, mengernyitkan dahi. Sebenarnya itu ide menarik, tapi aku langsung menggelengkan kepala, itu akan terlihat aneh. Aku tidak punya caranya."Rumi punya ide, Mbak.""Ide apa?" tanyaku penasaran.Adikku itu mendekat, dia membisikkan sesuatu. Beberapa detik mencerna kalimatnya, aku langsung tersenyum, menarik juga perkataan Rumi. Hmm, sepertinya aku memang harus melakukannya agar Mas Guntur lebih jera, meskipun akan ada kejutan selanjutnya."Nanti bisa Mbak coba.""Iya. Nanti bakalan Mbak coba."Ponselku berdering, dari Mama. Kenapa Mama menelepon? Buru-buru aku menggeser tombol berwarna hijau, sementara Rumi terlihat penasaran siapa yang menelepon ku."Kenapa Mama nelepon, Mbak?"Entah. Aku mengangkat bahu."Halo, Ma. Ada apa?" tanyaku saat telepon terhubung."Halo, Din. Kamu sama Rumi ada di mana? Kenapa belum ke rumah?"Eh? Mama sudah tau kalau Rumi sudah pulang? Kenapa anak ini tidak memberitahu ke Mama dan Papa dulu? Atau setidaknya dia pulang dulu sebentar sebelum ke rumahku."Iya, Mama sama Papa nungguin kalian nih. Udah masak banyak banget Mama buat kalian. Masa belum dateng juga." Papa ikut berbicara, membuatku menggaruk kepala yang tidak gatal.Aku melirik Rumi yang nyengir. Dia memang menyebalkan sekali."Kita lagi ada di kantor, Ma. Ada acara lumayan besar.""Acara kantor? Kantor mana? Kantor suami kamu seinget Papa cuma kantor itu yang ada acaranya hari ini.""Iya, Pa. Kantor Mas Guntur." Aku menjawab pelan."Astaga, Dina. Kamu ngapain di situ? Mama sama Papa langsung ke sana deh, buat mastiin kalian. Sekalian liat suami kamu itu, Dina. Pantes tadi si Fino nelepon Papa kayak ngasih tau gitu.""Eh? Mama sama Papa mau kesini?"Pimpinan tertinggi adalah Mama dan Papa di kantor ini. Hanya saja, aku memang belum cerita. Mas Guntur belum tau siapa sebenarnya orang tua kandungku, karena dulu aku bilang aku adalah anak yatim piatu.Dulu memang aku tidak tau siapa orang tuaku yang sebenarnya. Aku dan Rumi di panti asuhan, tetapi beberapa bulan setelah menikah dengan Mas Guntur, kami akhirnya menemukan siapa orang tua kami sebenarnya lewat Bang Fino. Ah, semua itu berjalan dengan mulus, Mas Guntur tidak tau sama sekali mengenai ini, karena dia sedang ditugaskan di luar kota.Lucunya lagi, ternyata orang tuaku adalah bos di kantor Mas Guntur. Wow, aku sungguh kaget dengan fakta itu sebenarnya."Halo, Dina?""Iya halo, Ma.""Iya. Ini Mama sama Papa mau siap-siap dulu ya. Kamu mau maju ke depan kan? Kami akhirnya tau gimana susunan acaranya.""Tapi Mama sama Papa gak bakalan ngacauin semuanya kan? Masalahnya masih banyak yang harus dilakukan setelah ini, semua rencana Dina belum dilakuin.""Aman, Sayang. Kamu tenang aja, Mama sama Papa bakalan buat ini semuanya sebaik mungkin. Kamu siap-siap aja. Biar nanti pas pulang juga sekalian kalian ke rumah, udah lama banget gak pulang."Aku tersenyum tipis. Memang tidak sempat untuk pulang ke rumah."Mama udah dengar kamu gimana di rumah. Mama sama Papa benar-benar kesal dan kalau bisa, kita samperin si Guntur itu sekarang. Enak aja putri Mama diperlakukan buruk seperti itu.""Iya, Ma. Tapi gak sekarang.""Aman, Sayang. Mama udah gak sabar banget pengen ngeliat kamu melewati semuanya. Mama sama Papa juga gak sabar ketemu sama cucu kami. Harusnya udah sejak awal kami ketemu, tapi takutnya ketahuan."Memang Mama dan Papa belum bisa untuk menemui Putra saat ini. Bukan karena aku melarang, tetapi demi kebaikan bersama.Aku menghela napas pelan."Bu Arini dipersilakan untuk memasuki panggung."Eh? Kami menoleh ke panitia yang menatap kami di dekat pintu. Aku langsung menganggukkan kepala, kemudian beranjak."Udah dulu ya, Ma. Udah dipanggil.""Semangat, Sayang. Tunggu Mama sama Papa kesana, ya.""Iya, Ma." Aku langsung mematikan telepon, kemudian membenarkan pakaian yang agak terlipat tadi."Semangat, Mbak. Aku lihat dari bawah panggung ya.""Iya. Makasih Rum udah ikut datang kesini."Rumi menganggukkan kepala, aku melangkah keluar dari pintu khusus, kemudian melangkah menuju ke atas panggung.Ramai sekali. Aku tersenyum ke Bang Fino yang terlihat menyemangati. Saat melewati Mas Guntur, aku menahan napas sedikit. Dia terlihat tersenyum.Dih, awas saja kamu, Mas! Rasakan pembalasanku setelah ini!***"Karena beberapa laporan, kantor ini akan melakukan perubahan. Mungkin menurunkan jabatan atau malah mungkin mengganti anggota. Saya sudah menyusun nama-nama anggotanya, jadi nanti tinggal dilihat saja."Semua langsung berbisik-bisik mendengar perkataanku. "Apa alasannya? Bukan. Bukan karena kantor ini akan bangkrut, tetapi karena performa ornag-orang yang ada di list tidak bagus dan tidak maksimal."Aku menatap semua orang yang memandangku. Mereka menatap terpesona, karena aku juga memang jarang sekali memakai make up. "Kalian coba untuk instrospeksi diri sendiri kalau performa kalian tidak bagus. Bisa list tadi dibawakan ke saya?"Tadi, aku sudah menjelaskan apa yang ingin aku lakukan pada Mas Guntur pada Bang Fino, kemudian dia langsung membuat apa yang aku inginkan. "Ini list namanya, Bu."Pandanganku tertuju ke nama Mas Guntur sebagai manager di perusahaan ini. Dia memang manager, tetapi pelit sekali pada istrinya, bahkan dia memberikan uang sepuluh ribu untuk keperluan kami s
"Kamu apa-apaan sih berlutut kayak gitu?" Mama tampak risih melihat Mas Guntur yang berlutut di kakiku. Entahlah, aku bingung apa yang Mas Guntur lakukan. Kenapa dia memohon-mohon seperti ini. Agar kerjaannya tidak hilang begitu?Untuk apa lagi kalau dia hanya memberikan nafkah sepuluh ribu untukku. "Tolong saya, Bu. Saya butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah anak saya. Saya mohon."Dih. Aku mengangkat sebelah alis, merasa kesal dengan ucapannya barusan. Rumi mengusap punggungku. Jangan sampai amarahku meledak di sini dan membuat keributan. Ini belum seberapa, masih banyak kejutan yang akan kami buat. "Haduh, sebaiknya kamu jangan di sini. Sana, saya gak suka ada orang yang melakukan kesalahan tapi seolah tidak melakukan kesalahan itu." Aku berkata pelan, tetapi tajam. Bang Fino juga berusaha menenangkanku. Tidak, aku tidak akan marah atau meledak di sini. Aku hanya sedikit emosi melihat pria menyebalkan ini. Menurut dia, kesalahan yang dia lakukan itu kecil, hah?!"Maafkan say
"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri." Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi. "Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!" "Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu. Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya. "Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi. "Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku. "Bahkan sama anaknya dia gak peduli!
"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa
"Aku butuh banget jawaban dari kamu, Din. Kamu ada waktu untuk ketemu sama Mamaku?"Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati Reyza, juga aku penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mama Reyza sampai ingin bertemu denganku. "Kayaknya kamu gak bersedia ya, Din? Gak papa kalau gak bisa, aku juga maklum karena kamu udah punya suami. Kamu udah punya kehidupan sendiri."Sampai Reyza mengatakan itu saja, aku masih belum berani untuk mengambil keputusan. Aku bingung harus melakukan apa. Aku takut salah. "Din? Kenapa malah bengong? Kalau gak mau gak papa kok."Huft, ini keputusan yang sangat berat. Aku membutuhkan pendapat orang lain. "Yaudah yuk, gak usah dipikirin. Jam istirahat aku kayaknya bentar lagi habis. Kita balik aja ke ruangan Putra. Yuk."Reyza sudah berdiri duluan, dia membereskan meja. Aku menghela napas pelan, semoga ini keputusan yang tidak salah. "Maaf, Rey." Perkataanku membuat pria itu langsung menoleh. Senyumnya memudar
"Bu, permisi? Saya mau bersih-bersih toilet dulu. Nanti kalau saya gak bersih-bersih, dimarahin lagi." Dih, aku memutar bola mata, langsung keluar dari bilik kamar mandi perempuan. Dia memang menyebalkan, bertambah menyebalkan lagi. "Nanti lagi ya. Nanti aku telepon lagi."Aku langsung mematikan telepon Nada, kemudian melangkah menuju ke tempat duduk Bang Fino tadi. "Lama banget. Nelepon atau ngapain?" tanya Bang Fino yang sudah gerah menungguku. "Ada Mas Guntur tadi. Yuk kita ke rumah sakit sebentar. Kayaknya Putra udah boleh pulang deh.""Serius?" Ya gak tau juga. Putra sudah merengek minta pulang tadi malam, tetapi aku mungkin akan membawa Putra pulang ke rumah Mama dan Papa dulu, nanti saja ke rumah Mas Guntur, lagi pula apdti suamiku masih mengira Putra dirawat di rumah sakit. Sebenarnya belum diperbolehkan pulang, tetapi kondisi Putra juga sudah baik, lagi pula ngapain lama-lama di rumah sakit. Nanti juga ada Mama dan Papa yang mengurus. Akhir-akhir ini juga pasti akan si
"Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga
"Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m
"Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,
Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang
"Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t
"Hah?! Kamu serius, Rum?"Jujur saja, aku kaget sekali dengan perkataan Rumi, sekaligus senang. "Iya, Mbak langsung ke sini saja ya. Putri sudah pulang ke rumah."Alhamdulillah kalau begitu. Aku tersenyum senang. Kemudian langsung mematikan telepon dari Rumi, menoleh ke Bang Fino yang juga tampak ikutan senang. "Kabar yang benar-benar bagus, dek."Benar apa yang dikatakan oleh Bang Fino, ini memang kabar yang sangat bagus. Namun, sejujurnya hal ini adalah sesuatu yang aneh juga karena tidak mungkin tiba-tiba Putri pulang tanpa ada sesuatu aku merasa ada yang berbeda dan ada yang aneh juga.Entah kenapa perasaanku juga tidak enak karena ini sangat berbeda dari pada biasanya."Kamu mikirin apa lagi, Dek? Kan Putri juga sudah pulang ke rumah, harus nya kamu senang, bukan malah kelihatan sedih kayak gitu. Ada apa dengan kamu?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Jika tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku intinya justru aku merasa sangat aneh dan merasa ini sangat berbeda daripada bia
"Apa lagi mau kamu di sini?! Jangan-jangan kamu mengikuti aku ya?"Dia adalah saudaranya Mas Reza yang memang tidak setuju dulu ketika Mas Reza menikah dengan aku. Emang rata-rata keluarganya Mas Reza itu setuju dengan pernikahan aku tetapi mereka juga sebagian ada yang tidak setuju karena mereka melihat aku sebagai janda dan juga tidak punya masa depan ketika menikah dengan Mas Reza padahal Mas Reza sendiri pun tidak masalah dengan itu semua. Terserah mereka sajalah mereka yang punya hak untuk mereka sendiri aku tidak ikut campur Tetapi kalau sudah sampai seperti ini aku juga tidak akan terima dengan Apa perkataan mereka. "Kamu ini lucu Dina, aku ini ingin kamu mati dan aku ingin kamu merasakan yang kamu rasa kan."Hah?! Tunggu sebentar, benar-benar kaget ketika mendengar perkataannya apa yang baru saja dia katakan dan seperti itu emangnya aku melakukan hal yang di luar nalar atau Aku melakukan hal yang benar-benar buruk sampai dia mengatakan hal tersebut begitu? "Ada apa sih?! S
"Memang kurang ajar banget mereka itu!" Bang Fino tampak kesal sekali. Wajah nya memerah menahan marah. "Guntur memang begitu sejak dulu, Bang. Dia itu gak akan berhenti kalau dia gak masuk ke penjara. Jadi, memang aku harus menjebloskan dia ke penjara dulu baru dia bisa berhenti untuk tidak mengganggu hidup kita."Aku berusaha untuk menenangkan diri aku sendiri, jangan sampai terpancing oleh si Guntur itu. Dia memang sengaja agar aku dan juga Bang Fino marah dengan semua nya. "Gak bisa dibiarin ini semua, Dek. Kita pokok nya harus segera menyusun semua rencana, jangan sampai tiba-tiba kita yang kehilangan semua nya. Abang marah banget loh sama dia. Abang kesal sama dia."Sungguh sejujur nya aku paham sekali dengan apa yang Bang Fino katakan. Aku juga merasa kan hal tersebut, karena kami satu pemikiran. Baik lah, aku juga tidak aka. Membiarkan semua nya terjadi, aku juga akan mulai memikir kan semua nya, bagaimana cara nya si Guntur itu menyesal dengan semua yang dia lakukan sekara
"Tapi kenapa bisa Mas Reyza sampai diculik?"Lagi pula, siapa yang menculik Mas Reyza, ah aku tidak percaya sih sebenar nya, tetapi apa ini? Aku bingung sekali deh. Ah iya aku lupa kalau Bang Fino ada di luar, jadi nya aku juga tidak bisa terlalu lama. Memang Bang Fino tidka mau ikutan karena takut nanti malah membuat saudara Mas Reza berpikir yang aneh-aneh tentang aku. Kami juga senang menghindari dari perbuatan itu karena juga maka masuk Islam masih basah dan aku juga belum bisa melupakannya sama sekali. "Ini pasti gak mungkin foto nya Mas Reyza. Nanti aku tanya saja deh pada Mama nya Mas Reyza." Aku bergumam pelan, memasukkan foto tersebut ke dalam saku celanaku. Pandanganku terhenti ketika melihat buku yang diletakkan begitu saja di atas pakaiannya Mas Reza. Ini buku apaan apakah ini adalah buku harian nya Mas Reyza?Hmm, bisa sih ini. Aku juga langsung memasukkan buku nya ke dalam tasku. Setelah puas berkeliling dan juga menatap fotonya Mas Reza lumayan lama Aku akhirnya me