"Kamu apa-apaan sih berlutut kayak gitu?" Mama tampak risih melihat Mas Guntur yang berlutut di kakiku.
Entahlah, aku bingung apa yang Mas Guntur lakukan. Kenapa dia memohon-mohon seperti ini. Agar kerjaannya tidak hilang begitu?Untuk apa lagi kalau dia hanya memberikan nafkah sepuluh ribu untukku."Tolong saya, Bu. Saya butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah anak saya. Saya mohon."Dih. Aku mengangkat sebelah alis, merasa kesal dengan ucapannya barusan.Rumi mengusap punggungku. Jangan sampai amarahku meledak di sini dan membuat keributan. Ini belum seberapa, masih banyak kejutan yang akan kami buat."Haduh, sebaiknya kamu jangan di sini. Sana, saya gak suka ada orang yang melakukan kesalahan tapi seolah tidak melakukan kesalahan itu." Aku berkata pelan, tetapi tajam.Bang Fino juga berusaha menenangkanku. Tidak, aku tidak akan marah atau meledak di sini. Aku hanya sedikit emosi melihat pria menyebalkan ini. Menurut dia, kesalahan yang dia lakukan itu kecil, hah?!"Maafkan saya, Bu. Beri saya kesempatan lagi. Kasihan Mama saya juga, tanggungan hidupnya saya yang tanggung."Yang satu ini juga. Memang selama ini Mas Guntur tidak memberikanku banyak nafkah ya ini salah satu penyebabnya.Mamanya yang lebih didahulukan dari pada istrinya sendiri. Padahal aku yang harusnya mengatur keuangannya, aku juga yang seharusnya mendapatkan hak itu."Tolong saya, Bu."Aku diam sejenak, menoleh ke Bang Fino yang tampak menyerahkan semuanya padaku.Beberapa detik, aku akhirnya berjongkok, menyamakan posisiku dengan Mas Guntur yang sejak tadi berlutut. Dia menatapku, aku balas menatapnya. Kami diam sejenak beberapa saat."Saya berikan kamu satu kesempatan lagi, tetapi bukan sebagai manager di perusahaan ini.""Lalu jadi apa, Bu? Posisi saya kan awalnya manager. Kenapa diubah?" tanyanya pelan."Kamu masih mau bekerja di sini?"Dia menganggukkan kepala, akhirnya agak lebih menunduk sedikit. Tidak berani menatapku yang sejak tadi menatapnya tajam."Kalau masih mau bekerja di sini, kamu harusnya ikuti peraturan yang ada, karena kamu juga baru saja melanggar kontrak kerja. Harusnya saya justru bisa seret kamu ke penjara dengan semua bukti yang ada."Mas Guntur tampak kaget mendengar perkataanku barusan. Aku tidak main-main dengan perkataanku, dia memang harusnya tidak ada di sini lagi, tetapi di kantor polisi."Maafkan saya, Bu." Mas Guntur menundukkan kepalanya.Lucu sekali pemandangan ini, di rumah Mas Guntur yang bisa membentakku, yang bisa mengaturku seenaknya. Kali ini, dia tidak bisa berkutik sama sekali. Ah, lucu sekali pemandangan ini."Saya mau tanya, apakah kamu masih mau bekerja di perusahaan ini? Saya tidak akan membawa kasus ini ke kantor polisi, tetapi saya tidak segan-segan langsung melaporkannya kalau kamu melakukan kesalahan saat bekerja lagi di perusahaan ini."Suamiku itu berpikir sejenak. Mungkin dia memikirkan bagaimana ke depannya. Baiklah, aku memberikannya waktu beberapa detik untuk berpikir."Saya mau, Bu. Asalkan saya masih bisa bekerja di sini."Ah, ini akan menarik sekali. Aku menganggukkan kepala, beranjak dari posisiku tadi."Tunggu di sini. Nanti kamu akan dipanggil untuk menandatangani ulang kontrak."Aku menoleh ke Mama dan Papa yang masih berdiri. Masih ada yang harus diurus ternyata. Aku menghela napas pelan, melangkah menuju ke ruang khusus."Segera buatkan kontrak kerja baru untuk dia, Bang.""Rencana apa lagi yang lagi kamu jalankan, Dek? Harusnya udah, kita sampai di sini aja, jangan ada lagi ngasih dia kesempatan. Itu bakalan buat dia ngelunjak.""Dia gak akan bisa gerak, Bang. Kita baru saja menyelamatkan dua ide penting."Bang Fino mengernyit, bingung dengan apa yang aku katakan. Aku menghela napas pelan, kemudian membisikkan sesuatu ke Bang Fino."Brilian, Dek! Abang cuma bentar, langsung balik lagi kesini nanti."Aku menganggukkan kepala. Bang Fino langsung melangkah cepat keluar ruangan ini. Aku menghela napas pelan, menyenderkan kepala ke kursi."Sebenarnya apa lagi yang kamu rencanakan, Sayang?" tanya Mama membuatku tersenyum tipis, aku menggelengkan kepala."Mama akan tau nanti, Ma."Ponselku berdering. Eh? Dari guru putra? Ada apa dengan anakku?"Siapa, Mbak?" tanya Rumi sambil mengintip layar ponselku."Gurunya Putra. Aku angkat telepon dulu ya, Ma, Pa."Buru-buru aku agak melangkah jauh. Bisa terdengar nanti ke orang lain. Aku menuju ke toilet agar lebih privasi sedikit.Kenapa gurunya Putra menelepon jam sekolah begini? Apakah ada kesalahan? Atau ada apa? Aku menggeser tombol berwarna hijau, sudah aman di sini."Halo, ini dengan mamanya Putra?" sapa guru sekolah Putra saat aku baru saja mendekatkan ponsel ke telinga. Aku langsung menganggukkan kepala."Betul, Bu. Ini saya Mamanya Putra. Ada apa, ya, Bu?" tanyaku sambil menatap cermin."Ah ya, kami dari pihak sekolah minta maaf sekali, Bu." Nada suara guru Putra terdengar sedih.Detak jantungku tidak karuan. Apa yang sebenarnya terjadi? Padahal, uang sekolah Putra baru saja dibayar tadi, bahkan aku meminta fasilitas yang paling bagus di sekolah Putra, tetapi tidak diberitahukan oleh Mas Guntur."Ada apa ya, Bu? Apakah Putra nakal? Atau anak saya bolos?" tanyaku beruntun, aku ingin sekali mendengar jawabannya."Tidak, Bu. Bukan itu." Guru Putra menghela napas pelan. "Putra tadi terjatuh dari tangga."Seperti ada petir yang menyambar di sebelahku. Anakku! Wajahku seketika pucat, badanku lemas. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Kami sudah membawanya ke rumah sakit karena UKS tidak sanggup.""Bagaimana keadaan anak saya, Bu? Bagaimana?!" tanyaku mendesaknya."Masih ditangani oleh dokter, Bu. Sebaiknya Ibu langsung saja ke rumah sakit agar kalau ada tindakan selanjutnya Ibu bisa tahu lebih jelas."Kenapa lagi ini? Aku langsung mematikan telepon, buru-buru ke ruang khusus kembali."Mbak kenapa?" tanya Rumi saat melihatku buru-buru membereskan barang. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi sekarang. Di otakku adalah pergi ke rumah sakit."Putra, Putra masuk rumah sakit.""Astaghfirullah. Kenapa sama Putra?" Bahkan, Mama dan Papa langsung mendekatiku."Jatuh dari tangga, Ma. Aku mau langsung kesana sekarang.""Yaudah, kita anterin. Mama sama Papa juga mau lihat keadaan Putra."Aku akhirnya menganggukkan kepala, meskipun aku tau bukan saatnya sekarang. Urusan Mas Guntur nanti-nanti saja. Rumi membantuku membereskan barang-barang."Kita harus cepat." Aku melangkah cepat."Bu Arini!"Aduh, apa lagi sih? Aku langsung menghentikan langkah, menatap Mas Guntur yang baru saja memanggilku. Kenapa lagi dia hah?! Apakah dia belum tau kalau anaknya baru saja terjatuh dari tangga?"Bagaimana dengan pekerjaan saya.""Aduh, kamu urus saja sama Bang Fino. Saya lagi ada kerjaan penting."Sungguh, aku benar-benar mengabaikannya kali ini. Aku kembali melangkah. Yang ada di pikiranku adalah Putra.Meskipun Mas Guntur menatapku aneh karena aku tidak biasanya ketus meskipun sedang marah, aku sama sekali tidak peduli. Yang aku pedulikan sekarang adalah anakku."Sekarang telepon suami kamu. Dia juga harusnya tau dan mau bertanggung jawab."Kami sudah di dalam mobil perjalanan menuju ke rumah sakit. Aku langsung menganggukkan kepala, mengambil ponsel, menghubungi Mas Guntur.Tidak mungkin kan aku tadi menghubungi Mas Guntur saat berpakaian seperti tadi."Kenapa sih kamu nelepon, hah?! Aku ini lagi sibuk."Lihat, baru saja aku menyalakan loud speaker. Tidak ada gunanya memberitahukannya."Putra masuk rumah sakit. Jatuh dari tangga di sekolahnya.""Halah, anak itu nyusahin sama aja kayak kamu!"***"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri." Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi. "Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!" "Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu. Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya. "Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi. "Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku. "Bahkan sama anaknya dia gak peduli!
"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa
"Aku butuh banget jawaban dari kamu, Din. Kamu ada waktu untuk ketemu sama Mamaku?"Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati Reyza, juga aku penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mama Reyza sampai ingin bertemu denganku. "Kayaknya kamu gak bersedia ya, Din? Gak papa kalau gak bisa, aku juga maklum karena kamu udah punya suami. Kamu udah punya kehidupan sendiri."Sampai Reyza mengatakan itu saja, aku masih belum berani untuk mengambil keputusan. Aku bingung harus melakukan apa. Aku takut salah. "Din? Kenapa malah bengong? Kalau gak mau gak papa kok."Huft, ini keputusan yang sangat berat. Aku membutuhkan pendapat orang lain. "Yaudah yuk, gak usah dipikirin. Jam istirahat aku kayaknya bentar lagi habis. Kita balik aja ke ruangan Putra. Yuk."Reyza sudah berdiri duluan, dia membereskan meja. Aku menghela napas pelan, semoga ini keputusan yang tidak salah. "Maaf, Rey." Perkataanku membuat pria itu langsung menoleh. Senyumnya memudar
"Bu, permisi? Saya mau bersih-bersih toilet dulu. Nanti kalau saya gak bersih-bersih, dimarahin lagi." Dih, aku memutar bola mata, langsung keluar dari bilik kamar mandi perempuan. Dia memang menyebalkan, bertambah menyebalkan lagi. "Nanti lagi ya. Nanti aku telepon lagi."Aku langsung mematikan telepon Nada, kemudian melangkah menuju ke tempat duduk Bang Fino tadi. "Lama banget. Nelepon atau ngapain?" tanya Bang Fino yang sudah gerah menungguku. "Ada Mas Guntur tadi. Yuk kita ke rumah sakit sebentar. Kayaknya Putra udah boleh pulang deh.""Serius?" Ya gak tau juga. Putra sudah merengek minta pulang tadi malam, tetapi aku mungkin akan membawa Putra pulang ke rumah Mama dan Papa dulu, nanti saja ke rumah Mas Guntur, lagi pula apdti suamiku masih mengira Putra dirawat di rumah sakit. Sebenarnya belum diperbolehkan pulang, tetapi kondisi Putra juga sudah baik, lagi pula ngapain lama-lama di rumah sakit. Nanti juga ada Mama dan Papa yang mengurus. Akhir-akhir ini juga pasti akan si
"Loh kok karena aku, Bang? Aku kan gak ada masalah apa pun sama Reyza. Kita juga udah jadi mantan, aku udah nikah.""Bukan soal itu aja, Din. Kamu perhatiin baik-baik, Reyza sampai saat ini faktornya apa lagi kalau belum menikah?"Ya, mana aku tau. Masa nanya sama aku sih? Kan aku juga tidak tau kenapa dengan Reyza. Ah, ini menyebalkan sekali, kenapa Bang Fino malah berasumsi begitu?"Nah, coba kamu pikirin lagi selama kamu di rumah sakit ini. Si Reyza selalu minta waktu kosong kamu buat dia ngobrol sesuatu, kan? Terus setiap kamu tanya kenapa dia belum menikah, dia jawab kamu bakalan tau sendiri, itu karena dia masih mengharapkan kamu, Din. Masa kamu gak sadar juga sih?" tanya Bang Fino kesal. Tunggu sebentar, memang benar sih kata Bang Fino. "Bahkan, dia langsung ngasih tau kamu ketika Mamanya minta kamu untuk datang. Meskipun ya harusnya dia memang memberitahu kamu, tetapi kalau dia tidak ada rasa lagi dan dia gak berharap lagi sama kamu, harusnya dia gak seantusias itu. Tandanya
"Ah, udah puas banget lihat suaminya Dina jalan sama wanita lain."Bang Fino enteng sekali mengatakannya. Haduh, ngapain bahas itu ketika ada Reyza di sini. Kan jadinya terbongkar semuanya, ini aib rumah tangga loh. "Maaf banget nih, aku gak papa di sini? Ini soal rumah tangganya Din—" "Gak papa, aman kok. Dina juga udah cerita soal dia kayak mana kan di keluarganya itu? Kamu mungkin bisa bantu untuk ngasih solusi juga."Reyza terdiam mendengar perkataan Nada, kemudian menganggukkan kepala. Sementara aku kesal sekali mendengarnya, hampir saja aku menimpuk Nada dengan sendalku sendiri, menyebalkan. "Gimana, Din?" tanya Reyza masih ingin mendengar aku sendiri yang mengizinkannya. Baiklah, kasihan juga dia, lagi pula memang benar kata Nada, aku sudah pernah bilang pada Reyza mengenai hal ini. Aku menganggukkan kepala. "Dengerin aja gak papa, Rey."Akhirnya pria itu bisa lebih tenang. Dia menganggukkan kepala, aku menghela napas pelan, kembali fokus melihat ke arah ponsel Nada yang m
"Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga
"Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m
"Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,
Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang
"Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t
"Hah?! Kamu serius, Rum?"Jujur saja, aku kaget sekali dengan perkataan Rumi, sekaligus senang. "Iya, Mbak langsung ke sini saja ya. Putri sudah pulang ke rumah."Alhamdulillah kalau begitu. Aku tersenyum senang. Kemudian langsung mematikan telepon dari Rumi, menoleh ke Bang Fino yang juga tampak ikutan senang. "Kabar yang benar-benar bagus, dek."Benar apa yang dikatakan oleh Bang Fino, ini memang kabar yang sangat bagus. Namun, sejujurnya hal ini adalah sesuatu yang aneh juga karena tidak mungkin tiba-tiba Putri pulang tanpa ada sesuatu aku merasa ada yang berbeda dan ada yang aneh juga.Entah kenapa perasaanku juga tidak enak karena ini sangat berbeda dari pada biasanya."Kamu mikirin apa lagi, Dek? Kan Putri juga sudah pulang ke rumah, harus nya kamu senang, bukan malah kelihatan sedih kayak gitu. Ada apa dengan kamu?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Jika tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku intinya justru aku merasa sangat aneh dan merasa ini sangat berbeda daripada bia
"Apa lagi mau kamu di sini?! Jangan-jangan kamu mengikuti aku ya?"Dia adalah saudaranya Mas Reza yang memang tidak setuju dulu ketika Mas Reza menikah dengan aku. Emang rata-rata keluarganya Mas Reza itu setuju dengan pernikahan aku tetapi mereka juga sebagian ada yang tidak setuju karena mereka melihat aku sebagai janda dan juga tidak punya masa depan ketika menikah dengan Mas Reza padahal Mas Reza sendiri pun tidak masalah dengan itu semua. Terserah mereka sajalah mereka yang punya hak untuk mereka sendiri aku tidak ikut campur Tetapi kalau sudah sampai seperti ini aku juga tidak akan terima dengan Apa perkataan mereka. "Kamu ini lucu Dina, aku ini ingin kamu mati dan aku ingin kamu merasakan yang kamu rasa kan."Hah?! Tunggu sebentar, benar-benar kaget ketika mendengar perkataannya apa yang baru saja dia katakan dan seperti itu emangnya aku melakukan hal yang di luar nalar atau Aku melakukan hal yang benar-benar buruk sampai dia mengatakan hal tersebut begitu? "Ada apa sih?! S
"Memang kurang ajar banget mereka itu!" Bang Fino tampak kesal sekali. Wajah nya memerah menahan marah. "Guntur memang begitu sejak dulu, Bang. Dia itu gak akan berhenti kalau dia gak masuk ke penjara. Jadi, memang aku harus menjebloskan dia ke penjara dulu baru dia bisa berhenti untuk tidak mengganggu hidup kita."Aku berusaha untuk menenangkan diri aku sendiri, jangan sampai terpancing oleh si Guntur itu. Dia memang sengaja agar aku dan juga Bang Fino marah dengan semua nya. "Gak bisa dibiarin ini semua, Dek. Kita pokok nya harus segera menyusun semua rencana, jangan sampai tiba-tiba kita yang kehilangan semua nya. Abang marah banget loh sama dia. Abang kesal sama dia."Sungguh sejujur nya aku paham sekali dengan apa yang Bang Fino katakan. Aku juga merasa kan hal tersebut, karena kami satu pemikiran. Baik lah, aku juga tidak aka. Membiarkan semua nya terjadi, aku juga akan mulai memikir kan semua nya, bagaimana cara nya si Guntur itu menyesal dengan semua yang dia lakukan sekara
"Tapi kenapa bisa Mas Reyza sampai diculik?"Lagi pula, siapa yang menculik Mas Reyza, ah aku tidak percaya sih sebenar nya, tetapi apa ini? Aku bingung sekali deh. Ah iya aku lupa kalau Bang Fino ada di luar, jadi nya aku juga tidak bisa terlalu lama. Memang Bang Fino tidka mau ikutan karena takut nanti malah membuat saudara Mas Reza berpikir yang aneh-aneh tentang aku. Kami juga senang menghindari dari perbuatan itu karena juga maka masuk Islam masih basah dan aku juga belum bisa melupakannya sama sekali. "Ini pasti gak mungkin foto nya Mas Reyza. Nanti aku tanya saja deh pada Mama nya Mas Reyza." Aku bergumam pelan, memasukkan foto tersebut ke dalam saku celanaku. Pandanganku terhenti ketika melihat buku yang diletakkan begitu saja di atas pakaiannya Mas Reza. Ini buku apaan apakah ini adalah buku harian nya Mas Reyza?Hmm, bisa sih ini. Aku juga langsung memasukkan buku nya ke dalam tasku. Setelah puas berkeliling dan juga menatap fotonya Mas Reza lumayan lama Aku akhirnya me