"Aku butuh banget jawaban dari kamu, Din. Kamu ada waktu untuk ketemu sama Mamaku?"Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati Reyza, juga aku penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mama Reyza sampai ingin bertemu denganku. "Kayaknya kamu gak bersedia ya, Din? Gak papa kalau gak bisa, aku juga maklum karena kamu udah punya suami. Kamu udah punya kehidupan sendiri."Sampai Reyza mengatakan itu saja, aku masih belum berani untuk mengambil keputusan. Aku bingung harus melakukan apa. Aku takut salah. "Din? Kenapa malah bengong? Kalau gak mau gak papa kok."Huft, ini keputusan yang sangat berat. Aku membutuhkan pendapat orang lain. "Yaudah yuk, gak usah dipikirin. Jam istirahat aku kayaknya bentar lagi habis. Kita balik aja ke ruangan Putra. Yuk."Reyza sudah berdiri duluan, dia membereskan meja. Aku menghela napas pelan, semoga ini keputusan yang tidak salah. "Maaf, Rey." Perkataanku membuat pria itu langsung menoleh. Senyumnya memudar
"Bu, permisi? Saya mau bersih-bersih toilet dulu. Nanti kalau saya gak bersih-bersih, dimarahin lagi." Dih, aku memutar bola mata, langsung keluar dari bilik kamar mandi perempuan. Dia memang menyebalkan, bertambah menyebalkan lagi. "Nanti lagi ya. Nanti aku telepon lagi."Aku langsung mematikan telepon Nada, kemudian melangkah menuju ke tempat duduk Bang Fino tadi. "Lama banget. Nelepon atau ngapain?" tanya Bang Fino yang sudah gerah menungguku. "Ada Mas Guntur tadi. Yuk kita ke rumah sakit sebentar. Kayaknya Putra udah boleh pulang deh.""Serius?" Ya gak tau juga. Putra sudah merengek minta pulang tadi malam, tetapi aku mungkin akan membawa Putra pulang ke rumah Mama dan Papa dulu, nanti saja ke rumah Mas Guntur, lagi pula apdti suamiku masih mengira Putra dirawat di rumah sakit. Sebenarnya belum diperbolehkan pulang, tetapi kondisi Putra juga sudah baik, lagi pula ngapain lama-lama di rumah sakit. Nanti juga ada Mama dan Papa yang mengurus. Akhir-akhir ini juga pasti akan si
"Loh kok karena aku, Bang? Aku kan gak ada masalah apa pun sama Reyza. Kita juga udah jadi mantan, aku udah nikah.""Bukan soal itu aja, Din. Kamu perhatiin baik-baik, Reyza sampai saat ini faktornya apa lagi kalau belum menikah?"Ya, mana aku tau. Masa nanya sama aku sih? Kan aku juga tidak tau kenapa dengan Reyza. Ah, ini menyebalkan sekali, kenapa Bang Fino malah berasumsi begitu?"Nah, coba kamu pikirin lagi selama kamu di rumah sakit ini. Si Reyza selalu minta waktu kosong kamu buat dia ngobrol sesuatu, kan? Terus setiap kamu tanya kenapa dia belum menikah, dia jawab kamu bakalan tau sendiri, itu karena dia masih mengharapkan kamu, Din. Masa kamu gak sadar juga sih?" tanya Bang Fino kesal. Tunggu sebentar, memang benar sih kata Bang Fino. "Bahkan, dia langsung ngasih tau kamu ketika Mamanya minta kamu untuk datang. Meskipun ya harusnya dia memang memberitahu kamu, tetapi kalau dia tidak ada rasa lagi dan dia gak berharap lagi sama kamu, harusnya dia gak seantusias itu. Tandanya
"Ah, udah puas banget lihat suaminya Dina jalan sama wanita lain."Bang Fino enteng sekali mengatakannya. Haduh, ngapain bahas itu ketika ada Reyza di sini. Kan jadinya terbongkar semuanya, ini aib rumah tangga loh. "Maaf banget nih, aku gak papa di sini? Ini soal rumah tangganya Din—" "Gak papa, aman kok. Dina juga udah cerita soal dia kayak mana kan di keluarganya itu? Kamu mungkin bisa bantu untuk ngasih solusi juga."Reyza terdiam mendengar perkataan Nada, kemudian menganggukkan kepala. Sementara aku kesal sekali mendengarnya, hampir saja aku menimpuk Nada dengan sendalku sendiri, menyebalkan. "Gimana, Din?" tanya Reyza masih ingin mendengar aku sendiri yang mengizinkannya. Baiklah, kasihan juga dia, lagi pula memang benar kata Nada, aku sudah pernah bilang pada Reyza mengenai hal ini. Aku menganggukkan kepala. "Dengerin aja gak papa, Rey."Akhirnya pria itu bisa lebih tenang. Dia menganggukkan kepala, aku menghela napas pelan, kembali fokus melihat ke arah ponsel Nada yang m
"Wow?! Ini serius? Video ini viral?" "Iya. Video ini akhirnya viral, Mbak. Dishare ratusan ribu, di-like jutaan. Wow, kita bisa serbu suami Mbak itu."Aku menoleh ke Rumi yang tersenyum. Beberapa detik kemudian, aku mengernyitkan dahi, siapa yang memvideokannya? "Siapa yang videoin, Rum? Kok Mbak gak tau ada yang videoin?" tanyaku membuat Rumi tertawa pelan. "Salah satu dari ibu-ibu yang juga ada di warung itu, Mbak. Dia yang videoin, Mbak gak sadar juga kalau lagi divideoin."Ini wow sekali. Aku menelan ludah, memang ini benar videoku sedang marah-marah dan membongkar semuanya. Benar kata Rumi, video ini benar-benar sedang trending. Sungguh, aku tidak menyangka dengan semua ini. Padahal aku tidak pernah berharap untuk perkataanku kemarin, aku juga sebenarnya tidak menginginkan apa pun untuk perkataanku tidak sengaja kemarin, tetapi kalau sudah begini, ini malah kabar bagus sekali. Aku tersenyum senang. "Kita makin dekat sama tujuan akhir kita, Mbak. Gak perlu repot lagi. Aku jug
"Wah udah gila orang-orang ini.""Gak nyangka kenapa bisa berujung panjang kayak gini. Haduh." Bang Fino menggelengkan kepala melihat rekaman yang aku tunjukkan. Aku juga tidak paham kenapa malah jadi begini. Malah semuanya nyamperin ke rumah, bagaimana dengan rencana-rencana ku, jangan sampai malah gagal. "Jadi gimana?" tanya Rumi membuatku menggelengkan kepala, aku belum punya solusinya. "Jangan sampai malah tiba-tiba ada wartawan karena berita itu lagi viral banget dan jangan sampai malah masuk ke televisi."Wah, itu tambah bahaya sih. Apa lagi ada beberapa orang yang kenal aku dan itu tidak main-main pangkatnya. Aku mengurut kening, pusing sekali. "Abang bakalan hubungi orang suruhan Abang buat bantu kondusifin rumah kamu. Kamu juga langsung pulang untuk bantu tenangin, Din. Rumi juga ikut Mbak." Bang Fino mengarahkan kami. Aku langsung menganggukkan kepala mendengar perkataan Bang Fino. "Kita harus segera selesaiin masalah ini segera."Benar kata Bang Fino, jangan sampai ma
"Din. Bangun, Dina." "Dek?! Ayo bangun. Kamu kenapa?" Perlahan, mataku terbuka. Aku mengerjakan mata. Beberapa detik berusaha menyesuaikan cahaya, aku akhirnya bisa melihat jelas. Mama, Papa, Bang Fino, Rumi, dan Reyza menatapku cemas. Reyza duduk di sebelahku dengan minyak kayu putih. Pasti dia yang membantu agar aku cepat sadar. "Aku kenapa?" tanyaku pelan, tubuhku masih lemas sekali. "Kamu pingsan pas keluar dari mobil tadi. Kamu itu kecapekan, butuh istirahat banyak.""Huek!" Aku menutup mulutku, mual sekali rasanya. "Dek? Kamu gak papa?" Bang Fino memegang tanganku. Buru-buru aku turun dari atas kasur, tidak peduli lagi dengan rasa pusing, makanan sisa semalam semuanya rasanya keluar. Aku memegang tembok, tubuhku lemas sekali. "Udah belum, Din?" Reyza menggedor pintu kamar mandi. Setelah beberapa menit, aku akhirnya keluar dari kamar mandi, dibantu oleh Rumi dan Bang Fino, aku kembali tiduran di atas kasur. "Masuk angin kali ya?" tanyaku sambil menoleh ke Reyza yang kem
"Hah?! Hamil?" Mata Rumi langsung membulat. Aku menggelengkan kepala. Suara Rumi besar sekali. Awas saja kalau ada yang mendengarnya. Adikku itu tampak kaget sekali. "Mbak hamil?" tanyanya penasaran sekali. "Gak tau, Rum. Itu baru dugaan Mbak, perasaan Mbak aja atau apa lah. Mbak masih berharap ini cuma masuk angin biasa." Rumi menatapku, dia tampak panik sekali mendengarku mengatakan hal itu barusan. Ya, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa untuk diam saja, aku memang harus menyampaikan keresahan hatiku pada salah satu orang, aku rasa Rumi adalah orang yang paling tepat. "Jadinya gimana, Mbak? Mbak mau ngasih tau Bang Fino? Mama? Papa?" tanya Rumi membuatku lagi-lagi menggelengkan kepala. Itu semua ide buruk. "Mbak mau lihat perkembangannya besok, Rum. Kalau belum haid juga, terus masih mual juga, ada kemungkinan Mbak bakalan tes mbak hamil atau enggak. Buat kali ini, cuma kamu yang tau dan jangan sampai ada yang tau dulu, Rum."Meskipun besar, Rumi akhirnya menganggukkan kepala.
"Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga
"Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m
"Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,
Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang
"Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t
"Hah?! Kamu serius, Rum?"Jujur saja, aku kaget sekali dengan perkataan Rumi, sekaligus senang. "Iya, Mbak langsung ke sini saja ya. Putri sudah pulang ke rumah."Alhamdulillah kalau begitu. Aku tersenyum senang. Kemudian langsung mematikan telepon dari Rumi, menoleh ke Bang Fino yang juga tampak ikutan senang. "Kabar yang benar-benar bagus, dek."Benar apa yang dikatakan oleh Bang Fino, ini memang kabar yang sangat bagus. Namun, sejujurnya hal ini adalah sesuatu yang aneh juga karena tidak mungkin tiba-tiba Putri pulang tanpa ada sesuatu aku merasa ada yang berbeda dan ada yang aneh juga.Entah kenapa perasaanku juga tidak enak karena ini sangat berbeda dari pada biasanya."Kamu mikirin apa lagi, Dek? Kan Putri juga sudah pulang ke rumah, harus nya kamu senang, bukan malah kelihatan sedih kayak gitu. Ada apa dengan kamu?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Jika tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku intinya justru aku merasa sangat aneh dan merasa ini sangat berbeda daripada bia
"Apa lagi mau kamu di sini?! Jangan-jangan kamu mengikuti aku ya?"Dia adalah saudaranya Mas Reza yang memang tidak setuju dulu ketika Mas Reza menikah dengan aku. Emang rata-rata keluarganya Mas Reza itu setuju dengan pernikahan aku tetapi mereka juga sebagian ada yang tidak setuju karena mereka melihat aku sebagai janda dan juga tidak punya masa depan ketika menikah dengan Mas Reza padahal Mas Reza sendiri pun tidak masalah dengan itu semua. Terserah mereka sajalah mereka yang punya hak untuk mereka sendiri aku tidak ikut campur Tetapi kalau sudah sampai seperti ini aku juga tidak akan terima dengan Apa perkataan mereka. "Kamu ini lucu Dina, aku ini ingin kamu mati dan aku ingin kamu merasakan yang kamu rasa kan."Hah?! Tunggu sebentar, benar-benar kaget ketika mendengar perkataannya apa yang baru saja dia katakan dan seperti itu emangnya aku melakukan hal yang di luar nalar atau Aku melakukan hal yang benar-benar buruk sampai dia mengatakan hal tersebut begitu? "Ada apa sih?! S
"Memang kurang ajar banget mereka itu!" Bang Fino tampak kesal sekali. Wajah nya memerah menahan marah. "Guntur memang begitu sejak dulu, Bang. Dia itu gak akan berhenti kalau dia gak masuk ke penjara. Jadi, memang aku harus menjebloskan dia ke penjara dulu baru dia bisa berhenti untuk tidak mengganggu hidup kita."Aku berusaha untuk menenangkan diri aku sendiri, jangan sampai terpancing oleh si Guntur itu. Dia memang sengaja agar aku dan juga Bang Fino marah dengan semua nya. "Gak bisa dibiarin ini semua, Dek. Kita pokok nya harus segera menyusun semua rencana, jangan sampai tiba-tiba kita yang kehilangan semua nya. Abang marah banget loh sama dia. Abang kesal sama dia."Sungguh sejujur nya aku paham sekali dengan apa yang Bang Fino katakan. Aku juga merasa kan hal tersebut, karena kami satu pemikiran. Baik lah, aku juga tidak aka. Membiarkan semua nya terjadi, aku juga akan mulai memikir kan semua nya, bagaimana cara nya si Guntur itu menyesal dengan semua yang dia lakukan sekara
"Tapi kenapa bisa Mas Reyza sampai diculik?"Lagi pula, siapa yang menculik Mas Reyza, ah aku tidak percaya sih sebenar nya, tetapi apa ini? Aku bingung sekali deh. Ah iya aku lupa kalau Bang Fino ada di luar, jadi nya aku juga tidak bisa terlalu lama. Memang Bang Fino tidka mau ikutan karena takut nanti malah membuat saudara Mas Reza berpikir yang aneh-aneh tentang aku. Kami juga senang menghindari dari perbuatan itu karena juga maka masuk Islam masih basah dan aku juga belum bisa melupakannya sama sekali. "Ini pasti gak mungkin foto nya Mas Reyza. Nanti aku tanya saja deh pada Mama nya Mas Reyza." Aku bergumam pelan, memasukkan foto tersebut ke dalam saku celanaku. Pandanganku terhenti ketika melihat buku yang diletakkan begitu saja di atas pakaiannya Mas Reza. Ini buku apaan apakah ini adalah buku harian nya Mas Reyza?Hmm, bisa sih ini. Aku juga langsung memasukkan buku nya ke dalam tasku. Setelah puas berkeliling dan juga menatap fotonya Mas Reza lumayan lama Aku akhirnya me