"Din. Bangun, Dina." "Dek?! Ayo bangun. Kamu kenapa?" Perlahan, mataku terbuka. Aku mengerjakan mata. Beberapa detik berusaha menyesuaikan cahaya, aku akhirnya bisa melihat jelas. Mama, Papa, Bang Fino, Rumi, dan Reyza menatapku cemas. Reyza duduk di sebelahku dengan minyak kayu putih. Pasti dia yang membantu agar aku cepat sadar. "Aku kenapa?" tanyaku pelan, tubuhku masih lemas sekali. "Kamu pingsan pas keluar dari mobil tadi. Kamu itu kecapekan, butuh istirahat banyak.""Huek!" Aku menutup mulutku, mual sekali rasanya. "Dek? Kamu gak papa?" Bang Fino memegang tanganku. Buru-buru aku turun dari atas kasur, tidak peduli lagi dengan rasa pusing, makanan sisa semalam semuanya rasanya keluar. Aku memegang tembok, tubuhku lemas sekali. "Udah belum, Din?" Reyza menggedor pintu kamar mandi. Setelah beberapa menit, aku akhirnya keluar dari kamar mandi, dibantu oleh Rumi dan Bang Fino, aku kembali tiduran di atas kasur. "Masuk angin kali ya?" tanyaku sambil menoleh ke Reyza yang kem
"Hah?! Hamil?" Mata Rumi langsung membulat. Aku menggelengkan kepala. Suara Rumi besar sekali. Awas saja kalau ada yang mendengarnya. Adikku itu tampak kaget sekali. "Mbak hamil?" tanyanya penasaran sekali. "Gak tau, Rum. Itu baru dugaan Mbak, perasaan Mbak aja atau apa lah. Mbak masih berharap ini cuma masuk angin biasa." Rumi menatapku, dia tampak panik sekali mendengarku mengatakan hal itu barusan. Ya, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa untuk diam saja, aku memang harus menyampaikan keresahan hatiku pada salah satu orang, aku rasa Rumi adalah orang yang paling tepat. "Jadinya gimana, Mbak? Mbak mau ngasih tau Bang Fino? Mama? Papa?" tanya Rumi membuatku lagi-lagi menggelengkan kepala. Itu semua ide buruk. "Mbak mau lihat perkembangannya besok, Rum. Kalau belum haid juga, terus masih mual juga, ada kemungkinan Mbak bakalan tes mbak hamil atau enggak. Buat kali ini, cuma kamu yang tau dan jangan sampai ada yang tau dulu, Rum."Meskipun besar, Rumi akhirnya menganggukkan kepala.
"Mbak mau beli testpack buat apa?" tanya Rumi penasaran. Untuk apa aku membeli testpack? Aduh, pertanyaan apa itu? Jelas untuk mengecek kehamilan, kenapa pakai bertanya begitu? Aneh sekali Rumi. "Enggak, Mbak yakin kalau Mbak sedang hamil?" tanya Rumi lagi, sepertinya dia tau apa yang aku pikirkan barusan. Aku langsung menggelengkan kepala mendengar perkataan adikku itu. "Mbak cuma mau ngecek doang. Semoga enggak, tapi Mbak masih penasaran dan Mbak gak berharap itu."Sungguh, aku tidak ingin kalau aku hamil, tetapi aku ingin membuktikan hal itu. Aku sedikit tidak tenang sekarang, karena hal ini. Selalu saja mengganggu pikiranku. "Yaudah deh, test nya kapan, Mbak? Aku juga penasaran sih." Rumi langsung nyengir ketika melihat aku yang memasang wajah kesal, tadi saja dia bilang begitu. "Nanti pas habis bangun tidur Mbak bakalan langsung cek. Semoga hasilnya negatif." Rumi menganggukkan kepala. Setelah percakapan itu, kami saling terdiam. Sesekali, aku menghela napas pelan, ini akan
"Say? Wanita ini siapa, Mas?" Mas Guntur tampak salah tingkah melihatku, dia menggaruk kepala, seperti sedang berusaha mencari alasan. Wanita yang berdiri di sebelah Mas Guntur juga langsung terdiam. Dia menoleh ke Mas Guntur, sepertinya dia sudah tau siapa aku. Aku juga tidak asing dengannya, bahkan aku tau sekali siapa wanita ini. Ya, wanita ini adalah Weni. Aku menganggukkan kepala, menunggu Mas Guntur untuk menjelaskan sesuatu mengenai wanita ini. "Dia itu sepupunya Guntur. Baru datang banget tadi pas kamu pulang. Maka nya, kamu itu jangan kadang pulang, kadang pergi. Aneh." Mama Mas Guntur tampak berkacak pinggang melihatku. "Oh, sepupunya. Kok aku gak tau, bukannya semua sepupu Mas Guntur sudah dikenalkan semua padaku? Lalu mengenai aku yang kadang pulang, kadang pergi, aku kan jagain Putra, anaknya Mas Guntur, cucu Mama. Bukannya cuma keluyuran gak jelas." Mereka langsung terdiam mendengar perkataanku barusan. Sepertinya sedang berpikir apa lagi alasan yang ingin mereka p
"Ssstt .... Kamu jangan bilang hamil disini, Sayang. Nanti kalau Dina dengar bagaimana?""Harus sesabar apa lagi aku, Mas?" Suara Weni terdengar frustasi sekali. "Ingat ya, aku memang sayang sama kamu, Wen. Tapi aku lebih sayang lagi sama Dina. Aku gak mau kehilangan Dina, apa lagi anak kami bakalan tinggal di asrama sekolahnya, aku bakalan bareng lagi sama Dina. Aku mau menikahi kamu karena terpaksa dan karena anak yang kamu kandung!"Aku sampai mundur satu langkah mendnegarnya. Aku menelan ludah, tega sekali Mas Guntur bilang begitu. Meskipun masih kaget dan terkejut mendengar fakta yang baru saja aku dengar, tetapi aku tidak menyangka kalau Mas Guntur akan bilang seperti itu. "Kalau kamu tidak hamil, kamu sama aja kayak wanita yang lain, hanya aku anggap sebagai simpanan. Maka nya, kamu harus ingat itu, jangan kebanyakan nuntut banyak hal ke aku."Sungguh, aku baru mendengar hal ini. Aku tidak menyangka Mas Guntur akan mengatakan hal itu. Awalnya aku kira, Mas Guntur sangat men
"Secepatnya? Kamu yakin? Gimana sama semua rencana kamu?" "Aku bakalan persingkat semuanya, Bang. Mungkin juga bakalan aku lakuin setelah perceraian kami. Semuanya juga udah siap, nanti aku langsung bilang ke Mama dan Papa buat siapin pengacara. Yang pasti saat ini, aku ingin segera mengajukan surat cerai ke Mas Guntur."Bang Fino menganggukkan kepala. "Abang emang setuju sama rencana kamu yang kali ini, sih. Gak perlu lama-lama lagi mikirnya, karena si Guntur juga udah keterlaluan banget. Kamu gak bisa tinggal diam aja."Benar kata Bang Fino, aku memang harus bergerak lebih cepat. Itu urusan nanti, yang pasti saat ini, aku ingin segera mengajukan surat cerai ke pengadilan agama. Mas Guntur sudah sangat keterlaluan saat ini. Ini tidak bisa dimaafkan lagi, aku juga sudah muak dengan semua yang dia katakan. Lebih baik, aku segera mengajukan surat perceraian itu. "Yaudah, nanti kamu langsung bilang aja ke Mama dan Papa, jangan dekat dengan Putra tapi ya, nanti Putra dengar bisa bahaya
"Gila, kamu keren banget, Dek. Harusnya kamu dari dulu kayak gini, buat perhitungan sama si Guntur itu! Biar dia rasain semuanya dan biar dia gak macam-macam lagi sama kamu!"Aku menganggukkan kepala ke Bang Fino. Memang seharusnya sejak dulu aku sudah melakukannya, bukan malah baru sekarang. "Jadi, kita nungguin Ratih dan Nada di sini, Dek?" tanya Bang Fino membuatku menganggukkan kepala. "Iya, Bang. Mereka katanya lagi perjalanan ke sini. Kita nyamperin Putra sama Rumi dulu kayaknya."Bang Fino menganggukkan kepala, aku melangkah menuju ke meja yang ditempat oleh Putra dan juga Rumi. Pengacara tadi sudah pulang, karena katanya dia sedang terburu-buru juga. Aku menghela napas lega, tinggal memikirkan beberapa hal lagi dan juga tentunya memikirkan rencana untuk besok. "Halo, anak Mama." Aku tersenyum pada Putra yang langsung berdiri dan memelukku. Kami beberapa saat menjadi pusat perhatian. Aku langsung mengusap kepala Putra, kemudian kembali mengajaknya untuk duduk di kursi. Put
"Wah gila, akhirnya aku bakalan lepas juga dari Mas Guntur.""Iya. Setelah sekian lama kamu menderita. Kamu juga harus bahagia, Dek. Jangan pertahanin orang kayak Guntur lagi, gak ada gunanya."Benar kata Bang Fino, aku menganggukkan kepala, setuju dengan perkataan Abangku itu. Kami sedang perjalanan menuju ke rumah, aku menghela napas lega, menyenderkan punggung ke kursi mobil. "Eh iya, coba kamu hubungin si Reyza, gimana perkembangan dia ngelobby Ratih sama si Nada."Benar kata Bang Fino, aku langsung mengambil ponsel, kemudian berusaha untuk menghubungi Reyza, keningku terlipat ketika tidak terdengar nada sambung. "Gak aktif nomornya, Bang.""Eh? Serius? Dia kemana? Tumben amat ponselnya gak aktif."Entah, aku mengangkat bahu. Kan sejak tadi aku bersama Bang Fino, jadi mana aku tau kemana Reyza berada. "Yaudah deh, nanti aja kita urusin dia. Yang penting sekarang, kita tinggal ngurusin undangan palsu itu. Abang harap semuanya bisa beres dengan cepat."Aku juga berharap seperti i
"Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga
"Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m
"Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,
Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang
"Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t
"Hah?! Kamu serius, Rum?"Jujur saja, aku kaget sekali dengan perkataan Rumi, sekaligus senang. "Iya, Mbak langsung ke sini saja ya. Putri sudah pulang ke rumah."Alhamdulillah kalau begitu. Aku tersenyum senang. Kemudian langsung mematikan telepon dari Rumi, menoleh ke Bang Fino yang juga tampak ikutan senang. "Kabar yang benar-benar bagus, dek."Benar apa yang dikatakan oleh Bang Fino, ini memang kabar yang sangat bagus. Namun, sejujurnya hal ini adalah sesuatu yang aneh juga karena tidak mungkin tiba-tiba Putri pulang tanpa ada sesuatu aku merasa ada yang berbeda dan ada yang aneh juga.Entah kenapa perasaanku juga tidak enak karena ini sangat berbeda dari pada biasanya."Kamu mikirin apa lagi, Dek? Kan Putri juga sudah pulang ke rumah, harus nya kamu senang, bukan malah kelihatan sedih kayak gitu. Ada apa dengan kamu?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Jika tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku intinya justru aku merasa sangat aneh dan merasa ini sangat berbeda daripada bia
"Apa lagi mau kamu di sini?! Jangan-jangan kamu mengikuti aku ya?"Dia adalah saudaranya Mas Reza yang memang tidak setuju dulu ketika Mas Reza menikah dengan aku. Emang rata-rata keluarganya Mas Reza itu setuju dengan pernikahan aku tetapi mereka juga sebagian ada yang tidak setuju karena mereka melihat aku sebagai janda dan juga tidak punya masa depan ketika menikah dengan Mas Reza padahal Mas Reza sendiri pun tidak masalah dengan itu semua. Terserah mereka sajalah mereka yang punya hak untuk mereka sendiri aku tidak ikut campur Tetapi kalau sudah sampai seperti ini aku juga tidak akan terima dengan Apa perkataan mereka. "Kamu ini lucu Dina, aku ini ingin kamu mati dan aku ingin kamu merasakan yang kamu rasa kan."Hah?! Tunggu sebentar, benar-benar kaget ketika mendengar perkataannya apa yang baru saja dia katakan dan seperti itu emangnya aku melakukan hal yang di luar nalar atau Aku melakukan hal yang benar-benar buruk sampai dia mengatakan hal tersebut begitu? "Ada apa sih?! S
"Memang kurang ajar banget mereka itu!" Bang Fino tampak kesal sekali. Wajah nya memerah menahan marah. "Guntur memang begitu sejak dulu, Bang. Dia itu gak akan berhenti kalau dia gak masuk ke penjara. Jadi, memang aku harus menjebloskan dia ke penjara dulu baru dia bisa berhenti untuk tidak mengganggu hidup kita."Aku berusaha untuk menenangkan diri aku sendiri, jangan sampai terpancing oleh si Guntur itu. Dia memang sengaja agar aku dan juga Bang Fino marah dengan semua nya. "Gak bisa dibiarin ini semua, Dek. Kita pokok nya harus segera menyusun semua rencana, jangan sampai tiba-tiba kita yang kehilangan semua nya. Abang marah banget loh sama dia. Abang kesal sama dia."Sungguh sejujur nya aku paham sekali dengan apa yang Bang Fino katakan. Aku juga merasa kan hal tersebut, karena kami satu pemikiran. Baik lah, aku juga tidak aka. Membiarkan semua nya terjadi, aku juga akan mulai memikir kan semua nya, bagaimana cara nya si Guntur itu menyesal dengan semua yang dia lakukan sekara
"Tapi kenapa bisa Mas Reyza sampai diculik?"Lagi pula, siapa yang menculik Mas Reyza, ah aku tidak percaya sih sebenar nya, tetapi apa ini? Aku bingung sekali deh. Ah iya aku lupa kalau Bang Fino ada di luar, jadi nya aku juga tidak bisa terlalu lama. Memang Bang Fino tidka mau ikutan karena takut nanti malah membuat saudara Mas Reza berpikir yang aneh-aneh tentang aku. Kami juga senang menghindari dari perbuatan itu karena juga maka masuk Islam masih basah dan aku juga belum bisa melupakannya sama sekali. "Ini pasti gak mungkin foto nya Mas Reyza. Nanti aku tanya saja deh pada Mama nya Mas Reyza." Aku bergumam pelan, memasukkan foto tersebut ke dalam saku celanaku. Pandanganku terhenti ketika melihat buku yang diletakkan begitu saja di atas pakaiannya Mas Reza. Ini buku apaan apakah ini adalah buku harian nya Mas Reyza?Hmm, bisa sih ini. Aku juga langsung memasukkan buku nya ke dalam tasku. Setelah puas berkeliling dan juga menatap fotonya Mas Reza lumayan lama Aku akhirnya me