“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya.
“Kamu yakin?”
“Insyallah.”
Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh.“Aku ke kamar dulu ya, Bu?”
Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya.
Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan.
Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya.
“Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.”Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Setelah ia menumpahkan segala keluh kesahnya, sebuah notif chat dari aplikasi berwana hijau menghentikan kegundahannya. Bibirnya terulur mengulum senyum.
Haidar : Assalamu'alaikum, tadi pulang sama siapa? Ko bukan bapak kamu.
Hyra : Wa'alaikumussalam, sama tetangga. Dia disuruh ibu buat jemput.
Haidar : Cuma tetangga 'kan?
Hyra : Iya cuma tetangga.
Haidar : Alhamdulillah ... berarti aku masih ada kesempatan dong, buat isi hati kamu wkwkwk.
Pesan terakhir yang dikirimkan seseorang yang ada disebrang sana membuat senyumnya semakin terulur lebar. Segala beban yang baru saja ia pikul, sejenak terangkat.
“Terimakasih sudah ada, tapi gimana kalo kamu tahu apa yang aku alami saat ini. Apakah masih mau menerimaku?” balasnya tanpa ia ketik sebagai pesan. Hatinya sakit, ketika mengingat apa yang sedang terjadi.
Sebuah notif pun tampil kembali dilayar handphonenya.
Haidar : Ko nggak dibales, aku ada salah omong ya?Hyra : Haidar baik ko :)
Haidar : Ra, kali ini aku mau ngomong serius sama kamu, tapi tolong jawab yang jujur.
Hyra : Apa?
Haidar : Tadi sepulang dari lobi kamu seperti habis nangis, kenapa?
Hyra : Nggak kenapa-kenapa.
Haidar : Ya udah kalo nggak mau cerita, tapi apa pun penyebab kamu nangis aku hanya bisa berdoa semoga baik-baik saja😊
Hyra : Terimakasih ....
Haidar : Sama-sama ... udah dulu ya, aku mau baca Qur'an. Kamu juga jangan lupa baca, daaaah. Wassalamu'alaikum.
Hyra :Wa'alaikumussalam.
Hyra bersyukur karena masih ada orang-orang yang menyayanginya, tapi ketika mereka tahu tentang masalah yang bapaknya perbuat, apa mereka masih mau berteman dengannya? Atau justru mereka berteman karena rasa iba? Sungguh Hyra tidak suka.
Sepulang sekolah tadi, ia dijemput oleh Wawan tetangganya yang berteman baik dengan bapak Hyra. Akan tetapi, setelah mendengar cerita ibunya sepulang sekolah tadi, justru ialah penyebab bapaknya pergi. Lepas dari tanggung jawabnya.
Sekelibat percakapan dengan ibunya pun masih terekam jelas dalam memori otaknya.
“Bapak tadi ke sekolah kamu?” Seseorang yang dipanggil ibu, duduk lemas dilantai.
“Iya, Bu. Sebenarnya ada apa?” Gadis itu pun balik bertanya, setelah ia berkutat dengan segala kemungkinan kenapa bapaknya pergi.
“Bisnis yang dikelola bapakmu mengalami kebangkrutan.”
“Terus?”
“Dia meninggalkan banyak hutang.”
“Berapa?”
“Mungkin sekitar satu milyar.”
Mata perempuan berumur 15 tahun dihadapannya terperanjat kaget. Satu milyar bukanlah uang yang sedikit. Namun, sebisa mungkin ia harus bisa meyakinkan ibunya bahwa hutang-hutang tersebut pasti akan terlunasi.
“Apa menurutmu bapak seperti itu karena seorang perempuan?” lanjutnya dengan nada yang amat lemah.
“Maksudnya, Bu?”
“Apa kamu setuju kalau ibu dan bapak berpisah, jika nanti masalah ini terbukti karena bapak selingkuh seperti praduga ibu.”
Hyra, gadis ini tidaklah mudah dalam mengambil keputusan. Ia selalu menimang-nimang setiap ditawarkan sebuah pilihan, apa lagi berkaitan dengan masa depannya. Tak mau melukai hati ibunya, ia hanya membalas dengan senyuman.
“Terus bapak pergi, karena ingin lari dari tanggung jawab, Bu?”
“Ibu nggak tahu pemikiran bapakmu, tadi sebelum bapakmu pergi, orang yang dihutanginya telepon mengajak bapakmu ketemu. Tapi, kenyataannya mereka menjebak bapakmu, mereka mau memenjarakan bapak.” Ia menghela napas sejenak.
Sedangkan Hyra, matanya mulai memanas.
Ibunya pun melanjutkan kembali ceritanya, “Tapi, nggak tahu gimana caranya bapakmu lolos, sedangkan motor yang ia bawa, disita oleh orang yang dihutangi bapak. Dan setelah pulang dari sana, si Wawan kemari dia mengutarakan pendapatnya, bahwa pergi dari sini adalah pilihan yang tepat.”
Hyra meremas ujung bajunya, bagaimana ia harus melunasi hutang-hutang itu. Kejadian seperti ini tidak pernah ia bayangkan sebelumya. Ia takut jika hutang-hutang tersebut akan merusak semua mimpi-mimpi yang telah dibangun sedemikian rupa.
“Argh! kenapa bapak harus pergi sih? Itu kan jalan yang salah. Terus hutang-hutang itu, siapa yang bakal ngelunasin?”
Ia mengusap wajahnya kasar, hatinya kalut. Dunia seakan tidak adil untuknya. Matanya terpejam sejenak, lalu ia ingat chat dengan Haidar tadi.
“Iya, sebaiknya aku sholat dan baca Qur'an supaya lebih tenang,” ucapnya yang diiringi senyum manisnya.
Setelah sholat Hyra mengambil mushaf Al-Qur'annya. Dan seketika ia terhenti diantara ayat yang begitu dalam dan pas untuk kondisinya saat ini. Matanya perih, air matanya melolos begitu saja. Dibacanya berulang-ulang arti dari ayat tersebut.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”Lalu dibuka kembali lembaran-lembaran mushaf tersebut, sampai dimana ia menemukan ayat yang selalu menjadi penguatnya.
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”Hyra terus merenungi dua ayat tersebut sampai hatinya merasa lebih tenang. Ketika dirasa sudah cukup tenang, ia mengambil air wudhu kembali lalu tidur.
Di keesokan harinya tatkala ia bingung akan berangkat ke sekolah naik apa, Wawan datang kerumahnya lengkap dengan motor maticnya.
Tetiba Indah ibunya muncul. “Ra, kamu kesolah dianter sama mang Wawan sampai depan, terus ke sananya naik angkot,” ujarnya.“Baik, Bu.”
Seusai berpamitan dengan ibunya, Hyra berangkat diantar Wawan sampai jalan besar. Matanya menyusuri setiap sudut jalan yang sering ia lalu bersama bapaknya.
Setelah 5 menit berbonceng dengan Wawan, ia langsung naik angkot untuk menuju sekolahnya, gerimis pun tiba-tiba datang menghiasi jendela angkotnya. Setiap melihat hujan bukan lagi rasa bahagia yang ia alami, melainkan sendu. Ada banyak kenangan yang ia dan bapaknya lukis bersama hujan setiap pulang atau pergi ke sekolah. Berteduh di depan toko-toko atau bahkan rela basah kuyup karena jarak perjalanan dirasa sudah cukup dekat dengan tujuan. Dan sekarang, tidak ada lagi.“Ko naik angkot, biasanya dianterin.” Seorang laki-laki memakai seragam yang sama duduk di hadapan Hyra.
Suara bariton laki-laki tersebut tidak asing di telinganya membuat yang diajak bicara terkejut. “Ngapain di sini?”
“Ya naik angkot.”
“Ya tahu, maksudnya kenapa naik angkot biasanya juga naik motor,” terang Hyra.
“Nggak lihat diluar hujan, kalo tetep naik motor basah kuyup dong.” Haidar yang tak mau kalah.
“Ya pake jas hujan.”
“Nggak ah ribet! Enakan juga naik angkot nggak kena hujan, nggak basah-basahan, nggak ribet-ribet pake jas hujan.”
Haidar pun terkekeh ketika melihat wajah Hyra yang sebal karena kalah debat dengannya.
“Neng, jangan ngambek terus. Nanti cowoknya pindah ke lain hati, guling-guling lagi.” Goda emak-emak yang duduk di samping Haidar.
“Tenang aja, Bu. Dia bukan cowo saya,” sahutnya dengan senyum.
“Oh kalo bukan cowoknya, biar sama anak ibu aja.” Ibu tersebut mengibaskan salah satu tangan ke depannya, “Tenang aja, anak ibu cantik ko.”
Haidar pun merasa geli dengan ibu-ibu yang tidak dikenalnya.
“Maaf sekali Ibu, saya dan Hyra memang tidak pacaran. Tapi kami satu tujuan.”“Apa?” penasarannya.
“Yaitu pelaminan.” Diiringinya dengan tawa.
Membuat Hyra hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar percakapan dua orang yang ada dihadapannya.
Sedangkan ibu-ibu tadi pasrah, “Ya udahlah, masih banyak juga cowok yang lebih ganteng buat anak saya daripada Masnya.”
Haidar dan Hyra pun hanya bisa tertawa melihat sang ibu.
“Kalo gitu, kami duluan ya, Bu? Sudah sampai.” Pamit Hyra.“Iya, hati-hati Neng geulis. Bilangin sama Masnya jaga mata, jaga hati.” kekehnya.
Hyra dan Haidar hanya tersenyum sebagai respon.
Di lain tempat ada orang yang diam-diam tak suka melihat dua si joli yang baru saja turun dari angkot. Tangannya mengepal, menahan emosi.
“Alhamdulillah hujannya udah reda,” ucap keduanya bersamaan.
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”“Sekarang?”“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.“Oke! Siap meluncurrrr.”Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.“Dasar ng
Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”“Jakarta.”“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan I
Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya. Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -y
Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.“Kenapa?”Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahy
Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya. Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -y
Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”“Jakarta.”“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan I
Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”“Sekarang?”“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.“Oke! Siap meluncurrrr.”Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.“Dasar ng
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya. “Kamu yakin?” “Insyallah.”Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh. “Aku ke kamar dulu ya, Bu?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya. Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan. Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya.“Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.” Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.“Kenapa?”Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahy