Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya.
Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -yang Hyra duga- adiknya.
Matanya terpejam, kalimat istighfar kini memenuhi bibir manisnya. “Astagfirullahal'adzim.”
Perlahan ia kembali membuka matanya, tapi apa yang dilihat? Seseorang yang kemarin diperbincangkan, seseorang yang kemarin membuatnya gugup di telepon kini sudah ada dihadapannya dengan senyum yang manis. Amat sangat manis menurut Hyra.
‘Vitamin pagi,’ pekiknya dalam hati.
Tanpa sadar Hyra menatap Haidar tak berkedip barang sedetik pun. Membuat yang ditatap, mengernyitkan dahi.
“Ra?” Tangannya dikibas-kibaskan di hadapan wajah Hyra. “Kamu nggakpapa 'kan?”Hyra tersadar dari lamunannya, ia langsung mengucap kalimat istighfar kembali.
“Lah, ko istighfar terus dari tadi.”
“Emang nggak boleh?”
Masih dengan senyum yang sama. “Boleh, amat sangat boleh. Biar dosamu satu persatu gugur.”
“Kenapa sih, kamu lagi ... kamu lagi? Kenapa sekarang sering banget naik angkot?”
“Aku juga nggak tahu, kamu sendiri kenapa naik angkot terus?”
“Ya karena, aku ingin belajar mandiri.” Hyra akan menutupi masalahnya pada siapa pun. Ia belum siap bercerita pada siapa pun tanpa terkecuali.
“Bagus kalo gitu.”
“Oh, iya. Hai, aku mau nanya, boleh?”
“Boleh, asal aku bisa jawab. Tanya apa, hm?”
“Mm ... nggak jadi deh, nanti aja.” Sebenarnya Hyra ingin menanyakan perihal Raihan, tapi ia segan. Ia takut, Haidar akan curiga tentang perasaannya.
“Kenapa?”
“Nggakpapa.”
“Aneh.” Kini raut wajahnya berubah kesal, jengah dengan Hyra yang terkadang ucapannya membuat ia penasaran.
“Siapa?”
“Kamu.”
“Tapi, suka 'kan?”
“Iya.” Haidar langsung membekap mulutnya, ia keceplosan.
Sedangkan Hyra, ia tersenyum puas mendengar jawaban Haidar. “Kena kamu,” ujarnya dalam hati.
Untung saja, di dalam angkot tersebut hanya ada Hyra dan pak supir. Jadi, Haidar tidak terlalu malu. Dia diam. Membuang muka, tidak lagi menatap Hyra.
“Ko, diem? Tadi aja pecicilan.” Pancing Hyra.
“Lupain yang tadi.”
“Kenapa?”
“Belum saatnya.”
“Terus kapan?”
“Jangan kayak perempuan di luaran sana. Pertanyaan-pertanyaan tadi, seperti bukan Hyra yang aku kenal.”
Hyra tertegun mendengar ucapan Haidar. Ia bertanya seperti itu, niatnya hanya untuk mencairkan suasana. Tapi, Haidar? Ia salah paham.
“Oke.” Singkat, padat, dan jelas. Ia tidak ingin memperpanjang masalah.
Hening. Tidak ada yang ingin memulai topik pembicaraan, sampai angkot mulai ramai oleh penumpang dan tiba di tempat tujuan.
Biasanya jika naik angkot bareng, pas turun mereka akan berjalan beriringan, tapi tidak untuk sekarang. Haidar lebih dulu turun, lalu mengayunkan kakinya tanpa menunggu Hyra.
“Sebegitu marahnya kamu, Hai. Apa pertanyaan-pertanyaan tadi di matamu membuatku seperti perempuan murahan?” monolognya, ia merasa bersalah.
“Siapa yang murahan?” Tiba-tiba jantung Hyra berdegup kencang, seseorang itu mulai menyeimbangi langkah kakinya.
Hyra membalas dengan menaikan salah satu alisnya seolah bertanya ‘Kamu siapa?’ dan lawan bicaranya pun mengerti maksud dari Hyra.
Ia mengulurkan tangannya. “Aku Raihan.”
Ingin rasanya Hyra membalas uluran tangan itu dan berteriak ‘Aku sudah tau!’, tapi itu tidak mungkin ia lakukan. Ada harga diri yang harus dijaga.
“Hyra,” ketusnya, tanpa menoleh dan membalas uluran tangan tersebut.
“Aku udah tau.” Senyumnya kini menghiasi wajah manisnya.
Hyra sudah tidak kuat menahan degup jantungnya yang mulai berpesta, jika terus-terusan bersama Raihan. Ia pun mempercepat langkahnya untuk sampai ke kelas.
“Ayo, Hyra! Masih ada satu kelas lagi yang harus kamu lewati untuk bisa sampai ke kelasmu. Tahan degupnya,” batinnya.
“Bener, ya. Kata yang lain, kamu susah di dapetin.”
“Maksud kamu?”
“Aku nggak biasa, loh. Dapet jawaban yang cuek, jutek dari cewek. Biasanya mereka itu, seneng banget kalo aku ajak kenalan, apalagi ngobrol.”
“Ya, itu 'kan mereka.” Meskipun seperti itu, sebenarnya hati Hyra sama kaya perempuan yang lain, senang, berbunga-bunga, dan bahagia. Siapa sih, yang nggak seneng diajak kenalan sama seseorang yang kamu suka? apalagi dia sudah tahu nama kamu lebih dulu sebelum kamu memperkenalkan diri.
“Iya, mereka. Bukan kamu.” Raihan mempercepat langkahnya mendahului Hyra, lalu membalikkan badan dan berhenti dihadapannya. “Aku masih ganteng 'kan?” tanyanya penuh percaya diri.
Pertanyaan Raihan membuat Hyra mengerjapkan matanya berkali-kali. Ternyata seperti ini sosok Raihan? Orang yang sangat diidam-idamkannya justru sangat jauh dari apa yang ia pikirkan. Tingkat percaya dirinya terlalu tinggi dan sampai sini Hyra sudah mencium bau-bau playboy membuat dia ilfeel sendiri.
Ia mengedikkan bahunya sebagai jawaban yang Raihan lontarkan, lalu melewatinya tanpa sepatah kata pun. Raihan yang melihat tingkah Hyra pun hanya bisa menghela napas dan membalikkan tubuhnya kembali, mengekor di belakang Hyra. Karena, kelasnya masih jauh.
Di depan sana, sudah ada Haidar yang menunggu di depan pintu. Sedari tadi, matanya menatap Hyra dan Raihan. Ia, tak bisa menyembunyikan rasa cemburunya, kentara sekali pada raut wajahnya.
“Woy, ngapain Lo di situ? Jadi penjaga pintu?” Sapa Raihan dengan tawa, ketika sadar dirinya sedang diperhatikan.
“Bisa aja, lo. Habis ngapain? Godain anak orang?” godanya.
“Iya, tapi yang satu ini butuh tenaga ekstra.” jawabnya, masih dengan candaan.
Hyra yang mendengar percakapan dua orang tersebut hanya diam dan melewati Haidar tanpa menoleh kearahnya barang sedetik pun.
“Iya, kumpulin aja dulu tenaganya biar dapet.” timpal Haidar, meski hatinya terasa panas.
Raihan pun tertawa. “Gue duluan, ya. Keburu masuk nih.”
“Ya, udah. Sana gih.”
Haidar pun membuang napas kasar, saat Raihan benar-benar menghilang dari penglihatannya.
“Baru aja lengah dikit.”
Semoga suka dengan ceritanya dan ada yang bisa diambil diambil dari tiap babnya. Jangan lupa, tinggalkan jejak ya, see you :)
Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.“Kenapa?”Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahy
“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya. “Kamu yakin?” “Insyallah.”Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh. “Aku ke kamar dulu ya, Bu?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya. Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan. Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya.“Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.” Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”“Sekarang?”“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.“Oke! Siap meluncurrrr.”Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.“Dasar ng
Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”“Jakarta.”“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan I