Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.
“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.
“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.
“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”
“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”
“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”
“Sekarang?”
“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.
“Oke! Siap meluncurrrr.”
Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.
“Dasar nggak punya akhlak!” sebalnya. “Bu, Hyra pamit dulu ya, mau main ke rumah Anisa.” Setalah mencium kedua tangan ibunya, ia langsung menyambar tas kesayangannya.“Assalamu'alaikum,” pamitnya, langsung pergi tanpa menunggu persetujuan dari ibunya.
“Wa'alaikumussalam,” jawabnya meski sudah tidak terdengar oleh Hyra.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Anisa, rumah yang selalu Hyra rindukan. Karena, di dalamnya penuh kehangatan.
“Assalamu'alaikum,” ucap Hyra ketika berada di depan pintu rumah Anisa.
“Wa'alaikumussalam ... eh Hyra. Ayo masuk, Putri sama Nisa udah nungguin tuh di dalem.” Ramah ibu Nias, ibunya Anisa.
Selain Putri, Anisa atau yang lebih akrab dipanggil Nisa adalah sahabat baik Hyra.
“Wiiih ... kapan dateng kamu?” tanya Putri dengan mata yang masih fokus menatap layar laptop yang menampilkan film opa-opa Korea.
“Nanya saya? Atau aku?” kekeh Hyra.
“Terserah deh, tuan Putri mah bebas. Iya 'kan, Nis?” ujarnya mencari teman.
“Eh, iya Ra. Kata Putri, kemarin waktu aku nggak masuk sekolah kamu pulangnya sama om-om, iya?” Wajah Anisa kini telah berpaling dari laptopnya dan menatap Hyra serius.
Sedangkan yang ditanya bukannya jawab, malah balik nanya. “Om-om? Kapan?
“Ya elah pake lupa lagi, kemarin tuh pas kamu mau nebeng sama aku terus nggak jadi. Karena, udah ada om-om yang nungguin kamu 'kan? Ngaku?” desak Putri yang menatap Hyra meminta penjelasan.
Hyra tertawa melihat tingkah kedua temannya. “Masa iya sih masih muda kaya gitu dibilang om-om.”
Pernyataan Hyra membuat Putri kesal sendiri. “Orang aku taksir umurnya kisaran 30-an, apa dong kalo bukan om-om.”
“Jawab Ra!” tambah Nisa yang semakin geram.
“Oke ... oke aku akan jawab.” Hyra menghela napas sejenak. “Dia itu mang Wawan, temennya bapak. Beliau jemput aku, karena dimintai tolong sama ibu. Soalnya bapak nggak bisa jemput.” Senyumnya, meski hatinya masih terluka ketika membahas tentang permasalahan tersebut.
“Emang bapak kamu kemana?” Bukan Putri namanya, jika tidak kepo.
“Kemana-mana hatiku senang ... syalalala ... syalala,” Hyra bernyanyi berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Ih kamu, udah tau ini lagi serius. Itu Nis ... Hyranya nakal,” adunya pada Nisa seperti anak kecil yang meminta perlindungan.
Sedangkan Nisa hanya menggelengkan kepala, melihat kelakuan dua temannya itu.
“Ra, aku ada mangga tuh, mau pada ngerujak nggak?” tanya Nisa sambil menunjuk mangga yang berada di atas meja.
“Ayooooo!” seru Putri dan Hyra bersamaan. Mereka terlihat begi antusias.
Di tengah-tengah kegiatan ngrujak, Nisa dengan mata yang masih fokus membuat sambal rujak membuka obrolan cukup serius. “Ra, kemarin kamu berangkat sekolah naik angkot sama Haidar janjian?”
Hyra melirik Putri, sedangkan putri yang mengerti lirikan Hyra seperti orang yang bertanya ‘ada apa?’ hanya mengedikan bahu.
“Nggak, itu cuma kebetulan,” jujurnya.
“Tapi kelihatannya kalian berdua seneng banget, bisa satu angkot bareng.” Anisa melirik sekilas ke arah Hyra menyunggingkan sedikit senyumnya.
‘Apa dia cemburu?’ batin Hyra.
Keadaan seketika berubah penuh ketegangan. Hyra dan Nisa memilih untuk saling diam, berkutat dengan pikirannya masing-masing. Sedangkan Putri, memutar otak untuk mencairkan suasana yang ia rasa semakin panas.
“Ra, Nis. Kalian tau nggak, kemarin aku 'kan upload foto cincin tuh di status WA. Terus kalian tahu apa yang terjadi? Dadan bales status aku dan bilang gini ‘kamu mau cincin itu? nanti aku beliin deh, kalo udah halal’ sumpah geli banget tau.” Putri menegedikkan bahunya berkali-kali.
Hyra dan Nisa pun tertawa, pasalnya mereka tahu Dadan itu buaya kelas teri. Gombalin sana-sini, tapi nggak ada satu pun yang kecantol. Kemungkinan besar good looking berlaku di sini.
“Terus kamu bales apa?” tanya Nisa dengan tawa yang masih tercekik ditenggorokannya.
“Ya, nggak dibales 'lah ... males.” Putri memutar bola matanya. Kalo buka demi memecahkan keheningan yang terjadi, dia benar-benar malas menceritakan soal Dadan pada kedua temannya.
“Kalo Kaka tampan yang bilang gitu sih, pasti langsung mau, iya 'kan?” kekeh Hyra ikut menimpali.
“Ya itu sih beda lagi urusannya. Inget good looking masih berlaku guys.”
“Kasihan sekali si Dadan itu. Kayanya harus kebengkel dulu deh, biar jadi good looking dan dilirik sama Putri.” Nisa memasang wajah memelas, membayangkan sosok Haidar.
“Bener-bener harus diservis, tidak ada tawar-menawar, bener nggak Put?” tambah Hyra yang disetujui oleh anggukan. Dan ketiganya pun tertawa bersama, hanyut dengan obrolan-obrolan berikutnya. Dari A sampai Z, dari yang penting hingga tidak sama sekali. Seperti obrolan orang-orang di luaran sana.
Peliknya masalah yang sedang dihadapi seketika berhenti sejenak. Ketika mulai membuka diri, bertemu dengan orang-orang disekeliling, dan melakukan hal-hal yang membuat hari-hari terasa padat. Sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan atau hanya sekedar mengingat begitu mengerikannya masalah yang sedang dilalui.
Setelah pulang dari rumah Nisa, Putri menawarkan diri untuk mengantarkan Hyra pulang. Sebab, ada banyak pertanyaan yang hari-hari ini mengganjal hatinya. Ia butuh bicara empat mata dengan si pemilik cerita.
“Ra, kita beli es kelapa dulu yuk? Aku haus,” ajaknya.
“Boleh.”
Sembari menunggu pesanannya Hyra dan Putri mencari tempat duduk yang nyaman.
“Kita minum es kelapanya di sini aja ya, sambil ngobrol-ngobrol. Karena, ada banyak pertanyaan untukmu wahai Almahyra Batari,” ucapnya dengan tatapan tajam.
Hyra terkekeh melihat kelakuan sahabatnya tersebut, “Bisa nggak biasa aja? Kalo kaya gitu mana bisa aku serius,” tawanya semakin pecah.
“Ish! Kamu tuh ya ... aku mau interogasi, malah ketawa. Apanya coba yang lucu,” sebal Putri dengan bibir yang dimajukan sedikit.
Sejenak Hyra mengambil dan membuang napas, menetralkan dan bersiap untuk pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan oleh sahabatnya tersebut. “Oke ... oke, mau tanya apa?”
“Pertama, kamu sebenarnya lagi ada masalah apa? Ke dua kenapa kamu bisa satu angkot sama Haidar? Ke tiga ada hubungan apa kamu sama Haidar? Dan yang terakhir kamu, Nisa, dan Haidar sebenarnya ada masalah apa?” cerosonya.
Hyra menatap penuh ketegasan. “Pertanyaan yang pertama aku belum bisa kasih tahu kamu. Ke dua, kita ketemu diangkot nggak sengaja, Haidar naik angkot gara-gara waktu itu hujan. Ke tiga, aku dan Haidar tidak ada hubungan apa-apa. Dan yang terakhir, aku sendiri tidak tahu.”
“Nisa kaya cemburu sama kamu.”
“Cemburu? Kenapa?”
“Iya, dia kayanya suka deh sama Haidar.”
Hyra mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu, dan kali ini tidak mau tahu.”
“Ya udah deh kalo kaya gitu.” Putri pun menyerah diiringi dua gelas es kelapa yang telah dihidangkan dihadapannya oleh penjual. “Makasih, Mang.”
“Sama-sama, Neng,” Jawab penjual es.
Hyra melirik sekilas penjual es kelapa tersebut yang peluhnya bercucuran menghiasi dahinya. Dia pun teringat kondisi bapaknya, ‘Apa sepulang dari sini aku harus menceritakan kondisi bapak sekarang pada ibu?’
Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”“Jakarta.”“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan I
Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya. Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -y
Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.“Kenapa?”Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahy
“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya. “Kamu yakin?” “Insyallah.”Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh. “Aku ke kamar dulu ya, Bu?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya. Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan. Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya.“Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.” Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya. Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -y
Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”“Jakarta.”“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan I
Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”“Sekarang?”“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.“Oke! Siap meluncurrrr.”Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.“Dasar ng
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya. “Kamu yakin?” “Insyallah.”Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh. “Aku ke kamar dulu ya, Bu?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya. Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan. Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya.“Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.” Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.“Kenapa?”Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahy