Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.
“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.
Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.
“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.
“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.
Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”
“Jakarta.”
“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”
Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan Indah. “Aku bingung, Bu. Bagaimana pun di dalam tubuhku, mengalir darahnya bapak. Dan aku bisa merasakan, betapa takutnya bapak jika pulang.” Air matanya berkumpul di tempat yang akhir-akhir ini menjadi pelabuhannya. “Aku takut ... bapak di penjara,” lanjutnya.
Indah hanya tersenyum kecut, ia bingung tentang perlanjutnya.
“Bapak di Jakarta jadi pe-” belum sempat Hyra menuntaskan ucapannya, pintu kamarnya terbuka. Munculah malaikat yang selama ini jadi pelipur lara bagi ibu, bapak dan kakanya.
“Ada apa, Mas?”
“Capcainya udah mateng belum, Bu?” Adik Hyra yang bernama Dimas Kusuma memegangi perutnya sambil berkata, “laper,” imbuhnya sambil tersenyum.
“Ya, Allah. Belum,” kekehnya. Ia bangkit dari duduknya berjalan menghampiri putra kesayangannya. “Kita masak bareng, yuk!” Dimas pun menganggukkan kepala dengan antusias.
Dimas Kusuma, anak laki-laki berumur empat tahun tersebut sangat suka sekali dengan kegiatan memasak, apalagi potong-memotong. Saking antusiasnya, ia akan menjadi orang sok sibuk. Dia adalah pelipur lara bagi keluarganya.
Hyra menghela napasnya, ia tidak mengerti dengan perasaannya. Apakah lega, karena Dimas datang sehingga ibunya belum tahu kondisi bapaknya. Ataukah kesal, karena masalah ini ia pendam sendiri.
“Nanti malem kali, ya?” Ia meraih teleponnya. Tanpa sengaja ia menekan tombol gagang telepon pada salah satu nama yang tertera di kontaknya.
“Eh, aduh gima-”
“Hallo, assalamualaikum?” sambungan telepon pun diangkat oleh sang penerima.
“Wa-wa'alaikumussalam.” Hyra meremas-remas jemarinya, gugup.
“Kenapa, Ra?” suaranya terdengar lembut di gendang telinga Hyra.
Rasa gugup pun semakin menjadi, tangannya gemetar. Hyra bingung dengan perasaannya sendiri, sebenarnya ia menyukai temannya dia atau dianya?
“Kepencet, maaf ...,” lirihnya.
Di balik telepon, kentara sekali seseorang di seberang sana yang tak lain Haidar tertawa mendengar tutur kata Hyra.
“Oh, kepencet ya? Nggak papa ... tenang aja, aku seneng malah.”
“Iya, ya udah assa-”
“Bentar!” cegahnya.
“Kenapa?”
“Kebetulan, nih. Kamu 'kan nggak sengaja tuh nelpon, boleh minta tolong?”
“Apa?”
“Ajarin buat PR yang kemarin.”
“Ajarin? Tinggal berimajinasi, apa susahnya!” tandas Hyra. Hatinya mulai tak karuan, sungguh demi apa pun ia ingin menyudahi percakapan ini. “Assalamu'alaikum,” lanjutnya tanpa persetujuan dari pihak ke dua.
Panggilan tanpa sengaja atau tidak sengaja tadi, cukup membuat Haidar senang. Bahkan sedari awal mengangkatnya ia tak henti tersenyum. Ia menatap senja penuh intens, mencoba memahami apa saja yang bisa ia simpulkan, pelajari, dari jingga yang datang di penghujung hari.
“Ternyata kamu dan senja sama, indah.
Dan untuk menikmati keindahan tersebut butuh proses serta waktu.” Ia mengambil kopi yang tergeletak di mejanya. Matanya masih sama, mengamati senja dari balik jendela hingga benar-benar hilang dari penglihatan.Lain hati, lain pula tempatnya. Bukan hanya dibimbangkan oleh kisah percintaan, dirinya pun dibimbangkan oleh masalah keluarga. Ternyata menyelesaikan misi surat cinta, tak segampang menyusun pazel. Baru beberapa hari saja, masalah ini terasa rumit bagi Hyra. Dia lelah. Ingin menyerah. Akan tetapi, keadaan mengatakan bersabarlah. Waktu terus berjalan, senja mulai berganti malam. Kali ini, sholat tak pernah ia tinggalkan. Bukan, bukan karena masalah yang datang menghampiri. Justru sebaliknya, cinta yang membuat ia sadar, bahwa selama ini ia jauh dari Penciptanya.
Hyra berjalan menghampiri ibunya, lalu membaringkan tubuhnya di samping Indah. “Bu, Hyra mau lanjutin obrolan tadi,” ucapnya penuh keseriusan.
“Iya, apa?”
“Sebenarnya bapak sekarang jadi pemulung di Jakarta, Bu.” Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata.
“Terus ibu harus gimana? Setelah mendangar pernyataanmu itu.” Hyra kira ibunya akan terkejut, sama seperti dirinya waktu pertama kali tahu soal ini. Ternyata dugaannya salah, ibunya benar-benar sudah acuh tak acuh.
“Ibu sudah nggak peduli sama bapak?”
“Nggak, bapakmu juga nggak peduli sama kita.” Wajahnya datar, ia seperti orang yang mati rasa. Tidak ada perubahan ekspresi barang sedetik pun.
“Kenapa kita nggak maafkan aja, Bu? Allah aja Maha Pemaaf, masa iya kita yang hanya sebagai hambanya tidak mau memafkan.” Hyra terus berusaha membujuk ibunya, supaya mau memaafkan kesalahan bapaknya. Dan menerima, apa yang diberikan oleh-Nya.
“Hati ibu, masih terluka. Berikan waktu untuk menerima serta memaafkan,” pintanya.
Hyra mengangguk setuju, pasrah. Benar, ibunya butuh waktu. Akan tetapi, sampai kapan? Bukannya sebuah pasangan harus bisa menerima kekurangan pasangannya masing-masing ya? Ah, kacau. Kali ini dunia terlihat sangat sulit berpihak padanya.
Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya. Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -y
Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.“Kenapa?”Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahy
“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya. “Kamu yakin?” “Insyallah.”Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh. “Aku ke kamar dulu ya, Bu?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya. Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan. Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya.“Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.” Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”“Sekarang?”“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.“Oke! Siap meluncurrrr.”Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.“Dasar ng