Share

Bab 5

Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.

“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.

Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.

“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.

“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.

Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”

“Jakarta.”

“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”

Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan Indah. “Aku bingung, Bu. Bagaimana pun di dalam tubuhku, mengalir darahnya bapak. Dan aku bisa merasakan, betapa takutnya bapak jika pulang.” Air matanya berkumpul di tempat yang akhir-akhir ini menjadi pelabuhannya. “Aku takut ... bapak di penjara,” lanjutnya.

Indah hanya tersenyum kecut, ia bingung tentang perlanjutnya.

“Bapak di Jakarta jadi pe-” belum sempat Hyra menuntaskan ucapannya, pintu kamarnya terbuka. Munculah malaikat yang selama ini jadi pelipur lara bagi ibu, bapak dan kakanya.

“Ada apa, Mas?”

“Capcainya udah mateng belum, Bu?” Adik Hyra yang bernama Dimas Kusuma memegangi perutnya sambil berkata, “laper,” imbuhnya sambil tersenyum.

“Ya, Allah. Belum,” kekehnya. Ia bangkit dari duduknya berjalan menghampiri putra kesayangannya. “Kita masak bareng, yuk!” Dimas pun menganggukkan kepala dengan antusias.

Dimas Kusuma, anak laki-laki berumur empat tahun tersebut sangat suka sekali dengan kegiatan memasak, apalagi potong-memotong. Saking antusiasnya, ia akan menjadi orang sok sibuk. Dia adalah pelipur lara bagi keluarganya.

Hyra menghela napasnya, ia tidak mengerti dengan perasaannya. Apakah lega, karena Dimas datang sehingga ibunya belum tahu kondisi bapaknya. Ataukah kesal, karena masalah ini ia pendam sendiri.

“Nanti malem kali, ya?” Ia meraih teleponnya. Tanpa sengaja ia menekan tombol  gagang telepon pada salah satu nama yang tertera di kontaknya.

“Eh, aduh gima-”

“Hallo, assalamualaikum?” sambungan telepon pun diangkat oleh sang penerima.

“Wa-wa'alaikumussalam.” Hyra meremas-remas jemarinya, gugup.

“Kenapa, Ra?” suaranya terdengar lembut di gendang telinga Hyra.

Rasa gugup pun semakin menjadi, tangannya gemetar. Hyra bingung dengan perasaannya sendiri, sebenarnya ia menyukai temannya dia atau dianya? 

“Kepencet, maaf ...,” lirihnya.

Di balik telepon, kentara sekali seseorang di seberang sana yang tak lain Haidar tertawa mendengar tutur kata Hyra.

“Oh, kepencet ya? Nggak papa ... tenang aja, aku seneng malah.” 

“Iya, ya udah assa-”

“Bentar!” cegahnya.

“Kenapa?”

“Kebetulan, nih. Kamu 'kan nggak sengaja tuh nelpon, boleh minta tolong?”

“Apa?”

“Ajarin buat PR yang kemarin.”

“Ajarin? Tinggal berimajinasi, apa susahnya!” tandas Hyra. Hatinya mulai tak karuan, sungguh demi apa pun ia ingin menyudahi percakapan ini. “Assalamu'alaikum,” lanjutnya tanpa persetujuan dari pihak ke dua.

Panggilan tanpa sengaja atau tidak sengaja tadi, cukup membuat Haidar senang. Bahkan sedari awal mengangkatnya ia tak henti tersenyum. Ia menatap senja penuh intens, mencoba memahami apa saja yang bisa ia simpulkan, pelajari, dari jingga yang datang di penghujung hari.

“Ternyata kamu dan senja sama, indah.

Dan untuk menikmati keindahan tersebut butuh proses serta waktu.” Ia mengambil kopi yang tergeletak di mejanya. Matanya masih sama, mengamati senja dari balik jendela hingga benar-benar hilang dari penglihatan.

Lain hati, lain pula tempatnya. Bukan hanya dibimbangkan oleh kisah percintaan, dirinya pun dibimbangkan oleh masalah keluarga. Ternyata menyelesaikan misi surat cinta, tak segampang menyusun pazel. Baru beberapa hari saja, masalah ini terasa rumit bagi Hyra. Dia lelah. Ingin menyerah. Akan tetapi, keadaan mengatakan bersabarlah. Waktu terus berjalan, senja mulai berganti malam. Kali ini, sholat tak pernah ia tinggalkan. Bukan, bukan karena masalah yang datang menghampiri. Justru sebaliknya, cinta yang membuat ia sadar, bahwa selama ini ia jauh dari Penciptanya.

Hyra berjalan menghampiri ibunya, lalu membaringkan tubuhnya di samping Indah. “Bu, Hyra mau lanjutin obrolan tadi,” ucapnya penuh keseriusan.

“Iya, apa?”

“Sebenarnya bapak sekarang jadi pemulung di Jakarta, Bu.” Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata.

“Terus ibu harus gimana? Setelah mendangar pernyataanmu itu.” Hyra kira ibunya akan terkejut, sama seperti dirinya waktu pertama kali tahu soal ini. Ternyata dugaannya salah, ibunya benar-benar sudah acuh tak acuh.

“Ibu sudah nggak peduli sama bapak?”

“Nggak, bapakmu juga nggak peduli sama kita.” Wajahnya datar, ia seperti orang yang mati rasa. Tidak ada perubahan ekspresi barang sedetik pun.

“Kenapa kita nggak maafkan aja, Bu? Allah aja Maha Pemaaf, masa iya kita yang hanya sebagai hambanya tidak mau memafkan.” Hyra terus berusaha membujuk ibunya, supaya mau memaafkan kesalahan bapaknya. Dan menerima, apa yang diberikan oleh-Nya.

“Hati ibu, masih terluka. Berikan waktu untuk menerima serta memaafkan,” pintanya.

Hyra mengangguk setuju, pasrah. Benar, ibunya butuh waktu. Akan tetapi, sampai kapan? Bukannya sebuah pasangan harus bisa menerima kekurangan pasangannya masing-masing ya? Ah, kacau. Kali ini dunia terlihat sangat sulit berpihak padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status