Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.
Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.
“Kenapa?”
Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.
“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”
Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”
“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahyra,” ungkap salah seorang dari keduanya.
Tak menunggu lama, langkahnya terayun ke lobi. Detak jantungnya semakin kencang, ia merasa ada yang tidak beres.
Benar saja, di ruang lobi tersebut ada seseorang yang ia kenal, amat sangat kenal.
“Almahyra itu ada bapak kamu mau bicara sebentar katanya,” jelas resepsionis.
Ia hanya membalas dengan anggukan.
Ditatapnya laki-laki paruh baya dihadapannya. Matanya memerah.
“Nak, kita bicara di luar ya?” ujarnya, “Bu, Almahyranya saya ajak bicara diluar sebentar ya, di depan lobi,” tambahnya pada resepsionis.
“Baik Pak, silahkan.”
Almahyra hanya mengekor di belakang, mengikuti setiap ayunanan langkah seseorang yang menyandang status sebagai bapaknya. Sedangkan Sastro, mencari tempat yang nyaman untuk bisa ngobrol dengan putrinya.
“Kamu janji ya, harus belajar yang bener. Dan kamu harus janji, jadi anak yang kuat, nggak boleh cengeng. Bapak pamit,” ungkapnya ketika ia telah menemukan tempat yang pas untuk duduk. Matanya berkaca-kaca, menahan sekuat tenaga untuk tidak luruh dihadapan putrinya yang masih berumur 15 tahun.
Almahyra tergugu, ternyata ini yang membuat hatinya sesak sedari tadi. Pikirannya semakin kalut. Ia tak bisa menutupi kesedihannya. Pertahanannya runtuh.
“Kemana?” tanya Hyra. Sosok yang selalu tampil hangat, ramah dan ceria. Dengan begitu cepat mengambil alih sisi lainnya yang dingin.
“Bapak belum tahu, tolong jaga ibu dan adikmu ya. Bapak kesini hanya ingin berpamitan padamu. Dan bapak nggak bisa lama-lama di sini. Bapak harus pergi.” Tangannya terayun menghapus butir bening yang jatuh di pipi putri tercintanya.
“Janji kalo air mata ini adalah yang terakhir untuk menangisi bapak,” ucapnya sekali lagi.
Setelah mengecup kening putrinya ia berlalu, meninggalkan Almahyra yang masih tidak percaya dengan keadaan yang dialaminya. Kenapa bapaknya tiba-tiba pamit, sebenarnya ada apa?
“Apa yang akan aku hadapi setelah ini? Ya Rabb tolong aku.”
Dengan mata yang masih memerah ia kembali ke kelas. Menunduk sepanjang koridor untuk menyembunyikan kesedihannya. Hancur, hatinya terluka. Semua terjadi secara tiba-tiba, karena kemarin sore keluarganya terlihat masih baik-baik saja.
“Begitu mudahnya engkau membolak-balikan keadaan ya Rabb, karenanya aku mohon mampukan aku untuk segera menyelesaikan permasalah ini. Aku yakin semua akan baik-baik saja, karena Engkau selalu ada,” gumamnya yang tak lain untuk meneguhkan hatinya, supaya bisa ikhlas dalam menghadapi kenyataan yang tak semanis ia bayangkan sebelumnya.
Tak butuh waktu lama, jarak antara lobi dan kelasnya yang cukup dekat memberi keuntungan tersendiri bagi gadis cantik yang lebih akrab dipanggil Hyra untuk segera mengakhiri rasa pedihnya. Sebelum masuk ke kelas ia membenahi diri, mengusap jejak air mata yang tadi ia buat, merapikan jilbabnya yang sedikit berantakan, dan tentunya ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengembangkan senyum manisnya. Tidak ingin terlalu dalam meratapi masalah yang kini satu persatu akan menimpanya. Meskipun ia sendiri tidak tahu, sebesar apa masalah yang akan dihadapinya.
Perlahan dibukanya gagang pintu kelas, terlihat tidak ada guru yang sedang mengajar, karena setelah memberi tugas guru itu langsung pergi ke kantor. Beberapa pasang mata tertuju padanya.
“Ada yang salah?” tanyanya.
Mereka yang semula menatapnya pun menggelengkan kepala lalu melanjutkan aktifitasnya masing-masing, terkecuali Haidar. Dia bangkit dari tempat duduknya mendekat ke arah Hyra.
“Kenapa?” tanyanya, menelisik mata sembab perempuan dihadapannya.
“Tidak ada apa-apa!” ketusnya.
“Matamu merah, pasti habis nangis 'kan? Dan bisa nggak, kalo ngomong sama aku nggak usah jutek kaya gitu. Giliran sama yang lain aja senyum.”
Yang diajak ngobrol pun menunjukan deretan gigi dengan paksa, lalu pergi ke tempat duduknya tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
“Sabar Haidar ... sabar, ingat tidak semua perempuan mudah ditaklukan,” desis laki-laki berkulit sawo matang.
Tidak ada yang tahu bahwa ia menyukai perempuan yang baru saja meninggalkannya, ia pandai menyembunyikan perasaan dan perhatiannya pada Hyra. Iya, selama ini Haidar selalu menunjukan perhatiannya pada Hyra tanpa sepengatahuan teman-temannya. Melalui chat misalnya. Diam-diam Hayra dan Haidar saling berkomukanisi melalui media virtualnya. Akan tetapi, di dunia nyata mereka saling mengasingkan diri seperti orang yang tidak kenal satu sama lain. Maaf, sepertinya bukan mereka, tapi Hyra saja.
Di sekolah terutama kelas, ia tidak pernah menceritakan kedekatannya dengan Haidar. Bahkan berbicara dengan Haidar pun hanya seperlunya, seperti tidak ada ikatan yang ia dan Haidar bangun. Berbeda dengan Haidar, dengan sikap humorisnya yang dibumbui kejahilan ia pandai mengolah keadaan. Sesekali ia mencoba membuka pembicaraan dengan Hyra ketika bersama teman-temannya dengan diakhiri sebuah candaan. Sehingga tidak banyak yang mengira bahwa ada benih-benih asmara yang tumbuh dalam hatinya. Ke duanya saling menutup diri dan mereka punya caranya masing-masing untuk mengungkapkan isi hatinya.
“Ra, tadi dipanggil kenapa?” Putri, teman sebangku Hyra terlihat begitu cemas saat ia mendapati Hyra pulang dari lobi dengan wajah sendu.
“Tidak apa-apa,” balas Hyra menciptakan bulan sabit di kedua bibirnya.
“Kapan pun kamu mau, aku siap mendengar ceritamu. Terbukalah padaku Ra, aku sayang sama kamu,” papar Putri yang statusnya telah berubah menjadi sahabatnya kini berhambur memeluk Hyra.
“Iya,” jawabnya tersenyum.
Hyra bukanlah tipe orang yang ingin mengharap belas kasih atas keadaan apapun yang menimpanya. Sebisa mungkin ia menyembunyikan setiap rasa sakit yang diterimanya, menampilkan sosok kuat padahal sebenarnya rapuh. Dan hanya putri yang bisa merasakan sisi lain dari seorang Hyra. Ia tahu kapan Hyra sedang tertekan, sedih atau apa pun itu.
“Nantu pulang sama siapa? Bareng aja sama aku ya,” pintanya sembari melepas pelukannya.
Bayangan percakapan ia dan bapaknya terlintas kembali. Bapaknya pamit pergi, lalu setelah ini siapa yang akan antar-jemput sekolahnya?
“Bukannya beda arah?”
“Iya, tapi tidak apa-apa. Sekalian aku mau main ke rumah kamu.”
“Oke.”
Ketika bel pulang dibunyikan, Hyra dan Putri bergegas pulang menuju parkiran motor. Hyra yang berniat bonceng Putri, tiba-tiba melihat seseorang yang dikenalinya di depan gerbang.
“Put, aku nggak jadi nebeng sama kamu. Terus soal main, lain kali aja ya.”
“Iya, ya tapi kan ....” Belum sempat ia melanjutkan ucapannyaa, Hyra sudah pergi dengan tergesa-gesa.
“Aku tahu kamu sedang sedih Ra, makanya aku mau main ke rumah kamu. Supaya kamu bisa leluasa cerita sama aku, eh malah pergi gitu aja,” monolognya.
Putri yang melihat Hyra berbincang dengan seseorang di depan gerbang, memicingkan matanya memperjelas siapa yang dilihatnya.
“Itu siapa sih yang ngobrol sama Hyra?” Ketika ia akan melajukan motornya untuk menghampiri Hyra, Hyra sudah keduluan pergi bersama seorang laki-laki yang Putri taksir umurnya sekitar tiga puluhan.
“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya. “Kamu yakin?” “Insyallah.”Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh. “Aku ke kamar dulu ya, Bu?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya. Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan. Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya.“Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.” Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”“Sekarang?”“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.“Oke! Siap meluncurrrr.”Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.“Dasar ng
Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”“Jakarta.”“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan I
Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya. Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -y
Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya. Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -y
Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”“Jakarta.”“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan I
Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”“Sekarang?”“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.“Oke! Siap meluncurrrr.”Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.“Dasar ng
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya. “Kamu yakin?” “Insyallah.”Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh. “Aku ke kamar dulu ya, Bu?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya. Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan. Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya.“Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.” Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.“Kenapa?”Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahy