The real cinta Sanaya pada unclenya adalah cinta buta. Sampai saat ini Zira masih bertanya-tanya kenapa putrinya sangat lengket dengan Razie. Dibilang Razie sering membawa Sanaya jalan-jalan, jelas itu salah. Jika karena sering bermain bersama, itu lebih sangat salah. Razie orang yang-- mirip sekali dengan batu. Diam!Razie juga minim respon dan hanya ham hum hem. Lalu apa yang membuat putrinya yang banyak bicara, hyper aktif serta lincah ini suka lengket dengan sang uncle? Sangat misterius. "Ih." Sanaya memukul sofa dengan kepalan tangan mungil. "Naya bisa jatuh sakit karena merindukan Uncle tampan. Mommy, coba cek kening Naya," celutuk Sanaya, tiba-tiba nadanya berubah lemas dan tak bersemangat. Sanaya meraih tangan sang Mommy kemudian meletakkan telapak tangan Mommynya di atas kening. "Panas nggak, Mommy."Zira hanya terkekeh geli sebagai jawaban. Saat ini dia dan putrinya berada di ruang tengah–menunggu sang suami pulang kerja. "Naya demam deh," lanjut Sanaya, cemberut dengan
"Hei!" horor Zira panik setengah mati, melotot tak percaya pada putrinya. Kemudian buru-buru menatap ke arah suaminya, menggelengkan kepala secara cepat. "Nggak mungkin Mommy selingkuh. Kamu ini!" celutuk Zira, mencubit pipi putrinya cukup kencang–gemas sekaligus sebal pada tuduhan sang putri. "Lagian memangnya kamu tahu arti selingkuh itu apa?""Tahu dong. Naya pernah dengar kakak-kakak pekerja di rumah Kakek dan Nenek buyut. Kakak itu bilang selingkuh itu suka orang lain padahal sudah punya pasangan. Mommy berarti! Mommy suka pada Naya, padahal Mommy kan sudah punya Daddy. Hayoo … Mommy selingkuh," ucap Sanaya sembari memicingkan mata ke arah Mommynya, senyum lebar–jahil sekaligus menggemaskan. "Ya ampun." Zira menepuk jidat, menggeleng-gelengkan kepala karena tak habis pikir. "Nggak begitu, Sayang. Selingkuh itu perbuatan jahat, dan anak kecil seperti kamu tidak boleh membahas ataupun menyebutnya. Tidak pantas! Okey?" tegur Zira."Ouh, begitu yah. Berarti Mommy tidak selingkuh,
Sudah dua hari Sanaya di rumah sakit, demam tinggi. Zira sudah menghubungi Razie supaya kembarannya tersebut pulang–Sanaya tak berhenti memanggil-manggil sang paman, rindu berat pada pamannya. "Kapan Uncle datang, Mommy, Daddy, Sanaya sudah tidak tahan," ucap Sanaya lemah, merintih sakit secara pelan dan serak. Mata gadis cantik itu merah, wajahnya pucat dan bibir memutih. Sama seperti hari pertama demam, suhu badan Sanaya masih tinggi–tak turun sama sekali meskipun sudah meminum obat serta dapat perawatan dari dokter. "Sebentar lagi, Kesayangan Grandma. Granddad saat ini sedang menjemput Uncle tampan kamu," jawab Ziea sembari mengusap pucuk kepala sang cucu dengan lembut.Zira menghela napas, menatap sedih pada putrinya. Dia sama sekali tidak tega melihat kondisi Sanaya, berbaring lemah di bed rumah sakit, mata sayup serta suara lirih. Ini pertama kalinya Sanaya demam tinggi. Sejujurnya sudah enam bulan putrinya tak bertemu dengan sang uncle tampan. Dari biasanya Sanaya bertemu
"Setelah Sanaya sembuh, Razie tidak lagi pulang ke Paris. Tetapi dia tetap di sini, demi mencarimu. Setelah beberapa bulan mencari informasi lengkap tentang kamu, akhirnya … kamu di sini. Selesai dan happy ending! Yeiiii …." Di akhir kalimat, Zira bertepuk tangan meriah–tersenyum lebar ke arah Kanza dan Alana. Akhirnya dia selesai menceritakan kisahnya pada kedua adiknya tersebut. Ternyata cukup menyenangkan berbagi cerita seperti ini pada Kanza dan Alana. Keduanya pendengar yang budiman!Kanza menatap sekilas ke arah Alana, lalu menatap sepenuhnya pada Zira–sang kakak ipar yang merupakan kembaran suaminya. Sebuah senyuman indah mengembang di bibir perempuan manis tersebut, rasanya campur aduk mendengarkan cerita percintaan Zira. Dia suka, senyum-senyum sendiri di awal cerita. Kanza ingin rasanya bertemu dengan Zira delapan belas tahun–pasti saat itu Zira sangat menggemaskan. Dipertengahan cerita, Kanza merasa sesak di dadanya. Dia pikir kisar Zira dan suaminya sangat mulus, perjua
"Ayam kecap khusus untuk Kanza-ku telah selesai." Razie meletakkan ayam kecap buatannya di depan Kanza, dengan bangga dia menyunggingkan senyuman pada Kanza, "cobalah. Kau pasti suka.""U'um." Kanza menganggukkan kepala, menatap ragu pada suaminya lalu beralih menatap ragu pada putranya. Pantas lama. Ternyata suaminya memasak ayam kecap, bukan membuatkannya pada para maid. Hah, semoga Kanza masih tetap bernapas setelah mencoba masakan ini. Secara kaku dan gugup, Kanza memasukkan ayam kecap yang ia suwir dalam mulut. Dia mengunyah secara pelan, dan …."Enak. Ini sangat enak, Mas Razie," antusias Kanza, menoleh cepat ke arah suaminya–menyunggingkan senyuman lebar pada Razie dan Kendrick. Razie mengacak pucuk kepala Kanza. "Apa kubilang," ucapnya bangga. Namun, senyuman Razie seketika hangus dikarenakan oleh ucapan Kendrick. "Tentu saja enak, Mom. Kendrick yang memasak," celutuk Kendrick tanpa dosa, tersenyum manis pada Mommynya. "Kau bilang apa?" Razie langsung menyengkal. "Jelas-
"Bagaimana, Sayang?" tanya Ziea ketika Kanza dan Razie sudah sampai di kediaman Azam. "Aman, Mom." Kanza mendekati Mommy mertuanya, tersenyum lembut ke arah Ziea, "Aku dan Ayah memilih bersamaan. Yah, tapi … mereka tetap pergi dari rumah," tambah Kanza. Ziea mengangguk pelan. "Bagus. Kamu memang harus memaafkan, dan kamu sudah benar dengan memberikan hukuman begitu pada Ayah dan istrinya. Ayah harus menebus kesalahannya. Sedangkan mereka-- ibu dan adik tirimu harus mendapat karma."Kanza lagi-lagi tersenyum pada mommy mertuanya. Wanita ini sangat pengertian, peka, dan sangat baik. Beruntung dia punya ibu mertua seperti Ziea. "Mari masuk, kita kumpul sama-sama," ucap Ziea, merangkul Kanza lalu membawa menantunya tesebut masuk. Sedangkan Razie, dia menoleh ke arah sang putra yang berada di gendongannya. "Seperti biasa, kita selalu diabaikan." Kendrick menganggukkan kepala pelan. "Come on, Daddy. Ikuti Mommy. Ada banyak sepupu laki-laki Daddy di sini," ucap Kendrick kemudian, menata
----Lea love story'---Ting'Sebuah lonceng berbunyi, gadis cantik dengan rambut sedikit kecoklatan tersebut hanya melirik sekilas. Dia tidak memastikan siapa yang masuk karena sedang fokus pada layar ponsel. Gadis tersebut cekikikan, terkekeh geli sebab sedang berbalas pesan dengan sahabat tercintanya. Barusan dia bertelponan dengan Ziea, di mana sahabatnya tersebut mengatakan dia sedang di Paris dan sudah menikah. Lea cukup kaget, tetapi saat tahu siapa yang menikahi sahabatnya, dia menolak kaget. Maklum, keluarga suami sahabatnya memang super privasi, suka dadakan dan penuh rahasia. Azalea Ariva, atau biasa dipanggil Lea tersebut hampir tertawa terbahak-bahak ketika membaca pesan Ziea yang mengatakan dirinya dimarahi sang suami tanpa sebab. Tok tok tok"Cik." Mendengar meja kasir diketuk, Lea berdecak pelan. Dia meletakkan HP lalu mendongak untuk melihat siapa yang mengetuk mejanya. "Ada yang bisa saya bantu … eh, Sayang. Ngapain ke sini? Rindu aku yah? Acieee … yang udah mulai
Haiden sangat kesal ketika melihat Lea mengobrol begitu akrab dengan seorang laki-laki. Padahal, laki-laki itu adalah pria asing–salah satu pengunjung, tetapi bisa-bisanya Lea langsung akrab. "Aku akan berikan tubuhku padamu jika kita menjadi kekasih lagi, Tuan. Aku tidak masalah menjadi yang ke dua belas.""Shut up, Bitch!" sarkas Haiden, mendorong pundak Sabila secara kasar kemudian berjalan menghampiri Lea. "AZALEA!" bentaknya marah, langsung menyentak pergelangan Lea agar menjauh dari pria tersebut lalu mendorong pundak si pria secara kasar. "Maaf?" Pria tersebut mengerutkan kening, menatap tak bersahabat ke arah Haiden. "Anda siapa?" tanyanya kemudian, kesal karena kehadiran laki-laki ini sangat mengganggunya. "Ouh, dia ini Kakakku. Emang rada begitu, Mas. Maklum," jawab Lea santai, tersenyum manis ke arah pria tersebut. "Kita lanjut Wa-an kan, Mas?" "Kau-" Haiden mengeratkan cengkeramannya di lengan Lea, merunduk lalu melayangkan tatapan membunuh ke arah Lea. "Kakaknya pos
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming