"Setelah Sanaya sembuh, Razie tidak lagi pulang ke Paris. Tetapi dia tetap di sini, demi mencarimu. Setelah beberapa bulan mencari informasi lengkap tentang kamu, akhirnya … kamu di sini. Selesai dan happy ending! Yeiiii …." Di akhir kalimat, Zira bertepuk tangan meriah–tersenyum lebar ke arah Kanza dan Alana. Akhirnya dia selesai menceritakan kisahnya pada kedua adiknya tersebut. Ternyata cukup menyenangkan berbagi cerita seperti ini pada Kanza dan Alana. Keduanya pendengar yang budiman!Kanza menatap sekilas ke arah Alana, lalu menatap sepenuhnya pada Zira–sang kakak ipar yang merupakan kembaran suaminya. Sebuah senyuman indah mengembang di bibir perempuan manis tersebut, rasanya campur aduk mendengarkan cerita percintaan Zira. Dia suka, senyum-senyum sendiri di awal cerita. Kanza ingin rasanya bertemu dengan Zira delapan belas tahun–pasti saat itu Zira sangat menggemaskan. Dipertengahan cerita, Kanza merasa sesak di dadanya. Dia pikir kisar Zira dan suaminya sangat mulus, perjua
"Ayam kecap khusus untuk Kanza-ku telah selesai." Razie meletakkan ayam kecap buatannya di depan Kanza, dengan bangga dia menyunggingkan senyuman pada Kanza, "cobalah. Kau pasti suka.""U'um." Kanza menganggukkan kepala, menatap ragu pada suaminya lalu beralih menatap ragu pada putranya. Pantas lama. Ternyata suaminya memasak ayam kecap, bukan membuatkannya pada para maid. Hah, semoga Kanza masih tetap bernapas setelah mencoba masakan ini. Secara kaku dan gugup, Kanza memasukkan ayam kecap yang ia suwir dalam mulut. Dia mengunyah secara pelan, dan …."Enak. Ini sangat enak, Mas Razie," antusias Kanza, menoleh cepat ke arah suaminya–menyunggingkan senyuman lebar pada Razie dan Kendrick. Razie mengacak pucuk kepala Kanza. "Apa kubilang," ucapnya bangga. Namun, senyuman Razie seketika hangus dikarenakan oleh ucapan Kendrick. "Tentu saja enak, Mom. Kendrick yang memasak," celutuk Kendrick tanpa dosa, tersenyum manis pada Mommynya. "Kau bilang apa?" Razie langsung menyengkal. "Jelas-
"Bagaimana, Sayang?" tanya Ziea ketika Kanza dan Razie sudah sampai di kediaman Azam. "Aman, Mom." Kanza mendekati Mommy mertuanya, tersenyum lembut ke arah Ziea, "Aku dan Ayah memilih bersamaan. Yah, tapi … mereka tetap pergi dari rumah," tambah Kanza. Ziea mengangguk pelan. "Bagus. Kamu memang harus memaafkan, dan kamu sudah benar dengan memberikan hukuman begitu pada Ayah dan istrinya. Ayah harus menebus kesalahannya. Sedangkan mereka-- ibu dan adik tirimu harus mendapat karma."Kanza lagi-lagi tersenyum pada mommy mertuanya. Wanita ini sangat pengertian, peka, dan sangat baik. Beruntung dia punya ibu mertua seperti Ziea. "Mari masuk, kita kumpul sama-sama," ucap Ziea, merangkul Kanza lalu membawa menantunya tesebut masuk. Sedangkan Razie, dia menoleh ke arah sang putra yang berada di gendongannya. "Seperti biasa, kita selalu diabaikan." Kendrick menganggukkan kepala pelan. "Come on, Daddy. Ikuti Mommy. Ada banyak sepupu laki-laki Daddy di sini," ucap Kendrick kemudian, menata
----Lea love story'---Ting'Sebuah lonceng berbunyi, gadis cantik dengan rambut sedikit kecoklatan tersebut hanya melirik sekilas. Dia tidak memastikan siapa yang masuk karena sedang fokus pada layar ponsel. Gadis tersebut cekikikan, terkekeh geli sebab sedang berbalas pesan dengan sahabat tercintanya. Barusan dia bertelponan dengan Ziea, di mana sahabatnya tersebut mengatakan dia sedang di Paris dan sudah menikah. Lea cukup kaget, tetapi saat tahu siapa yang menikahi sahabatnya, dia menolak kaget. Maklum, keluarga suami sahabatnya memang super privasi, suka dadakan dan penuh rahasia. Azalea Ariva, atau biasa dipanggil Lea tersebut hampir tertawa terbahak-bahak ketika membaca pesan Ziea yang mengatakan dirinya dimarahi sang suami tanpa sebab. Tok tok tok"Cik." Mendengar meja kasir diketuk, Lea berdecak pelan. Dia meletakkan HP lalu mendongak untuk melihat siapa yang mengetuk mejanya. "Ada yang bisa saya bantu … eh, Sayang. Ngapain ke sini? Rindu aku yah? Acieee … yang udah mulai
Haiden sangat kesal ketika melihat Lea mengobrol begitu akrab dengan seorang laki-laki. Padahal, laki-laki itu adalah pria asing–salah satu pengunjung, tetapi bisa-bisanya Lea langsung akrab. "Aku akan berikan tubuhku padamu jika kita menjadi kekasih lagi, Tuan. Aku tidak masalah menjadi yang ke dua belas.""Shut up, Bitch!" sarkas Haiden, mendorong pundak Sabila secara kasar kemudian berjalan menghampiri Lea. "AZALEA!" bentaknya marah, langsung menyentak pergelangan Lea agar menjauh dari pria tersebut lalu mendorong pundak si pria secara kasar. "Maaf?" Pria tersebut mengerutkan kening, menatap tak bersahabat ke arah Haiden. "Anda siapa?" tanyanya kemudian, kesal karena kehadiran laki-laki ini sangat mengganggunya. "Ouh, dia ini Kakakku. Emang rada begitu, Mas. Maklum," jawab Lea santai, tersenyum manis ke arah pria tersebut. "Kita lanjut Wa-an kan, Mas?" "Kau-" Haiden mengeratkan cengkeramannya di lengan Lea, merunduk lalu melayangkan tatapan membunuh ke arah Lea. "Kakaknya pos
Ada sebuah insiden cukup menegangkan ketika Lea dan Ziea ke pesta pernikahan teman mereka tersebut. Si pengantin perempuan melarikan diri, dan si pengantin laki-laki yang tak lain merupakan manta dari Ziea tersebut memaksa Ziea untuk menggantikan pengantin yang kabur. Untungnya, Reigha--suami dari sahabatnya tersebut datang tepat waktu, menyelamatkan Ziea dari hal konyol yang akan menimpa dirinya tersebut. Sekarang di sinilah Lea, di mansion mewah keluarga suami Ziea–kediaman Azam. Lea berbincang-bincang akrab dengan orang tua Ziea, kebetulan sudah cukup dekat dengannya. Setelah itu, Lea harus pamit, Tantenya mengabari dan mendesak Lea untuk. Sebenarnya tak ada hal penting, hanya saja Pamannya ke luar kota untuk utusan bisnis. Tantenya sendiri di rumah, jadi Lea ingin pulang secepatnya agar sang Tante ada yang menemani. "Kamu mau pulang, Sayang?" tanya Moza, ibu dari Ziea dan Haiden. Kedua anaknya tersebut biasa memanggilnya mommy, dan jika bercanda Lea juga sering ikut memanggiln
Lea menghela napas dalam-dalam, menahan bulir kristal di pelupuk supaya tak jatuh. Hatinya sangat sakit, karena Haiden meninggalkannya begitu saja. 'Memangnya apa yang bisa kuharapkan dari orang seperti Kak Haiden?' batinnya, bangkit untuk duduk–membersihkan butiran pasir atau batu kecil yang menempel di sikut. Hanya helaan napas yang keluar dari bibirnya ketika melihat sebuah goresan cukup parah di sikut. Namun, ketika dia mencoba berdiri tiba-tiba saja dari arah belakang Lea–seseorang membantunya. Lea cukup kaget, celingak-celinguk ke arah belakang untuk melihat siapa seseorang yang membantunya tersebut. "Stupid!" sarkas Haiden, menampilkan muka galak dengan rahang mengatup kuat–terlihat menahan marah. Akan tetapi, walau begitu, Haiden tetap membantu Lea untuk berdiri. "Kau sangat menyusahkan, kekanak-kanakan," tambah pria itu, berakhir menggendong Lea lalu memasukkannya dalam mobil. Lea cukup kaget ketika melihat mobil Haiden masih di sana. Loh, bukannya mobil pria ini sudah pe
"Di mana Azalea?" tanya Haiden, sudah beberapa hari semenjak dia memperingati Lea dan perempuan itu terlihat sangat jarang berada di cafe. Dua kali seminggu, Haiden biasanya ke sini untuk mengambil laporan cafe. Ada alasan kenapa Haiden sendiri yang mengambilnya, dan alasan itu merupakan rahasia! "Kak Lea tidak kerja, Tuan," jawab seorang karyawan cafe yang saat ini sedang menggantikan pekerjaan Lea–menjadi kasir.'Lagi?' batin Haiden, mengerutkan kening karena merasa aneh dengan Lea. Ini sudah ke empat kalinya dia ke mari dan Lea tak ada. "Kenapa?" tanya Haiden kembali. Sebenarnya dia tak ingin tahu, tetapi ini kali keempat. Jika perempuan itu sudah bosan bekerja, Haiden bisa segera memecatnya. "Sakit, Tuan," jawab karyawan tersebut, cukup gugup dan takut. "Humm." Haiden berdehem pelan, segera beranjak dari sana. 'Sakit tapi hanya saat aku kunjungan. Cih, dia menghindariku. Baguslah,' ucap Haiden, masuk dalam mobil–segera beranjak dari sana, kembali ke kantor. Namun, Haiden tida