Lea menghela napas dalam-dalam, menahan bulir kristal di pelupuk supaya tak jatuh. Hatinya sangat sakit, karena Haiden meninggalkannya begitu saja. 'Memangnya apa yang bisa kuharapkan dari orang seperti Kak Haiden?' batinnya, bangkit untuk duduk–membersihkan butiran pasir atau batu kecil yang menempel di sikut. Hanya helaan napas yang keluar dari bibirnya ketika melihat sebuah goresan cukup parah di sikut. Namun, ketika dia mencoba berdiri tiba-tiba saja dari arah belakang Lea–seseorang membantunya. Lea cukup kaget, celingak-celinguk ke arah belakang untuk melihat siapa seseorang yang membantunya tersebut. "Stupid!" sarkas Haiden, menampilkan muka galak dengan rahang mengatup kuat–terlihat menahan marah. Akan tetapi, walau begitu, Haiden tetap membantu Lea untuk berdiri. "Kau sangat menyusahkan, kekanak-kanakan," tambah pria itu, berakhir menggendong Lea lalu memasukkannya dalam mobil. Lea cukup kaget ketika melihat mobil Haiden masih di sana. Loh, bukannya mobil pria ini sudah pe
"Di mana Azalea?" tanya Haiden, sudah beberapa hari semenjak dia memperingati Lea dan perempuan itu terlihat sangat jarang berada di cafe. Dua kali seminggu, Haiden biasanya ke sini untuk mengambil laporan cafe. Ada alasan kenapa Haiden sendiri yang mengambilnya, dan alasan itu merupakan rahasia! "Kak Lea tidak kerja, Tuan," jawab seorang karyawan cafe yang saat ini sedang menggantikan pekerjaan Lea–menjadi kasir.'Lagi?' batin Haiden, mengerutkan kening karena merasa aneh dengan Lea. Ini sudah ke empat kalinya dia ke mari dan Lea tak ada. "Kenapa?" tanya Haiden kembali. Sebenarnya dia tak ingin tahu, tetapi ini kali keempat. Jika perempuan itu sudah bosan bekerja, Haiden bisa segera memecatnya. "Sakit, Tuan," jawab karyawan tersebut, cukup gugup dan takut. "Humm." Haiden berdehem pelan, segera beranjak dari sana. 'Sakit tapi hanya saat aku kunjungan. Cih, dia menghindariku. Baguslah,' ucap Haiden, masuk dalam mobil–segera beranjak dari sana, kembali ke kantor. Namun, Haiden tida
Lea hanya menatap pencuri tersebut, tak berminat mengejarnya. Dia menyekat air mata, tak melakukan pergerakan sedikitpun dari tempatnya berdiri. Sedangkan si pencuri, merasa tak dikejar, dia menoleh ke belakang. Merasa ada yang tak beres dengan korbannya tersebut, pria itu mendekati Lea. "Mbak, aku mencuri tas mu," ucap pria itu. Lea menatap nanar, tak menjawab sama sekali dan hanya membisu. "Aku betul-betul pencuri loh, Mbak. Ini tatoku," ucap pria itu, sembari menyingkap lengan baju, memperlihatkan sebuah tato bunga yang ada di sana. "Nggak apa-apa, Mas. Ambil saja uang sama semuanya. Cukup balikin dompet, KTP, SIM sama kartu debit," ucap Lea tak semangat. "Loh, nggak bisa gitu dong, Mbak. Kejar saya dulu harusnya," protes pencuri itu. Lea menggelengkan kepala. "Asam lambung saya kumat, Mas. Nggak sanggup buat lari-lari." "Oh begitu. Aduh, kasihan sekali Mbak ini." Pria tersebut berakhir menyerahkan tas Lea, tak mengambil apapun dari sana. "Nah nah nah. Kasihan pula aku melih
"Kau pikir kau siapa, Hah?!" sentak Haiden, melayangkan tatapan gusar pada Lea. Perempuan ini berbicara dengan seorang preman kemudian menawarkan pekerjaan pada preman tersebut. "Perasaan aku nggak ada nyenggol Pak Haiden," ucap Lea, melepas cekalan kuat Haiden di pergelangan tangannya, "Pak, tolong lepas. Pergelanganku sakit," cicit Lea pada akhirnya. Dia berusaha melepas, tetapi Haiden malah mengencangkan cekalannya. Bug'Dengan kasar, Haiden menyentak tangan Lea–membuat Lea berakhir menabrak dada bidang Haiden. Haiden mengatupkan rahang, menatap tajam–penuh kemarahan pada Lea. "Kau semakin melunjak, kau memanfaatkan kebaikan Ziea padamu." "Maksudnya apa sih? Dan … tolong lepaskan aku! Tanganku sakit!" jerit Lea cukup kencang, kesal bercampur tak terima dengan tuduhan Haiden. Memanfaatkan kebaikan Ziea? Tidak! Lea tak pernah memanfaatkan Ziea, dia sangat tulus. Dan … tak ada perasaan yang paling tulus yang Lea rasakan kecuali pada Ziea, tak ada perasaan perhitungan sama sekal
Beberapa hari setelah kejadian itu, Lea sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya pada Haiden. Sesuai yang dia katakan, dia berhenti bekerja dari cafe. Karena tak punya pekerjaan, Lea hanya bersantai di rumah. Kadang membantu sang Tante, merawat bunga pada taman di depan. Paman dan Tante Lea sama sekali tak tahu jika Lea sudah tak bekerja. Sejujurnya Lea tak berani mengatakannya, dia takut Tante dan Pamannya tahu permasalahan antara Lea dan Haiden. Beberapa hari tak bekerja, Lea mengatakan jika dia ingin libur dari dunia kerja. "Nanti kalau sudah nyiramnya, kamu langsung ke dapur. Tante lagi pengen buat cookies kesukaan kamu. Nanti kamu cobain yah," ucap Intan, mendapat anggukan semangat dari Lea. "Oke, Tante. Tenang, nanti Lea habiskan," ucapnya dengan semangat. Sang Tante terkekeh pelan, lalu beranjak dari sana. Lea menghela napas, dia langsung memasang headphone di telinga–dia mendengarkan musik sembari menyiram bunga-bunga Tantenya. Hingga tiba-tiba saja sebuah mobil me
Hingga tiba-tiba saja Aayara menghadang jalan, merentangkan tangan di depan Lea yang sedang menarik koper–di mana di atas koper ada Ziea yang duduk riang. "Cik, kamu ngalangin jalan. Minggir," celutuk Lea, menatap berang ke arah Aayara. Aayara adalah istri dari Maxim Bell Azam, kakak sepupu Reigha yang sudah bisa dikatakan seperti kakak kandung bagi Reigha bersaudara. Maxim sangat dekat dengan Rafael, mereka seperti kembar beda orang tua. Maxim seusia dengan Haiden dan Prince. Ketiga orang tersebut memang dekat, walau sangat berbeda karakter. Maxim yang kalem, Prince soft boy dan Haiden yang tempramental. Rafael? Dia bisa menjadi ketiganya. Ah yah, Aayara sama usianya dengan Ziea dan Lea, oleh sebab itu mereka dekat. Meskipun Lea asing di sini, masih canggung dengan yang lainnya, tetapi khusus untuk Aayara, Lea tak pernah merasa canggung. Sebab mereka berteman baik, sudah sejak masa kuliah dulu. Bukan! Mereka tak satu universitas. Mereka berkenalan dan menjadi teman lewat Ziea yang
"Lea, kamu punya pacar tidak?" tanya Ratna tiba-tiba, di mana saat ini mereka sedang berkumpul. Ada permasalahan antara Ziea dan Reigha, untuk itu mereka berniat membantu pasangan tersebut supaya berdamai. "Punya, Kak," jawab Lea cepat, menyengir lebar ke arah Ratna. Hampir saja dia mengatakan jika pacarnya adalah Haiden, untungnya dia tersadar–dengan melihat Haiden yang sedang asik bermain konsol game bersama Melodi dan Rafael. Lagi-lagi dia cemburu. Tetapi dengan melihat ini, Lea sadar jika memang Haiden bukan untuknya. 'Kata orang cinta tertinggi itu adalah mengiklankan. Yah, semoga saja aku bisa.' batin Lea, mendadak senyumnya pudar–berganti dengan perasaan sesak dalam dada. Inilah resiko dari jatuh cinta sendiri dan berjuang sendiri, harus sakit sendiri. "Cik, baru juga mau maju," celutuk Nanda dari tempatnya, mendapat kekehan dari yang lainnya. "Pacarmu siapa kalau boleh tahu? Jika aku lebih keren, putuskan saja dia. Pacaran denganku."Lea sedikitnya terhibur oleh candaan Na
"Aaaa …." Lea menjerit tertahan, reflek meletakkan tangan di depan dada–merasakan ritme jantungnya yang menggila akibat terkejut, "aku kaget," ucapnya kemudian, mendongak dan menatap sayup ke arah Haiden. Dari banyaknya orang, kenapa pria ini yang datang menyusulnya? Di satu sisi Lea memang senang, tetapi di sisi lain dia merasa tak enak. "Kau pasti sengaja lari ke jalan ini."Lea menggelengkan kepala tak enak. "Kau ingin cari perhatian ke siapa?" lanjut Haiden, melayangkan tuduhan yang sedikit menyesakkan bagi Lea. "Aku tidak ingin mencari perhatian pada siapapun, Pak. Cik!" ketus Lea, berdiri segera lalu beranjak dari sana–melangkah buru-buru karena tak ingin bersama Haiden. "Kau mau kemana lagi, Stupid?! Berhenti menyusahkan orang!" Haiden menyusul, berkata setengah marah. Dia menangkap pergelangan tangan Lea, menarik perempuan tersebut kemudian menyentaknya–membuat Lea berakhir menabrak dada bidangnya. "Kau mau kemana?!" "Kemanapun yang aku mau!" jawab Lea, mendorong pundak
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming