"Lea, kamu punya pacar tidak?" tanya Ratna tiba-tiba, di mana saat ini mereka sedang berkumpul. Ada permasalahan antara Ziea dan Reigha, untuk itu mereka berniat membantu pasangan tersebut supaya berdamai. "Punya, Kak," jawab Lea cepat, menyengir lebar ke arah Ratna. Hampir saja dia mengatakan jika pacarnya adalah Haiden, untungnya dia tersadar–dengan melihat Haiden yang sedang asik bermain konsol game bersama Melodi dan Rafael. Lagi-lagi dia cemburu. Tetapi dengan melihat ini, Lea sadar jika memang Haiden bukan untuknya. 'Kata orang cinta tertinggi itu adalah mengiklankan. Yah, semoga saja aku bisa.' batin Lea, mendadak senyumnya pudar–berganti dengan perasaan sesak dalam dada. Inilah resiko dari jatuh cinta sendiri dan berjuang sendiri, harus sakit sendiri. "Cik, baru juga mau maju," celutuk Nanda dari tempatnya, mendapat kekehan dari yang lainnya. "Pacarmu siapa kalau boleh tahu? Jika aku lebih keren, putuskan saja dia. Pacaran denganku."Lea sedikitnya terhibur oleh candaan Na
"Aaaa …." Lea menjerit tertahan, reflek meletakkan tangan di depan dada–merasakan ritme jantungnya yang menggila akibat terkejut, "aku kaget," ucapnya kemudian, mendongak dan menatap sayup ke arah Haiden. Dari banyaknya orang, kenapa pria ini yang datang menyusulnya? Di satu sisi Lea memang senang, tetapi di sisi lain dia merasa tak enak. "Kau pasti sengaja lari ke jalan ini."Lea menggelengkan kepala tak enak. "Kau ingin cari perhatian ke siapa?" lanjut Haiden, melayangkan tuduhan yang sedikit menyesakkan bagi Lea. "Aku tidak ingin mencari perhatian pada siapapun, Pak. Cik!" ketus Lea, berdiri segera lalu beranjak dari sana–melangkah buru-buru karena tak ingin bersama Haiden. "Kau mau kemana lagi, Stupid?! Berhenti menyusahkan orang!" Haiden menyusul, berkata setengah marah. Dia menangkap pergelangan tangan Lea, menarik perempuan tersebut kemudian menyentaknya–membuat Lea berakhir menabrak dada bidangnya. "Kau mau kemana?!" "Kemanapun yang aku mau!" jawab Lea, mendorong pundak
Setelah sampai di villa, mereka semua beristirahat. Lea memilih memisah–alasan ingin bertelponan dengan pacarnya, padahal dia jomblo. Itu hanya alabi supaya dia tidak melihat keromantisan Melodi dan Haiden yang sedang makan buah bersama. "Aku yang capek capek mengejar, eh yang menang malah dia. Tapi apa boleh buat, orang dalam selalu jadi pemenangnya," gumam Lea, duduk di teras villa, menatap pemandangan di depan dengan tatapan nanar dan sedih. "Kamu ngapain sih di sini? Belajar kesurupan, heh?" ucap seseorang, di mana seorang tersebut langsung duduk di sebelahnya. "Ini-- buah potong, buah kesukaan kamu. Ada jeruk dan melonnya. Udah aku kasih sirup rasa bay–gon supaya jadi sup buah. Itu-- kismisnya juga dari remukan obat nyamuk." Lea menatap horor ke arah sahabatnya tersebut. "Kamu pengen membunuhku atau bagaimana?" kesalnya, tetapi meskipun begitu tetap memakan buah potong pemberian Ziea. "Bagaimana hubunganmu dengan Pak Reigha? Sudah baikan?" tanya Lea selanjutnya, dengan lahap
Sepulang dari pulau tersebut Lea merasa harus melupakan Haiden. Dia tak punya kesempatan dan tak punya peluang apapun lagi. Haiden sangat dekat dengan Melodi, mungkin sebentar lagi keduanya akan menikah. Hari demi hari berlalu, Lea memilih tetap bekerja di cafe milik Ziea. Dia berencana keluar, tetapi Ziea kembali balik ke negara ini. Ada situasi yang tak mengenakkan yang membuat Ziea bertahan di negara ini. Haiden menemuinya, pertama kalinya Haiden meminta tolong padanya–supaya Lea menemani Ziea mengasing di sebuah tempat. Setelah masa sulit Ziea terlewati, Lea kembali seperti semula. Dia tak bekerja di cafe dan hanya menemani tantenya di rumah. Kenapa dia tak bekerja di cafe? Tentunya untuk menghindari Haiden. "Lea sayang."Lea yang sedang membaca sebuah majalah, seketika menoleh ke arah sumber suara–tantenya memanggil. "Iya, Tan," sahut Lea, menutup majalah lalu segera menghampiri tantenya di depan. Tantenya sedang membereskan taman baru yang ada di halaman depan, jadi Lea pe
Pada akhirnya Lea ikut dengan keluarga Mahendra ke Paris, dan selama di Paris ini Lea merasa jauh lebih baik dibandingkan liburan di pulau pribadi keluarga Azam. Sebab di Paris, Lea bukan hanya dekat dengan Ziea–tetapi pada orang tua sahabatnya tersebut. Persahabatan antara dia dan Ziea telah membuat Lea sangat dekat dengan keluarga Ziea. Bisa dikatakan dia telah berhasil merebut hati kedua orang tua Ziea, tetapi untuk mendapatkan cinta Kakak laki-laki sahabatnya tersebut, Lea malah gagal. "Kenapa kamu pacaran, Sayang?" tanya Moza, Mama dari Ziea–yang sering dipanggil mommy oleh sahabatnya tersebut. Permasalahan antara Reigha dengan keluarganya sudah selesai. Lea sangat salut dan bangga pada sahabatnya itu. Tak disangka-sangka Ziea bisa mendamaikan permusuhan antara suaminya dengan keluarganya sendiri. Intinya, Ziea hebat! "Anu-- aku ditembak, Tan. Jadi aku terima." Lea menjawab dengan kikuk, menatap malu-malu pada mama dari sahabatnya tersebut. Semua orang tengah berkumpul; mesk
"Kau tidak suka gelang?" Lea menyengir lebar, melepas gelang yang melingkar di tangannya lalu meletakkannya kembali ke tempat. "Nggak suka sebab gelangnya bukan untukku. Ehehehe …," candanya meskipun hatinya sesak saat mengatakan hal tersebut. "Oh." Haiden ber oh ria, memangut pelan seolah acuh tak acuh. Padahal dalam hati, dia bersyukur. "Jadi kau memilih yang mana?" "Ini, Pak." Lea langsung menunjuk sebuah gelang dengan harga paling murah. Dia sengaja sebab kesal dengan kekasih Haiden tersebut. Cih, biarkan saja perempuan itu mendapat gelang paling murah dari Haiden. Meskipun … gelang ini tetap cantik luar biasa walau harganya paling murah. Yeah, paling murah tetapi setara dengan gaji Lea selama dua tahun di cafe. Lagipula, gelang ini bukan paling murah di toko ini. Hanya paling murah harganya diantara gelang terbaik yang ada di sini. "Humm." Haiden berdehem rendah, meraih gelang pilihan Lea tersebut lalu menyerahkannya pada pelayan toko. "Ambil gelang untukmu.""Hah? Untukku?"
"Wow, posisi yang pas yah, Pak," cengenges Lea yang saat ini duduk di atas pangkuan Haiden. "Udah pangku-pangkuan, tinggal nikah yang belum. Hehehe ….""Jangan jadi perempuan gatal!" sarkas Haiden, mendorong pundak pundak Lea secara kasar, "murahan!" tambahnya sembari melayangkan tatapan gusar pada Lea. Awalnya Lea terlihat riang, tetapi mendadak murung dan cukup tertohok mendengar perkataan Haiden. Lea berdiri dari pangkuan Haiden, menatap pria tersebut dengan tatapan berkaca-kaca, tak bisa berkata-kata setelah mendengar ucapan sarkas Haiden tadi. "Sikapmu menjijikkan!" sarkas Haiden kembali, masih marah karena perihal tadi. Lea bukan hanya lancang dengan duduk di atas pangkuannya, tetapi perempuan ini juga lancang karena mengusap-usap dada bidang Haiden. Cik, dia tahu jika mereka sama-sama terjatuh ke sofa. Tapi dia yakin sekali jika Lea sengaja! "Maaf, aku hanya bercanda," ucap Lea dengan nada gemetar, serak dan parau. Dia mengerjab-erjab beberapa kali, berupaya menghalau air m
Setelah kejadian hari itu, bukannya lebih dekat dengan Haiden tetapi Lea malah menjaga jarak dari pria tampan dan hot tersebut. Maklum, efek grogi setelah dicium oleh Haiden. Bukan hanya itu, rasanya kemarin adalah mimpi. Haiden melamarnya kan? "Aku ada yang ingin dibicarain sama kamu," ucap Lea pada Ziea. Setelah lama menunggu di ujung lorong, akhirnya sahabatnya tersebut lewat juga. "Bicara apa? Serius apa becanda?" Sembari berbicara, Lea dan Ziea berjalan beriringan. "Ini serius dan aku bakalan jadi Kakak ipar kamu. Oke, tepuk tangan. Yeiii …," ucap Lea, setelah itu dengan meriah bertepuk tangan sendiri sembari menyengir lebar ke arah Ziea. "Hah? Belum move on juga yah kamu?" Ziea mengerutkan kening, kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh kening Lea–mencek suhu tubuh sahabatnya tersebut. "Hangat-hangat suam kuku. Normal sih.""Heh, sialan!" Lea mengumpat, menepis tangan Ziea dari keningnya, "yang sopan yah sama Kakak ipar. Noh--" galaknya kemudian menunjukkan pergelangan