Hingga tiba-tiba saja Aayara menghadang jalan, merentangkan tangan di depan Lea yang sedang menarik koper–di mana di atas koper ada Ziea yang duduk riang. "Cik, kamu ngalangin jalan. Minggir," celutuk Lea, menatap berang ke arah Aayara. Aayara adalah istri dari Maxim Bell Azam, kakak sepupu Reigha yang sudah bisa dikatakan seperti kakak kandung bagi Reigha bersaudara. Maxim sangat dekat dengan Rafael, mereka seperti kembar beda orang tua. Maxim seusia dengan Haiden dan Prince. Ketiga orang tersebut memang dekat, walau sangat berbeda karakter. Maxim yang kalem, Prince soft boy dan Haiden yang tempramental. Rafael? Dia bisa menjadi ketiganya. Ah yah, Aayara sama usianya dengan Ziea dan Lea, oleh sebab itu mereka dekat. Meskipun Lea asing di sini, masih canggung dengan yang lainnya, tetapi khusus untuk Aayara, Lea tak pernah merasa canggung. Sebab mereka berteman baik, sudah sejak masa kuliah dulu. Bukan! Mereka tak satu universitas. Mereka berkenalan dan menjadi teman lewat Ziea yang
"Lea, kamu punya pacar tidak?" tanya Ratna tiba-tiba, di mana saat ini mereka sedang berkumpul. Ada permasalahan antara Ziea dan Reigha, untuk itu mereka berniat membantu pasangan tersebut supaya berdamai. "Punya, Kak," jawab Lea cepat, menyengir lebar ke arah Ratna. Hampir saja dia mengatakan jika pacarnya adalah Haiden, untungnya dia tersadar–dengan melihat Haiden yang sedang asik bermain konsol game bersama Melodi dan Rafael. Lagi-lagi dia cemburu. Tetapi dengan melihat ini, Lea sadar jika memang Haiden bukan untuknya. 'Kata orang cinta tertinggi itu adalah mengiklankan. Yah, semoga saja aku bisa.' batin Lea, mendadak senyumnya pudar–berganti dengan perasaan sesak dalam dada. Inilah resiko dari jatuh cinta sendiri dan berjuang sendiri, harus sakit sendiri. "Cik, baru juga mau maju," celutuk Nanda dari tempatnya, mendapat kekehan dari yang lainnya. "Pacarmu siapa kalau boleh tahu? Jika aku lebih keren, putuskan saja dia. Pacaran denganku."Lea sedikitnya terhibur oleh candaan Na
"Aaaa …." Lea menjerit tertahan, reflek meletakkan tangan di depan dada–merasakan ritme jantungnya yang menggila akibat terkejut, "aku kaget," ucapnya kemudian, mendongak dan menatap sayup ke arah Haiden. Dari banyaknya orang, kenapa pria ini yang datang menyusulnya? Di satu sisi Lea memang senang, tetapi di sisi lain dia merasa tak enak. "Kau pasti sengaja lari ke jalan ini."Lea menggelengkan kepala tak enak. "Kau ingin cari perhatian ke siapa?" lanjut Haiden, melayangkan tuduhan yang sedikit menyesakkan bagi Lea. "Aku tidak ingin mencari perhatian pada siapapun, Pak. Cik!" ketus Lea, berdiri segera lalu beranjak dari sana–melangkah buru-buru karena tak ingin bersama Haiden. "Kau mau kemana lagi, Stupid?! Berhenti menyusahkan orang!" Haiden menyusul, berkata setengah marah. Dia menangkap pergelangan tangan Lea, menarik perempuan tersebut kemudian menyentaknya–membuat Lea berakhir menabrak dada bidangnya. "Kau mau kemana?!" "Kemanapun yang aku mau!" jawab Lea, mendorong pundak
Setelah sampai di villa, mereka semua beristirahat. Lea memilih memisah–alasan ingin bertelponan dengan pacarnya, padahal dia jomblo. Itu hanya alabi supaya dia tidak melihat keromantisan Melodi dan Haiden yang sedang makan buah bersama. "Aku yang capek capek mengejar, eh yang menang malah dia. Tapi apa boleh buat, orang dalam selalu jadi pemenangnya," gumam Lea, duduk di teras villa, menatap pemandangan di depan dengan tatapan nanar dan sedih. "Kamu ngapain sih di sini? Belajar kesurupan, heh?" ucap seseorang, di mana seorang tersebut langsung duduk di sebelahnya. "Ini-- buah potong, buah kesukaan kamu. Ada jeruk dan melonnya. Udah aku kasih sirup rasa bay–gon supaya jadi sup buah. Itu-- kismisnya juga dari remukan obat nyamuk." Lea menatap horor ke arah sahabatnya tersebut. "Kamu pengen membunuhku atau bagaimana?" kesalnya, tetapi meskipun begitu tetap memakan buah potong pemberian Ziea. "Bagaimana hubunganmu dengan Pak Reigha? Sudah baikan?" tanya Lea selanjutnya, dengan lahap
Sepulang dari pulau tersebut Lea merasa harus melupakan Haiden. Dia tak punya kesempatan dan tak punya peluang apapun lagi. Haiden sangat dekat dengan Melodi, mungkin sebentar lagi keduanya akan menikah. Hari demi hari berlalu, Lea memilih tetap bekerja di cafe milik Ziea. Dia berencana keluar, tetapi Ziea kembali balik ke negara ini. Ada situasi yang tak mengenakkan yang membuat Ziea bertahan di negara ini. Haiden menemuinya, pertama kalinya Haiden meminta tolong padanya–supaya Lea menemani Ziea mengasing di sebuah tempat. Setelah masa sulit Ziea terlewati, Lea kembali seperti semula. Dia tak bekerja di cafe dan hanya menemani tantenya di rumah. Kenapa dia tak bekerja di cafe? Tentunya untuk menghindari Haiden. "Lea sayang."Lea yang sedang membaca sebuah majalah, seketika menoleh ke arah sumber suara–tantenya memanggil. "Iya, Tan," sahut Lea, menutup majalah lalu segera menghampiri tantenya di depan. Tantenya sedang membereskan taman baru yang ada di halaman depan, jadi Lea pe
Pada akhirnya Lea ikut dengan keluarga Mahendra ke Paris, dan selama di Paris ini Lea merasa jauh lebih baik dibandingkan liburan di pulau pribadi keluarga Azam. Sebab di Paris, Lea bukan hanya dekat dengan Ziea–tetapi pada orang tua sahabatnya tersebut. Persahabatan antara dia dan Ziea telah membuat Lea sangat dekat dengan keluarga Ziea. Bisa dikatakan dia telah berhasil merebut hati kedua orang tua Ziea, tetapi untuk mendapatkan cinta Kakak laki-laki sahabatnya tersebut, Lea malah gagal. "Kenapa kamu pacaran, Sayang?" tanya Moza, Mama dari Ziea–yang sering dipanggil mommy oleh sahabatnya tersebut. Permasalahan antara Reigha dengan keluarganya sudah selesai. Lea sangat salut dan bangga pada sahabatnya itu. Tak disangka-sangka Ziea bisa mendamaikan permusuhan antara suaminya dengan keluarganya sendiri. Intinya, Ziea hebat! "Anu-- aku ditembak, Tan. Jadi aku terima." Lea menjawab dengan kikuk, menatap malu-malu pada mama dari sahabatnya tersebut. Semua orang tengah berkumpul; mesk
"Kau tidak suka gelang?" Lea menyengir lebar, melepas gelang yang melingkar di tangannya lalu meletakkannya kembali ke tempat. "Nggak suka sebab gelangnya bukan untukku. Ehehehe …," candanya meskipun hatinya sesak saat mengatakan hal tersebut. "Oh." Haiden ber oh ria, memangut pelan seolah acuh tak acuh. Padahal dalam hati, dia bersyukur. "Jadi kau memilih yang mana?" "Ini, Pak." Lea langsung menunjuk sebuah gelang dengan harga paling murah. Dia sengaja sebab kesal dengan kekasih Haiden tersebut. Cih, biarkan saja perempuan itu mendapat gelang paling murah dari Haiden. Meskipun … gelang ini tetap cantik luar biasa walau harganya paling murah. Yeah, paling murah tetapi setara dengan gaji Lea selama dua tahun di cafe. Lagipula, gelang ini bukan paling murah di toko ini. Hanya paling murah harganya diantara gelang terbaik yang ada di sini. "Humm." Haiden berdehem rendah, meraih gelang pilihan Lea tersebut lalu menyerahkannya pada pelayan toko. "Ambil gelang untukmu.""Hah? Untukku?"
"Wow, posisi yang pas yah, Pak," cengenges Lea yang saat ini duduk di atas pangkuan Haiden. "Udah pangku-pangkuan, tinggal nikah yang belum. Hehehe ….""Jangan jadi perempuan gatal!" sarkas Haiden, mendorong pundak pundak Lea secara kasar, "murahan!" tambahnya sembari melayangkan tatapan gusar pada Lea. Awalnya Lea terlihat riang, tetapi mendadak murung dan cukup tertohok mendengar perkataan Haiden. Lea berdiri dari pangkuan Haiden, menatap pria tersebut dengan tatapan berkaca-kaca, tak bisa berkata-kata setelah mendengar ucapan sarkas Haiden tadi. "Sikapmu menjijikkan!" sarkas Haiden kembali, masih marah karena perihal tadi. Lea bukan hanya lancang dengan duduk di atas pangkuannya, tetapi perempuan ini juga lancang karena mengusap-usap dada bidang Haiden. Cik, dia tahu jika mereka sama-sama terjatuh ke sofa. Tapi dia yakin sekali jika Lea sengaja! "Maaf, aku hanya bercanda," ucap Lea dengan nada gemetar, serak dan parau. Dia mengerjab-erjab beberapa kali, berupaya menghalau air m
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming