----Lea love story'---Ting'Sebuah lonceng berbunyi, gadis cantik dengan rambut sedikit kecoklatan tersebut hanya melirik sekilas. Dia tidak memastikan siapa yang masuk karena sedang fokus pada layar ponsel. Gadis tersebut cekikikan, terkekeh geli sebab sedang berbalas pesan dengan sahabat tercintanya. Barusan dia bertelponan dengan Ziea, di mana sahabatnya tersebut mengatakan dia sedang di Paris dan sudah menikah. Lea cukup kaget, tetapi saat tahu siapa yang menikahi sahabatnya, dia menolak kaget. Maklum, keluarga suami sahabatnya memang super privasi, suka dadakan dan penuh rahasia. Azalea Ariva, atau biasa dipanggil Lea tersebut hampir tertawa terbahak-bahak ketika membaca pesan Ziea yang mengatakan dirinya dimarahi sang suami tanpa sebab. Tok tok tok"Cik." Mendengar meja kasir diketuk, Lea berdecak pelan. Dia meletakkan HP lalu mendongak untuk melihat siapa yang mengetuk mejanya. "Ada yang bisa saya bantu … eh, Sayang. Ngapain ke sini? Rindu aku yah? Acieee … yang udah mulai
Haiden sangat kesal ketika melihat Lea mengobrol begitu akrab dengan seorang laki-laki. Padahal, laki-laki itu adalah pria asing–salah satu pengunjung, tetapi bisa-bisanya Lea langsung akrab. "Aku akan berikan tubuhku padamu jika kita menjadi kekasih lagi, Tuan. Aku tidak masalah menjadi yang ke dua belas.""Shut up, Bitch!" sarkas Haiden, mendorong pundak Sabila secara kasar kemudian berjalan menghampiri Lea. "AZALEA!" bentaknya marah, langsung menyentak pergelangan Lea agar menjauh dari pria tersebut lalu mendorong pundak si pria secara kasar. "Maaf?" Pria tersebut mengerutkan kening, menatap tak bersahabat ke arah Haiden. "Anda siapa?" tanyanya kemudian, kesal karena kehadiran laki-laki ini sangat mengganggunya. "Ouh, dia ini Kakakku. Emang rada begitu, Mas. Maklum," jawab Lea santai, tersenyum manis ke arah pria tersebut. "Kita lanjut Wa-an kan, Mas?" "Kau-" Haiden mengeratkan cengkeramannya di lengan Lea, merunduk lalu melayangkan tatapan membunuh ke arah Lea. "Kakaknya pos
Ada sebuah insiden cukup menegangkan ketika Lea dan Ziea ke pesta pernikahan teman mereka tersebut. Si pengantin perempuan melarikan diri, dan si pengantin laki-laki yang tak lain merupakan manta dari Ziea tersebut memaksa Ziea untuk menggantikan pengantin yang kabur. Untungnya, Reigha--suami dari sahabatnya tersebut datang tepat waktu, menyelamatkan Ziea dari hal konyol yang akan menimpa dirinya tersebut. Sekarang di sinilah Lea, di mansion mewah keluarga suami Ziea–kediaman Azam. Lea berbincang-bincang akrab dengan orang tua Ziea, kebetulan sudah cukup dekat dengannya. Setelah itu, Lea harus pamit, Tantenya mengabari dan mendesak Lea untuk. Sebenarnya tak ada hal penting, hanya saja Pamannya ke luar kota untuk utusan bisnis. Tantenya sendiri di rumah, jadi Lea ingin pulang secepatnya agar sang Tante ada yang menemani. "Kamu mau pulang, Sayang?" tanya Moza, ibu dari Ziea dan Haiden. Kedua anaknya tersebut biasa memanggilnya mommy, dan jika bercanda Lea juga sering ikut memanggiln
Lea menghela napas dalam-dalam, menahan bulir kristal di pelupuk supaya tak jatuh. Hatinya sangat sakit, karena Haiden meninggalkannya begitu saja. 'Memangnya apa yang bisa kuharapkan dari orang seperti Kak Haiden?' batinnya, bangkit untuk duduk–membersihkan butiran pasir atau batu kecil yang menempel di sikut. Hanya helaan napas yang keluar dari bibirnya ketika melihat sebuah goresan cukup parah di sikut. Namun, ketika dia mencoba berdiri tiba-tiba saja dari arah belakang Lea–seseorang membantunya. Lea cukup kaget, celingak-celinguk ke arah belakang untuk melihat siapa seseorang yang membantunya tersebut. "Stupid!" sarkas Haiden, menampilkan muka galak dengan rahang mengatup kuat–terlihat menahan marah. Akan tetapi, walau begitu, Haiden tetap membantu Lea untuk berdiri. "Kau sangat menyusahkan, kekanak-kanakan," tambah pria itu, berakhir menggendong Lea lalu memasukkannya dalam mobil. Lea cukup kaget ketika melihat mobil Haiden masih di sana. Loh, bukannya mobil pria ini sudah pe
"Di mana Azalea?" tanya Haiden, sudah beberapa hari semenjak dia memperingati Lea dan perempuan itu terlihat sangat jarang berada di cafe. Dua kali seminggu, Haiden biasanya ke sini untuk mengambil laporan cafe. Ada alasan kenapa Haiden sendiri yang mengambilnya, dan alasan itu merupakan rahasia! "Kak Lea tidak kerja, Tuan," jawab seorang karyawan cafe yang saat ini sedang menggantikan pekerjaan Lea–menjadi kasir.'Lagi?' batin Haiden, mengerutkan kening karena merasa aneh dengan Lea. Ini sudah ke empat kalinya dia ke mari dan Lea tak ada. "Kenapa?" tanya Haiden kembali. Sebenarnya dia tak ingin tahu, tetapi ini kali keempat. Jika perempuan itu sudah bosan bekerja, Haiden bisa segera memecatnya. "Sakit, Tuan," jawab karyawan tersebut, cukup gugup dan takut. "Humm." Haiden berdehem pelan, segera beranjak dari sana. 'Sakit tapi hanya saat aku kunjungan. Cih, dia menghindariku. Baguslah,' ucap Haiden, masuk dalam mobil–segera beranjak dari sana, kembali ke kantor. Namun, Haiden tida
Lea hanya menatap pencuri tersebut, tak berminat mengejarnya. Dia menyekat air mata, tak melakukan pergerakan sedikitpun dari tempatnya berdiri. Sedangkan si pencuri, merasa tak dikejar, dia menoleh ke belakang. Merasa ada yang tak beres dengan korbannya tersebut, pria itu mendekati Lea. "Mbak, aku mencuri tas mu," ucap pria itu. Lea menatap nanar, tak menjawab sama sekali dan hanya membisu. "Aku betul-betul pencuri loh, Mbak. Ini tatoku," ucap pria itu, sembari menyingkap lengan baju, memperlihatkan sebuah tato bunga yang ada di sana. "Nggak apa-apa, Mas. Ambil saja uang sama semuanya. Cukup balikin dompet, KTP, SIM sama kartu debit," ucap Lea tak semangat. "Loh, nggak bisa gitu dong, Mbak. Kejar saya dulu harusnya," protes pencuri itu. Lea menggelengkan kepala. "Asam lambung saya kumat, Mas. Nggak sanggup buat lari-lari." "Oh begitu. Aduh, kasihan sekali Mbak ini." Pria tersebut berakhir menyerahkan tas Lea, tak mengambil apapun dari sana. "Nah nah nah. Kasihan pula aku melih
"Kau pikir kau siapa, Hah?!" sentak Haiden, melayangkan tatapan gusar pada Lea. Perempuan ini berbicara dengan seorang preman kemudian menawarkan pekerjaan pada preman tersebut. "Perasaan aku nggak ada nyenggol Pak Haiden," ucap Lea, melepas cekalan kuat Haiden di pergelangan tangannya, "Pak, tolong lepas. Pergelanganku sakit," cicit Lea pada akhirnya. Dia berusaha melepas, tetapi Haiden malah mengencangkan cekalannya. Bug'Dengan kasar, Haiden menyentak tangan Lea–membuat Lea berakhir menabrak dada bidang Haiden. Haiden mengatupkan rahang, menatap tajam–penuh kemarahan pada Lea. "Kau semakin melunjak, kau memanfaatkan kebaikan Ziea padamu." "Maksudnya apa sih? Dan … tolong lepaskan aku! Tanganku sakit!" jerit Lea cukup kencang, kesal bercampur tak terima dengan tuduhan Haiden. Memanfaatkan kebaikan Ziea? Tidak! Lea tak pernah memanfaatkan Ziea, dia sangat tulus. Dan … tak ada perasaan yang paling tulus yang Lea rasakan kecuali pada Ziea, tak ada perasaan perhitungan sama sekal
Beberapa hari setelah kejadian itu, Lea sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya pada Haiden. Sesuai yang dia katakan, dia berhenti bekerja dari cafe. Karena tak punya pekerjaan, Lea hanya bersantai di rumah. Kadang membantu sang Tante, merawat bunga pada taman di depan. Paman dan Tante Lea sama sekali tak tahu jika Lea sudah tak bekerja. Sejujurnya Lea tak berani mengatakannya, dia takut Tante dan Pamannya tahu permasalahan antara Lea dan Haiden. Beberapa hari tak bekerja, Lea mengatakan jika dia ingin libur dari dunia kerja. "Nanti kalau sudah nyiramnya, kamu langsung ke dapur. Tante lagi pengen buat cookies kesukaan kamu. Nanti kamu cobain yah," ucap Intan, mendapat anggukan semangat dari Lea. "Oke, Tante. Tenang, nanti Lea habiskan," ucapnya dengan semangat. Sang Tante terkekeh pelan, lalu beranjak dari sana. Lea menghela napas, dia langsung memasang headphone di telinga–dia mendengarkan musik sembari menyiram bunga-bunga Tantenya. Hingga tiba-tiba saja sebuah mobil me