Sret'Haiden menatap seorang pria yang masuk begitu saja ke dalam kamarnya, di mana pria itu meletakkan sebuah paper bag yang tak asing baginya. Haiden yang tengah duduk santai di atas ranjangnya seketika menegakkan punggung, langsung turun dari ranjang dan menghampiri pria tersebut. "Itu apa, Rei?" tanya Haiden. "Lea mengembalikan ini pada Zie, dan Zie menyuruhku mengembalikannya padamu," ucap Reigha santai. "Hell." Haiden menatap paper bag tersebut kemudian melayangkan tatapan penuh tanda tanya ke arah Reigha. "Kenapa Azalea mengembalikannya pada Ziea? Aku memberikannya untuknya." "Zie bilang Lea punya trauma pada barang pemberian yang terlalu mahal. Kau tidak tahu?" Haiden menggelengkan kepala, "untuk apa aku tahu? Tidak penting.""Kau menyukai Lea?" tanya Reigha datar. "Cih." Haiden berdecis sinis, "dari sudut manapun aku tidak menyukai perempuan bodoh itu." "Turunkan sedikit gengsi, Haiden. Cinta itu sendiri sudah rumit, dan rasa gengsimu hanya akan memperparah.""Aku tida
"Aku berangkat kerja, ZieKu." Ziea menganggukkan kepala sembari tersenyum lembut ke arah suaminya, di mana Reigha tengah mengusap pucuk kepala Ziea dengan gerakan acak sembari menatap Ziea lamat dan intens. "Semangat," ucap Ziea malu-malu karena takut diledek oleh Aesya. Yah, adik ipar rasa Kakak kandungnya tersebut akan ikut dengan Reigha ke kantor. Kata Aesya ada sekretaris magang yang harus dibina oleh Aesya.Hais, sekretaris magang! "Humm." Seperti biasa, Reigha hanya berdehem. Setelah itu dia beranjak dari sana, berjalan menuju mobil gagah dan mewah kesayangannya. "Mas Rei, tunggu." Ziea tiba-tiba memanggil, membuat Reigha yang akan masuk dalam mobil tersebut mengurungkan niat. Dia sontak menoleh ke arah istrinya, menatap Ziea dengan sebelah alis terangkat. "Tunggu, aku cari dulu!" ucap Ziea, tiba-tiba sibuk sendiri meraba tubuhnya– seperti sedang mencari sesuatu. Lalu tiba-tiba saja, tangannya menghadap Reigha– menampilkan finger heart yang mungil. 'aku cinta Mas Rei,' ucap
"Pekerjaanku selesai, Nona." Aesya menatap sekilas pada Matheo, berdehem singkat lalu memilih sibuk dengan pekerjaannya. "Humm."Matheo mendekati Aesya, tiba-tiba dengan lancang pria tampan dan penuh pesona tersebut menutup laptop Aesya. Kemudian dia juga membereskan meja. "Hei, apa-apaan kau ini?!" geram Aesya. Bukannya menjelaskan kelakuannya, Matheo malah menarik paksa Aesya untuk ikut dengannya. "Brengsek! Apa-apaan kau ini?!" Aesya berusaha melepaskan cekalan tangan Matheo dari lengannya. "Cik, lepas, Matheo!" "Nona, ini sudah jam makan siang. Dan Nona harus makan siang dengan saya." "What!!" Aesya setengah menjerit protes. "Kalau kau ingin makan siang, yah makan siang saja sana sendiri. Aku makan siang dengan Ega. Jadi tolong lepas!""Tuan Reigha sudah pulang untuk menemui Nyonya Reigha. Dan Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda makan siang dengan baik dan benar," jawab Matheo datar, beralih menggenggam erat jemari lentik Aesya. Kebetulan Reigha pulang untuk men
"Fitnah sekali!" Ziea langsung ngegas, melotot horor ke arah suaminya sembari menatap tak terima. "Aku sehat-sehat saja.""Humm." Reigha berdehem singkat. "Tidak apa-apa Abang El berbohong, tidak rugi karena aku bisa bertemu denganmu," ucap Reigha tersenyum tipis, membuka tuxedo serta dasi yang melilit di kerah kemeja. "Mas Reigha kenapa buka baju?" tanya Ziea mengamati suaminya yang sudah bertelanjang dada. Reigha tak menjawab, memilih mendekati Ziea mendorong lembut Ziea ke ranjang– di mana ketika Ziea sudah berbaring di ranjang, Reigha langsung mengambil tempat di atas tubuh istrinya tersebut. Hanya setengah badannya yang menindih, memeluk Ziea dan menyembunyikan tubuh kecil istrinya tersebut di balik badannya yang besar. "Maaas! Berat!" "Sebentar, Mon Amour," ucap Reigha serak dan berat, memperbaiki posisi tidurnya– menyamping tetapi masih memeluk erat tubuh sang istri. "Aromamu harum, sangat manis. Dan aku belum makan siang."'Hah? Hubungan Aroma sama makan siang apa coba? S
"Untuk apa kau pulang? Kau di sini denganku!" Lea membulatkan mata, menatap Haiden dengan air muka bingung kusut bercampur kaget. Kenapa rasanya Haiden terkesan memaksa?'Aneh sekali. Bukannya dia suka terganggu dengan keberadaanku yah?' batin Lea, masih menatap Haiden muram bercampur masam. "Tapi, Pak. Tanteku sudah menyuruhku pulang, aku harus …-""Berbohong yang sangat bagus." Haiden memotong cepat. "Pak, aku tidak berbohong." Lea berucap, setengah memekik untuk meyakinkan Haiden jika dia tidak sedang berbohong. Sejujurnya, Lea memang berbohong. Dia merasa harus berbohong agar bisa pergi dari tempat ini. Hah, Lea merasa tak nyaman di sini. Hanya Ziea yang benar-benar dekat dengannya, dan sahabatnya tersebut sudah punya kehidupan. Lea merasa sendiri di sini! "Aku barusan menghubungi Tante-mu, mengatakan jika kau akan lebih lama lagi di sini denganku. Tantemu mengizinkan," ucap Haiden, menoleh ke arah Lea– menatap perempuan itu penuh peringatan dan cukup tajam. 'Hah? Pak Haiden m
"Oh, Shit!" Haiden mengumpat pelan, memijit pelipis– antara geram dan malas meladeni sikap dedemit Lea yang sangat suka menempelinya. "Kau pikir aku sudi menikahi perempuan tidak benar sepertimu, Hah?! Cepat menyingkir dan berhenti berharap jika aku akan menikahimu. Wanita sepertimu tidak pantas untukku! Rendahan!" Deg'Senyuman Lea seketika pudar, wajah cerah yang menghias di sana berubah menjadi mendung dan murung. Tangannya terlepas cepat dari leher Haiden, langsung berdiri dari pangkuan pria itu. "Maaf, Pak," ucap Lea setelah dia berdiri di hadapan Haiden. Setelah itu, dia segera beranjak dari sana, menahan rasa sakit di dada dan hati. Lea berjalan terburu-buru, menuju kamarnya. Dia bahkan berlari, takut menangis sebelum sampai di kamarnya– itu membuat pandangan maid menatapnya aneh dan heran. Namun, Lea tak peduli. Dia langsung masuk dalam kamar, menutup pintu dengan membantingnya kuat. Di sisi lain, Haiden seketika mengumpat. "Shit!" umpatnya sembari memukul wajahnya sendir
"Rei, tunggu!" Haiden yang berniat masuk lift, segera berlari untuk menghentikan Reigha yang terlihat akan keluar dari mansion. Setelah dia berhasil menghadang sahabatnya sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden langsung menarik Reigha– memaksa pria itu agar ikut dengannya. "Kau harus ikut denganku.""Cik, aku harus menjemput laporan medis Zie ke rumah sakit," decak Reigha, menatap datar dan dingin ke arah Haiden. "Anak buahmu banyak." Setelah pintu lift terbuka, Haiden dengan paksa mendorong pria yang lebih tinggi darinya tersebut cukup kuat ke dalam lift. Tentu saja harus ekstra tenaga dalam. Because, he's Reigha! Pria kuat dan mematikan. "Saatnya kau balas Budi!" ucap Haiden dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. Reigha yang sedang mengibas-ibas lengan tuxedo-nya yang disentuh oleh Haiden, sontak menoleh ke arah Haiden. Satu alisnya terangkat, memerhatikan kakak iparnya tersebut dengan raut yang cukup flat. "Untuk apa balas Budi? Dia tidak pernah mengusikku," jawab Reig
"Cuk! Kamu satu-satunya cewek di postingannya. Gokil parah, Man!!" Haiden menoleh ke arah Reigha, menahan tawa melihat wajah gusar adik iparnya yang tengah cemburu. Wah wah wah! Jadi begini bentukan seorang Reigha jika cemburu? Sejujurnya Haiden ingin menertawakan penderitaan Reigha yang sedang cemburu ini. Sebab, tertawa di atas penderitaan orang itu adalah hal yang seru bagi Haiden. Namun-- ah, kasihan juga! Bukan kasihan pada Reigha, tetapi kasihan pada nasibnya jika sampai berani menertawakan pria mengerikan ini. Bisa-bisa dia masuk rumah sakit VIP. "Ah, perasaan kamu ajah itu. Tadi buktinya ada kamu, Rebeca sama anak Himpunan lainnya. Berarti bukan aku doang dong.""Iya, tahu. Tapi kan itu foto rame-rame. Fotomu beda, cuma sendiri gitu.""Tolong dong bilangin ke Bagas buat take down fotonya. Takut nanti Mas Batu nisan tahu. Bahaya itu. Bisa hilang akunnya Bagas, Lea. Coba, Mak, chat dia. Bilangin Bagas untuk hap--" Suara Ziea yang cempreng tersebut berhenti, mungkin syok kar