"Fitnah sekali!" Ziea langsung ngegas, melotot horor ke arah suaminya sembari menatap tak terima. "Aku sehat-sehat saja.""Humm." Reigha berdehem singkat. "Tidak apa-apa Abang El berbohong, tidak rugi karena aku bisa bertemu denganmu," ucap Reigha tersenyum tipis, membuka tuxedo serta dasi yang melilit di kerah kemeja. "Mas Reigha kenapa buka baju?" tanya Ziea mengamati suaminya yang sudah bertelanjang dada. Reigha tak menjawab, memilih mendekati Ziea mendorong lembut Ziea ke ranjang– di mana ketika Ziea sudah berbaring di ranjang, Reigha langsung mengambil tempat di atas tubuh istrinya tersebut. Hanya setengah badannya yang menindih, memeluk Ziea dan menyembunyikan tubuh kecil istrinya tersebut di balik badannya yang besar. "Maaas! Berat!" "Sebentar, Mon Amour," ucap Reigha serak dan berat, memperbaiki posisi tidurnya– menyamping tetapi masih memeluk erat tubuh sang istri. "Aromamu harum, sangat manis. Dan aku belum makan siang."'Hah? Hubungan Aroma sama makan siang apa coba? S
"Untuk apa kau pulang? Kau di sini denganku!" Lea membulatkan mata, menatap Haiden dengan air muka bingung kusut bercampur kaget. Kenapa rasanya Haiden terkesan memaksa?'Aneh sekali. Bukannya dia suka terganggu dengan keberadaanku yah?' batin Lea, masih menatap Haiden muram bercampur masam. "Tapi, Pak. Tanteku sudah menyuruhku pulang, aku harus …-""Berbohong yang sangat bagus." Haiden memotong cepat. "Pak, aku tidak berbohong." Lea berucap, setengah memekik untuk meyakinkan Haiden jika dia tidak sedang berbohong. Sejujurnya, Lea memang berbohong. Dia merasa harus berbohong agar bisa pergi dari tempat ini. Hah, Lea merasa tak nyaman di sini. Hanya Ziea yang benar-benar dekat dengannya, dan sahabatnya tersebut sudah punya kehidupan. Lea merasa sendiri di sini! "Aku barusan menghubungi Tante-mu, mengatakan jika kau akan lebih lama lagi di sini denganku. Tantemu mengizinkan," ucap Haiden, menoleh ke arah Lea– menatap perempuan itu penuh peringatan dan cukup tajam. 'Hah? Pak Haiden m
"Oh, Shit!" Haiden mengumpat pelan, memijit pelipis– antara geram dan malas meladeni sikap dedemit Lea yang sangat suka menempelinya. "Kau pikir aku sudi menikahi perempuan tidak benar sepertimu, Hah?! Cepat menyingkir dan berhenti berharap jika aku akan menikahimu. Wanita sepertimu tidak pantas untukku! Rendahan!" Deg'Senyuman Lea seketika pudar, wajah cerah yang menghias di sana berubah menjadi mendung dan murung. Tangannya terlepas cepat dari leher Haiden, langsung berdiri dari pangkuan pria itu. "Maaf, Pak," ucap Lea setelah dia berdiri di hadapan Haiden. Setelah itu, dia segera beranjak dari sana, menahan rasa sakit di dada dan hati. Lea berjalan terburu-buru, menuju kamarnya. Dia bahkan berlari, takut menangis sebelum sampai di kamarnya– itu membuat pandangan maid menatapnya aneh dan heran. Namun, Lea tak peduli. Dia langsung masuk dalam kamar, menutup pintu dengan membantingnya kuat. Di sisi lain, Haiden seketika mengumpat. "Shit!" umpatnya sembari memukul wajahnya sendir
"Rei, tunggu!" Haiden yang berniat masuk lift, segera berlari untuk menghentikan Reigha yang terlihat akan keluar dari mansion. Setelah dia berhasil menghadang sahabatnya sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden langsung menarik Reigha– memaksa pria itu agar ikut dengannya. "Kau harus ikut denganku.""Cik, aku harus menjemput laporan medis Zie ke rumah sakit," decak Reigha, menatap datar dan dingin ke arah Haiden. "Anak buahmu banyak." Setelah pintu lift terbuka, Haiden dengan paksa mendorong pria yang lebih tinggi darinya tersebut cukup kuat ke dalam lift. Tentu saja harus ekstra tenaga dalam. Because, he's Reigha! Pria kuat dan mematikan. "Saatnya kau balas Budi!" ucap Haiden dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. Reigha yang sedang mengibas-ibas lengan tuxedo-nya yang disentuh oleh Haiden, sontak menoleh ke arah Haiden. Satu alisnya terangkat, memerhatikan kakak iparnya tersebut dengan raut yang cukup flat. "Untuk apa balas Budi? Dia tidak pernah mengusikku," jawab Reig
"Cuk! Kamu satu-satunya cewek di postingannya. Gokil parah, Man!!" Haiden menoleh ke arah Reigha, menahan tawa melihat wajah gusar adik iparnya yang tengah cemburu. Wah wah wah! Jadi begini bentukan seorang Reigha jika cemburu? Sejujurnya Haiden ingin menertawakan penderitaan Reigha yang sedang cemburu ini. Sebab, tertawa di atas penderitaan orang itu adalah hal yang seru bagi Haiden. Namun-- ah, kasihan juga! Bukan kasihan pada Reigha, tetapi kasihan pada nasibnya jika sampai berani menertawakan pria mengerikan ini. Bisa-bisa dia masuk rumah sakit VIP. "Ah, perasaan kamu ajah itu. Tadi buktinya ada kamu, Rebeca sama anak Himpunan lainnya. Berarti bukan aku doang dong.""Iya, tahu. Tapi kan itu foto rame-rame. Fotomu beda, cuma sendiri gitu.""Tolong dong bilangin ke Bagas buat take down fotonya. Takut nanti Mas Batu nisan tahu. Bahaya itu. Bisa hilang akunnya Bagas, Lea. Coba, Mak, chat dia. Bilangin Bagas untuk hap--" Suara Ziea yang cempreng tersebut berhenti, mungkin syok kar
"Bodoh!" sinis Haiden. "Cantik," datar Reigha setelah Haiden berbicara. Lea menganga tak percaya, menatap Haiden dan Reigha secara bergantian. "Maksud kalian apa yah?" tanya Lea menampilkan air muka muram. Fix, Reigha mengatainya jelek dan Haiden-- pria ini memang suka menghinanya. "Kau tidak harus memujinya, Rei. Sialan." Haiden mengumpati Reigha. "Hanya menerjemahkan." Reigha mendengkus pelan pada Haiden, lalu dia menoleh ke arah Lea– membuat perempuan itu tergelonjak kaget, seketika pucat pias dan gugup setengah mati. Jujur saja, suami sahabatnya ini sangat tampan, mempesona dan berkarisma. Awal Ziea pernah memperlihatkan foto Reigha, jantung Lea langsung jedag jedug, matanya melotot dan mulutnya menganga. Sangking terpesonanya dia dengan foto Reigha. Sialnya, ketampanan Reigha tertutup oleh aura mengerikan yang menyelimuti pria ini. Di foto Reigha seperti orang benar, tampan dan pria baik serta sopan. Sangat berbeda ketika berhadapan langsung dengan pria ini; tak ada ramahn
Ceklek'Ziea menoleh ke arah pintu, menatap seorang pria yang masuk begitu saja dalam kamarnya. Ziea kemudian mengalihkan perhatiannya, kembali menatap televisi yang menyala. 'Roman-romannya Mas Rei masih marah sepertinya. Cik, aku harus gimana yah biar bisa terhindar dari kemarahan Mas Reigha?' batin Ziea, mengusap tengkuk– merasa merinding dan panas di tengkuknya. 'Ini orang seperti hantu, ada aura-aura mistisnya.' Dewi batin Ziea ketika merasa jika Reigha berjalan menuju ke arahnya. Pria itu berjalan ke arah Ziea, meraih remot TV lalu mematikan televisi– Ziea hanya bisa memasang air muka pucat pias, muram dan kaku.Reigha mendekatinya, berdiri tepat di depan Ziea yang sudah menyender lesu di sofa– mendongak menatap takut-takut pada suaminya tersebut. "Bagas begitu tampan, heh?" sindir Reigha, berkata dengan nada dingin dan rendah– menatap tajam dan mematikan ke arah istrinya. Ziea menggelengkan kepala secara kuat. "Mas Rei yang tampan," jawabnya dengan mencicit pelan, bagai ana
"Mas Reigha, aku bantu?" tawar Ziea dengan langsung menghampiri suminya– berniat membantu Reigha memasang dasi. Namun, Reigha dengan cepat menghindar. Dia buru-buru meraih jas, kemudian segera beranjak dari sana tanpa mengatakan apa-apa pada Ziea. "Mas …-" panggil Ziea, sama sekali tak digubris oleh Reigha. "Cik, dari semalam!! Diamin aku cuma gara-gara Bagas. Kocak! Aku dan suamiku bertengkar gara-gara Bagas, sedangkan Bagas di seberang sana sedang bahagia dengan kehidupannya. Ahahaha! Badut, badut, badut!" ucap Ziea, kesal, frustasi dan dongkol dengan Reigha. Oke, hukumannya adalah didiami oleh suaminya tersebut. ***"Rei, kau dan Ziea ada masalah? Dia mengantarmu tadi pagi tetapi kau tidak merespon sama sekali." Reigha menatap ke arah Aesya, hanya sekilas. "Hanya perasaanmu saja," jawab Reigha, fokus pada layar komputer di meja kerja.Dia sudah sampai di kantor, tengah sibuk dengan tumpukan pekerjaan. Aesya dan Matheo berada di ruangannya, membantu Reigha menyelesaikan pekerja