Sedangkan Reigha, dia hanya menatap datar ke arah istrinya. Reigha menghela napas pelan, mencuci tangan di sebuah pancuran lalu mengeringkan tangan dengan handuk khusus pengering tangan. Darimana Reigha dapat? Tentu ada maid yang bertugas khusus untuk itu. Maid tersebut berdiri tak jauh dari Reigha, memegang nampan berisi handuk tersebut. Setelah itu Reigha langsung menghampiri Aesya– berdiri tepat di belakang istrinya yang sudah menegang kaku dan muram. "Ada apa?" tanya Reigha rendah, menatap datar ke arah Matheo kemudian beralih menatap Aesya. Tersentak mendengar suara berat suaminya, Ziea reflek bergeser– menyingkir dari depan Reigha. Namun sialnya tangan Reigha lebih dulu melingkar di pinggangnya, menahan Ziea untuk tak berpindah tempat. Itu membuat Lea yang memperhatikan jadi kikuk sendiri. Hanya bisa senyum-senyum geli karena melihat raut muka Ziea yang muram dan masam. "Ega, bisa tidak hari ini Matheo tidak bekerja? Dia sedang sakit dan itu karena aku menyuruhnya menger
"Harusnya Nona tidak menemui Tuan dan mengatakan hal seperti tadi. Lihat sekarang, semua pekerjaan dialihkan pada Nona," tegur Matheo, menatap Aesya dengan air muka tidak enak dan sendu. Saat ini dia dan Aesya berada di ruang kerja Reigha, mereka hanya berdua di sana; tengah menyelesaikan sebuah dokumen penting yang esok akan dibawa oleh Fauzan, untuk diantar pada Exel. Karena tidak enak hati, Matheo tidak pulang. Meskipun Reigha sendiri yang memerintahkan, tetapi Matheo memilih untuk membangkang. Sungguh! Dia tidak enak hati pada Aesya. "Diamlah." Aesya berucap ketus, menatap sekilas pada Matheo kemudian kembali fokus mengerjakan pekerjaannya. "Lebih baik kau pulang dan istirahat dengan baik.""Untuk apa?" Matheo meraih sebuah dokumen, membuka laptop miliknya sendiri. Meskipun dia demam, tetapi dia tetap akan mengerjakannya. Dia tidak akan membiarkan Aesya mengerjakan ini sendirian. Aesya hanya punya waktu empat jam sebelum makan malam, dan Matheo yakin Aesya tidak akan bisa meng
Jantung Aesya berdebar kencang dan tak karuan dalam sana, menatap Matheo yang juga menatapnya dengan serius, dalam dan intens. ***Deg deg deg Tidak tahan dengan tatapan Matheo, Aesya sontak memalingkan wajah. Dia berdecak dan mendengkus kesal– berusaha menutupi sesuatu yang membuatnya resa dan gelisah. Hell, ada apa dengannya? Tatapan itu-- tatapan Matheo membuatnya melemah. Aesya tidak suka ini. "Cik, aku sedang bekerja, Matheo," ketus Aesya, memperingati Matheo agar tidak menggangunya."Ouh, berarti setelah Nona selesai bekerja, kita bisa menikah?" "Sinting." Aesya bergumam pelan, kembali mendengkus. Namun, detik berikutnya dia tersenyum tipis– geli karena ucapan Matheo. Antusias seperti anak kecil. Cih. "Anda cantik jika sedang tersenyum," goda Matheo, memperhatikan senyuman indah Aesya. "Diam!" Aesya berucap setengah memekik, reflek memalingkan wajah untuk menyembunyikan raut mukanya yang malu-malu serta salah tingkah. "Cik, pulang saja, Matheo. Kau lebih baik istirahat dari
"Karena aku cemburu melihatmu memperhatikan tangan Matheo."Ziea mengerjab beberapa kali, memandang wajah tampan suaminya yang menampilkan mimik dingin serta flat. Tak lama, Ziea tersenyum malu-malu lalu cengengesan karena salah tingkah mendengar penuturan Reigha. 'Apa sih?! Hatiku murahan banget. Begini saja aku langsung baper.' batin Ziea yang masih cengengesan pada Reigha. "Nah, kan. Cocokan Mas yang pakai gelangnya. Biar aku lihatnya ke gelang yang ada di tangan Mas Rei, bukan tangan Pak Mamat," ucap Ziea dengan cengar-cengir bahagia. Reigha menaikkan kedua alis, memangut pelan sembari tersenyum tipis. "Benar juga," jawabnya pelan, mengambil tempat untuk duduk di sebelah Ziea. "Bagus?" tanya Reigha kemudian, meletakkan tangannya yang memakai gelang tersebut di atas bantal yang berada di pangkuan istrinya. "Sangat bagus sekali, Mas Rei." Ziea menaggukkan kepala, memilih menyingkirkan novelnya agar dia bisa dengan leluasa memerhatikan gelang tersebut. "Kau ingin sesuatu, ZieKu
"Tidak. Aesya tidak akan menikah dengan pria yang tidak punya keluarga, tidak punya status sosial dan tidak jelas asal usulnya seperti anda!" Bukan Aesya yang menjawab melainkan seorang pria yang tiba-tiba masuk dalam ruangan tersebut. Matheo dan Aesya seketika menoleh ke arah sumber suara tersebut. Wajah Matheo terlihat tak bersahabat ketika menatap seorang pria yang kini berjalan ke arah mereka. Sedangkan Aesya, dia terlihat cuek-cuek saja. "Aku tidak menyangka jika Reigha bisa mempekerjakan orang yang tidak tahu diri seperti anda ini. Kau tahu siapa Aesya, tetapi kau berani jatuh cinta padanya. Cih," ucap Brigen, berdecis sinis di akhir kalimatnya. "Jika Rafael atau Reigha tahu kau lancang mencintai Aesya, aku yakin itu hari terakhir kau berada di dunia ini.""Cik." Aesya berdecak pelan. "Jangan berlebihan, Brigan. Ega sudah tahu dan dia tidak mempermasalahkannya," ucap Aesya agar Brigan berhenti menggertak Matheo. "Kau membela pria rendahan itu, Aesya?" Brigen menaikkan sebelah
"Karena Reigha menangkap Ziea yang akan jatuh saat bermain sepeda di halaman belakang rumah." Semua orang seketika menoleh ke arah Haiden, menatap antusias pada pria itu."Sok tahu," kesal Ziea– satu-satunya orang yang menatap berang pada Haiden. Mata Ziea menyipit, bibirnya membentang garis horizontal; memperlihatkan raut muka kesal bercampur bete. Cocok! Lea dan Kakaknya sangat cocok. Sama-sama tukang cepu dan penyebar aib. Ah,, bukan aib tetapi itu hal yang memalukan bagi Ziea untuk diketahui banyak orang. Haiden benar. Awal mula Ziea mulai punya rasa suka dan kagum pada Reigha itu karena pria tersebut menolongnya yang hampir jatuh masuk ke kolam ketika bermain sepeda. Saat itu rumah mereka ramai, banyak orang yang datang ke sana dan Ziea lupa itu acara apa. Yang jelas, pada sepupunya hadir di sana– termasuk Reigha. Ziea yang tak punya teman yang seusia dengannya melihat bermain di taman belakang rumahnya. Ternyata di sana ada Reigha yang sedang duduk diam, di mana depan pria
"Tapi saat itu kau terus memandangiku sampai kau tidak fokus ke jalan dan berakhir menabrak tembok," ucap Reigha-- mengingat-ingat betapa lucunya tingkah istrinya saat itu. Mata Ziea membulat, menatap syok dan horor ke arah suaminya. "Ma--mana ada?" elaknya cepat dan gugup. "Acieeeee …." Lea dan Aesya kembali meledek Ziea, membuat pipi Ziea rasanya terbakar dan gosong. Sial! Rasanya Ziea ingin memusnahkan kata cie dari muka bumi ini. Menyebalkan sekali! "Cik, Mas Rei dan Kak Deden bisa pindah nggak ke tempat kalian tadi?! Menyebalkan sekali sih," ketus Ziea sembari mendorong-dorong pundak Reigha agar menyingkir dari sana. "Atau aku yang pergi?!" ancam Ziea, menatap berang ke arah Reigha. "Cih." Reigha berdecis geli, memperhatikan raut muka istrinya yang terlihat sangat menggemaskan. Reigha sama sekali tak pindah, tetap duduk di sebelah istrinya dan kembali tenggelam pada bacaannya. 'Padahal aku ingin berbicara sesuatu pada Ziea dan Lea, tetapi Kak Haiden dan Ega malah pindah ke
Brak'Bug'Buku tebal ditangan Reigha seketika melesat cepat, melayang dan langsung mengenai wajah Brigan. "Argk." Brigan meringis sakit. Aesya dan Lea yang kaget sontak berdiri, menatap pucat pias ke arah Brigan yang sedang memegang kening. Hell! Keningnya berdarah!"Apa masalahmu, Hah?" teriak Brigan marah, menatap tajam dan murkah ke arah Reigha. Persetan siapa Reigha di keluarga ini! Apa yang Reigha lakukan barusan itu sangat keterlaluan. Sejak awal dia memang kurang suka pada Reigha, selain karena pribadinya yang terlalu dingin serta cuek, juga karena sering merasa paling berkuasa. "Apa masalahku?!" dingin Reigha berdesis sangat rendah dan pelan, dia berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah mendekati Brigan. Tatapan matanya tajam, tangannya mengepal kuat serta rahangnya yang mengetat dan mengeras. Reigha menarik kerah baju Brigan, hanya sekali sentakan dan membuat pria itu berdiri. Aesya dan Lea menjauh dari sana, merapat tubuh mereka ke arah Haiden. Demi Tuhan meraka ket