"Tidak. Aesya tidak akan menikah dengan pria yang tidak punya keluarga, tidak punya status sosial dan tidak jelas asal usulnya seperti anda!" Bukan Aesya yang menjawab melainkan seorang pria yang tiba-tiba masuk dalam ruangan tersebut. Matheo dan Aesya seketika menoleh ke arah sumber suara tersebut. Wajah Matheo terlihat tak bersahabat ketika menatap seorang pria yang kini berjalan ke arah mereka. Sedangkan Aesya, dia terlihat cuek-cuek saja. "Aku tidak menyangka jika Reigha bisa mempekerjakan orang yang tidak tahu diri seperti anda ini. Kau tahu siapa Aesya, tetapi kau berani jatuh cinta padanya. Cih," ucap Brigen, berdecis sinis di akhir kalimatnya. "Jika Rafael atau Reigha tahu kau lancang mencintai Aesya, aku yakin itu hari terakhir kau berada di dunia ini.""Cik." Aesya berdecak pelan. "Jangan berlebihan, Brigan. Ega sudah tahu dan dia tidak mempermasalahkannya," ucap Aesya agar Brigan berhenti menggertak Matheo. "Kau membela pria rendahan itu, Aesya?" Brigen menaikkan sebelah
"Karena Reigha menangkap Ziea yang akan jatuh saat bermain sepeda di halaman belakang rumah." Semua orang seketika menoleh ke arah Haiden, menatap antusias pada pria itu."Sok tahu," kesal Ziea– satu-satunya orang yang menatap berang pada Haiden. Mata Ziea menyipit, bibirnya membentang garis horizontal; memperlihatkan raut muka kesal bercampur bete. Cocok! Lea dan Kakaknya sangat cocok. Sama-sama tukang cepu dan penyebar aib. Ah,, bukan aib tetapi itu hal yang memalukan bagi Ziea untuk diketahui banyak orang. Haiden benar. Awal mula Ziea mulai punya rasa suka dan kagum pada Reigha itu karena pria tersebut menolongnya yang hampir jatuh masuk ke kolam ketika bermain sepeda. Saat itu rumah mereka ramai, banyak orang yang datang ke sana dan Ziea lupa itu acara apa. Yang jelas, pada sepupunya hadir di sana– termasuk Reigha. Ziea yang tak punya teman yang seusia dengannya melihat bermain di taman belakang rumahnya. Ternyata di sana ada Reigha yang sedang duduk diam, di mana depan pria
"Tapi saat itu kau terus memandangiku sampai kau tidak fokus ke jalan dan berakhir menabrak tembok," ucap Reigha-- mengingat-ingat betapa lucunya tingkah istrinya saat itu. Mata Ziea membulat, menatap syok dan horor ke arah suaminya. "Ma--mana ada?" elaknya cepat dan gugup. "Acieeeee …." Lea dan Aesya kembali meledek Ziea, membuat pipi Ziea rasanya terbakar dan gosong. Sial! Rasanya Ziea ingin memusnahkan kata cie dari muka bumi ini. Menyebalkan sekali! "Cik, Mas Rei dan Kak Deden bisa pindah nggak ke tempat kalian tadi?! Menyebalkan sekali sih," ketus Ziea sembari mendorong-dorong pundak Reigha agar menyingkir dari sana. "Atau aku yang pergi?!" ancam Ziea, menatap berang ke arah Reigha. "Cih." Reigha berdecis geli, memperhatikan raut muka istrinya yang terlihat sangat menggemaskan. Reigha sama sekali tak pindah, tetap duduk di sebelah istrinya dan kembali tenggelam pada bacaannya. 'Padahal aku ingin berbicara sesuatu pada Ziea dan Lea, tetapi Kak Haiden dan Ega malah pindah ke
Brak'Bug'Buku tebal ditangan Reigha seketika melesat cepat, melayang dan langsung mengenai wajah Brigan. "Argk." Brigan meringis sakit. Aesya dan Lea yang kaget sontak berdiri, menatap pucat pias ke arah Brigan yang sedang memegang kening. Hell! Keningnya berdarah!"Apa masalahmu, Hah?" teriak Brigan marah, menatap tajam dan murkah ke arah Reigha. Persetan siapa Reigha di keluarga ini! Apa yang Reigha lakukan barusan itu sangat keterlaluan. Sejak awal dia memang kurang suka pada Reigha, selain karena pribadinya yang terlalu dingin serta cuek, juga karena sering merasa paling berkuasa. "Apa masalahku?!" dingin Reigha berdesis sangat rendah dan pelan, dia berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah mendekati Brigan. Tatapan matanya tajam, tangannya mengepal kuat serta rahangnya yang mengetat dan mengeras. Reigha menarik kerah baju Brigan, hanya sekali sentakan dan membuat pria itu berdiri. Aesya dan Lea menjauh dari sana, merapat tubuh mereka ke arah Haiden. Demi Tuhan meraka ket
Dengan lembut, Reigha membaringkan tubuh istrinya di atas ranjang. Dia menghela napas pelan, sembari duduk di sebelah Ziea yang terlihat memejamkan mata. Tangan Reigha terulur, menyentuh pinggiran wajah istrinya– membelainya dengan lembut. "Aku tahu kau hanya berpura-pura," ucap Reigha pelan dan rendah– memperhatikan kelopak mata istrinya yang bergerak-gerak. "Buka matamu, ZieKu," tambahnya dengan suara serak, berat dan rendah. Ziea membuka mata, langsung menyengir gugup ke arah suaminya. "Kalau aku tidak begitu, Mas Rei tidak akan berhenti memukuli dia kan?" "Humm." Reigha berdehem singkat, menatap sayup ke arah istrinya, "aku tidak akan membiarkan siapapun merebutmu dariku, ZieKu. Aku tidak akan segan-segan melenyapkannya," tambah Reigha dengan nada lirih dan sangat rendah. Ketakutan terbesar Reigha adalah kehilangan Ziea. Baginya, Ziea adalah segalanya. Dia warna, kehidupan serta kebahagiaan bagi Reigha. "Aku juga tidak ingin dengan pria manapun. Sejak kecil-- aku maunya hanya
"Tidak kusangka ternyata kau sudah menikah. Aku … terlambat."Ziea hanya cengengesan sebagai jawaban, menggaruk daun telinga karena tak tahu harus menjawab apa. Jujur saja, dia cukup kaget karena Brigan menyukainya. Dilihat dari sudut manapun, Ziea tak bisa melihat rasa suka pria ini padanya. Malah dia mengira jika Brigan menyukai Aesya. Karena dari dulu Brigan memang lebih dekat dengan Aesya dibandingkan dengan Ziea atau Serena. "Kau sedang hamil?" tanya Brigan. "Iya, Kak." Ziea menganggukkan kepala sembari tersenyum seadanya pada Brigan. "Kau sangat can …-" Sebelum ucapannya selesai, tiba-tiba saja pintu lift terbuka– memperlihatkan Reigha dengan tatapan mematikan dan wajah dingin penuh ancaman. Brigan sontak mundur beberapa langkah, menjauhi Ziea sembari menatap pucat pias ke arah Reigha. "Mas Rei," ucap Ziea, langsung berhambur ke pelukan suaminya– sengaja karena dia takut Reigha maupun dan Brigan kembali berkelahi. Cup'Reigha mengecup bibir Ziea lembut, tersenyum manis sem
"Aesya, bagaimana jika kau saja yang menikah denganku? Aku batal menikah dengan Ziea dan kau bisa menggantikan Ziea. Kau mau menikah denganku?" tawar Brigan, seketika menghentikan langkah Aesya. Aesya menoleh ke arah Brigan, menatap pria tersebut dengan raut muka kesal bercampur tak terima. "Aku tidak yakin menikah dengan pria sepertimu." "Kenapa? Rafael dan Maxim setuju jika kita menikah. Mereka tahu aku layak menjadi suami untuk adik mereka ini." Brigan berusaha meyakinkan. "Aku layak dan pantas menjadikanmu suami. Aku punya segalanya, Aesya. Dan kau … kau akan bahagia bersamaku."Aesya diam sejenak, menatap muak dan malas ke arah Brigan. "Aku tidak tahu sesakit apa rasanya cinta sepihak. Tetapi melihatmu bodoh seperti ini, aku yakin rasanya pasti sangat sakit. Maaf, tapi aku tidak ingin menikah dengan pria patah hati." Setelah mengatakan itu, Aesya segera beranjak dari sana. Dia buru-buru masuk dalam ruangan Reigha karena di sana Matheo sudah menunggunya. Yah, ada banyak pekerja
"Kalian rela adik kesayangan kalian menikah dengan pria yang bahkan orang tuanya dia tidak tahu siapa?!"Deg deg deg'Matheo mengepalkan tangan, mengatupkan rahang dengan tatapan mata tajam dan raut wajah gusar. Dia sejak tadi hanya diam, tetapi pria ini terus menyeret namanya dalam masalahnya. Siapa yang terima ketika dirinya dihina serta direndahkan?! "Matheo, kau menyukai Aesya?" tanya Rafael, memicingkan mata– menatap serius ke arah Matheo. Wajahnya tak bersahabat, ini menyangkut masa depan adiknya. "Abang El!" Aesya memekik dsn memperingati. "Matheo tidak akan menjawab, El. Dia loser, rendahan dan tidak punya apa-apa. Cih, berani dan lancang sekali dia berpikir untuk menikahi Aesya! Hanya pecundang tanpa status sosial," geram Brigan, menatap sinis dan meremehkan pada Matheo. "Hidup di panti dan kekurangan kasih sayang. Apa pria seperti itu layak untuk princess Aesya? Yang ada dia menyiksa dan membuat Aesya menderita," tambah Brigan. Brak'Matheo yang sudah tak tahan di hina o
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming