"Aesya, bagaimana jika kau saja yang menikah denganku? Aku batal menikah dengan Ziea dan kau bisa menggantikan Ziea. Kau mau menikah denganku?" tawar Brigan, seketika menghentikan langkah Aesya. Aesya menoleh ke arah Brigan, menatap pria tersebut dengan raut muka kesal bercampur tak terima. "Aku tidak yakin menikah dengan pria sepertimu." "Kenapa? Rafael dan Maxim setuju jika kita menikah. Mereka tahu aku layak menjadi suami untuk adik mereka ini." Brigan berusaha meyakinkan. "Aku layak dan pantas menjadikanmu suami. Aku punya segalanya, Aesya. Dan kau … kau akan bahagia bersamaku."Aesya diam sejenak, menatap muak dan malas ke arah Brigan. "Aku tidak tahu sesakit apa rasanya cinta sepihak. Tetapi melihatmu bodoh seperti ini, aku yakin rasanya pasti sangat sakit. Maaf, tapi aku tidak ingin menikah dengan pria patah hati." Setelah mengatakan itu, Aesya segera beranjak dari sana. Dia buru-buru masuk dalam ruangan Reigha karena di sana Matheo sudah menunggunya. Yah, ada banyak pekerja
"Kalian rela adik kesayangan kalian menikah dengan pria yang bahkan orang tuanya dia tidak tahu siapa?!"Deg deg deg'Matheo mengepalkan tangan, mengatupkan rahang dengan tatapan mata tajam dan raut wajah gusar. Dia sejak tadi hanya diam, tetapi pria ini terus menyeret namanya dalam masalahnya. Siapa yang terima ketika dirinya dihina serta direndahkan?! "Matheo, kau menyukai Aesya?" tanya Rafael, memicingkan mata– menatap serius ke arah Matheo. Wajahnya tak bersahabat, ini menyangkut masa depan adiknya. "Abang El!" Aesya memekik dsn memperingati. "Matheo tidak akan menjawab, El. Dia loser, rendahan dan tidak punya apa-apa. Cih, berani dan lancang sekali dia berpikir untuk menikahi Aesya! Hanya pecundang tanpa status sosial," geram Brigan, menatap sinis dan meremehkan pada Matheo. "Hidup di panti dan kekurangan kasih sayang. Apa pria seperti itu layak untuk princess Aesya? Yang ada dia menyiksa dan membuat Aesya menderita," tambah Brigan. Brak'Matheo yang sudah tak tahan di hina o
"Keputusanmu tidak dibutuhkan! Masih ada Maxim dan Rafael!" Brigan berkata tak terima. Jika dia tidak bisa mendapatkan Ziea, maka dia harus mendapatkan Aesya. Bagaimanapun caranya! "Kau mau ditanam atau dikremasi? To the point saja, Brigan," ucap Reigha dingin dan rendah, dia menatap tajam ke arah Brigan– melakukan peregangan di leher kemudian berdiri. Baru satu langkah, Brigan buru-buru berdiri dari tempat duduknya kemudian segera beranjak dari sana. Brak'Brigan keluar dari ruangan tersebut, menutup pintu secara kencang, mungkin sangking takutnya dia. Reigha berdecis pelan, kembali duduk ke tempatnya– meraih bukunya kemudian kembali membaca, menampilkan raut muka tenang. "Usir tamu mu itu dari sini," ucap Reigha melirik sekilas ke arah Rafael. Rafael mendengkus pelan. "Cik, kita sudah sepakat mengikut sertakan Brigan masuk dalam klan. Dia dibutuhkan, keterampilannya dalam menembak dan merakit senjata sangat bagus, Rei.""Mulutnya sampah," ucap Reigha singkat. Maxim memangut pe
"Tidak, Nak," tambahnya sembari menggelengkan kepala panik. "Daddy lebih percaya pada orang lain dibandingkan anak Daddy sendiri yah," tuntut Ziea dengan masih menatap galak ke arah Gabriel. "Re--Rei mengadu padamu?" tanya Gabriel dengan mata melotot, menatap tak percaya pada menantunya tersebut. Ah, begini lah jika keponakannya yang sudah dianggap anak sendiri menikah dengan putranya. Cik! Menuntut dan suka melabrak. Tetapi tidak apa-apa. Bukankah itu bukti jika menantunya ini sangat mencintai putranya?! Kalau begitu putranya beruntung punya istrinya yang siap melindungi dirinya, tanpa kenal siapapun– asal terobos demi melindungi suami. "Humm. Daddy Gabriel jahat sekali pada Mas Reigha, orang Mas Reigha nggak salah apa-apa kok," celutuk Ziea dengan nada cemberut. "Duduk dulu, Nak," ucap Gabriel, mempersilahkan Ziea untuk duduk. Ziea duduk di depan ayah mertuanya, wajahnya ditekuk dan muram. "Coba Daddy yang di posisi Mas Rei, Kakek Exam lebih percaya pada orang lain dibandingka
"Jadi Zie tahu apa masalah Masnya dengan Brigan?" tanya Satiya baik-baik, setelah dia selesai memberikan hukuman pada suaminya.Ziea menganggukkan kepala, pindah duduk di sopa ruangan kerja Daddynya tersebut. Gabriel juga pindah, duduk tepat di sebelah sang istri tercinta. Sapi! Sedangkan Thomas, dia sejak awal sudah duduk di sebuah sofa singgel– bersebelahan dengan Ziea. "Tahu, Mom." Wajah lawak Ziea mendadak hilang, berganti dengan air muka serius. "Awal mulanya Kak Brigan baik-baik saja dengan Mas Reigha. Trus-- tiba-tiba saja ketika kami semua lagi nyantai sambil milih gaun pernikahan untuk Lea, Brigan datang dan nggak ada angin nggak ada hujan, dia lamar Ziea, Mommy, Daddy. Ya-- Mas Rei marah. Jadinya mereka bertengkar. Mas udah bilang kalau aku itu istrinya, tapi Kak Brigen kayak nggak terima. Yaudah, habis dia sama Masnya." "Trus … habis itu dia minta maaf ke Mas Rei. Tapi berulah lagi dengan melamar Kak Eca. Kalau cuma melamar saja kan nggak masalah, tetapi ini kesannya sep
"Aduh," ucap Ziea pelan, mengeluh dsn meringis lirih ketika akan masuk dalam kamar tetapi seseorang menarik kerah bajunya– membuat langkah Ziea yang akan memasuki kamar terhenti. "Mas?" ucap Ziea pelan, ketika menoleh ke belakang dan mendapati suaminya lah yang sedang menahan kerah bajunya. "Kenapa, Mas Rei?" tanya Ziea bingung, menaikkan kedua alis sembari memerhatikan wajah flat sang suami. Hais, wajah flat ini sedikit menyebalkan karena Ziea tidak bisa menebak apa yang suaminya rasakan dalam sana. Dia tak tahu pria ini tengah marah, senang atau sedang sedih. Ekspresinya terlalu flat. Reigha melepas tangannya dari kerah baju sang istri. "Masuk," titahnya dingin. 'Apa sih? Nggak jelas banget. Aku diberhenti-berhentiin trus disuruh masuk. Why?!' gerutu Ziea dalam batin, memilih menurut dan masuk dalam kamar. Ziea langsung duduk di sofa depan TV dalam kamarnya kemudian menyalakan televisi. Namun, baru mendengar tawa animasi kesukaannya, tiba-tiba saja Reigha datang dan langsung me
"Maaf, tetapi aku menolak lamaran ini," ucap Aesya dengan nada tegas, menatap datar ke arah orang tua Brigan. Hal tersebut membuat Topan dan Esma (orang tua Brigan) menatap Aesya dengan air muka tak terima serta sedikit kesal. "Kenapa, Sayang? Bukankah kamu dan Brigan berpacaran?" ucap Esma sembari menatap Aesya muram, "daripada kalian terus berpacaran dan tak ada kejelasan, lebih baik kalian menikah. Brigan mengatakan hubungan kalian sudah jauh." Aesya menatap kedua orang tuanya, menggelengkan kepala-- pertanda jika dia tidak seperti yang paman dan Tantenya katakan. "Aku tidak pernah berpacaran, Tante. Baik dengan anak Tante maupun dengan pria diluaran sana. Selama ini, aku fokus ke diriku sendiri– menikmati kehidupanku tanpa terusik oleh yang namanya berpacaran," jelas Aesya. "Maaf, Tante dan Om, tolong hargai keputusanku. Aku tidak ingin menikah dengan Brigan," tambah Aesya selanjutnya. "Ta--tapi kenapa? Ada yang salah dengan putraku atau …-" Tiba-tiba Esma memicingkan mata, m
Reigha menghampiri kekacauan, di mana Daddynya masih memukul Pamannya, dan di sisi lain ada Rafael yang bukannya merelai tetapi membantu Daddynya memukul Topan. "Sayang, tolong pisahkan mereka. Pamanmu bisa tiada, Nak. Tolong yah, Sayang," pinta Satiya dengan nada lirih dan parau. "Baik, Mom." Reigha menganggukkan kepala, berjalan santai ke keributan tersebut kemudian dia memisah Daddynya serta Rafael dari pamannya dan Brigan– dibantu oleh bodyguard serta pamannya, Thomas (ayah Serena). "Daddy membuat Mommy takut. Jadi berhentilah," ucap dan peringat Reigha ketika Gabriel masih berniat ingin memukul Topan. Gabriel menatap istrinya sekilas-- memperhatikan wajah murung dan khawatir sang istri, kemudian dia menatap nyalang ke arah Topan. "Dia merendahkan Mommy-mu, dan Daddy … matipun tidak akan terima jika ada yang berani mengatai istriku perempuan rendahan. Dia harus mati!" desis Gabriel dingin. "Kasihan Mommy, Daddy. Jantung Mommy tidak kuat melihat Daddy seperti ini. Tolong tenan
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming