"Aduh," ucap Ziea pelan, mengeluh dsn meringis lirih ketika akan masuk dalam kamar tetapi seseorang menarik kerah bajunya– membuat langkah Ziea yang akan memasuki kamar terhenti. "Mas?" ucap Ziea pelan, ketika menoleh ke belakang dan mendapati suaminya lah yang sedang menahan kerah bajunya. "Kenapa, Mas Rei?" tanya Ziea bingung, menaikkan kedua alis sembari memerhatikan wajah flat sang suami. Hais, wajah flat ini sedikit menyebalkan karena Ziea tidak bisa menebak apa yang suaminya rasakan dalam sana. Dia tak tahu pria ini tengah marah, senang atau sedang sedih. Ekspresinya terlalu flat. Reigha melepas tangannya dari kerah baju sang istri. "Masuk," titahnya dingin. 'Apa sih? Nggak jelas banget. Aku diberhenti-berhentiin trus disuruh masuk. Why?!' gerutu Ziea dalam batin, memilih menurut dan masuk dalam kamar. Ziea langsung duduk di sofa depan TV dalam kamarnya kemudian menyalakan televisi. Namun, baru mendengar tawa animasi kesukaannya, tiba-tiba saja Reigha datang dan langsung me
"Maaf, tetapi aku menolak lamaran ini," ucap Aesya dengan nada tegas, menatap datar ke arah orang tua Brigan. Hal tersebut membuat Topan dan Esma (orang tua Brigan) menatap Aesya dengan air muka tak terima serta sedikit kesal. "Kenapa, Sayang? Bukankah kamu dan Brigan berpacaran?" ucap Esma sembari menatap Aesya muram, "daripada kalian terus berpacaran dan tak ada kejelasan, lebih baik kalian menikah. Brigan mengatakan hubungan kalian sudah jauh." Aesya menatap kedua orang tuanya, menggelengkan kepala-- pertanda jika dia tidak seperti yang paman dan Tantenya katakan. "Aku tidak pernah berpacaran, Tante. Baik dengan anak Tante maupun dengan pria diluaran sana. Selama ini, aku fokus ke diriku sendiri– menikmati kehidupanku tanpa terusik oleh yang namanya berpacaran," jelas Aesya. "Maaf, Tante dan Om, tolong hargai keputusanku. Aku tidak ingin menikah dengan Brigan," tambah Aesya selanjutnya. "Ta--tapi kenapa? Ada yang salah dengan putraku atau …-" Tiba-tiba Esma memicingkan mata, m
Reigha menghampiri kekacauan, di mana Daddynya masih memukul Pamannya, dan di sisi lain ada Rafael yang bukannya merelai tetapi membantu Daddynya memukul Topan. "Sayang, tolong pisahkan mereka. Pamanmu bisa tiada, Nak. Tolong yah, Sayang," pinta Satiya dengan nada lirih dan parau. "Baik, Mom." Reigha menganggukkan kepala, berjalan santai ke keributan tersebut kemudian dia memisah Daddynya serta Rafael dari pamannya dan Brigan– dibantu oleh bodyguard serta pamannya, Thomas (ayah Serena). "Daddy membuat Mommy takut. Jadi berhentilah," ucap dan peringat Reigha ketika Gabriel masih berniat ingin memukul Topan. Gabriel menatap istrinya sekilas-- memperhatikan wajah murung dan khawatir sang istri, kemudian dia menatap nyalang ke arah Topan. "Dia merendahkan Mommy-mu, dan Daddy … matipun tidak akan terima jika ada yang berani mengatai istriku perempuan rendahan. Dia harus mati!" desis Gabriel dingin. "Kasihan Mommy, Daddy. Jantung Mommy tidak kuat melihat Daddy seperti ini. Tolong tenan
"Es krimmu sudah kau habiskan, ZieKu?" Ziea menggelengkan kepala, menatap suaminya tersebut dengan tatapan sendu dan sayup. "Tidak.""Kenapa, hum?" tanya Reigha lembut, mengusap pucuk kepala sang istri kemudian duduk di sebelah Ziea yang terlihat murung. "Aku tidak bernafsu lagi." Ziea berkata pelan, "setahuku dulu keluarga Kak Brigan itu baik. Tetapi kenapa yah makin ke sini, keluarga mereka makin kelihatan iri dengkinya.""Orang berubah seiring waktu berjalan, ZieKu." Reigha berucap rendah, masih mengusap kepala Ziea agar istrinya tersebut menenang. "dan tidak semua orang-orang di sekitar kita baik."Ziea memangut-mangut, paham dengan ucapan suaminya. "Tapi-- kok ada yah orang begitu? Suka merendahkan orang lain hanya demi agar dirinya terlihat lebih baik. Ouh iya, sekarang aku tahu kenapa Kak Brigan suka mencemooh dan merendahkan orang lain. Orang dia keturunan murni bapaknya. Ih, aku baru tahu kalau mulut Om Topan lemes kayak perempuan cabe-cabean," cerocos Ziea, masih kepikiran
"Serius napa, Ziea?" ucap Lea kesal dan dongkol, masih dengan pembahasan yang sama– apa kunci yang Ziea maksud sebelumnya. "Iya, Nyonya. Saya terlanjur penasaran dengan kunci yang ada maksud," ucap Matheo, menimpali perkataan Lea. Ziea mengibas tangan di depan wajah, "kuncinya mah berusaha dan berdoa," ucap Ziea, mendapat dengkusan dari Lea. "Mendadak tobat si Bangke ini. Yang serius lah!" "Aku serius, Monyet. Satu tambah satu berapa?" "Dua." Lea dan Matheo sama-sama menjawab. "Nah itu tahu." Ziea berucap nyolot. "Jangan sampai aku berubah jadi Pak Ladi sing yah!" Lea mengelus dada, menahan kesal dan dongkol pada sahabatnya tersebut, "hubungannya satu tambah satu apa sama kunci inggris, Cuk?! Ah, harus jadi bakso urat kalau bicara sama bangke satu ini." "Heh, Taik. Makanya otak itu jangan dijadikan pajangan doang. Sesekali digunakan, Cuk. Satu tambah satu sama dengan dua itu cuma kiasan." Ziea balik mengomel. Matheo hanya bisa menatap aneh, nanar dan tertekan diantara para
"Kamu itu bodoh, tidak punya prestasi apapun, tidak bisa diandalkan, tidak berguna, dan pembawa sial," ucap Mira dengan nada yang mengoyak hati Lea. Sejenak Lea menundukkan kepala, menyembunyikan matanya yang sudah basah dan berkaca-kaca. Dadanya sangat sesak, tak tahan mendengar ucapan menyakitkan dari Mamanya. 'Tuhan, Masih pantaskah wanita ini kupanggil ibu? Aku tahu jasanya untuk melahirkanku di dunia ini tak akan terbalas oleh apapun. Tetapi luka yang dia torehkan padaku, sakitnya mengalahkan rasa cinta sebesar apapun di dunia ini. Sedikitpun cintanya sama sekali tidak pernah singgah untukku.' batin Lea, memberanikan diri mendongak dan menatap Mamanya dengan tatapan terluka. "Kalau begitu, kenapa kalian malah menemuiku? Kenapa tidak menemui keluarga Mahendra saja? Katakan pada Pak Haiden jika aku tidak pantas padanya dan putri kesayangan kalian itu yang lebih pantas untuknya. Sana-- temui langsung orangnya, dari pada kalian di sini cuma dapat sial dariku," ucap Lea dengan nada
"Pa--Pak Haiden?!" kaget Lea dengan nada pelan, menatap Haiden yang sudah berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Dengan panik, Lea mendorong Haiden untuk mundur dari depannya kemudian menyembulkan kepala sembari celingak-celinguk untuk melihat om dan tantenya. Ah, maksudnya Mama dan Papa barunya. "Ngapain Pak Haiden nongol di sini?" tanya Lea yang masih celingak-celinguk untuk mencari keberadaan Papa dan Mamanya. "Menemuimu," jawab Haiden, memerhatikan Lea dengan saksama. Ah, wanita ini kenapa semakin terlihat cantik dan lucu? "Om dan Tantemu sudah pergi," ucap Haiden kemudian, tahu apa yang dicari oleh wanita pujaan hatinya tersebut. Lea seketika itu juga menegakkan kepala. "Kemana?" tanya Lea dengan sebelah alis terangkat. Sialan! Dia ditinggal sendiri di sini. Mana Orang tua barunya tersebut memasukkan harimau buas lagi ke rumah mereka ini. Meskipun suka genit pada Haiden, tetapi di situasi seperti ini Lea jadi merinding disko. Terlebih hujan sedang turun lebat di luar. Tapi-- k
Setelah sesi curhat dengan pria itu, Lea saat ini tengah memasak nasi goreng untuk dibawa pulang oleh Haiden. Ternyata Haiden kemari-- bisa dikatakan tidak benar-benar untuk dirinya. Pria itu datang karena Ziea tengah di kediaman Mahendra dan sedang mengidam nasi goreng buatan Lea. Real nasi goreng yah, bukan nasi tumis dengan kecap manis. Tetapi ini nasi digoreng!Jika Lea ada dilantai bawah dan tengah memasak nasi goreng, Haiden tetap berada di kamar perempuan itu. Di mana dia saat ini tengah mengotak-atik benda-benda di atas sebuah meja dalam kamar tersebut. Ada banyak miniatur, mulai dari yang setengah jadi, sudah jadi atau masih bahan mentah. "Menakjubkan," gumam Haiden pelan, menyunggingkan smirk tipis dengan tatapan sayup dan berat ke arah salah satu miniatur di sana. Yah, menakjubkan karena calon istrinya punya jiwa seni yang tinggi. Cih, Azalea-nya memang unik. Bukan hanya pribadinya yang kerap kali bikin geleng-geleng kepala, tetapi kemampuan tersembunyi calon istrinya te