Deg deg deg''Si--si Mesum?!'"Apa yang kamu lakukan di sini? Mencuri yah?" galak Kanza, buru-buru mendekati pria itu lalu menarik putranya agar turun dari pangkuan si pria. "Pergi dari sini, Pencuri!" ucap Kanza selanjutnya. Razie menaikkan sebelah alis, terlihat tenang dan cukup santai– duduk menyender di sofa kumuh tersebut. "Kau yang mencuri, Nona Kanza Adiba." Deg deg degJantung Kanza berdebar kencang, matanya sedikit melebar dengan air muka pucat pias. Entah kenapa dia gugup, merasa jika cara pelapasan namanya oleh pria ini mirip seperti pria yang telah …-'Kanza Adiba. Kau milikku.' Mengingat itu, tubuh Kanza tiba-tiba bergetar. Mendadak keringat dingin bermunculan di tengkuk dan kening, jantungnya lebih cepat berdetak yang sebelumnya. Kanza mulai takut, dia takut pada sosok ini. Ja--jangan-jangan pria ini …- "Kau mencuri hal berharga dariku, Nona." Suara dingin mengalun, semakin membuat Kanza panik di tempatnya. Ketika dia menyadari satu hal, jantung Kanza rasanya sepert
"Oke-oke. Lupakan! Trus kenapa Bapak muncul sekarang? Selama tujuh tahun ini anda kemana?" tanya Kanza secara beruntun. Jika memang pria ini menyesali perbuatannya, kenapa baru sekarang dia meminta maaf pada Kanza? Kenapa dia baru muncul?Razie menaikkan sebelah alis, tersadar dari lamunan serta fantasi liar yang memenuhi pikirannya. "Ekhem." Razie berdehem pelan, mengusir bayang-bayang gila yang masih terus menghantui pikirannya. Satu hal yang Razie sesali dari kejadian tujuh tahun lalu, kenapa dia harus lupa kenikmatan tubuh itu? Shit! Itu membuat Razie penasaran dengan tubuh perempuan ini, fantasi gila bermunculan di kepalanya akibat rasa penasaran itu. "Aku mencarimu, Nona. Aku menemui ayahmu, mengatakan jika putrinya sudah menikah. So--" Razie mengedikkan pundak secara acuh tak acuh, "aku mengira namamu Safa, kau sudah menikah. Jadi aku memutuskan berhenti mencari tahu. Ternyata Safa dan kau adalah orang yang berbeda. Aku baru tahu ketika tanpa sengaja bertemu denganmu di sebua
"Kita perlu bicara, ZieKu." Ziea menggelengkan kepala secara kuat. "Tidak! Bicara saja pada family-mu itu. Cih, si paling pro family!!" decis Ziea kesal bercampur marah pada akhir kalimat. "Aku hanya berusaha adil, ZieKu. Hanya karena Razie putraku, bukan berarti semua tindakannya harus kudukung." "Iya, Mas Rei tidak perlu mendukung putraku. Aku--" Ziea menunjuk dirinya sendiri, menatap menyolot dan marah pada Reigha, "ibunya masih hidup untuk terus mendukungnya. Tidak perlu mendukung Razie. Dukung saja anak-anak dari saudaramu itu." Ziea melepaskan tangan Reigha dari pergelangannya, kemudian dia segera beranjak dari sana. Namun, baru beberapa langkah, Reigha berhasil menyusulnya– kembali mencekal pergelangan tangan Ziea kemudian menarik Ziea untuk ikut dengannya. Setelah sampai di kamar mereka, Reigha mendudukkan Ziea di pinggir ranjang sedangkan dia masih berdiri di dapan Ziea. "Tolong pahami kondisinya dengan baik." Reigha berkata dingin. "Gara dan Razie menyukai perempuan ya
"cieee … yang gugup ketemu Mama mertua, tangannya dingin," canda Ziea, membuat Kanza menganga tetapi semakin nervous– merah pipinya karena ucapan Ziea. Deg deg deg 'Buset!! Ini beneran Mamanya Pak Razie? Lucu banget, Cuk. Mana cantik banget lagi.' batin Ziea, senyum kaku karena gugup pada Ziea. "Kapan nikah?" tanya Ziea setelah melepas tautan tangannya dengan Kanza, masih tersenyum lembut– terus menatap senang pada perempuan yang akan menjadi menantunya tersebut. "Ka--kapan-kapan, Tante. Ehehe … calonnya saja belum ada, Tan," canda Kanza, berusaha mencairkan suasana. Tetapi malah-- Beku!Atmosfer terasa beku, semakin dingin dan mencekam. Seseorang di sebelahnya– pria yang menjulang tinggi, hampir dua meter tersebut, terasa menguarkan aura mengancam. Kanza dibuat kikuk, tak nyaman dengan hawa dari pria mengerikan tersebut. 'Ini orang kayak dukun santet deh. Auranya mengerikan banget!' batin Kanza, mengusap tengkuk sembari melirik-lirik ke arah Razie. "Loh, kan calonnya ada di seb
"Wah … Razie!!" Ziea melotot galak pada putranya, berkacak pinggang dengan napas yang menggebu-gebu. Razie menatap ke arah sang Mommy. "Mommy salah paham," ucapnya pelan. Ziea mengibas tangan secara malas di depan wajah, duduk di sebelah Kanza kemudian mengajak calon menantunya tersebut untuk mengobrol. Karena merasa tidak dianggap, Razie segera beranjak dari sana– memilih bergabung dengan Daddynya serta putranya. "Tante meminta maaf untuk kejadian tujuh tahun yah, Sayang," ucap Ziea tiba-tiba, di tengah obrolan mereka. Dari bercanda, suana berubah menjadi lebih serius. Kanza terdiam sesaat, menatap Ziea dengan manik sendu. Lalu tak lama dia mengangukkan kepala, tersenyum lembut ke arah wanita paru baya yang sangat cantik tersebut. Semakin cantik di mata Kanza karena sosok ini sangat baik dan menyenangkan. Visualnya sudah sangat cantik, lalu ditambah dengan pribadinya-- bagi Kanza, wanita ini luar biasa cantik. Luar dalam! "Iya, Tante. Pak Razie sudah menjelaskan kejadian tujuh
Reigha menoleh datar pada Razie. "Daddy tidak bertanya padamu," ucapnya tanpa nada. "Cukup tahu, Daddy," decak Razie sedikit dongkol. Lihat?! Posisinya tergantikan sebagai kesayangan orang tuanya. Untung putranya yang menggantikan posisi itu. Jika tidak …-Damn it! "Ken juga suka buah jeruk, Kakek." Kendrick menjawab sedikit antusias. Ternyata dia banyak kesamaan dengan Daddynya. "Granddad tidak terlalu suka buah, tetapi karena Grandma-mu suka buah terutama buah jeruk, Granddad jadi suka jeruk," ucap Reigha, lagi-lagi tersenyum ketika melihat wajah cucunya. Karakter wajahnya mirip dengannya, tetapi tatapannya sangat mirip pada Razie. Ketika kecil, Razie sering menatapnya seperti ini. Ah, sekarang putranya itu sudah besar, kadang dia merindukan tatapan polos Razie dan Zira. Tetapi tidak apa-apa, Reigha masih bisa merasakannya lewat tatapan Kendrick. Ada diri Razie dalam putranya ini! Reigha bisa melihat serta merasakannya. "Granddad lebih menyukai Grandma daripada jeruk," celutuk
"Ja--jangan mesumi aku, Pak. Ja-jangan!" lirih Kanza, spontan menyilangkan tangan di depan dada ketika Razie mencondongkan tubuh ke arah Kanza. Jantung Kanza sudah berdebar kencang, dadanya naik turun– karena napasnya yang bergemuruh, takut jika Razie akan melakukan hal buruk padanya. Srett'Razie meraih bantal kemudian menjauh dari tubuh Kanza. Tanpa mengatakan apa-apa, Razie berjalan ke arah sofa, melempar bantal ke sudut sopa kemudian berbaring di sana. Kanza mengangkat kepala, menatap Razie panik. Namun hanya sejenak. Dia memilih mengatur napas, lalu duduk untuk melihat lebih jelas apa yang tengah pria itu lakukan padanya. "Pak Razie?" ucap Kanza, mencicit pelan karena sisa dari rasa takut yang masih menyelingkup dalam dirinya. "Humm?" Razie berdehem singkat, tetap memejamkan mata dan menutupinya dengan tangan. Dia berbaring menghadap langit kamar, tak menoleh sedikitpun pada Kanza. Shit! Kejadian tadi membuatnya … gerrrrrr! Dia menginginkan Kanza!"Kenapa Pak Razie tidur d
Hari terus berganti, Razie dan putranya belum pulang dari Paris sedangkan Kanza menjalani hidup seperti biasa. Bedanya, ada perasaan kehilangan yang hadir di sepanjang waktu. Ini pertama kalinya Kanza berpisah dengan putranya, Kanza merindukan Kendrick. Saat ini Kanza berada di galeri, ruangannya dan sedang membuat sebuah lukisan untuk dikirim ke luar kota– lukisan yang dipesan oleh seorang pengusaha. "Seperti biasa, lukisanmu selalu bagus dan penuh makna." Kanza yang sedang dalam tahap pengeringan, menoleh ke arah Gara. Seminggu ini Gara sering mendatanginya ke ruangan ini. Entah pria ini hanya sekedar menontonnya atau kadang mengajaknya mengobrol. "Terimakasih, Pak Gara," ujar Kanza, tersenyum simpul ke arah Gara kemudian kembali fokus mengeringkan lukisannya. "Ouh iya, Saya ingin menanyakan satu hal padamu. Mungkin ini sangat privasi. Tetapi saya ingin kamu jujur, Kanza." Kanza mematikan kipas, memutar tubuhnya untuk duduk menghadap sepenuhnya pada Gara. Pria itu menggeser ku