Ya ampun ... malunya sampai besoknya lagi dan lagi kalau begini caranya. Rasanya pingin menenggelamkan wajah cantik itu agar tak nampak lagi. Malu sekali ketangkap basah curi-curi pandang. Padahal tadi tengah gerogi maksimal. Sekarang setelah keluar dari ruang OK belum ilang juga nervousnya. "Duh ... nggak bener ini, kenapa jadi deg degan gini sih. Please ... Ruma, kamu dalam masalah," batin Ruma hampir tak punya muka. "Permisi Dok, terima kasih sarannya," ucap wanita itu undur diri. Dia berlalu dengan sopan. Lalu berjalan cepat meninggalkannya. Sementara Raja tersenyum menatap punggung Ruma yang berjalan menjauh. Setelahnya, beristighfar banyak-banyak untuk menetralisir debaran yang tak biasa di hatinya. Raja sadar itu salah, dia tidak boleh menaruh hati pada perempuan yang bukan mahramnya. Apalagi status Ruma jelas wanita bersuami. Namun, dia yang saat ini seperti tengah kehilangan kendali diri. Mencoba bernegosiasi dengan hatinya. "Ghem!" Suara deheman Dokter Satya membuyarkan
"Raja, kamu di sini juga?" tanya Rasya mengembalikan ekspresi wajahnya. Dia bahkan menahan tangan Ruma yang bergerak memisahkan diri. Sekilas tatapan Dokter Raja terpusat pada kedua tangan mereka. Bukankah itu terlihat sangat akrab dan seperti sebuah pasangan. "Kalian kok bisa bareng?" tanya Dokter Raja penuh selidik. Tidak menyiakan kesempatan ini. Ruma terdiam, dia tidak berani untuk menjawab sepatah kata pun. Sementara Rasya tersenyum lembut, lalu menjawab dengan begitu tenang. "Dia istriku," jawab Rasya cukup jelas. Tentu saja jawaban Rasya membuat Ruma menoleh. Ada apa dengan pria ini? Apakah dia sedang mengakuinya? Ada rasa terkejut di dalam hati Raja. Walau sempat menduga-duga hal itu. Lantas, siapa perempuan waktu itu di rumah sakit yang jelas-jelas dimanjakannya. Apakah dia juga istrinya? Atau wanita lain yang terang-terangan Rasya banggakan. "Sejak kapan?" tanya Raja benar-benar kepo maksimal. Ia melirik Ruma yang menunduk galau. Tak berani bertemu tatap sedikit pun de
"Mas Rasya?" Ruma terkesiap mendapati suaminya ada di sana tengah menatapnya penuh tanda tanya. "Anak siapa, Rum, yang kalian maksud?" tanya Rasya mengulanginya. Menatap keduanya penuh selidik. Perempuan itu terdiam sejenak, berusaha tenang mencari jawaban yang masuk akal. Ruma menelan saliva gugup. Sebelum akhirnya menjawab dengan ekspresi meyakinkan. "Hmm ... itu anak yang kutangani di rumah sakit, Mas," jawab Ruma berdusta. Dia tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Sempat melirik Dokter Raja di sebelahnya yang sepertinya hendak menjawab. Namun, sebelum pria itu bersuara. Ruma lebih dulu menjawabnya lugas. "Owh ... kalian ini sudah di luar rumah sakit masih membahas pekerjaan saja. Ayo, kamu lama sekali!" seru Rasya mengabaikan Raja di sana. Menggandeng tangan istrinya agar mengikutinya. Mendadak dia tidak suka dengan sikap Raja gegara tadi. Padahal di antara kawan lainnya, Rasya paling respect dengan pria itu. Mungkin karena merasa dekat, merasa pula menanyakan banyak ha
Ruma memejamkan matanya dengan hati berdebar, saat Rasya bergabung ke kasur menarik selimut yang sama. Hatinya gelisah tak menentu. Entahlah, dia merasa tidak aman di ranjang bersama. Bukankah ini yang Ruma inginkan sejak jadi istrinya. Namun, sekarang keadaannya tak lagi sama. "Udah tidur ya, padahal pingin ngobrol," ujar pria itu sembari mengelus kepalanya. Sentuhan lembut yang langsung membuat Ruma merinding seketika. Otaknya berkelana mengingat ia pernah melewati satu malam panas bersama Raja. "Ya Tuhan ... tenang Ruma, kenapa otakku justru mengingat pria itu terus sih," batin Ruma kesal sendiri. Ruma memejam erat merasakan tidak nyaman sekali saat tangan Rasya kembali mengelus-elus lembut seraya bergumam pelan yang entah itu apa. Ia kaku sendiri tidur tanpa berani memilih posisi yang diinginkan. Dalam hati terus berdoa, semoga apa yang dikhawatirkan tidak pernah terjadi. Mata Ruma terus memejam, tetapi tidak dengan otak dan hatinya. Entahlah perempuan itu terlelap jam berapa.
Walaupun hatinya kurang lega, Ruma tetap beranjak membelikan minum yang dipesan oleh Dokter Raja. Kenapa di mana-mana atasan itu selalu nyebelin dan suka-suka. Ya walaupun ini baru pertama kali bagi Ruma. Dia tidak kaget juga. Pasalnya banyak dari rekan mereka yang sudah lebih dulu mengalami nasib yang sama. Disuruh-suruh semaunya oleh konsulen mereka. . Perempuan itu bergegas kembali ke ruangan Dokter Raja setelah membawakan pesanannya. Lumayan lelah juga pagi-pagi setelah visite dapat tambahan begini. "Permisi Dok!" Ruma mengetuk pintu ruangan. Namun, ternyata tak ada pria itu. Entah Dokter Raja ke mana. Ruma ragu untuk menaruhnya di meja begitu saja. Tetapi bingung juga harus menyimpan di mana. Akhirnya Ruma tetap masuk dan menyiapkan di meja sana. Dia hendak keluar dari ruangan di saat yang bersamaan Raja masuk. "Maaf Dok, itu kopinya saya taruh di meja," tunjuk Ruma telah selesai mengerjakan tugas paginya. "Ya, terima kasih, jangan lupa nanti sore ya Rum," ujar pria itu mengi
"Ja, beli buat siapa?" tanya Dokter Zayyan penuh selidik. Tumben sekali putranya mengirim paket makanan untuk pekerja di rumah sakit secara personal. Bahkan terkesan rahasia. "Abi kok tahu? Anak bimbingan aku, Bi, sepertinya sedang sakit tapi maksa masuk. Ya sudah Raja sedekahkan saja," jawab pria itu santai. Tidak ingin juga ayahnya menaruh curiga dengan perlakuan dirinya yang tak biasa. Raja akui, memang dirinya agak aneh akhir-akhir ini, entahlah. Dia juga tidak paham dengan hatinya. Pikirannya terus menyerukan abaikan, tetapi hatinya seperti menuntun untuk tetap peduli. Perasaan macam apa ini? Sudah tahu salah, tetapi kenapa Raja sulit sekali untuk menghindar. Raja yang terlihat selalu menjaga jarak dengan yang bukan mahramnya, mungkin terlihat agak berbeda hari ini. Kebetulan sekali abinya melihat pas putra kesayangannya memerintahkan orang lain untuk memberikan pesanan itu. Tentu saja hal itu membuat pria nomor satu di rumah sakit itu merasa bertanya-tanya. "Yakin? Kamu suda
Usai dari ruang OK, Ruma kembali jaga di IGD menunaikan tugasnya. Fisiknya benar-benar diadu habis tanpa jeda. Ia bahkan tidak bisa tidur nyaman barang sejenak pun karena pasien malam itu terus berdatangan. "Mes, tolong bentar aku mau ke belakang," ucap Ruma beranjak. Dia sebenarnya lelah sekali, untung kehamilannya tidak rewel sama sekali walau tiba-tiba kadang mual datang melanda saat-saat tak terduga. "Ya, siap," jawab Mesya di sela-sela waktu malam mereka yang tersisa. Ruma meminjam kamar mandi perawat untuk membersihkan diri. Dia tetap meminta waktu beribadah usai ikut operasi. Matanya sudah terkantuk-kantuk menjelang dini hari. Tidak bisa tenang karena harus morning report juga pagi-pagi. Sungguh tidur di mana pun sesuatu sekali. "Rum!" Perempuan itu tak terasa lelap begitu saja di ruang jaga. "Eh, ya, apa Mes?" tanya Ruma dengan mata sayu. Ia langsung tergeragap takut ada pasien. "Beli makanan nggak bilang-bilang, kan bisa nitip.""Siapa yang beli, aku ketiduran, astaghf
Rasya meninggalkan kamar Ruma dengan perasaan dingin. Hidup lagi capek-capeknya, malah pulang kerja disuguhi perkataan begini. Ada penyesalan yang dalam kala mengingat bulan-bulan lalu, dia tidak mendengar nasihat ibunya. Sekarang Ruma terlihat tidak menyukainya. Ke mana Ruma yang dulu selalu bersikap manis di saat Rasya beberapa kali menolaknya. Bahkan tidak pernah sudi hanya sekedar makan satu meja. Rasya yang selalu sibuk dengan kekasih hati yang dipuja-puja. Bahkan ia bela mati-matian di depan Ruma sampai merendahkan harga dirinya. Sekarang dia benar-benar merasa bersalah. Ternyata orang yang selama ini menjadi prioritasnya tak sebaik yang dia kira. Rina berkhianat, dia tega menduakannya selama ini. 'Terus, apa bedanya aku dan kamu, Mas. Kamu bahkan menikah dengan perempuan lain saja aku harus terima, kenapa aku tidak boleh juga bermain mata dengan pria lain.'Pertengkaran itu terus terngiang-ngiang di otak Rasya. Dia tidak pernah menyangka kisah hidupnya akan serumit ini. Dia h
Mas Raja yang menggoda, Ruma yang tidak suka. Suaminya ini kenapa malah dicie ciein, apa dia tidak bertanya-tanya kenapa Rina dan ibunya Rasya datang ke rumah. "Rum, maaf mengagetkan kamu pagi-pagi. Kebetulan sekali kalau Dokter Raja juga ada di rumah."Iya, Ruma memang kaget, ada hal penting apa sampai Rina dan mantan ibu mertuanya datang ke rumah. Sepertinya Mas Rasya juga, tetapi kenapa pria itu tidak turun dari mobil. "Iya, silahkan masuk Rin, Tante," ucap Ruma menyambutnya dengan hangat. Yang berlalu biarlah berlalu, yang penting sekarang Ruma mempunyai keluarga yang menyayanginya penuh syukur. "Terima kasih banyak, Rum," jawab Rina dan Tante Maria masuk. Lalu mengambil duduk setelah dipersilahkan. Kedatangan kedua orang di masa lalu Ruma tentu bukan tanpa alasan. Mereka merasa perlu bersilaturahmi untuk melegakan hatinya. Tentu saja karena memang ada suatu hal yang tidak melegakan hatinya. "Sebelumnya, maaf jika kedatangan kami membuat kamu dan keluarga tidak nyaman. Sudah
"Sayang, lama banget, itu MUA-nya udah datang." Raja sampai menyusul ke kamar mandi sebab istrinya tak kunjung keluar. "Suruh nunggu Mas, aku sedikit mual." Ruma keluar kamar mandi dengan wajah sedikit pucat. "Loh, kamu sakit?" Dari semalam Ruma memang kurang enak badan. Sedikit masuk angin dan kurang istirahat lebih tepatnya. Jadi, berefek paginya. Padahal hari ini ada acara aqiqahan baby Maher. Malah mendadak tidak enak badan begini. "Nggak Mas, aku cuma agak mual dikit."Semalam baby Maher banyak rewelnya, tumben sekali bayi mungil itu meminta perhatian lebih. Ruma tidak bisa tidur nyenyak gegara putranya terlihat tidak seperti biasanya. Dia takut sendiri dan sedikit trauma kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya. "Masuk angin sih ini. Minum obat ya, aku ambilin. Udah makan kan?""Nggak Mas, nggak usah. Ini udah agak mendingan kok," tolak Ruma merasa lebih baik. Pria itu beranjak mengambilkan minum hangat. Menganjurkan istrinya rehat sejenak. Acaranya masih nanti agak siangan,
Ruma dan Raja sepakat mencari pengasuh untuk baby Maher. Tentu saja untuk meringankan pekerjaan istrinya. Apalagi sekarang Ruma tengah masa pemulihan pasca melahirkan. Sudah pasti repot harus membagi waktu untuk dirinya dan juga bayinya."Mas, nanti aku jadwal kontrol. Sekalian ke rumah sakit ya.""Iya, nanti aku antar. Jam berapa sayang?""Siang lah, kamu hari ini berangkat?""Cutiku udah habis, siang ya, nanti aku anterin dulu kalau pagi. Aku langsung pulang beres dari rumah sakit."Waktu Raja memang sangat sibuk. Dia hanya cuti beberapa hari menemani istrinya di rumah sakit dan di rumah. Selebihnya kembali sibuk di rumah sakit. "Iya, nggak pa-pa, ada suster Anna yang bantuin." Untungnya sesama dokter, jadi lebih tahu kesibukan masing-masing. Tidak menuntut untuk dimengerti sendirian. Saling memaklumi karena kehidupannya memang bukan sepenuhnya milik pasangannya. Harus terbagi dengan banyak orang yang membutuhkan.Setiap libur, Raja selalu meluangkan waktunya full di rumah. Karena
Ruma langsung mengiyakan, HPL memang masih akhir bulan, tetapi benar tanda-tandanya baby boy mau launching. "Bisa jalan?" tanya Raja khawatir. Ruma mengangguk, walau dengan wajah menahan sakit, cukup aman untuk berjalan sampai ke mobil. "Ayo sayang, hati-hati!" Abi Zayyan dan juga Ummi Marsha juga langsung ikut ke rumah sakit. Sementara Bik Sumi pulang dengan taksi membawa belanjaan mereka. "Tambah kerasa ya?" tanya Raja sembari mengemudi perjalanan ke rumah sakit. "Iya Mas, lumayan," jawab Ruma memejam. Mengatur nafas, dan sesekali merilekskan tubuhnya saat tengah nyeri. Ini bukan pertama kali bagi Ruma, tetapi sakitnya tentu sama saja satu rasa. Namanya orang mau melahirkan, di mana-mana pasti luar biasa. "Lancar-lancar ya sayang, bantu Buna," ucap Raja sembari mengelus perut istrinya. Begitu sampai di rumah sakit, Ruma langsung disambut hangat oleh tim medis. Perempuan itu langsung dibawa ke ruang bersalin. Setelah dicek ternyata memang sudah pembukaan tiga. Masih lumayan
Empat purnama tak terasa berlalu dengan cepat, Ruma kini tengah menanti hari-hari kelahiran anak kedua. Perempuan itu juga sudah menyelesaikan waktu magangnya. Jadi, bisa mempunyai banyak waktu di rumah menanti launching anak kedua."Aku berangkat ya, nanti kalau ada apa-apa kabari. Jangan belanja sendirian, nanti malam saja aku temani setelah pulang," pesan Raja tak membiarkan istrinya beraktivitas di luar tanpa dirinya. "Iya Mas, tapi kalau misalnya siang berubah pikiran, terus ditemani Bik Sumi gimana? Kan nggak sendirian juga." Tidak ingin terlalu banyak merepotkan, asal Raja mengizinkan, Rumah tidak mengapa berbelanja sendirian."Duh ... bumil ngeyel ya. Ya sudah, nanti pakai supir saja. Hati-hati ya, ingat selalu berkabar di mana pun berada." Raja mode posesif, bukan apa-apa, dia khawatir mengingat istrinya hamil besar. "Siap Mas, kamu juga hati-hati berangkat kerjanya," balas Ruma mengiyakan. Ruma menyalim takzim suaminya. Raja membalasnya dengan kecupan sayang di keningnya,
"Ya Allah ... capek Mas, izin ke kamar ya," pamit Ruma setelah membantu membereskan sisa acara tadi. Padahal cuma bantuin dikit, tapi berada sekali punggungnya. "Kamu sih, dibilangin nggak usah masih suka maksa. Udah istirahat saja."Kalau Ruma sudah mengeluh, Raja yang khawatir. Istrinya itu kadang bandel, tapi ya namanya juga perempuan aktif, mana bisa diem. "Hem ... tadi nggak berasa Mas, sekarang baru terasa," ucap Ruma beranjak. Raja ikut mengekor istrinya ke dalam. Suasana rumah juga sudah sepi, semua tamu dan keluarga dekat sudah pulang sejak tadi. "Sayang, aku pijitin ya," kata pria itu perhatian. Bukan satu dua kali, Raja memang sering melakukan hal semacamnya saat istrinya mengeluh lelah. Ya walaupun ujung-ujungnya tetap bonus adegan panas. "Hmm ... beneran pijat atau minta bonus." Ruma sadar, wanita itu kemarin menundanya. Dia bahkan berjanji sendiri setelah acara bakalan nyenengin suaminya. Tapi, terkadang ekspektasi tak sesuai realita. Ruma terlihat kelelahan malam
"Tidur sayang, aku tahu kamu capek. Aku nggak akan ganggu," kata Raja pengertian. "Baiknya suami aku. Terima kasih Mas," ucap Ruma merasa merdeka. Dia benar-benar tengah lelah. Beruntung punya Mas suami yang super pengertian, jadi tidak ada drama yang berkepanjangan."Ini beneran kan? Nggak ada mode dendam?" tanya Ruma menatap serius. "Astaghfirullah ... kamu capek kan? Tidur sayang, sebelum aku berubah pikiran," jawab Ruma gemas sendiri. "Oke sayang, besok dobel deh karena malam ini udah baik. I love you," kata wanita itu tersenyum lega. Mengecup pipi suaminya lalu menarik selimut rapat-rapat."Love you more," balas Raja tersenyum sembari mengelus kepalanya lembut. Dia benar-benar meloloskan Ruma malam ini. Tak perlu menunggu lama, wanita itu lelap menemukan kenyamanannya. "Bobok yang nyenyak," ucap pria itu menarik selimut, lalu menciumnya dengan sayang. Raja mana tega eksekusi istrinya mode maksa. Apalagi fisik Ruma tengah mode lelah plus hamil muda. Jadi, menyala sabarnya.Sem
Berita kehamilan Ruma begitu menggembirakan untuk keduanya. Namun, Ruma dan Raja sepakat tidak membagi kabar bahagia ini dulu dengan keluarga besar. Namanya juga baru trimester pertama dan masih rentan, jadi sabar menahan diri untuk berbagi kabar menyenangkan ini. Raja juga khawatir kalau di luar sana ada saja orang yang mungkin tidak berkenan dengan hubungan mereka.Setelah berjalan empat bulan, Ruma baru berani speak up, tepatnya saat hendak menjalani acara empat bulanan. Kedua orang tua Raja dan juga kedua orang tua Ruma sampai terheran-heran ketika diberi tahu kabar bahagia ini."Kapan acaranya, Ja? Kok baru ngabarin?" Ummi Marsha jelas kaget sekaligus senang mengetahui menantunya tengah hamil. Raja sengaja menemui ibunya setelah dinas hari ini. Sebenarnya dia sudah tidak sabar membagi moment ini. Alhamdulillah sampai juga di acara empat bulanan. "Besok Ummi, Ruma juga sekarang masih dinas. Memang rencananya meminta libur sehari saja untuk acara besok.""Masya Allah alhamdulillah
"Sayang, kalau mau ada yang dibeli pesan dari rumah aja. Misal butuhnya sekarang, atau udah mau butuh banget buat besok.""Iya Mas, santai aja. Sekarang kan serba mudah. Orang belanja sayuran segar aja bisa dari rumah. Cuma ya itu, yang mahal kan waktunya. Aku pingin jalan berduanya.""Duh ... kapan ya, besok sore gimana? Nggak mau janji juga, semoga nggak ada pasien mendadak.""Aamiin ... ngabarin aja Mas, tapi semoga bisa ya. Eh gimana kalau malam sabtu.""Kalau malam sabtu malah sudah berencana bad minton sama temen-temen. Boleh kan yank.""Duh ... aku ditinggal gitu sendirian di rumah." Rumah merengut, nggak enak banget malam-malam sendirian di rumah."Boleh ikut kok, ada banyak teman-teman juga. Mungkin pada bawa pasangannya juga.""Beneran boleh ikut?""Iya boleh."Waktu berdua itu sangat berharga bagi mereka. Semenjak kepergian Sama, Rumah memang anti kesepian. Dia juga terlihat lebih manja dengan suaminya. Beruntung mempunyai suami yang pengertian, sama-sama bucin, jadi tidak