Rasya meninggalkan kamar Ruma dengan perasaan dingin. Hidup lagi capek-capeknya, malah pulang kerja disuguhi perkataan begini. Ada penyesalan yang dalam kala mengingat bulan-bulan lalu, dia tidak mendengar nasihat ibunya. Sekarang Ruma terlihat tidak menyukainya. Ke mana Ruma yang dulu selalu bersikap manis di saat Rasya beberapa kali menolaknya. Bahkan tidak pernah sudi hanya sekedar makan satu meja. Rasya yang selalu sibuk dengan kekasih hati yang dipuja-puja. Bahkan ia bela mati-matian di depan Ruma sampai merendahkan harga dirinya. Sekarang dia benar-benar merasa bersalah. Ternyata orang yang selama ini menjadi prioritasnya tak sebaik yang dia kira. Rina berkhianat, dia tega menduakannya selama ini. 'Terus, apa bedanya aku dan kamu, Mas. Kamu bahkan menikah dengan perempuan lain saja aku harus terima, kenapa aku tidak boleh juga bermain mata dengan pria lain.'Pertengkaran itu terus terngiang-ngiang di otak Rasya. Dia tidak pernah menyangka kisah hidupnya akan serumit ini. Dia h
"A-aku?" Ruma malah kebingungan menjawabnya. Saking kaget ada Dokter Raja di rumah sebelah. Kenapa mereka mendadak tetanggaan. Untuk apa Dokter Raja di sana. "Ruma!" Suara ketukan pintu justru terdengar dari dalam. Rasya sepertinya hendak masuk, tetapi Ruma memang sengaja mengunci pintunya. "Ruma buka! Apa kamu baik-baik saja?" seru pria itu terdengar khawatir. "Mmm ... untuk apa Dokter di situ? Maksudku, kok bisa di rumah sebelah?" tanya Ruma sungguh ingin tahu. Ini pasti bukan hanya kebetulan. Tidak mungkin sekali Dokter Raja berpindah tempat. Apakah sengaja ingin memata-matai kehidupan istri sahabatnya. "Ruma! Buka Rum!" pekik Rasya terdengar masih berusaha masuk. Raja mengernyit saat suara Rasya terdengar sampai tetangga. Sepertinya dugaan pria itu benar, kalau Rasya dan Ruma memang masih bersengketa rasa. Sejak kejadian malam panas itu yang menandai Ruma belum pernah disentuh. Kejadian di rumah sakit, sampai kebohongan Rasya tentang pernikahannya. Raja menghubungkan semua it
Perempuan itu menjeli di tempat. Mendadak panas dingin didekati Dokter Raja. "A-aku sudah tidak sakit," kata wanita itu menyembunyikan rasa tidak nyaman di perutnya. Ia menahan diri walau jelas masih kerasa. "Kamu yang tenang ya, aku di sini menemani. Takutnya nanti bahaya, kita bisa langsung ke rumah sakit kalau memang perlu pemeriksaan lebih lanjut." Rasya tersenyum menenangkan. Sementara wajah Ruma makin pucat melihat Dokter Raja mendekat. Dia takut sekali pria itu akan mengumumkan kehamilannya di depan suaminya. Rahasianya yang selama ini dijaga akan sia-sia begitu saja. Terlebih Ruma malu kalau fakta sesungguhnya tentang pernikahannya diketahui oleh pria yang tengah memeriksanya. Jantung Ruma berdetak tak karuan. Ia gelisah di paribaannya dengan mata memejam. Ingin rasanya menghindari hari ini, tetapi sayang semua sudah terlanjur terjadi. "Duh ... kenapa harus diperiksa segala sih. Bagaimana ini, bagaimana kalau Dokter Raja bilang aku hamil," batin Ruma kacau. Memikirkan car
"Jawab Ruma! Tatap mata aku!" sentak pria itu tersulut emosi. Rasya hampir tak bisa menahan diri menghadapi istrinya yang diam saja. Perempuan itu mengangguk mengiyakan. Untuk apa ditutupi lagi, toh memang ini kenyataannya. Dia hamil dengan pria lain. Ruma harus mengakuinya walaupun itu dilakukan di luar kesengajaan. Dia tetap harus menanggung konsekuensi semuanya. "Astaghfirullah ... jadi beneran kamu selingkuh?" Rasya yang tidak percaya hal itu, sampai mencengkram kuat kedua bahu Ruma sembari menggeram marah. Perempuan itu terdiam mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan semuanya. Dia jelas merasa terpojokan dengan kondisi dirinya saat ini. Andai Rasya tahu, Ruma tidak pernah berniat melakukan semua itu. "Aku tidak pernah berselingkuh, lepasin!" ujarnya meronta. Ia balas menatap Rasya dengan penuh keberanian. Karena memang Ruma tidak pernah sekalipun mengkhianati pernikahan mereka. Justru Rasya yang terang-terangan mendua di depan matanya. "Tidak selingkuh tapi hamil, dan ini
Ruma harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia harus tenang menghadapi suaminya yang kini tengah marah padanya. Selebihnya dia bisa menyusun strategi yang kedua setelah misi pertama gagal oleh Raja. "Ayo sayang, masuk!" ujarnya lembut. Tidak ingin terlihat huru-hara di depan sahabatnya. Tidak sedang berkamuflase, dia memang sedang niat memperbaiki. Seandainya kepercayaan itu tidak dinodai. Lalu, siapakah orang yang sudah meniduri istrinya. Apakah benar Ruma tidak berselingkuh. Lantas, siapa yang sudah membuatnya terperangkap dengan seorang pria. Ruma mengangguk patuh, dia duduk di samping kemudi dengan hati gusar. Mencoba menyakini hatinya sendiri kalau Rasya tidak akan senekat itu. "Duluan Ja," pamit Rasya meninggalkan pria itu yang termangu di tempatnya. Ada rasa khawatir di hati Raja yang mendera. Apalagi sempat mendengar keributan di antara keduanya. Raja yakin Ruma sedang tidak baik-baik saja. Namun, dia sendiri tidak bisa berbuat banyak pada istri orang tersebut. "A
Ruma berjalan pelan, langkahnya tertata menuju ruangan Dokter Raja. Belum apa-apa mendadak sudah keringat dingin duluan. Sungguh, ia selalu merasa tidak nyaman setiap kali berada di dekatnya."Please Ruma ... tenang, kamu hanya perlu menyapa, dan mendengarnya seperti biasa," batin Ruma menenangkan.Ruma mengetuk pintu terlebih dahulu dengan hati tak menentu. Pagi tadi mereka bahkan sudah berseteru dan itu sedikit banyak mempengaruhi hati Ruma. Jujur, dia kesal sekali dengan pria yang saat ini tengah duduk di kursi singgasananya."Permisi Dok," ucap Ruma setelah mengetuk pintu.Kali ini Raja menatapnya dingin. Wajahnya tak terbaca sama sekali. Seolah tengah menyembunyikan sesuatu pada dirinya. "Waalaikumsalam ...," ucap pria itu seolah menyadarkan Ruma untuk memberikan salam yang benar.Ruma seketika merasa tertampar sendiri. Padahal belum juga mulai, ia sudah banyak pikiran duluan."Duduk! Kamu sebenarnya butuh untuk bimbingan nggak ya?" tanya Raja datar. Mungkin memang begini karakte
"Ya ampun ... malah senyam-senyum nggak jelas banget. Nggak tahu apa kalau sini lagi kesel. Sepertinya dia bahagia kalau aku menderita. Konsulen selalu benar, dan koas harus selalu nurut. Gini amat ya jadi kasta terendah rumah sakit," keluh Ruma dalam hati.Raja berlalu setelah memberikan informasi. Seharusnya Ruma tadi langsung pulang, kalau sudah seperti ini jangankan pulang tidak menginap di rumah sakit saja sudah syukur alhamdulillah. "Semangat beb, bener kata Dokter Raja, ini kesempatan yang langka. Belum tentu kan besok dapat ikut operasi nefrektomi," bisik Mesya menyemangati sebelum pulang.Sementara Vina menepuk pundaknya seraya mengangkat tangan kanannya menunjukkan otot kuat. Ruma hanya mendengus lesu melihat kedua sahabatnya melenggang pergi. Mau bilang nggak mau, memangnya siapa koas itu. Selain haus ilmu dan perlu bimbingan. Kok rasanya kesel, tapi tetep harus ikhlas."Astaghfirullah ... ayo semangat Rum, ini tugas mulia. Ke mana tekadmu dulu saat berjanji untuk menolong
Ruma masuk rumah yang terasa sunyi. Rasya pasti sudah tidur mengingat ini sudah malam. Dia pun langsung ke kamar agar langsung bisa beristirahat. Begitu wanita itu membuka pintu kamarnya, ia tertegun menemukan Rasya masih terjaga di kamarnya menghadap laptop. "Kenapa Mas Raya di sini sih," keluh Ruma langsung bad mood. Suara derit pintu yang terbuka langsung membuat Rasya menoleh."Rum, kamu lembur? Aku kira jaga malam, kenapa telfon dan chat aku nggak dijawab. Lain kali bisa mengabari biar aku jemput," omel pria itu bernada perhatian. "Kamu belum tidur Mas?" tanya Ruma menaruh goodie bag besar di samping nakas. Malas sekali meladeni manusia bergelar suami ini. Ruma sepertinya harus menegaskan dan membuat batasan yang tegas. "Belum, kamu bawa apa? Malam-malam gini belanja?" tanya Rasya mendekat mengintip isinya."Iya Mas," jawab Ruma mengiyakan saja. Tidak mungkin Ruma mengatakan itu pemberian dari Raja. Bisa tantrum satu manusia ini cari gara-gara. Ruma malas berdebat. Ditambah d