"Duh ... Dokter Raja lama amat sih, mau ngomong apa sebenarnya ini orang," batin Ruma harap-harap cemas. Dia berdiri dengan hati gusar. Lama-lama tak sabar juga. Ingin segera meninggalkan ruangan itu lalu kembali ke poli. Rasanya tidak nyaman sekali. Mendadak kepala Rumah terasa keliyengan. Ia mencengkram bahu kursi karena tiba-tiba tak enak badan. Dokter Raja yang tengah sibuk, tidak ngeh kalau Ruma pandangannya mulai tidak fokus. Dia kaget saat mendongak mendapati wajah Ruma memucat. "Dek, kamu sakit?" tanya pria itu langsung berdiri dari kursi. Menghampiri Ruma yang diam saja dengan tangan memegangi pelipisnya. Ruma tidak menjawab, kepalanya semakin berdenyut dengan tubuh lemas. Seketika semuanya menjadi gelap. Ruma tumbang di ruang Dokter Raja. "Dek, astaghfirullah ... pingsan," pekik Raja langsung memeriksanya. Wanita itu dibaringkan di ranjang minimalis miliknya. Lalu dengan sedikit tidak tenang melakukan pemeriksaan lanjutan. Sementara teman-teman di poli menanyakan k
Ruma terdiam beberapa saat, tidak mungkin rasanya dia harus mengiyakan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya. Perempuan itu menghindari tatapan Dokter Raja yang menghunus intens padanya. "Ruma, tatap aku, apa dia anakku?" tekan Dokter Raja sebenarnya tak suka bersikap demikian. Ia terpaksa melakukan itu agar hatinya bisa tenang. Biar bagaimanapun, dia harus bertanggung jawab untuk semua ini. Lagi-lagi Ruma terdiam, dia tidak sanggup hanya sekadar menganggukkan kepalanya. Biarlah dia tanggung sendiri tanpa melibatkan pria itu lagi. Bukankah Raja juga mau menikah? Bagaimana dengan calon istrinya nanti kalau tahu calon suaminya menghamili perempuan lain. Pasti hancur sekali. "Ruma, sekali lagi aku bertanya, apa dia anakku?" tanya pria itu penuh penekanan. "B-bukan, tidak mungkin ini anakmu," jawab Ruma melengos. Dia tidak sanggup untuk jujur perihal menyakitkan itu. Harga dirinya dipertaruhkan. Rumah tangganya cacat sempurna. Apa jadinya bersuami tetapi hamil dengan pria lain. Le
Rasa penasaran membawa pria itu nekat mengikuti mobil yang membawa Ruma. Dia sampai melimpahkan pekerjaan hari ini pada dokter lain. Beruntung memang sedang tidak ada jadwal operasi penting. Dia bisa leluasa menuntaskan kepo yang terpendam. Pria itu terus melakukan mobilnya dengan jarak aman. Takut sang driver mengetahui gerak-geriknya di jalan. Dia hampir tidak percaya ketika lagi-lagi Ruma pulang di rumah yang sama dengan rumah kemarin. Di malam itu Ruma pulang disambut Rasya. Lantas apa hubungannya Ruma dengan dua pria itu. "Terima kasih," ucap Ruma setelah turun dari mobil. "Sama-sama Nona, Tuan Rasya menyuruh Nona beristirahat saja," kata sang driver membungkuk hormat, lalu beranjak masuk ke mobilnya. "Tuan?" gumam Rasya menirukan perkataan driver yang mengantar Ruma. "Apa mungkin Rasya pemilik rumah dan Ruma adalah bagian dari rumah itu. Terus, dia hanya orang suruhan Rasya yang diutus. Oke, gue mulai paham," batin Raja setelah beberapa saat mencerna dengan seksama. Pria it
Ruma yang masih bingung akhirnya masuk juga. Duduk dengan rasa penasaran yang teramat. Sementara Dokter Raja langsung menyusul masuk ke mobilnya. Dia sempat tersenyum sekilas ke arahnya sebelum menjalankan mobilnya."Kok Dokter bisa di sini?" tanya Ruma akhirnya keluar juga kata yang tertahan sedari tadi."Kalau aku jawab kebetulan lewat, kamu percaya nggak?" balas Dokter malah memberikan umpan pertanyaan."Nggak." Ruma menggeleng sesuai instingnya."Ya udah berarti anggap saja begitu," jawabnya ambigu."Maksudnya?" tanya Ruma sungguh tidak tahu."Ya karena emang pingin lewat sini aja," jawabnya beralasan yang jelas kurang masuk akal. Mana mungkin Ruma percaya hal itu."Hanya itu?" tanya Ruma masih tidak percaya. Kurang kerjaan sekali pagi-pagi lewat sini. Sudah jelas arah jalan mereka pulang tidak sama."Hmm ... emangnya kamu berharap apa?" balas Dokter Raja datar."Cuma nanya, rumah Dokter kan jauh, nggak searah juga. Harusnya punya alasan dong kenapa lewat sini.""Karena aku merasa
Ya ampun ... malunya sampai besoknya lagi dan lagi kalau begini caranya. Rasanya pingin menenggelamkan wajah cantik itu agar tak nampak lagi. Malu sekali ketangkap basah curi-curi pandang. Padahal tadi tengah gerogi maksimal. Sekarang setelah keluar dari ruang OK belum ilang juga nervousnya. "Duh ... nggak bener ini, kenapa jadi deg degan gini sih. Please ... Ruma, kamu dalam masalah," batin Ruma hampir tak punya muka. "Permisi Dok, terima kasih sarannya," ucap wanita itu undur diri. Dia berlalu dengan sopan. Lalu berjalan cepat meninggalkannya. Sementara Raja tersenyum menatap punggung Ruma yang berjalan menjauh. Setelahnya, beristighfar banyak-banyak untuk menetralisir debaran yang tak biasa di hatinya. Raja sadar itu salah, dia tidak boleh menaruh hati pada perempuan yang bukan mahramnya. Apalagi status Ruma jelas wanita bersuami. Namun, dia yang saat ini seperti tengah kehilangan kendali diri. Mencoba bernegosiasi dengan hatinya. "Ghem!" Suara deheman Dokter Satya membuyarkan
"Raja, kamu di sini juga?" tanya Rasya mengembalikan ekspresi wajahnya. Dia bahkan menahan tangan Ruma yang bergerak memisahkan diri. Sekilas tatapan Dokter Raja terpusat pada kedua tangan mereka. Bukankah itu terlihat sangat akrab dan seperti sebuah pasangan. "Kalian kok bisa bareng?" tanya Dokter Raja penuh selidik. Tidak menyiakan kesempatan ini. Ruma terdiam, dia tidak berani untuk menjawab sepatah kata pun. Sementara Rasya tersenyum lembut, lalu menjawab dengan begitu tenang. "Dia istriku," jawab Rasya cukup jelas. Tentu saja jawaban Rasya membuat Ruma menoleh. Ada apa dengan pria ini? Apakah dia sedang mengakuinya? Ada rasa terkejut di dalam hati Raja. Walau sempat menduga-duga hal itu. Lantas, siapa perempuan waktu itu di rumah sakit yang jelas-jelas dimanjakannya. Apakah dia juga istrinya? Atau wanita lain yang terang-terangan Rasya banggakan. "Sejak kapan?" tanya Raja benar-benar kepo maksimal. Ia melirik Ruma yang menunduk galau. Tak berani bertemu tatap sedikit pun de
"Mas Rasya?" Ruma terkesiap mendapati suaminya ada di sana tengah menatapnya penuh tanda tanya. "Anak siapa, Rum, yang kalian maksud?" tanya Rasya mengulanginya. Menatap keduanya penuh selidik. Perempuan itu terdiam sejenak, berusaha tenang mencari jawaban yang masuk akal. Ruma menelan saliva gugup. Sebelum akhirnya menjawab dengan ekspresi meyakinkan. "Hmm ... itu anak yang kutangani di rumah sakit, Mas," jawab Ruma berdusta. Dia tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Sempat melirik Dokter Raja di sebelahnya yang sepertinya hendak menjawab. Namun, sebelum pria itu bersuara. Ruma lebih dulu menjawabnya lugas. "Owh ... kalian ini sudah di luar rumah sakit masih membahas pekerjaan saja. Ayo, kamu lama sekali!" seru Rasya mengabaikan Raja di sana. Menggandeng tangan istrinya agar mengikutinya. Mendadak dia tidak suka dengan sikap Raja gegara tadi. Padahal di antara kawan lainnya, Rasya paling respect dengan pria itu. Mungkin karena merasa dekat, merasa pula menanyakan banyak ha
Ruma memejamkan matanya dengan hati berdebar, saat Rasya bergabung ke kasur menarik selimut yang sama. Hatinya gelisah tak menentu. Entahlah, dia merasa tidak aman di ranjang bersama. Bukankah ini yang Ruma inginkan sejak jadi istrinya. Namun, sekarang keadaannya tak lagi sama. "Udah tidur ya, padahal pingin ngobrol," ujar pria itu sembari mengelus kepalanya. Sentuhan lembut yang langsung membuat Ruma merinding seketika. Otaknya berkelana mengingat ia pernah melewati satu malam panas bersama Raja. "Ya Tuhan ... tenang Ruma, kenapa otakku justru mengingat pria itu terus sih," batin Ruma kesal sendiri. Ruma memejam erat merasakan tidak nyaman sekali saat tangan Rasya kembali mengelus-elus lembut seraya bergumam pelan yang entah itu apa. Ia kaku sendiri tidur tanpa berani memilih posisi yang diinginkan. Dalam hati terus berdoa, semoga apa yang dikhawatirkan tidak pernah terjadi. Mata Ruma terus memejam, tetapi tidak dengan otak dan hatinya. Entahlah perempuan itu terlelap jam berapa.
Mas Raja yang menggoda, Ruma yang tidak suka. Suaminya ini kenapa malah dicie ciein, apa dia tidak bertanya-tanya kenapa Rina dan ibunya Rasya datang ke rumah. "Rum, maaf mengagetkan kamu pagi-pagi. Kebetulan sekali kalau Dokter Raja juga ada di rumah."Iya, Ruma memang kaget, ada hal penting apa sampai Rina dan mantan ibu mertuanya datang ke rumah. Sepertinya Mas Rasya juga, tetapi kenapa pria itu tidak turun dari mobil. "Iya, silahkan masuk Rin, Tante," ucap Ruma menyambutnya dengan hangat. Yang berlalu biarlah berlalu, yang penting sekarang Ruma mempunyai keluarga yang menyayanginya penuh syukur. "Terima kasih banyak, Rum," jawab Rina dan Tante Maria masuk. Lalu mengambil duduk setelah dipersilahkan. Kedatangan kedua orang di masa lalu Ruma tentu bukan tanpa alasan. Mereka merasa perlu bersilaturahmi untuk melegakan hatinya. Tentu saja karena memang ada suatu hal yang tidak melegakan hatinya. "Sebelumnya, maaf jika kedatangan kami membuat kamu dan keluarga tidak nyaman. Sudah
"Sayang, lama banget, itu MUA-nya udah datang." Raja sampai menyusul ke kamar mandi sebab istrinya tak kunjung keluar. "Suruh nunggu Mas, aku sedikit mual." Ruma keluar kamar mandi dengan wajah sedikit pucat. "Loh, kamu sakit?" Dari semalam Ruma memang kurang enak badan. Sedikit masuk angin dan kurang istirahat lebih tepatnya. Jadi, berefek paginya. Padahal hari ini ada acara aqiqahan baby Maher. Malah mendadak tidak enak badan begini. "Nggak Mas, aku cuma agak mual dikit."Semalam baby Maher banyak rewelnya, tumben sekali bayi mungil itu meminta perhatian lebih. Ruma tidak bisa tidur nyenyak gegara putranya terlihat tidak seperti biasanya. Dia takut sendiri dan sedikit trauma kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya. "Masuk angin sih ini. Minum obat ya, aku ambilin. Udah makan kan?""Nggak Mas, nggak usah. Ini udah agak mendingan kok," tolak Ruma merasa lebih baik. Pria itu beranjak mengambilkan minum hangat. Menganjurkan istrinya rehat sejenak. Acaranya masih nanti agak siangan,
Ruma dan Raja sepakat mencari pengasuh untuk baby Maher. Tentu saja untuk meringankan pekerjaan istrinya. Apalagi sekarang Ruma tengah masa pemulihan pasca melahirkan. Sudah pasti repot harus membagi waktu untuk dirinya dan juga bayinya."Mas, nanti aku jadwal kontrol. Sekalian ke rumah sakit ya.""Iya, nanti aku antar. Jam berapa sayang?""Siang lah, kamu hari ini berangkat?""Cutiku udah habis, siang ya, nanti aku anterin dulu kalau pagi. Aku langsung pulang beres dari rumah sakit."Waktu Raja memang sangat sibuk. Dia hanya cuti beberapa hari menemani istrinya di rumah sakit dan di rumah. Selebihnya kembali sibuk di rumah sakit. "Iya, nggak pa-pa, ada suster Anna yang bantuin." Untungnya sesama dokter, jadi lebih tahu kesibukan masing-masing. Tidak menuntut untuk dimengerti sendirian. Saling memaklumi karena kehidupannya memang bukan sepenuhnya milik pasangannya. Harus terbagi dengan banyak orang yang membutuhkan.Setiap libur, Raja selalu meluangkan waktunya full di rumah. Karena
Ruma langsung mengiyakan, HPL memang masih akhir bulan, tetapi benar tanda-tandanya baby boy mau launching. "Bisa jalan?" tanya Raja khawatir. Ruma mengangguk, walau dengan wajah menahan sakit, cukup aman untuk berjalan sampai ke mobil. "Ayo sayang, hati-hati!" Abi Zayyan dan juga Ummi Marsha juga langsung ikut ke rumah sakit. Sementara Bik Sumi pulang dengan taksi membawa belanjaan mereka. "Tambah kerasa ya?" tanya Raja sembari mengemudi perjalanan ke rumah sakit. "Iya Mas, lumayan," jawab Ruma memejam. Mengatur nafas, dan sesekali merilekskan tubuhnya saat tengah nyeri. Ini bukan pertama kali bagi Ruma, tetapi sakitnya tentu sama saja satu rasa. Namanya orang mau melahirkan, di mana-mana pasti luar biasa. "Lancar-lancar ya sayang, bantu Buna," ucap Raja sembari mengelus perut istrinya. Begitu sampai di rumah sakit, Ruma langsung disambut hangat oleh tim medis. Perempuan itu langsung dibawa ke ruang bersalin. Setelah dicek ternyata memang sudah pembukaan tiga. Masih lumayan
Empat purnama tak terasa berlalu dengan cepat, Ruma kini tengah menanti hari-hari kelahiran anak kedua. Perempuan itu juga sudah menyelesaikan waktu magangnya. Jadi, bisa mempunyai banyak waktu di rumah menanti launching anak kedua."Aku berangkat ya, nanti kalau ada apa-apa kabari. Jangan belanja sendirian, nanti malam saja aku temani setelah pulang," pesan Raja tak membiarkan istrinya beraktivitas di luar tanpa dirinya. "Iya Mas, tapi kalau misalnya siang berubah pikiran, terus ditemani Bik Sumi gimana? Kan nggak sendirian juga." Tidak ingin terlalu banyak merepotkan, asal Raja mengizinkan, Rumah tidak mengapa berbelanja sendirian."Duh ... bumil ngeyel ya. Ya sudah, nanti pakai supir saja. Hati-hati ya, ingat selalu berkabar di mana pun berada." Raja mode posesif, bukan apa-apa, dia khawatir mengingat istrinya hamil besar. "Siap Mas, kamu juga hati-hati berangkat kerjanya," balas Ruma mengiyakan. Ruma menyalim takzim suaminya. Raja membalasnya dengan kecupan sayang di keningnya,
"Ya Allah ... capek Mas, izin ke kamar ya," pamit Ruma setelah membantu membereskan sisa acara tadi. Padahal cuma bantuin dikit, tapi berada sekali punggungnya. "Kamu sih, dibilangin nggak usah masih suka maksa. Udah istirahat saja."Kalau Ruma sudah mengeluh, Raja yang khawatir. Istrinya itu kadang bandel, tapi ya namanya juga perempuan aktif, mana bisa diem. "Hem ... tadi nggak berasa Mas, sekarang baru terasa," ucap Ruma beranjak. Raja ikut mengekor istrinya ke dalam. Suasana rumah juga sudah sepi, semua tamu dan keluarga dekat sudah pulang sejak tadi. "Sayang, aku pijitin ya," kata pria itu perhatian. Bukan satu dua kali, Raja memang sering melakukan hal semacamnya saat istrinya mengeluh lelah. Ya walaupun ujung-ujungnya tetap bonus adegan panas. "Hmm ... beneran pijat atau minta bonus." Ruma sadar, wanita itu kemarin menundanya. Dia bahkan berjanji sendiri setelah acara bakalan nyenengin suaminya. Tapi, terkadang ekspektasi tak sesuai realita. Ruma terlihat kelelahan malam
"Tidur sayang, aku tahu kamu capek. Aku nggak akan ganggu," kata Raja pengertian. "Baiknya suami aku. Terima kasih Mas," ucap Ruma merasa merdeka. Dia benar-benar tengah lelah. Beruntung punya Mas suami yang super pengertian, jadi tidak ada drama yang berkepanjangan."Ini beneran kan? Nggak ada mode dendam?" tanya Ruma menatap serius. "Astaghfirullah ... kamu capek kan? Tidur sayang, sebelum aku berubah pikiran," jawab Ruma gemas sendiri. "Oke sayang, besok dobel deh karena malam ini udah baik. I love you," kata wanita itu tersenyum lega. Mengecup pipi suaminya lalu menarik selimut rapat-rapat."Love you more," balas Raja tersenyum sembari mengelus kepalanya lembut. Dia benar-benar meloloskan Ruma malam ini. Tak perlu menunggu lama, wanita itu lelap menemukan kenyamanannya. "Bobok yang nyenyak," ucap pria itu menarik selimut, lalu menciumnya dengan sayang. Raja mana tega eksekusi istrinya mode maksa. Apalagi fisik Ruma tengah mode lelah plus hamil muda. Jadi, menyala sabarnya.Sem
Berita kehamilan Ruma begitu menggembirakan untuk keduanya. Namun, Ruma dan Raja sepakat tidak membagi kabar bahagia ini dulu dengan keluarga besar. Namanya juga baru trimester pertama dan masih rentan, jadi sabar menahan diri untuk berbagi kabar menyenangkan ini. Raja juga khawatir kalau di luar sana ada saja orang yang mungkin tidak berkenan dengan hubungan mereka.Setelah berjalan empat bulan, Ruma baru berani speak up, tepatnya saat hendak menjalani acara empat bulanan. Kedua orang tua Raja dan juga kedua orang tua Ruma sampai terheran-heran ketika diberi tahu kabar bahagia ini."Kapan acaranya, Ja? Kok baru ngabarin?" Ummi Marsha jelas kaget sekaligus senang mengetahui menantunya tengah hamil. Raja sengaja menemui ibunya setelah dinas hari ini. Sebenarnya dia sudah tidak sabar membagi moment ini. Alhamdulillah sampai juga di acara empat bulanan. "Besok Ummi, Ruma juga sekarang masih dinas. Memang rencananya meminta libur sehari saja untuk acara besok.""Masya Allah alhamdulillah
"Sayang, kalau mau ada yang dibeli pesan dari rumah aja. Misal butuhnya sekarang, atau udah mau butuh banget buat besok.""Iya Mas, santai aja. Sekarang kan serba mudah. Orang belanja sayuran segar aja bisa dari rumah. Cuma ya itu, yang mahal kan waktunya. Aku pingin jalan berduanya.""Duh ... kapan ya, besok sore gimana? Nggak mau janji juga, semoga nggak ada pasien mendadak.""Aamiin ... ngabarin aja Mas, tapi semoga bisa ya. Eh gimana kalau malam sabtu.""Kalau malam sabtu malah sudah berencana bad minton sama temen-temen. Boleh kan yank.""Duh ... aku ditinggal gitu sendirian di rumah." Rumah merengut, nggak enak banget malam-malam sendirian di rumah."Boleh ikut kok, ada banyak teman-teman juga. Mungkin pada bawa pasangannya juga.""Beneran boleh ikut?""Iya boleh."Waktu berdua itu sangat berharga bagi mereka. Semenjak kepergian Sama, Rumah memang anti kesepian. Dia juga terlihat lebih manja dengan suaminya. Beruntung mempunyai suami yang pengertian, sama-sama bucin, jadi tidak