Hari berlalu begitu cepat, tak terasa enam bulan sudah perjalanan Gracia merawat bayinya. Kini si kecil sudah terlihat sangat aktif dengan segala tingkahnya. Benar apa yang dikatakan pegawai hotel malam itu, suatu kebahagiaan tersendiri bagi seorang wanita bisa merawat anaknya sejak balita.
Gracia mengadopsinya secara sah. Dia bahkan melegalkan pengubahan namanya sendiri dari Gracia Dandelion menjadi Grace Pumkin, sedangkan putrinya dinamakan Dandelion Pumkin, atau biasa disebut Baby Pumpum dengan tanggal kelahiran yang dituakan satu bulan agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak musuh ibu kandungnya.
Dia menyewa sebuah rumah sederhana untuk tinggal di sekitar kota New York bersama anaknya. Namun, kini masalah baru mulai mendatangi hidup bahagianya. Uang tunai yang sekarang Grace miliki semakin menipis karena kebutuhan hidup cukup tinggi. Mau tak mau wanita itu harus mencari pekerjaan dan mencarikan pengasuh bagi Pumpum ketika dirinya berada di luar.
Beruntung tetangganya menawarkan diri untuk hal itu, sehingga dia tidak perlu repot mencari jasa pengasuh bayi yang belum tentu kualitasnya.
"Huft, ternyata mencari pekerjaan cukup susah." Grace duduk di salah satu taman sambil melepas sepatu hak tinggi di kaki. Dia perlu pekerjaan dengan gaji yang besar demi memenuhi kebutuhan hidup jika ingin bertahan tanpa harus kembali ke Jepang, sehingga wanita itu mencoba melamar lowongan pekerjaan di perusahaan.
Namun, dia tidak memiliki pengalaman. Jadi, hampir semua perusahaan yang didatangi menolaknya. Padahal secara akademis Grace memiliki nilai cukup baik.
Wanita tersebut menyandarkan punggungnya di bangku taman sambil menatap langit indah bertabur bintang, membayangkan wajah Pumpum yang seketika menghilangkan rasa lelahnya. Tak lama kemudian, seorang perempuan lain dengan pakaian cukup seksi ikut duduk di sampingnya.
"Lelah mencari pekerjaan?" ujarnya.
Mendengar suara seorang wanita di sampingnya membuat Gracia menoleh kepadanya dan hanya mengangguk kecil tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Akan sulit hidup di kota ini jika kau tidak memiliki koneksi." Wanita tersebut lantas mengeluarkan sebatang rokok dari dalam tasnya untuk diisap sendiri.
Gracia hanya menatapnya dengan tatapan biasa. Hal yang wajar di musim dingin seseorang merokok. Asalkan bukan dia karena ada bayi yang harus dijaga lingkungannya agar tidak terkena efek dari perokok.
"Kau tahu mereka?" Wanita itu memerlihatkan para wanita yang berlalu lalang pulang dari kantor atau pekerjaan lainnya. "Rata-rata mereka menukar tubuh dengan pekerjaan. Hanya ada beberapa orang yang sungguh memiliki kemampuan mumpuni."
"Tidak semua wanita seperti yang kau bayangkan," sanggah Grace.
"Benar, kau mungkin salah satunya. Tapi, keadaan memaksa mereka untuk melakukan hal itu." Wanita tersebut lantas menoleh ke arah Grace. "Ngomong-ngomong kita belum berkenalan, Stevani," ujarnya seraya mengulurkan tangan.
"Grace Pumkin," balasnya.
"Dilihat dari barang yang kau pakai. Kau bukan dari kalangan orang susah. Kenapa mencari pekerjaan?"
Grace menyunggingkan senyum miring. "Kau memiliki mata yang jeli. Tapi, aku bukan orang kaya dan masih harus menghidupi anakku."
Mendengar penuturan Grace membuat Stevani membelalakkan mata. "Di usia seperti ini kau sudah punya anak. Apa suamimu tidak mampu memberimu uang hingga kau harus susah payah bekerja?"
"Tidak, aku single mother. Tanpa suami, tanpa pria, tanpa lelaki, dan tanpa keluarga. Hanya aku serta anakku."
Stevani mengangguk paham, dia sendiri dibesarkan di panti asuhan, sehingga harus membantu menanggung biaya hidup adik-adik senasibnya sampai sekarang. Wanita tersebut cukup memahami kesulitan ekonomi Grace saat ini.
"Aku ada pekerjaan jika kau mau." Stevani menyerahkan kartu nama kepada Grace yang membuat wanita itu langsung mengernyitkan dahi ketika melihatnya. "Pekerjaannya tidak seperti yang kau bayangkan."
"Apa kau menyuruhku menjual diri?"
Wanita tersebut menggeleng mendengar sentakan Grace. "Itu bukan untuk jual diri. Tergantung keyakinanmu sih, kalau kau mampu menjaga diri hal tersebut bukan perkara sulit. Lebih tepatnya terapis erotis atau orang bilang pijat plus-plus."
Sejenak Stevani mengisap rokok di tangannya, lalu mengepulkan asap ke udara. "Sebenarnya tugas utama kita hanya memijat, sisanya tergantung kemauan diri sendiri. Jika kau ingin menjual tubuhmu bisa kau bicarakan dengan tamu ketika kalian bersama. Kalau tidak ingin, lakukan saja tugasmu dengan baik dan jangan menunjukkan ketertarikan pada kejantanannya."
Gracia mulai memahami maksud wanita di sampingnya. Berbicara soal pria, dia bahkan tidak pernah jatuh cinta selama ini. Jadi, mustahil baginya untuk tertarik dengan para lelaki hidung belang yang hanya mencari kesenangan itu.
"Hubungi aku kalau kau berminat! Perlu kau ketahui, aku bahkan masih perawan setelah lima tahun bekerja di sana. Jadi, pandai-pandai lah menjaga diri! Sesuatu yang terlihat buruk, belum tentu seperti apa di dalamnya." Stevani langsung beranjak pergi meninggalkan Gracia yang masih memahami setiap perkataannya.
Mungkin benar kata Stevani, selama aku bisa menjaga diri pasti itu bukanlah hal yang sulit. Lagi pula apa yang perlu dikhawatirkan? Toh aku bisa sedikit beladiri, jika mereka macam-macam aku bisa saja mematahkan kejantanannya sekalian. Saat ini yang terpenting adalah uang untuk keperluan Pumpum, batinnya.
________________________
Di sisi lain, Jayden selalu terngiang akan penyataan adiknya–Jonathan–ternyata bukan hanya dia saja yang memiliki masalah dengan kejantanannya, tetapi adiknya juga. Meskipun Nenek Laura sudah menyangkal jika mereka bukanlah gay, tetapi tetap saja rasa khawatir selalu membayanginya.
Nenek Laura menjelaskan jika kondisi pria keluarga Bannerick memang hanya akan beraksi ketika sudah menemukan jodohnya. Hal ini dikarenakan kutukan yang diterima oleh kakek buyut mereka yang sebelumnya suka bergonta-ganti pasangan, sehingga menyebabkan istrinya murka dan bersumpah kalau dia tidak bisa lagi ereksi kecuali bersama istrinya.
Malangnya hal itu sungguh terjadi, bahkan turun temurun di kalangan keturunan pria keluarga Bannerick, termasuk ayah dan kakeknya yang dulu juga merasakan hal sama.
"Huft." Jayden mengembuskan napas kasar membuat Steven di sampingnya menoleh ke arahnya.
"Kenapa, Bos? Masih kepikiran hal itu?" Pria tersebut hanya mengangguk kecil. Setelah mendengar penjelasan neneknya, Jayden terus berusaha menyembuhkan dirinya dengan berbagai cara dan pengobatan, tetapi hasilnya masih sama saja.
"Kau pikir kutukan itu sungguh ada? Cih, sekarang bukan lagi zaman Purba. Bagaimana jika aku tidak bisa menggarap istriku setelah menikah nanti, sedangkan selama dua puluh tujuh tahun ini saja aku bahkan tak bisa jatuh cinta."
Selama ini memang Steven mengetahui segala sisi Jayden, baik atau buruknya. Meskipun jaraknya enam tahun lebih tua, tetapi pria itu tetap menganggapnya sebagai teman.
"Nah, aku ada cara terbaru!" Steven memperlihatkan ponselnya kepada Jayden hingga membuat pria itu mengernyitkan dahi.
"Kau pikir cara ini akan berguna untukku?" Jayden melemparkan benda pipih itu ke atas meja dengan kesal.
"Apa salahnya mencoba terapi erotis? Lagi pula, siapa tahu cacingmu bisa berdiri di sana." Steven lantas membisikkan sesuatu ke telinga Jayden. "Dengar-dengar dari relasi bisnis kita, ejakulasi dininya sembuh setelah terapi di sana."
Benar juga apa yang dikatakan Steven. Apa salahnya kalau aku mencoba. Jika sampai mereka membocorkan rahasiaku, akan aku tutup tempatnya dengan cara apapun, batin Jayden.
Keesokan harinya Grace memutuskan untuk melihat terlebih dahulu tempat yang ditawarkan Stevani, dia berdiri cukup lama menatap tempat yang kini ada di depannya. Tatapannya tak beralih ketika membaca papan nama yang tertera di sana, sama persis dengan alamat yang diberikan wanita itu.Berulang kali Grace menghirup udara dan mengembuskannya, menepis rasa ragu yang sempat datang. "Ah, sial! Jika saja ada pekerjaan lain, aku tidak akan datang ke tempat seperti ini," gumam Grace pelan.Kakinya perlahan mulai melangkah hendak masuk ke dalam tempat itu. Namun, dalam sekejap dia kembali berputar arah. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak boleh melakukan itu." Sesuatu dalam dirinya seakan menolak pekerjaan tersebut. Namun, bayangan putri kecilnya kembali melintas dalam benaknya. Susu dan popok di rumah sudah mulai habis, jika dia tidak bekerja bagaimana caranya membeli semua
Setelah pergi dari ruangan Mami, Stevani membawa Grace ke tempat pelatihan. Akan tetapi, mereka berpapasan dengan seorang wanita seksi yang tak kalah cantiknya dengan Grace. "Tunggu!" Wanita tersebut menghentikan langkah keduanya ketika melihat wajah cantik Grace. Dia selalu tidak senang di saat ada terapis lain yang menyaingi kecantikannya. "Siapa dia?" "Kau tak perlu tahu!" ujar Stevani ketus. "Ayo pergi! Jangan pedulikan Rose Brand!" "Hei! Apa maksudmu, hah?" Suara teriakan wanita itu terdengar begitu keras. Namun, tak membuat keduanya menghentikan langkah. Sejenak Grace masih menoleh ke belakang untuk melihat wanita yang tampak berulang kali mengentakkan kaki. Kemudian bertanya pada Stevani demi kenyamanan hati. "Siapa dia?"
Awalnya Rose sudah antusias ketika mendengar Jayden Bannerick pertama kali datang ke tempat itu. Selama ini dia selalu mengagumi pria tersebut karena prestasinya sebagai salah satu pengusaha muda berbakat yang selalu tampil di cover terdepan majalah pebisnis handal. Selain itu, ketampanan juga kekayaannya yang melimpah membuat banyak wanita terpesona dan mengincarnya, tak terkecuali Rose. Dia bahkan sampai berulang kali mendatangi klub, kasino, maupun restoran milik keluarga tersebut, tetapi sayangnya Rose tak pernah mendapatkan kesempatan sedikit pun untuk menemui Jayden.Kini Jayden malah datang sendiri ke tempat ini, tentu saja hal itu membuat Rose sangat antusias dan bersemangat. Dia bahkan langsung mengganti pakaian dengan seragam terseksi yang dimiliki. Berbekal rok sejengkal dan atasan one shoulder off sebatas pusar serta berbahan setipis saringan tahu, sungguh menampakkan kaca mata berenda juga segitiga bermuda yang dikenakan terpampang nyata. Kali ini Rose berhar
Jayden yang merasakan sakit di kejantanan akibat ulah Grace dengan cepat mengamankan benda tersebut menggunakan kedua tangannya. "Apa yang kau lakukan, hah?"Dia berteriak hingga kedua bola matanya membulat dengan sempurna menatap wanita di depannya yang tampak acuh setelah melakukan hal buruk pada batangnya yang berharga seakan itu bukanlah apa-apa baginya. "Cepat panggil Mami!" Grace hanya mencebikkan bibir melihat wajah merah padam Jayden. 'Rasakan!' batinnya di kala pria di depannya meringis kesakitan akibat ulahnya. Dia pun lekas berbalik dan berjalan meninggalkan ruang itu tanpa menjawab sepatah kata pun ucapan pria tersebut dengan sebuah senyum bangga ketika membelakanginya."Pria Menyebalkan!" gumam Grace ketika melangkah pergi dan menutup pintu dengan sangat keras, menyebabkan Jayden di dalam sontak terlonjak kaget akan tingkahnya. "Dasar wanita," gerutu Jayden menatap arah kepergian Grace, lalu melihat kejantanannya yang tampak menyusu
Keempat orang berada dalam satu ruangan. Jayden meminta pihak pelayanan untuk menambahkan pembatas berupa kain tipis yang membentang di antara ranjang dan sofa, sehingga dia nantinya hanya bisa melihat bayangan jadi tak harus menodai mata ketika Rose menjalankan aksinya. Pria tersebut yakin, wanita sepertinya tidak akan melakukan hal biasa pada pelanggan. Steven keluar hanya mengenakan bathrobe seperti halnya Jayden, sedangkan Rose masih menyalakan lilin aroma terapi di berbagai sudut ruang hingga bau harum seketika menguar memenuhi kamar. "Bos," ujar Steven sambil menatap diri sendiri yang berbalut kain tebal itu. "Panggil wanita itu!" perintah Jayden pada Grace ketika Steven sudah di depannya. Grace hanya bisa mencebikkan bibir melihat Jayden yang bersikap menyebalkan. Dia lantas memanggil Rose dan keduanya menghadap pada pria sombong itu. "Kau layani dia!" tunjuk Jayden pada Rose dan Steven.Wanita itu sontak membelalakkan mata. Apa dia baru saja
"Tuan, Nona Cia melarikan diri," lapor salah seorang bawahan kepada tuannya di tengah keramaian pesta."Apa? Bagaimana itu bisa terjadi?" Mereka pun segera meninggalkan aula tempat pesta digelar dan melangkah menuju ballroom–ruang ganti pengantin."Tidak tahu, Tuan. Ketika kami memanggilnya, nona sudah tidak ada di dalam dan para periasnya pun pingsan.""Bocah itu!" Pria tersebut melangkah dengan geram menyusuri hotel tempat acara pernikahan sang putri digelar.Dialah Chiba, pengusaha Jepang yang memiliki seorang putri bernama Gracia Dandelion. Namun, istrinya telah meninggal sejak sang anak masih kecil, sehingga wanita tersebut tumbuh sebagai gadis pemberontak dan pembangkang yang selalu berbuat onar.Oleh sebab itulah, Chiba memutuskan untuk menjodohkan putri semata wayangnya dengan rekan bisnisnya. Awalnya Gracia tidak menolak, tetapi juga tak menjawab iya. Jadi, dia hanya menyimpulkan jika sang anak bersedia menerima
"Apa ini?" Gracia membelalakkan mata ketika pertama kali melihat ujung kepala bayi yang mulai keluar dari jalan lahirnya."Argh!" Wanita di depannya kembali mengeram kesakitan semakin kuat, hingga kedua tangannya sontak menjambak rambut Gracia untuk menyalurkan rasa sakitnya."Awh!" Gracia pun ikut meringis sebab rasa sakit di kepalanya. Jambakan wanita tersebut sangat kuat seakan mencabut rambutnya secara bersamaan."Nyonya, tenanglah! Tarik napas pelan-pelan!" Gracia mencoba untuk mengarahkan metode pernapasan kepada wanita tersebut agar lebih tenang, beruntung dia menurut dan terlihat mulai menghirup oksigen dalam-dalam. "Embuskan!""Hufft."Perlahan cengkeraman tangan sang wanita hamil di kepalanya mulai mengendur seiring deru napas yang terdengar stabil dan mampu diatur dengan baik. Namun, dalam sekejap wanita tersebut kembali menjambaknya lebih kuat daripada sebelumnya, hingga membuat Gracia hanya bisa berteriak karena
Suara pelatuk ditekan terdengar begitu keras hingga menyebabkan ibu dari bayi tersebut meninggal karena tembakan di kepalanya. Sang buah hati seketika menangis sebab ikatan batin cukup kuat dan juga rasa terkejutnya.Tangisannya pun terdengar di telinga orang-orang yang menyerang wanita itu mengakibatkan mereka menyadari jika sang bayi masih berada di sekitar sini."Cepat cari bocah itu sampai dapat!"Gracia tak kalah terkejutnya dengan situasi yang terjadi sekarang, benar kata ibu bayi ini nyawa mereka dalam bahaya jika tidak segera pergi.Wanita tersebut melepaskan jaket di tubuhnya dengan cepat dan digunakan untuk membalut tubuh sang bayi. "Sstt, tenanglah, Sayang! Jangan menangis! Kita harus segera pergi dari sini."Mereka harus segera melarikan diri, tetapi tak mungkin berlari dengan membiarkan bayi ini kedinginan tanpa pakaian. Itulah sebabnya Gracia menggunakan jaketnya sebagai alternatif.Setelah s
Keempat orang berada dalam satu ruangan. Jayden meminta pihak pelayanan untuk menambahkan pembatas berupa kain tipis yang membentang di antara ranjang dan sofa, sehingga dia nantinya hanya bisa melihat bayangan jadi tak harus menodai mata ketika Rose menjalankan aksinya. Pria tersebut yakin, wanita sepertinya tidak akan melakukan hal biasa pada pelanggan. Steven keluar hanya mengenakan bathrobe seperti halnya Jayden, sedangkan Rose masih menyalakan lilin aroma terapi di berbagai sudut ruang hingga bau harum seketika menguar memenuhi kamar. "Bos," ujar Steven sambil menatap diri sendiri yang berbalut kain tebal itu. "Panggil wanita itu!" perintah Jayden pada Grace ketika Steven sudah di depannya. Grace hanya bisa mencebikkan bibir melihat Jayden yang bersikap menyebalkan. Dia lantas memanggil Rose dan keduanya menghadap pada pria sombong itu. "Kau layani dia!" tunjuk Jayden pada Rose dan Steven.Wanita itu sontak membelalakkan mata. Apa dia baru saja
Jayden yang merasakan sakit di kejantanan akibat ulah Grace dengan cepat mengamankan benda tersebut menggunakan kedua tangannya. "Apa yang kau lakukan, hah?"Dia berteriak hingga kedua bola matanya membulat dengan sempurna menatap wanita di depannya yang tampak acuh setelah melakukan hal buruk pada batangnya yang berharga seakan itu bukanlah apa-apa baginya. "Cepat panggil Mami!" Grace hanya mencebikkan bibir melihat wajah merah padam Jayden. 'Rasakan!' batinnya di kala pria di depannya meringis kesakitan akibat ulahnya. Dia pun lekas berbalik dan berjalan meninggalkan ruang itu tanpa menjawab sepatah kata pun ucapan pria tersebut dengan sebuah senyum bangga ketika membelakanginya."Pria Menyebalkan!" gumam Grace ketika melangkah pergi dan menutup pintu dengan sangat keras, menyebabkan Jayden di dalam sontak terlonjak kaget akan tingkahnya. "Dasar wanita," gerutu Jayden menatap arah kepergian Grace, lalu melihat kejantanannya yang tampak menyusu
Awalnya Rose sudah antusias ketika mendengar Jayden Bannerick pertama kali datang ke tempat itu. Selama ini dia selalu mengagumi pria tersebut karena prestasinya sebagai salah satu pengusaha muda berbakat yang selalu tampil di cover terdepan majalah pebisnis handal. Selain itu, ketampanan juga kekayaannya yang melimpah membuat banyak wanita terpesona dan mengincarnya, tak terkecuali Rose. Dia bahkan sampai berulang kali mendatangi klub, kasino, maupun restoran milik keluarga tersebut, tetapi sayangnya Rose tak pernah mendapatkan kesempatan sedikit pun untuk menemui Jayden.Kini Jayden malah datang sendiri ke tempat ini, tentu saja hal itu membuat Rose sangat antusias dan bersemangat. Dia bahkan langsung mengganti pakaian dengan seragam terseksi yang dimiliki. Berbekal rok sejengkal dan atasan one shoulder off sebatas pusar serta berbahan setipis saringan tahu, sungguh menampakkan kaca mata berenda juga segitiga bermuda yang dikenakan terpampang nyata. Kali ini Rose berhar
Setelah pergi dari ruangan Mami, Stevani membawa Grace ke tempat pelatihan. Akan tetapi, mereka berpapasan dengan seorang wanita seksi yang tak kalah cantiknya dengan Grace. "Tunggu!" Wanita tersebut menghentikan langkah keduanya ketika melihat wajah cantik Grace. Dia selalu tidak senang di saat ada terapis lain yang menyaingi kecantikannya. "Siapa dia?" "Kau tak perlu tahu!" ujar Stevani ketus. "Ayo pergi! Jangan pedulikan Rose Brand!" "Hei! Apa maksudmu, hah?" Suara teriakan wanita itu terdengar begitu keras. Namun, tak membuat keduanya menghentikan langkah. Sejenak Grace masih menoleh ke belakang untuk melihat wanita yang tampak berulang kali mengentakkan kaki. Kemudian bertanya pada Stevani demi kenyamanan hati. "Siapa dia?"
Keesokan harinya Grace memutuskan untuk melihat terlebih dahulu tempat yang ditawarkan Stevani, dia berdiri cukup lama menatap tempat yang kini ada di depannya. Tatapannya tak beralih ketika membaca papan nama yang tertera di sana, sama persis dengan alamat yang diberikan wanita itu.Berulang kali Grace menghirup udara dan mengembuskannya, menepis rasa ragu yang sempat datang. "Ah, sial! Jika saja ada pekerjaan lain, aku tidak akan datang ke tempat seperti ini," gumam Grace pelan.Kakinya perlahan mulai melangkah hendak masuk ke dalam tempat itu. Namun, dalam sekejap dia kembali berputar arah. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak boleh melakukan itu." Sesuatu dalam dirinya seakan menolak pekerjaan tersebut. Namun, bayangan putri kecilnya kembali melintas dalam benaknya. Susu dan popok di rumah sudah mulai habis, jika dia tidak bekerja bagaimana caranya membeli semua
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa enam bulan sudah perjalanan Gracia merawat bayinya. Kini si kecil sudah terlihat sangat aktif dengan segala tingkahnya. Benar apa yang dikatakan pegawai hotel malam itu, suatu kebahagiaan tersendiri bagi seorang wanita bisa merawat anaknya sejak balita.Gracia mengadopsinya secara sah. Dia bahkan melegalkan pengubahan namanya sendiri dari Gracia Dandelion menjadi Grace Pumkin, sedangkan putrinya dinamakan Dandelion Pumkin, atau biasa disebut Baby Pumpum dengan tanggal kelahiran yang dituakan satu bulan agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak musuh ibu kandungnya.Dia menyewa sebuah rumah sederhana untuk tinggal di sekitar kota New York bersama anaknya. Namun, kini masalah baru mulai mendatangi hidup bahagianya. Uang tunai yang sekarang Grace miliki semakin menipis karena kebutuhan hidup cukup tinggi. Mau tak mau
Setelah cukup lama berjalan, Gracia akhirnya tiba di sebuah hotel yang tak terlalu mewah. Wanita tersebut menyewa salah satu kamar biasa di hotel tersebut. Dia harus membersihkan bayinya dan juga memberi pakaian agar tak kedinginan.Meskipun, tidak memiliki pengalaman mengurus bayi, tetapi Gracia berusaha semaksimal mungkin. "Tenang saja, Sayang. Aku akan menjadi ibumu sekarang."Gracia menyadari nasibnya tak jauh berbeda dengan bayi perempuan ini. Dia juga sudah ditinggalkan oleh ibunya sejak masih kecil, sehingga membuatnya menjadi gadis pemberontak karena kurang kasih sayang.Namun, dia tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada bayi ini. Gracia berencana mengadopsinya dan merawat sendiri hingga dewasa. Meskipun, mungkin nyawanya menjadi taruhan kali ini.Setelah mandi dia cukup bingung harus berbuat apa pada bayinya. Gracia tidak memiliki apapun untuk dikenakan pada sang bayi, lalu anak itu juga mulai menangis dengan kenc
Suara pelatuk ditekan terdengar begitu keras hingga menyebabkan ibu dari bayi tersebut meninggal karena tembakan di kepalanya. Sang buah hati seketika menangis sebab ikatan batin cukup kuat dan juga rasa terkejutnya.Tangisannya pun terdengar di telinga orang-orang yang menyerang wanita itu mengakibatkan mereka menyadari jika sang bayi masih berada di sekitar sini."Cepat cari bocah itu sampai dapat!"Gracia tak kalah terkejutnya dengan situasi yang terjadi sekarang, benar kata ibu bayi ini nyawa mereka dalam bahaya jika tidak segera pergi.Wanita tersebut melepaskan jaket di tubuhnya dengan cepat dan digunakan untuk membalut tubuh sang bayi. "Sstt, tenanglah, Sayang! Jangan menangis! Kita harus segera pergi dari sini."Mereka harus segera melarikan diri, tetapi tak mungkin berlari dengan membiarkan bayi ini kedinginan tanpa pakaian. Itulah sebabnya Gracia menggunakan jaketnya sebagai alternatif.Setelah s
"Apa ini?" Gracia membelalakkan mata ketika pertama kali melihat ujung kepala bayi yang mulai keluar dari jalan lahirnya."Argh!" Wanita di depannya kembali mengeram kesakitan semakin kuat, hingga kedua tangannya sontak menjambak rambut Gracia untuk menyalurkan rasa sakitnya."Awh!" Gracia pun ikut meringis sebab rasa sakit di kepalanya. Jambakan wanita tersebut sangat kuat seakan mencabut rambutnya secara bersamaan."Nyonya, tenanglah! Tarik napas pelan-pelan!" Gracia mencoba untuk mengarahkan metode pernapasan kepada wanita tersebut agar lebih tenang, beruntung dia menurut dan terlihat mulai menghirup oksigen dalam-dalam. "Embuskan!""Hufft."Perlahan cengkeraman tangan sang wanita hamil di kepalanya mulai mengendur seiring deru napas yang terdengar stabil dan mampu diatur dengan baik. Namun, dalam sekejap wanita tersebut kembali menjambaknya lebih kuat daripada sebelumnya, hingga membuat Gracia hanya bisa berteriak karena