"Apa ini?" Gracia membelalakkan mata ketika pertama kali melihat ujung kepala bayi yang mulai keluar dari jalan lahirnya.
"Argh!" Wanita di depannya kembali mengeram kesakitan semakin kuat, hingga kedua tangannya sontak menjambak rambut Gracia untuk menyalurkan rasa sakitnya.
"Awh!" Gracia pun ikut meringis sebab rasa sakit di kepalanya. Jambakan wanita tersebut sangat kuat seakan mencabut rambutnya secara bersamaan.
"Nyonya, tenanglah! Tarik napas pelan-pelan!" Gracia mencoba untuk mengarahkan metode pernapasan kepada wanita tersebut agar lebih tenang, beruntung dia menurut dan terlihat mulai menghirup oksigen dalam-dalam. "Embuskan!"
"Hufft."
Perlahan cengkeraman tangan sang wanita hamil di kepalanya mulai mengendur seiring deru napas yang terdengar stabil dan mampu diatur dengan baik. Namun, dalam sekejap wanita tersebut kembali menjambaknya lebih kuat daripada sebelumnya, hingga membuat Gracia hanya bisa berteriak karena terkejut dan sakit. "Auwh!"
"Argh!" Wanita tersebut mencoba untuk menahan napas panjang sambil menumpukan kekuatannya di bagian perut agar bayi di dalam kandungan bisa segera keluar.
Sementara, Gracia hanya bisa kembali menahan rasa sakitnya. Akan tetapi, hal itu tidak seberapa dibandingkan dengan pengorbanan wanita tersebut yang terasa seperti semua tulang dipatahkan secara bersamaan saat ini juga.
Namun, beruntungnya dalam sekali dorongan sang bayi langsung keluar dari zona nyaman dan membuat perasaan lega seketika menyeruak dalam diri wanita tersebut. Dia lantas kembali mengatur napasnya yang terengah-engah karena perjuangan panjangnya.
Berbeda dengan Gracia yang langsung membelalakkan mata di saat melihat seorang bayi berhasil keluar tepat di depan matanya. Dia masih berlumuran darah dan air ketuban di sekujur tubuhnya membuat wanita tersebut membeku seketika.
Rasanya ingin sekali Gracia pingsan saja melihat semua pengalaman yang baru dialaminya ini. Akan tetapi, dari sini dia jadi tahu bagaimana seorang ibu berjuang menahan segala rasa sakitnya sendirian demi menghadirkan sebuah kehidupan baru yang disebut dengan buah hati.
Buliran hangat seakan berkumpul di pelupuk matanya, meskipun dia tidak mengenal wanita ini, tetapi perjuangannya akan selalu Gracia ingat dalam hati. Mengingatkan pada sang ibu yang kini telah kembali ke pangkuan Illahi.
Setelah wanita tersebut berhasil melahirkan anaknya, dia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kembali. "Apa bayiku baik-baik saja? Kenapa dia tidak menangis?" Dia melepaskan cengkeraman tangannya di rambut Gracia untuk mencoba melihat bayinya di bawah sana.
Gracia meraih bayi yang masih berlumuran darah tersebut dengan tangan gemetar dan masih terpaku seakan belum tersadar dari rasa terkejut. Namun, dia belum bisa memberikannya kepada wanita itu karena tali pusar yang masih terhubung.
Melihat hal tersebut, sang ibu dari bayi lantas meraih sebilah pisau di sampingnya yang tadi digunakan untuk menjaga diri dari kejaran musuh.
"Apa yang kau lakukan?" Gracia seketika melebarkan mata di saat melihat wanita tersebut langsung saja memotong tali pusar yang masih terhubung dengan anaknya tanpa memerhatikan rasa sakitnya sendiri.
"Auwh." Bukan wanita itu yang berteriak, tetapi malah Gracia. Dia merasa kagum melihat keberanian, pengorbanan, dan perjuangan ibu muda ini demi sang buah hati.
Perlahan Gracia pun menyerahkan bayi itu ke tangan sang ibu. Sedetik kemudian, bayi tersebut menangis dengan keras di dada ibunya, hingga membuat sebuah senyum terlukis indah di wajah wanita tersebut.
"Cantik." Dia mengusap wajah putri kecilnya yang masih berlumuran darah dengan pakaiannya. Lalu, mengecup dahinya sejenak sambil memejamkan mata.
Wanita tersebut langsung menyerahkan bayinya yang masih berlumuran darah kepada wanita cantik di depannya. Tentu saja hal tersebut membuat Gracia bingung dengan tindakannya.
"Kenapa? Apa kau butuh sesuatu?" tanya Gracia.
"Aku mohon jagalah bayiku!" Dengan sisa kesadaran akibat kelelahan berjuang dan deru napas yang terengah-engah wanita tersebut terus menyodorkan bayi di tangannya. "Aku mohon jagalah dia dan jangan pernah biarkan orang lain mengambilnya, meskipun mereka mengaku sebagai keluargaku. Jika hal itu terjadi, nyawanya akan berada dalam bahaya."
"Tidak kita harus ke rumah sakit. Kau bisa menjaga bayimu sendiri setelah itu." Gracia berusaha menolak permintaan wanita tersebut.
Namun, wanita itu hanya bisa menggeleng kecil. "Aku tidak ingin semuanya terlambat. Bawalah dia menjauh dari sini! Ku Mohon!"
Sejenak Gracia memikirkan permintaan wanita tersebut, dia sendiri masih gadis bagaimana bisa mengasuh seorang bayi. Namun, di kejauhan mulai terdengar langkah kaki orang yang bergerak.
Seketika wanita tersebut panik dan langsung menyerahkan bayi di tangannya kepada Gracia tanpa menunggu jawaban. "Bawa dia pergi dari sini sebelum nyawanya berada dalam bahaya! Anggap ini sebagai permintaan terakhir seorang ibu."
"Apa maksudmu?" Tentu saja Gracia bingung dengan penuturan wanita tersebut, bagaimana bisa dia mengatakan hal aneh di saat seperti ini.
"Sudah tidak ada waktu lagi. Cepat bawa dia pergi dan simpan ini!" Wanita tersebut melepaskan sebuah kalung yang melingkar di lehernya kepada Gracia tanpa ragu.
"Cepat pergi! Cepat!" Wanita tersebut mendorong Gracia agar menjauh darinya agar segera pergi dari sini.
"Bagaimana denganmu?"
"Katakan saja padanya ketika dewasa kalau aku sangat mencintainya! Aku mohon jagalah dia seperti putrimu sendiri!" Suara langkah kaki terdengar semakin dekat membuat wanita tersebut bertambah panik. "Cepat pergi!"
Gracia pun hanya bisa menurutinya, dia mendekap bayi tersebut dengan jaket yang dikenakan agar tetap hangat, lalu melangkah menjauh sambil sesekali menoleh ke belakang.
"Cepat pergi!"
Dia pun heran dengan situasi saat ini, tetapi entah mengapa firasatnya berkata buruk kali ini. Gracia segera berlari menyusuri gang kecil menjauh dari lokasi untuk bersembunyi. Namun, rasa penasaran membuat langkahnya terhenti dan bersembunyi di kegelapan.
Hingga tak lama kemudian, terdengar langkah kaki beberapa orang seperti mendekati wanita yang baru saja melahirkan tersebut.
"Apa yang kalian inginkan?" Suara teriakan wanita itu masih terdengar jelas di telinga Gracia. Dia menelan ludahnya sendiri dengan susah payah, bersamaan jantung yang berdetak tak karuan.
Sepertinya bahaya sedang mengintai wanita itu, tetapi mau bagaimana lagi. Gracia hanya seorang diri tidak mungkin menang melawan mereka secara bersamaan.
"Serahkan benda itu pada kami!" Suara teriakan bariton seorang pria yang sepertinya pernah didengar oleh Gracia membuat wanita tersebut mengernyitkan dahi.
"Jangan harap!"
"Oh, sepertinya baru saja melahirkan bayimu! Kau pasti menyembunyikan benda itu bersamanya 'kan? Cepat beritahu aku di mana dia?"
"Cuih, bermimpilah!"
"Wanita sialan!" Pria tersebut terlihat geram di saat dia meludah tepat di wajahnya.
Tanpa aba-aba pria tersebut mengeluarkan pistol dari belakang dan menarik pelatuknya tepat di kepala wanita tersebut, hingga membuatnya tewas seketika.
Suara keras tembakan membuat bayi di tangan Gracia terkejut dan langsung menangis. Hal itu, tentu saja membuat mereka menyadari jika apa yang dicari masih berada di sekitar sini.
"Cepat cari bocah itu sampai dapat!"
Suara pelatuk ditekan terdengar begitu keras hingga menyebabkan ibu dari bayi tersebut meninggal karena tembakan di kepalanya. Sang buah hati seketika menangis sebab ikatan batin cukup kuat dan juga rasa terkejutnya.Tangisannya pun terdengar di telinga orang-orang yang menyerang wanita itu mengakibatkan mereka menyadari jika sang bayi masih berada di sekitar sini."Cepat cari bocah itu sampai dapat!"Gracia tak kalah terkejutnya dengan situasi yang terjadi sekarang, benar kata ibu bayi ini nyawa mereka dalam bahaya jika tidak segera pergi.Wanita tersebut melepaskan jaket di tubuhnya dengan cepat dan digunakan untuk membalut tubuh sang bayi. "Sstt, tenanglah, Sayang! Jangan menangis! Kita harus segera pergi dari sini."Mereka harus segera melarikan diri, tetapi tak mungkin berlari dengan membiarkan bayi ini kedinginan tanpa pakaian. Itulah sebabnya Gracia menggunakan jaketnya sebagai alternatif.Setelah s
Setelah cukup lama berjalan, Gracia akhirnya tiba di sebuah hotel yang tak terlalu mewah. Wanita tersebut menyewa salah satu kamar biasa di hotel tersebut. Dia harus membersihkan bayinya dan juga memberi pakaian agar tak kedinginan.Meskipun, tidak memiliki pengalaman mengurus bayi, tetapi Gracia berusaha semaksimal mungkin. "Tenang saja, Sayang. Aku akan menjadi ibumu sekarang."Gracia menyadari nasibnya tak jauh berbeda dengan bayi perempuan ini. Dia juga sudah ditinggalkan oleh ibunya sejak masih kecil, sehingga membuatnya menjadi gadis pemberontak karena kurang kasih sayang.Namun, dia tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada bayi ini. Gracia berencana mengadopsinya dan merawat sendiri hingga dewasa. Meskipun, mungkin nyawanya menjadi taruhan kali ini.Setelah mandi dia cukup bingung harus berbuat apa pada bayinya. Gracia tidak memiliki apapun untuk dikenakan pada sang bayi, lalu anak itu juga mulai menangis dengan kenc
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa enam bulan sudah perjalanan Gracia merawat bayinya. Kini si kecil sudah terlihat sangat aktif dengan segala tingkahnya. Benar apa yang dikatakan pegawai hotel malam itu, suatu kebahagiaan tersendiri bagi seorang wanita bisa merawat anaknya sejak balita.Gracia mengadopsinya secara sah. Dia bahkan melegalkan pengubahan namanya sendiri dari Gracia Dandelion menjadi Grace Pumkin, sedangkan putrinya dinamakan Dandelion Pumkin, atau biasa disebut Baby Pumpum dengan tanggal kelahiran yang dituakan satu bulan agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak musuh ibu kandungnya.Dia menyewa sebuah rumah sederhana untuk tinggal di sekitar kota New York bersama anaknya. Namun, kini masalah baru mulai mendatangi hidup bahagianya. Uang tunai yang sekarang Grace miliki semakin menipis karena kebutuhan hidup cukup tinggi. Mau tak mau
Keesokan harinya Grace memutuskan untuk melihat terlebih dahulu tempat yang ditawarkan Stevani, dia berdiri cukup lama menatap tempat yang kini ada di depannya. Tatapannya tak beralih ketika membaca papan nama yang tertera di sana, sama persis dengan alamat yang diberikan wanita itu.Berulang kali Grace menghirup udara dan mengembuskannya, menepis rasa ragu yang sempat datang. "Ah, sial! Jika saja ada pekerjaan lain, aku tidak akan datang ke tempat seperti ini," gumam Grace pelan.Kakinya perlahan mulai melangkah hendak masuk ke dalam tempat itu. Namun, dalam sekejap dia kembali berputar arah. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak boleh melakukan itu." Sesuatu dalam dirinya seakan menolak pekerjaan tersebut. Namun, bayangan putri kecilnya kembali melintas dalam benaknya. Susu dan popok di rumah sudah mulai habis, jika dia tidak bekerja bagaimana caranya membeli semua
Setelah pergi dari ruangan Mami, Stevani membawa Grace ke tempat pelatihan. Akan tetapi, mereka berpapasan dengan seorang wanita seksi yang tak kalah cantiknya dengan Grace. "Tunggu!" Wanita tersebut menghentikan langkah keduanya ketika melihat wajah cantik Grace. Dia selalu tidak senang di saat ada terapis lain yang menyaingi kecantikannya. "Siapa dia?" "Kau tak perlu tahu!" ujar Stevani ketus. "Ayo pergi! Jangan pedulikan Rose Brand!" "Hei! Apa maksudmu, hah?" Suara teriakan wanita itu terdengar begitu keras. Namun, tak membuat keduanya menghentikan langkah. Sejenak Grace masih menoleh ke belakang untuk melihat wanita yang tampak berulang kali mengentakkan kaki. Kemudian bertanya pada Stevani demi kenyamanan hati. "Siapa dia?"
Awalnya Rose sudah antusias ketika mendengar Jayden Bannerick pertama kali datang ke tempat itu. Selama ini dia selalu mengagumi pria tersebut karena prestasinya sebagai salah satu pengusaha muda berbakat yang selalu tampil di cover terdepan majalah pebisnis handal. Selain itu, ketampanan juga kekayaannya yang melimpah membuat banyak wanita terpesona dan mengincarnya, tak terkecuali Rose. Dia bahkan sampai berulang kali mendatangi klub, kasino, maupun restoran milik keluarga tersebut, tetapi sayangnya Rose tak pernah mendapatkan kesempatan sedikit pun untuk menemui Jayden.Kini Jayden malah datang sendiri ke tempat ini, tentu saja hal itu membuat Rose sangat antusias dan bersemangat. Dia bahkan langsung mengganti pakaian dengan seragam terseksi yang dimiliki. Berbekal rok sejengkal dan atasan one shoulder off sebatas pusar serta berbahan setipis saringan tahu, sungguh menampakkan kaca mata berenda juga segitiga bermuda yang dikenakan terpampang nyata. Kali ini Rose berhar
Jayden yang merasakan sakit di kejantanan akibat ulah Grace dengan cepat mengamankan benda tersebut menggunakan kedua tangannya. "Apa yang kau lakukan, hah?"Dia berteriak hingga kedua bola matanya membulat dengan sempurna menatap wanita di depannya yang tampak acuh setelah melakukan hal buruk pada batangnya yang berharga seakan itu bukanlah apa-apa baginya. "Cepat panggil Mami!" Grace hanya mencebikkan bibir melihat wajah merah padam Jayden. 'Rasakan!' batinnya di kala pria di depannya meringis kesakitan akibat ulahnya. Dia pun lekas berbalik dan berjalan meninggalkan ruang itu tanpa menjawab sepatah kata pun ucapan pria tersebut dengan sebuah senyum bangga ketika membelakanginya."Pria Menyebalkan!" gumam Grace ketika melangkah pergi dan menutup pintu dengan sangat keras, menyebabkan Jayden di dalam sontak terlonjak kaget akan tingkahnya. "Dasar wanita," gerutu Jayden menatap arah kepergian Grace, lalu melihat kejantanannya yang tampak menyusu
Keempat orang berada dalam satu ruangan. Jayden meminta pihak pelayanan untuk menambahkan pembatas berupa kain tipis yang membentang di antara ranjang dan sofa, sehingga dia nantinya hanya bisa melihat bayangan jadi tak harus menodai mata ketika Rose menjalankan aksinya. Pria tersebut yakin, wanita sepertinya tidak akan melakukan hal biasa pada pelanggan. Steven keluar hanya mengenakan bathrobe seperti halnya Jayden, sedangkan Rose masih menyalakan lilin aroma terapi di berbagai sudut ruang hingga bau harum seketika menguar memenuhi kamar. "Bos," ujar Steven sambil menatap diri sendiri yang berbalut kain tebal itu. "Panggil wanita itu!" perintah Jayden pada Grace ketika Steven sudah di depannya. Grace hanya bisa mencebikkan bibir melihat Jayden yang bersikap menyebalkan. Dia lantas memanggil Rose dan keduanya menghadap pada pria sombong itu. "Kau layani dia!" tunjuk Jayden pada Rose dan Steven.Wanita itu sontak membelalakkan mata. Apa dia baru saja
Keempat orang berada dalam satu ruangan. Jayden meminta pihak pelayanan untuk menambahkan pembatas berupa kain tipis yang membentang di antara ranjang dan sofa, sehingga dia nantinya hanya bisa melihat bayangan jadi tak harus menodai mata ketika Rose menjalankan aksinya. Pria tersebut yakin, wanita sepertinya tidak akan melakukan hal biasa pada pelanggan. Steven keluar hanya mengenakan bathrobe seperti halnya Jayden, sedangkan Rose masih menyalakan lilin aroma terapi di berbagai sudut ruang hingga bau harum seketika menguar memenuhi kamar. "Bos," ujar Steven sambil menatap diri sendiri yang berbalut kain tebal itu. "Panggil wanita itu!" perintah Jayden pada Grace ketika Steven sudah di depannya. Grace hanya bisa mencebikkan bibir melihat Jayden yang bersikap menyebalkan. Dia lantas memanggil Rose dan keduanya menghadap pada pria sombong itu. "Kau layani dia!" tunjuk Jayden pada Rose dan Steven.Wanita itu sontak membelalakkan mata. Apa dia baru saja
Jayden yang merasakan sakit di kejantanan akibat ulah Grace dengan cepat mengamankan benda tersebut menggunakan kedua tangannya. "Apa yang kau lakukan, hah?"Dia berteriak hingga kedua bola matanya membulat dengan sempurna menatap wanita di depannya yang tampak acuh setelah melakukan hal buruk pada batangnya yang berharga seakan itu bukanlah apa-apa baginya. "Cepat panggil Mami!" Grace hanya mencebikkan bibir melihat wajah merah padam Jayden. 'Rasakan!' batinnya di kala pria di depannya meringis kesakitan akibat ulahnya. Dia pun lekas berbalik dan berjalan meninggalkan ruang itu tanpa menjawab sepatah kata pun ucapan pria tersebut dengan sebuah senyum bangga ketika membelakanginya."Pria Menyebalkan!" gumam Grace ketika melangkah pergi dan menutup pintu dengan sangat keras, menyebabkan Jayden di dalam sontak terlonjak kaget akan tingkahnya. "Dasar wanita," gerutu Jayden menatap arah kepergian Grace, lalu melihat kejantanannya yang tampak menyusu
Awalnya Rose sudah antusias ketika mendengar Jayden Bannerick pertama kali datang ke tempat itu. Selama ini dia selalu mengagumi pria tersebut karena prestasinya sebagai salah satu pengusaha muda berbakat yang selalu tampil di cover terdepan majalah pebisnis handal. Selain itu, ketampanan juga kekayaannya yang melimpah membuat banyak wanita terpesona dan mengincarnya, tak terkecuali Rose. Dia bahkan sampai berulang kali mendatangi klub, kasino, maupun restoran milik keluarga tersebut, tetapi sayangnya Rose tak pernah mendapatkan kesempatan sedikit pun untuk menemui Jayden.Kini Jayden malah datang sendiri ke tempat ini, tentu saja hal itu membuat Rose sangat antusias dan bersemangat. Dia bahkan langsung mengganti pakaian dengan seragam terseksi yang dimiliki. Berbekal rok sejengkal dan atasan one shoulder off sebatas pusar serta berbahan setipis saringan tahu, sungguh menampakkan kaca mata berenda juga segitiga bermuda yang dikenakan terpampang nyata. Kali ini Rose berhar
Setelah pergi dari ruangan Mami, Stevani membawa Grace ke tempat pelatihan. Akan tetapi, mereka berpapasan dengan seorang wanita seksi yang tak kalah cantiknya dengan Grace. "Tunggu!" Wanita tersebut menghentikan langkah keduanya ketika melihat wajah cantik Grace. Dia selalu tidak senang di saat ada terapis lain yang menyaingi kecantikannya. "Siapa dia?" "Kau tak perlu tahu!" ujar Stevani ketus. "Ayo pergi! Jangan pedulikan Rose Brand!" "Hei! Apa maksudmu, hah?" Suara teriakan wanita itu terdengar begitu keras. Namun, tak membuat keduanya menghentikan langkah. Sejenak Grace masih menoleh ke belakang untuk melihat wanita yang tampak berulang kali mengentakkan kaki. Kemudian bertanya pada Stevani demi kenyamanan hati. "Siapa dia?"
Keesokan harinya Grace memutuskan untuk melihat terlebih dahulu tempat yang ditawarkan Stevani, dia berdiri cukup lama menatap tempat yang kini ada di depannya. Tatapannya tak beralih ketika membaca papan nama yang tertera di sana, sama persis dengan alamat yang diberikan wanita itu.Berulang kali Grace menghirup udara dan mengembuskannya, menepis rasa ragu yang sempat datang. "Ah, sial! Jika saja ada pekerjaan lain, aku tidak akan datang ke tempat seperti ini," gumam Grace pelan.Kakinya perlahan mulai melangkah hendak masuk ke dalam tempat itu. Namun, dalam sekejap dia kembali berputar arah. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak boleh melakukan itu." Sesuatu dalam dirinya seakan menolak pekerjaan tersebut. Namun, bayangan putri kecilnya kembali melintas dalam benaknya. Susu dan popok di rumah sudah mulai habis, jika dia tidak bekerja bagaimana caranya membeli semua
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa enam bulan sudah perjalanan Gracia merawat bayinya. Kini si kecil sudah terlihat sangat aktif dengan segala tingkahnya. Benar apa yang dikatakan pegawai hotel malam itu, suatu kebahagiaan tersendiri bagi seorang wanita bisa merawat anaknya sejak balita.Gracia mengadopsinya secara sah. Dia bahkan melegalkan pengubahan namanya sendiri dari Gracia Dandelion menjadi Grace Pumkin, sedangkan putrinya dinamakan Dandelion Pumkin, atau biasa disebut Baby Pumpum dengan tanggal kelahiran yang dituakan satu bulan agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak musuh ibu kandungnya.Dia menyewa sebuah rumah sederhana untuk tinggal di sekitar kota New York bersama anaknya. Namun, kini masalah baru mulai mendatangi hidup bahagianya. Uang tunai yang sekarang Grace miliki semakin menipis karena kebutuhan hidup cukup tinggi. Mau tak mau
Setelah cukup lama berjalan, Gracia akhirnya tiba di sebuah hotel yang tak terlalu mewah. Wanita tersebut menyewa salah satu kamar biasa di hotel tersebut. Dia harus membersihkan bayinya dan juga memberi pakaian agar tak kedinginan.Meskipun, tidak memiliki pengalaman mengurus bayi, tetapi Gracia berusaha semaksimal mungkin. "Tenang saja, Sayang. Aku akan menjadi ibumu sekarang."Gracia menyadari nasibnya tak jauh berbeda dengan bayi perempuan ini. Dia juga sudah ditinggalkan oleh ibunya sejak masih kecil, sehingga membuatnya menjadi gadis pemberontak karena kurang kasih sayang.Namun, dia tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada bayi ini. Gracia berencana mengadopsinya dan merawat sendiri hingga dewasa. Meskipun, mungkin nyawanya menjadi taruhan kali ini.Setelah mandi dia cukup bingung harus berbuat apa pada bayinya. Gracia tidak memiliki apapun untuk dikenakan pada sang bayi, lalu anak itu juga mulai menangis dengan kenc
Suara pelatuk ditekan terdengar begitu keras hingga menyebabkan ibu dari bayi tersebut meninggal karena tembakan di kepalanya. Sang buah hati seketika menangis sebab ikatan batin cukup kuat dan juga rasa terkejutnya.Tangisannya pun terdengar di telinga orang-orang yang menyerang wanita itu mengakibatkan mereka menyadari jika sang bayi masih berada di sekitar sini."Cepat cari bocah itu sampai dapat!"Gracia tak kalah terkejutnya dengan situasi yang terjadi sekarang, benar kata ibu bayi ini nyawa mereka dalam bahaya jika tidak segera pergi.Wanita tersebut melepaskan jaket di tubuhnya dengan cepat dan digunakan untuk membalut tubuh sang bayi. "Sstt, tenanglah, Sayang! Jangan menangis! Kita harus segera pergi dari sini."Mereka harus segera melarikan diri, tetapi tak mungkin berlari dengan membiarkan bayi ini kedinginan tanpa pakaian. Itulah sebabnya Gracia menggunakan jaketnya sebagai alternatif.Setelah s
"Apa ini?" Gracia membelalakkan mata ketika pertama kali melihat ujung kepala bayi yang mulai keluar dari jalan lahirnya."Argh!" Wanita di depannya kembali mengeram kesakitan semakin kuat, hingga kedua tangannya sontak menjambak rambut Gracia untuk menyalurkan rasa sakitnya."Awh!" Gracia pun ikut meringis sebab rasa sakit di kepalanya. Jambakan wanita tersebut sangat kuat seakan mencabut rambutnya secara bersamaan."Nyonya, tenanglah! Tarik napas pelan-pelan!" Gracia mencoba untuk mengarahkan metode pernapasan kepada wanita tersebut agar lebih tenang, beruntung dia menurut dan terlihat mulai menghirup oksigen dalam-dalam. "Embuskan!""Hufft."Perlahan cengkeraman tangan sang wanita hamil di kepalanya mulai mengendur seiring deru napas yang terdengar stabil dan mampu diatur dengan baik. Namun, dalam sekejap wanita tersebut kembali menjambaknya lebih kuat daripada sebelumnya, hingga membuat Gracia hanya bisa berteriak karena