Ayla yang tadinya tak mau ke mana-mana malam Minggu itu, terpaksa harus berganti baju saat Davi datang ke rumahnya secara tiba-tiba. Dengan beralasan mencari kado untuk kakak perempuannya, akhirnya Ayla ikut Davi pergi ke mall bersama supir yang dia miliki. Bang Ali sudah mewanti-wanti untuk tidak membonceng siapapun yang belum memiliki SIM secara resmi. Daripada nanti Davi dicari-cari Bang Ali, mendingan cari aman saja.
“Dav, emang rencananya lo mau beli apa buat kakak lo?” tanya Ayla saat mereka sampai di mall.
“Nggak tahu deh. Ada ide nggak?” sahut Davi bingung.
“Hmmm, gue juga bingung sih. Gue kan nggak pernah ketemu sama dia. Emang dia tipenya kaya gimana sih?”
“Mau ketemu?”
“Hahahaha. Malah ngajakin ketemuan. Gila lo!”
“Ya siapa tahu dengan gitu lo bisa tahu dia orangnya kaya apa kan?”
“Ya nggak gitu juga kali, Dav. Maksud gue, kalau lo sekarang bisa n
Meski kalau mau jujur, Ayla sebenarnya sama sekali tidak ada perasaan apa-apa untuk Davi. Tapi, sesi pertanyaan tadi, cukup banyak mengusiknya. Davi dikenalnya cukup baik. Di keluarganya tak pernah ada masalah perbedaan agama. Abang-abangnya sudah beberapa kali berganti-ganti pacar dari berbagai macam suku dan agama. Selama itu pula kedua orangtuanya tak pernah melarang sama sekali.Sejak Davi sering main ke rumahnya tiap malam Minggu, Ayla tahu, ada tujuan lain. Tapi dia sebisa mungkin menepis saat Davi mulai menyentil masalah perasaannya. Bahkan selama di mall, dia sudah berusaha agar Davi tidak menyatakan atau bahkan menunjukkan rasa suka secara terang-terangan ke dirinya. Meskipun Davi harus puas dengan kata “seandainya”.Bukan kali pertama Ayla didekati cowok. Entah sudah berapa banyak cowok datang ke rumahnya untuk sekadar PDKT tipis-tipis. Dia bisa menebaknya dengan cepat, jadi terkadang mereka sudah ditolak dengan baik-baik dari awal. Namun khusus u
Matari langsung memeluk Lisa, sahabatnya yang datang ke rumahnya Minggu sore itu. Lisa adalah salah satu sahabatnya saat SMP. Saat ini dia sedang ikut persiapan kejar paket B, untuk mengejar ketertinggalannya karena tidak lulus ujian nasional sewaktu SMP dulu. Lisa tampak sumringah. Rambut panjangnya telah berubah menjadi pendek sebahu. Tubuh kurusnya sedikit lebih berisi. Kecantikan khas Timur Tengahnya tak berubah.Meski sudah banyak mengurangi kegiatan modelling untuk fokus ke pendidikan, selera fashion Lisa yang up to date tetap dia pertahankan hingga sekarang.“Apa kabar, Ri?” sapa Lisa.“Baeeek. Lo gimana? Udah sampai mana persiapan kejar paket B-nya?” tanya Matari antusias.“Minggu depan gue tes. Doain ya!”“Wahhh, siap, gue doain. Semoga lancar!”Lisa mengangguk. Kemudian memberikan oleh-oleh pada Matari.“Biasaaaa, nyokap abis ke London. Ada cokelat sama parfum buat
Ekskul pramuka yang masih menjadi ekskul wajib bagi murid-murid kelas 1, mengharuskan mereka untuk join di acara perkemahan bersama yang diadakan hari Jumat, Sabtu dan Minggu sekitar 2 minggu lagi. Para pembina dan kakak-kakak senior sudah memberikan list barang-barang yang harus dibawa. Tentu saja, hal ini membuat Sandra antusias. Tapi, tentu tidak bagi Matari. Dia cuma ingin, setiap weekend, dia bisa melewatinya dengan menonton kartun atau membaca komik.“Kenapa sih lo, seru tahu?!” kata Sandra saat membaca ulang papan pengumuman mengenai Perjusami (Perkemahan Jumat, Sabtu dan Minggu) yang ditempel sejak hampir satu minggu yang lalu.“Elo kan yang ngerasa seru. Gue biasa aja,” sahut Matari pendek.“Yaelaaah, kitaaa ini udah nggak pakai ngediriin tenda kali ini lho! Kita tidur di dalem baraknya orang TNI. Kurang enak apa coba? Bayangin aja kalo lo harus ngediriin tenda dari 0. Waktu SMP aja lo pingsan kan?”“Gue
Dinda menggebrak meja satu kali agar teman-teman satu kelasnya mau mendengarkan dia memberikan pengumuman. Kelas 1-3 langsung kompak terdiam dan mendengarkan Dinda bicara. Banyak hal yang Dinda beritahukan. Namun yang menjadi topik utama adalah pementasan kelas di acara Perjusami nanti.Beberapa anak memberi ide agar menyanyi sambil diiringi gitar saja sudah cukup. Dance tentu saja tidak mungkin, mengingat mereka semua akan memakai baju pramuka dan baju olahraga secara bergantian selama 3 hari.Baju olahraga tidak boleh dipakai saat malam tiba, yang mana saat itu adalah waktu pementasan diadakan. Tentu saja jika mau menampilkan dance, mereka harus membawa baju cadangan, tentu saja itu tidak mudah. Mengingat barang bawaan yang sudah diwajibkan untuk dibawa secara personal dan tim, sudah cukup banyak.Sayangnya, beberapa anak ekskul dancer di kelas mereka sudah sangat antusias untuk perform. Mereka adalah 6 orang cewek-cewek di kelas 1-3 yang duduk jauh dari Matar
“Eh, gue denger-denger tiap kelas diminta ngajuin performance buat malam api unggun ya?” tanya Pito pada Edo.“Emang harus ya?” tanya Edo bingung. “Sorry, pramuka kemarin gue kan nggak masuk.”“Oh iya. Lupa gue. Ketua kelas kita, si Zacky, belum ngasih pengumuman apa-apa tuh. Tapi anak-anak kelas lain banyak yang udah mulai latihan tuh,” jawab Pito.“Tumben pada peduli?” celetuk Kiwil heran.“Ya siapa tahu kita bisa nampilin akustikan bareng. Seru lagi, kaya kelasnya si Matari,” jawab Pito.“Eeh, serius?” tanya Kiwil.“Iya, tapi gue nggak tahu kelas dia nampilin apa. Cuma tadi lewat kelasnya, ada beberapa anak-anak perempuan yang lagi latihan dance gitu waktu istirahat. Terus pas gue ketemu sama salah satu temen gue di sana, dia bilang, kalo kelas 1-3 bakalan nampilin dua performance. Ambisius sih katanya. Cuma emang sengaja jaga-jaga kalo ngedance dito
Matari tampak ternganga melihat truk-truk berukuran sedang terparkir rapi di depan sekolahnya. Sandra tertawa ngakak. Tampaknya Matari benar-benar tak percaya jika mereka semua harus naik truk menuju ke barak pelatihan TNI.“Kenapa lo?” tanya Sandra penasaran.“Kita semua naek itu beneran, San?” tanya Matari.“Emang lo kaga baca pengumuman baek-baek apa? Kan emang naik truk! Bahkan guru juga naik truk kok!” sahut Sandra kesal.“Bukannya gitu, kalau hujan gimana?” tanya Matari.Sandra mengangkat bahu. “Malah asyik tahu!”“Asyik palalu! Kalo belum-belum kita malah udah sakit duluan, gimana bisa bertahan selama 2 hari kemah?” timpal Matari.“Heeeei, kembar! Lagi ngobrolin apa sih?” tanya Dinda yang tiba-tiba muncul.“Kembar gimana? Badan dia aja bongsor begini?” keluh Sandra tak terima sambil menunjuk Matari.“Hahahaha. Ngg
Barak yang dijadikan tempat berkemah tanpa kemah kali ini, bekerjasama dengan para TNI yang memiliki tempat itu. Meskipun sudah tua dan peninggalan bekas zaman Belanda, deretan barak-barak itu tampak berdiri kokoh dan bersih tanpa cela dari luar.Hamparan lapangan yang luas untuk berbagai jenis kegiatan tersebar di berbagai sudut. Ada lapangan basket, ada lapangan voli, lapangan tenis dan juga lapangan dengan bulatan kecil di tengahnya untuk menyalakan api unggun.Para ketua regu mendapatkan selebaran berisi peraturan dan peta lokasi selama di sana. Termasuk larangan-larangan untuk menjelajah daerah yang dilarang. Daerah yang dilarang sudah ditandai dengan selotip kuning berbentuk huruf X.Menurut info, daerah tersebut banyak yang kondisi bangunannya sudah lapuk dan tidak aman untuk dipakai siapapun. Selain itu, ada beberapa daerah yang masih diapakai untuk kegiatan TNI, sehingga para siswa tidak boleh menganggu kegiatan mereka sama sekali dengan masuk ke daerah
“Mandi nggak?” tanya Dinda pada Ayla di sore harinya setelah mereka acara pembekalan pramuka selama 2 jam dari jam 2 siang.Saat itu sudah pukul 4 lewat. Barak mulai perlahan ditinggalkan para siswi untuk menjalani ishoma yang kedua hari ini. Banyak yang mengambil alat mandi dan handuk kemudian langsung pergi bersama-sama menuju toilet dan kamar mandi. Hari sebentar lagi gelap.Ayla menggeleng. “Gue mau cuci tangan, cuci muka, kaki aja. Dingin banget.”“Sama sih. Lo gimana, Ri?” tanya Dinda.“Kayanya gue juga. Tapi gue nungguin Sandra. Dia mau barengan. Kalian kalau mau duluan, duluan aja, nanti gue nyusul,” jawab Matari.“Inget ya, Saaay, jangan bengong dan pergi sendiri. Kalau Sandra nggak dateng-dateng, nanti tunggu gue balik, nanti gue anterin lagi. Oke?” timpal Dinda tegas.Matari mengangguk. Sepeninggal Ayla dan Dinda, dia baru menyadari, Barak 2, tempatnya tinggal, hanya ters
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”