Barak yang dijadikan tempat berkemah tanpa kemah kali ini, bekerjasama dengan para TNI yang memiliki tempat itu. Meskipun sudah tua dan peninggalan bekas zaman Belanda, deretan barak-barak itu tampak berdiri kokoh dan bersih tanpa cela dari luar.
Hamparan lapangan yang luas untuk berbagai jenis kegiatan tersebar di berbagai sudut. Ada lapangan basket, ada lapangan voli, lapangan tenis dan juga lapangan dengan bulatan kecil di tengahnya untuk menyalakan api unggun.
Para ketua regu mendapatkan selebaran berisi peraturan dan peta lokasi selama di sana. Termasuk larangan-larangan untuk menjelajah daerah yang dilarang. Daerah yang dilarang sudah ditandai dengan selotip kuning berbentuk huruf X.
Menurut info, daerah tersebut banyak yang kondisi bangunannya sudah lapuk dan tidak aman untuk dipakai siapapun. Selain itu, ada beberapa daerah yang masih diapakai untuk kegiatan TNI, sehingga para siswa tidak boleh menganggu kegiatan mereka sama sekali dengan masuk ke daerah
“Mandi nggak?” tanya Dinda pada Ayla di sore harinya setelah mereka acara pembekalan pramuka selama 2 jam dari jam 2 siang.Saat itu sudah pukul 4 lewat. Barak mulai perlahan ditinggalkan para siswi untuk menjalani ishoma yang kedua hari ini. Banyak yang mengambil alat mandi dan handuk kemudian langsung pergi bersama-sama menuju toilet dan kamar mandi. Hari sebentar lagi gelap.Ayla menggeleng. “Gue mau cuci tangan, cuci muka, kaki aja. Dingin banget.”“Sama sih. Lo gimana, Ri?” tanya Dinda.“Kayanya gue juga. Tapi gue nungguin Sandra. Dia mau barengan. Kalian kalau mau duluan, duluan aja, nanti gue nyusul,” jawab Matari.“Inget ya, Saaay, jangan bengong dan pergi sendiri. Kalau Sandra nggak dateng-dateng, nanti tunggu gue balik, nanti gue anterin lagi. Oke?” timpal Dinda tegas.Matari mengangguk. Sepeninggal Ayla dan Dinda, dia baru menyadari, Barak 2, tempatnya tinggal, hanya ters
“Oke adik-adik. Pembekalan sudah selesai malam ini. Sekarang pukul 8 lewat 20 menit. Sampai jam 10 malam, akan jadi jam bebas kalian. Ingat ya, nggak boleh keluar area ini. Selain itu, tidak boleh melakukan kegiatan terlarang yang sudah disebutkan oleh kami semua berulang-ulang. Jika ada yang ketahuan, sangsinya akan berat dan akan langsung dipulangkan saat itu juga,” kata Kak Husain, selaku ketua panitia. “Dan khusus untuk yang akan pentas besok malam, boleh tinggal untuk berdiskusi, latihan atau sekedar mematangkan pementasan. Mohon dicek lagi, berapa lama penampilannya, karena lebih dari 15 menit akan langsung di cut. Mengerti?”“Mengerti Kaaaak!”“Oke. Boleh bubar. Harap tidak menimbulkan suara gaduh ya. Hati-hati dan selamat malam. Wassalamualaikum!”Seluruh peserta langsung berdiri dan beranjak meninggalkan ruang serba guna barak yang malam itu dijadikan tempat pembekalan. Matari dan Ayla secara otomatis tak
Sesuai prediksi Sandra, kakak senior perempuan mulai membangunkan barak-barak murid perempuan dengan suara lantang. Matari yang agak merasa kecewa karena tidak bisa melanjutkan tidur nyenyaknya sambil melirik jam tangan yang melingkar di tangannya.Saat itu pukul 2 dini hari. Tidak ada satupun peserta yang boleh membawa handphone sejak awal, sehingga hampir semuanya tak bisa memasang alarm sesuai dengan isu jurit malam yang telah beredar.Matari menyadari, hampir seluruh teman-temannya masih dalam keadaan setengah sadar. Udara malam begitu menusuk, para kakak senior membolehkan peserta memakai jaket sebagai luaran dan tidak lupa mengingatkan untuk tetap memakai atribut secara lengkap karena akan diperiksa satu per satu.“Senternya, Ri,” kata Ayla menyerahkan senter Matari yang berada di dekatnya.“Oh, iya, thank you, hampir lupa!” sahut Matari dengan suara parau.Ayla segera merapikan seluruh atributnya, mengecek satu per sa
Matari memasuki pos ke 5 ketika dilihatnya regu Davi masih tertahan di situ. Padahal regu Davi termasuk awal mendapat giliran karena mereka ada di kelas 1-10. Dia melempar senyum pada Pito yang masih menyelesaikan semacam puzzle atau entah apa. Davi tampak serius membantu menyelesaikan tugas. Dia bahkan tak menyadari bahwa regu Matari yang berbarengan di pos yang sama. “Mau nunggu atau gimana, Far?” tanya Ayla, suaranya membuat Davi menoleh. “Eh, elo, La. Bentar ya, regu gue masih kesusahan,” jawab Davi pada Ayla. Matari sedikit merasa kesal karena Davi bahkan tak menyadari kehadirannya. Dia hanya peduli pada Ayla. Matari hanya bisa diam sambil menunggu instruksi Farah yang sedang mendekati kakak senior penjaga pos 5. Farah kembali dengan muka sumringah. “Kita bisa langsung ngerjain tugas, nggak usah nunggu atau skip, kelamaan nanti kata mereka. Ini aja udah jam setengah empat,” kata Farah sambil menyerahkan 4 potongan puzzle ke regunya. “Oke,
“Gimana, mau ikut nggak? Gue bawa obat maag dia, biskuit, selimut, nih!” kata Dinda mengajak Matari untuk ke barak Kesehatan menyerahkan keperluan Ayla sesuai dengan catatan kecil yang dititipkan kakak senior mereka ke Farah. “Boleh deh, yuk!” kata Matari. “Din, udah ditemenin Matari kan? Gue nggak ikut ya, perut gue mules banget, mau pup. Mumpung ada barengannya nih si Santi!” kata Farah. “Oke, nggak papa, Far. Kita ke barak Kesehatan dulu ya. Jam bebas sampai jam 8 pagi kan ya?” timpal Dinda sambil memperhatikan jam di tangannya yang menunjukkan pukul 5 kurang seperempat. “Iya. Kalian buruan balik aja, terus bersih-bersih, siap-siap pakai baju olahraga, jam 8 nanti olahraga pagi dulu trus sarapan sama-sama di lapangan,” ujar Farah kemudian menghilang dari balik pintu barak. Matari dan Dinda bergegas menuju barak Kesehatan. Barak Kesehatan sebenarnya bagian dari ruang serbaguna, namun tersekat oleh dinding tebal yang membuatnya dijadikan seba
Desa pinggiran Kabupaten Bogor yang ditunjuk bekerja sama dengan pihak sekolah tampak ramah kepada seluruh peserta pramuka. Peserta telah dibagi-bagi di setiap sudut tempat untuk membersihkan selokan, tempat sampah hingga memilah-milih barang bekas.Beberapa regu bahkan semangat membawa kayu-kayu dan benda-benda bekas lainnya ke tempat yang sudah disediakan oleh lurah setempat.“Permen?” tanya Arai yang tiba-tiba muncul di dekat Matari.“Eh elo, Rai. Boleh deh, thank you ya!” sahut Matari sambil mengambil permen mint Arai yang tampaknya selalu penuh dan tak habis-habis itu. “Sendirian aja?”“Enggak, lagi nemenin Choki ke toilet balai desa situ,” sahut Arai.“Ciyeee Arai, semangat banget kayaknya?” ledek Ayla yang ikut datang mendekat.“Eh, berisik lo! Udah sembuh?” tanya Arai.“Udah lumayan kok. Justru gue sengaja ikut biar kena sinar matahari dan keringetan
Setelah jam makan malam, jadwal ibadah dan jam bebas lainnya, seluruh peserta diharuskan berkumpul di lapangan. Barak-barak dikunci dan kayu-kayu telah siap ditumpuk dalam bentuk yang sistematis di tengah-tengah lapangan.Saat itu pukul 7 malam. Seluruh peserta melingkar menyanyikan lagu himne pramuka, menyebutkan janji pramuka hingga dasa dharma pramuka. Setelah itu, pertunjukkan penyalaan api unggun dilakukan oleh kakak senior kelas 2 yang ditunjuk.Matari baru menyadari bahwa penyalaan api unggun saja semenarik itu. Sandra pernah memberitahunya dulu, meski dia tak terlalu mendengarkannya. Namun ternyata, pertunjukkan itu memang benar-benar menarik. Para kakak senior berlari kecil mengelilingi lapangan sambil membawa obor kecil, menyebutkan dasa dharma pramuka satu per satu dan meletakkannya di dalam tumpukkan kayu di tengah-tengah.Setelah semuanya meletakkan obor mereka, api unggun serta merta membesar. Cahaya menyala-nyala indah dan menimbulkan hawa hangat
Dari tempatnya duduk, Arai bisa melihat Matari berjalan perlahan mengikuti Praja, Beno dan Hafis menuju tempat perform. Tempat perform itu tak lebih dari panggung mini yang dibuat dari palet-palet kayu yang ditata sedemikian rupa membentuk persegi panjang dan ditutupi kain terpal di atasnya.Seluruh peserta yang menampilkan performance harus tampil di sana, terkecuali untuk penampilan dancer kelas Matari yang diperbolehkan menari di dekat api unggun, karena tidak mungkin berjingkrak-jingkrak di atas palet kayu bekas.Arai bertatapan dengan Ayla, yang memberikan isyarat pada dirinya untuk mendengarkan dengan baik-baik. Setahu Arai, Ayla tak punya suara yang bagus. Tapi entah kenapa dia ikut menampilkan sesuatu di sana.Mungkin, Ayla ingin mendapatkan perhatian Anton kembali. Mungkin juga sebagai bentuk menunjukkan eksistensinya sendiri. Arai dengar dari Bang Ali, Ayla cukup narsis dan percaya diri jika itu menyangkut tentang dirinya. Mungkin pengaruh dari d
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”