Terik di luar mungkin membuat sebagian besar orang malas sekedar pergi keluar rumah, memilih untuk bergumul di dalam kamar, menyalakan kipas atau AC dan menunggu sampai waktu berbuka tiba dengan kegiatan di dalam ruangan. Pandu menyenderkan badannya seraya menatap pemandangan kota dari jendela bus, di sampingnya terlihat Meita yang terus-terusan menatapnya khawatir.
"Pan, kamu yakin kamu engga apa-apa? Mukamu makin pucat, lho. Kita balik aja, ya?"
"Nanggung. Udah setengah jalan, lagian aku males di rumah meski engga enak badan gini, mending keluar mumpung ada yang ngajak."
"Lagi debat sama abang?"
Pandu mengangguk, kembali menatap galau ke arah luar tanpa minat lebih menikmati waktu jalan-jalannya.
"Debat soal apa memang?"
Pandu ragu melanjutkan, kalau dia katakan Meita pasti akan sedih, mengingat gadis itu sangat menaruh hati dengan abangnya yang menjengkelkan itu.
"Kok engga jawab? Ada apa, sih? Kamu engga biasanya gini."
"Kali ini masalah luar biasa, aku engga bisa cerita ke kamu. Kalau udah sampe di mall bangunin, ya."
Meita mendecak, menatap Pandu yang tertidur pulas karena sepertinya pemuda itu memang kurang tidur, kantung mata yang menebal, dan mata yang sedikit memerah. Apa dia juga habis menangis semalaman?
Meita tak lagi mengganggu Pandu, gadis itu dengan perlahan melepas jaket denimnya dan menyelimutkan ke badan Pandu seraya tersenyum. Beberapa menit berlalu, bus yang mereka tumpangi pun tiba di Jogja Plaza. Pandu menuruni bus bersamaan dengan Meita, sesekali pemuda itu menguap.
"Kamu engga bosen aku tinggal tidur? Biasanya marah."
"Engga, kayaknya emang masalah yang lagi kamu pikirin lebih berat dari biasanya."
Meita meraih jaketnya yang tersampir di pundak Pandu menatap sekilas temannya itu, pergerakan Meita selanjutnya cukup membuat Pandu terkejut. Sama seperti ia yang biasanya tidak pendiam, hari ini Meita juga terlihat lebih perhatian dengan Pandu. Pandu mengerjapkan mata beberapa kali ketika Meita masih dengan senyum manisnya mengusap kepala Pandu lembut.
"Aku engga akan tanya apa masalahmu sampai kamu siap cerita. Yuk, bantu aku cari buku, ya."
"Iya.."
Pandu mengekor di belakang Meita, tangannya perlahan ia letakkan di dada seraya menatap punggung Meita di depannya. Pemuda itu menggeleng sekilas tanpa sadar.
'Aku ini kenapa, sih? Engga, Meita itu sahabatku.'
Pandu buru-buru kembali menyusul Meita, suasana Mall masih lumayan padat, beberapa orang nampak sibuk dengan kegiatan masing-masing mereka, ada yang berbelanja, sekedar cuci mata, dan membeli makanan untuk di makan atau sekedar di bawa pulang. Akhirnya, mereka pun sampai di toko buku yang Meita maksudkan. Meita yang sejak dulu merupakan penggemar berat novel segera menghambur ke arah rak novel yang berderet. Pandu tersenyum dan masih saja mengekor di belakang gadis itu dengan setia.
"Nah, ketemu! Tahu, engga, Pan? Baca buku begini pas lagi sedih juga bisa terhibur, lho! Kamu suka komik, juga kan? Pasti seketika lupa sama masalahmu."
"Iya, tapi sayang bulan ini update-nya telat, paling baru mulai awal bulan menuju lebaran aku beli koleksiku."
Meita tersenyum, tanpa menunggu persetujuan temannya itu, Meita menyeret Pandu ke arah etalase aksesoris yang juga ada di dalam toko buku itu, gadis itu lalu mengambil dua gantungan kunci berpasangan, memperlihatkannya pada Pandu.
"Aku ingin beli ini juga, karena kali ini kamu kelihatan bersedih. Aku mau kamu senyum lagi, jangan bilang kak Jay ya kalau aku engga beliin dia."
Meita terkekeh pelan, gadis itu lalu berjalan mendahului Pandu ke arah meja kasir. Lagi-lagi pemuda itu menghela napas, entah harus bagaimana dia menceritakan ini ke Meita, atau memang ia simpan sendiri saja masalahnya?
Pagi ini sebelum berangkat, situasi rumah sudah baik-baik saja. Papa dan mamanya memutuskan mengembalikan semua keputusan pada Jay, abangnya. Akan tetapi, sepertinya apa yang berusaha ia sampaikan, dan orang tuanya sampaikan sedikit banyak berpengaruh pada Jay yang tak lagi hanya menilai dari satu sisi. Kalau mengingatnya, Pandu jadi kembali bersedih, ia lupa kapan terakhir bertengkar sehebat ini dengan kembarannya, karena biasanya perdebatan kecil saja yang menghiasi hari-hari mereka, namun kali ini mereka bertengkar karena selisih pendapat soal perempuan.
"Pandu? Aku titip ini bentar engga apa, kan? Tiba-tiba kebelet pipis, duh!"
Pandu tertawa ringan, mengangguk seraya menerima satu bungkusan paper bag milik Meita dan berpesan sebelum gadis itu pergi ke toilet.
"Jangan lama-lama. Waktu berbuka udah mulai deket, Mei."
"Iya, tunggu ya!"
+++
"Kamu engga perlu nahan makan demi aku, lho. Yang puasa aku, kan?"
Gisel hanya tersenyum menanggapi ucapan Jay, hari ini mereka berdua baru saja selesai latihan di luar jam sekolah karena hari menuju olimpiade semakin dekat, dan ini yang sebenarnya Gisel takutkan. Gisel memiliki kebiasaan buruk ketika harus tampil di depan orang banyak, keputusannya mengambil langkah mengikuti olimpiade adalah keinginannya yang menginginkan dirinya sendiri bisa mengalahkan rasa traumatis dan minder. Sore hari ini, Gisel yang biasanya lebih suka tempat yang tenang justru mengajak anggota tim olimpiade termasuk Jay untuk ngabuburit di Mall sekalian buka bersama.
"Kamu engga apa-apa, Sel? Pucat lho."
Gisel terdiam saat tangan teduh Jay menyentuh keningnya. Ajaibnya, setiap Jay berada di sekitarnya, kecemasan yang ia miliki perlahan-lahan hilang, rasa panik yang biasa menyerangnya tiba-tiba pun tak ada, hanya dominan rasa aman, dan satu yang membuatnya yakin adalah detak jantungnya yang berdenyut secara tak normal. Gisel mengakuinya, ia mengakui telah menyukai pemuda ini sejak mereka bertemu, dan perlahan-lahan keegoisan untuk selalu bertemu di setiap kesempatan selalu Gisel usahakan, dalam kondisi apapun.
Gisel menggeleng, menyingkirkan tangan Jay dari keningnya perlahan. Ia kembali tersenyum.
"Kamu tunggu di sini sama temen-temen, Jay. Aku perlu ke toilet, ya?"
"Kamu yakin sendirian engga apa-apa? Ada Indri yang bisa kuminta nemenin kamu."
"Engga usah, aku bilang jangan perlakukan aku terlalu spesial, takutnya jadi salah paham. Udah tunggu sini aja."
Gisel berjalan cepat meninggalkan Jay yang masih menatapnya cemas, untung saja jarak toilet dengan foodcourt tempat mereka nongkrong tidak terlalu jauh, hal itu membantu Gisel untuk tidak semakin merasa sesak karena kondisi tempat ramai seperti ini yang tiba-tiba sering membuatnya kekurangan ruang bernapas. Gisel membasuh perlahan tangannya begitu tiba di depan wastafel, merapikan tatanan rambutnya seraya mengambil beberapa obat di dalam botol yang tak pernah ia tinggalkan.
"Aku harus tenang, aku engga boleh panik sekarang."
Gisel beberapa kali membuang napas, setelah di rasa tenang, gadis itu kembali memasukkan obat ke dalam sakunya seraya membereskan tas kecilnya. Ia baru saja berbalik untuk keluar dari toilet namun segera tertahan saat tiba-tiba saja ia menabrak seorang gadis yang mungkin seusianya, barang bawaan yang gadis itu bawa ke dalam sebuah tas seketika berhamburan, tak terkecuali sebuah lip-cream merah yang seketika itu pecah dan tumpah di lantai.
"Astaga, maaf aku engga lihat kamu, kamu engga apa-apa?"
Gisel masih mematung, menatap tumpahan lip cream di lantai itu tanpa menggubris pertanyaan gadis di depannya. Secara mendadak rasa sesak di dalam dada beserta pusing melanda kepalanya, gadis itu menjerit seraya mencengkram kepalanya erat-erat membuat orang-orang di sekitar tempat itu berdatangan.
"Meita! Kamu engga apa-apa? Lho? Gisel? Kamu kenapa?"
"Mama jangan tinggalkan aku! Mama!"
"Gisel!"
Jay yang berjalan dari arah yang berbeda segera menyusul keramaian itu, mendesak orang-orang untuk menyingkir dan membopong gadis itu dalam gendongannya. Tolong jangan sekarang, pikir Jay kalang kabut.
"Abang? Abang sama Gisel kesini?"
"Kak Jay..."
"Nanti aja kita ngobrolnya, aku ke rumah sakit sebentar."
"Aku ikut bang, Meita kamu ikut juga, ayo!"
"Eh, tapi Pan-"
"Udah, ayo. Beli buat buka puasanya di jalan aja."
+++
Tak ada ucapan ataupun obrolan yang mengiringi perjalanan pulang Pandu dan Meita menuju ke rumah. Setelah berhasil membawa Gisel ke rumah sakit dan menghubungi keluarga Gisel, banyak sekali kejadian yang mengangetkan Pandu, mulai dari fakta bahwa kenalannya si Al-Jaelani yang merupakan kakak Gisel, dan penyakit yang di derita gadis itu. Secara jelas pula, Jay menceritakan apa yang ia rasakan dari sudut pandangnya. Bukan ia tak mengerti kebaikan Pandu ataupun papa mamanya, ia sangat mengerti apa yang keluarganya khawatirkan. Namun pemuda itu berusaha menyingkirkan sudut pandang itu, karena ia merasa Gisel membutuhkannya, dan Jay tak bisa meninggalkannya begitu saja.
"Maaf, Mei."
Meita masih belum bersuara, bahkan saat mereka tiba di depan rumah gadis itu. Gadis itu berbalik, menatap lama ke arah Pandu yang nampak sekali merasa bersalah.
"Kamu tahu? Aku tidak marah soal Jay yang lebih memilih gadis lain ketimbang aku."
Gadis itu tertawa sekilas, mengusap kasar air mata yang seenaknya lolos dari matanya. Pandu berusaha menyeka namun begitu cepat pula Meita menepis tangan pemuda itu.
"Aku lebih sedih karena kamu orang yang kuanggap paling dekat tak mau jujur padaku."
"Aku juga baru tahu sekarang soal Gisel yang-"
"Tapi, kenapa kamu enggan berbagi denganku? Aku ini... Kita masih temenan, kan?"
"Mei-"
Meita mengangkat tangannya, ia tidak mau munafik, dia memang merasa terkhianati dengan sikap Pandu yang tak mau jujur, dan Jay yang memilih gadis lain daripada dirinya yang sudah sekian lama menaruh hati pada pemuda itu.
"Kamu pulanglah, waktu sholat teraweh sudah semakin dekat. Jangan lupa makan."
Meita meninggalkan Pandu yang masih setia mematung di depan pintu pagarnya. Saat gadis itu masuk, saat itu pula ia menemukan papanya, Jordi yang baru saja selesai tadarus.
"Lho? Ada apa, ini? Anak gadis papa kok sedih?"
Meita tak menjawab pertanyaan ayah tirinya, memilih memeluk seerat-eratnya sembari menumpahkan kesedihannya. Entahlah, bukan Meita tak mengerti maksud Pandu. Pemuda itu pasti tidak mau jujur karena tidak mau menyakiti hatinya, Pandu tahu kalau Meita tahu Jay menaruh hati ke gadis lain, ia pasti akan sedih. Lalu, kenapa? Kenapa Meita merasa sedih dan juga merasa bersalah ke Pandu? Mengapa dia marah setelah Pandu melakukan hal sejauh ini demi dia?
"Oke, papa engga akan tanya kamu kenapa, hari ini kita teraweh di rumah aja, ya? Papa imamin.."
"Makasih, papa.."
-to be continue
Malam tadarus Meita berakhir dengan baik di rumah bersama papanya. Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam video call bersama mamanya setelah teraweh, Meita memutuskan turun menyusul papanya yang masih setia menonton siaran ulang sepak bola sebelum jam tidurnya tiba. Jordi menatap putrinya heran, Meita memang tipikal gadis tomboy tapi biasanya dia malas dan cenderung tidak suka menonton sepak bola."Pah, Mei mau tanya deh?""Hm? Tanya apa, nak?""Apa di sekolah ada semacam OSN atau olimpiade saat ini? Aku bisa ikutan, kan? Papa kepsek pasti bisa mengusahakan."Jordi mematikan televisi di depannya, menatap serius ke putrinya, baru setelahnya menghela napas pelan."Apa ada kaitannya
Hari ini, Pandu memutuskan untuk tidak berangkat sekolah dulu karena demam yang belum sepenuhnya turun. Padahal saat ini sedang banyak-banyaknya latihan ujian. Pandu menghela napas, kembali menutup buku pelajarannya dan merebahkan badannya di atas ranjang, percuma belajar dalam kondisi badan kurang fit begini semua pelajaran tidak mampu dia cerna dengan baik.Pandu kemudian meraih sebuah gantungan kunci di meja kecil samping tempat tidurnya. Gantungan kunci pemberian Meita, entah kenapa dia jadi rindu dengan teman baiknya itu? Sedang apa dia? Apa dia masih marah denganku? Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Pandu, tapi satu yang masih membuatnya berpikir. Tentang dia sendiri yang berusaha keras menyimpan kejadian dimana Jay menyukai Gisel dari Meita, bahkan Jay sendiri menanyakan ini padanya langsung, mengapa Pandu melakukannya?
Tuhan tahu, tapi menunggu, kalau kata pepatah mengatakan demikian, begitu pula dengan yang tengah si kembar alami saat ini. Pandu dan Jay beserta keluarga akhirnya bisa terbebas dari suara bising perkotaan Jakarta. Keluarganya memutuskan untuk pindah ke Kota Yogyakarta, tempat di mana sang ayah dipindahtugaskan sekarang. Pandu menatapi setiap gedung, jalanan, dan ruko tua yang mereka lewati. Meski terbilang masuk kota, suasana hijau dan asri lebih terasa ketimbang saat ia beserta keluarga masih di Jakarta.Pandu balik mengalihkan pandangan ke arah kembarannya. Jay yang lebih kalem dan tua darinya tiga menit itu sedang sibuk membaca buku komik marvelnya. Ah, meski kembar kesukaan mereka berbeda, Jay lebih suka marvel sedang dia lebih suka DC. Jay orangnya pendiam, tidak seperti dirinya yang lumayan bawel dan luwes dengan orang baru. Menjadi kembar tidak serta merta membuatmu sama persis satu sama lainnya."Pan, kamu masih debat juga sama Abangmu?"Pandu mendecak.
"Kenalin, aku Meita Putri Sholehah. Namamu siapa?""Pandu. Namaku Gandhi Pandu Jayasthu, terus ini abangku namanya Gandhi Putra Jayasthu.""Abangmu ganteng, kok kamu enggak?"Begitulah awal mula pertemanan Pandu dengan Meita. Disebut akur, tidak juga, mereka bermusuhan pun, tidak juga. Satu yang membuat Pandu yakin bahwa Meita adalah sahabat satu-satunya yang tulus karena Meita tak pernah memandang segala sesuatu dari materi dan selalu berusaha setia kawan dalam segala situasi sulit sekali pun."Lho? Kamu kok enggak pulang, Pan?""Mamaku lagi jagain Abang yang sakit, aku lupa bawa payung jadi berteduh dulu.""Sini, deh. Aku anterin, payungku gede buat badan kita yang kecil pasti muat.""Iya, deh. Kamu cewek kok bar-bar, sih?""Hah? Bar-bar itu apaan? Makanan?""Bukan
Hujan yang masih setia berjatuhan tak pelak menahan langkah Meita untuk nekad pulang dan membasahi badannya di bawah air langit itu. Hari ini adalah awal ramadan dimulai dan semenjak kejadian itu, Meita semakin enggan menyapa ayah tirinya, meski lelaki itu berusaha susah payah untuk meluluhkan hatinya.Meita tentu tidak asing dengan Jordi. Jordi adalah teman lama almarhum ayahnya, salah satu investor yang turut andil dalam pembangunan SMA Lazuardi Bangsa. Jordi juga bukan lelaki pembual, kasar atau pun memiliki perangai buruk. Yang Meita tahu, almarhum ayahnya sangat dekat dengan dia. Dan entah takdir seperti apa, dua tahun setelah kematian sang ayah, ibunya memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu, yang menyebabkan Jordi menjadi ayah tirinya.Ini bukan salah siapa pun, Meita sendiri tidak mau terlalu memusingkan urusan orang tua yang kadang justru dia dianggap hanya mengganggu setiap ia berusaha memberi masukan dan orang yang paling melakukan perlawanan itu adalah
Safaira menghela napas, menatap tumpukan dokumen yang rasanya belum berkurang dari minggu lalu, dia juga baru ingat pagi belum sempat pergi ke supermarket untuk membeli keperluan bahan makanan. Wanita yang akrabnya dipanggil Nyonya Gandhi itu mematikan komputer di depannya, tersenyum seraya mengambil sebuah pigura foto di mana ada dirinya dan suami yang menggendong si kembar semasa bayi.Perjuangannya menjadi seorang ibu tidak mudah. Jauh sebelum menikmati apa yang mereka dapatkan saat ini, Gandhi dan Safaira bekerja sangat keras, selalu berusaha menyeimbangkan. Cobaan itu perlahan mendorong mereka tumbuh menjadi orang tua yang kuat dan berdedikasi. Sebelum mengandung si kembar, Safa sempat keguguran akibat kelelahan. Tuntutan perekonomian mereka saat itu harus disokong berdua, Safa berusaha keras untuk kembali bisa mengandung, hingga lahirlah dua pangeran kebanggaan mereka, Gandhi Putra Jayasthu dan Gandhi Pandu Jayasthu."Nyonya, belum pulang? Sudah makin sore, lho."
Gisel perlahan turun dari ranjang dan duduk di depan meja belajarnya, meraih sebuah tasbih yang sebenarnya bukan miliknya, kemudian ia mengambil rosario yang tergeletak tak jauh dari lampu belajar miliknya. Lama ia menatap kedua benda itu, secara perlahan pula otaknya kembali memutar kejadian tadi sore."Sekali lagi, maaf dan terima kasih banyak, berkatmu ketertinggalanku lumayan terkejar. Jadi kita lebih siap saat olimpiade besok." Gisel tersenyum tulus ke arah Jay yang saat ini sama-sama belum pulang. Gadis itu kemudian berjalan mendekat ke arah Jay yang tampak terkejut, membuatnya heran."Ada perlu apa lagi?""Tidak ada, aku cuman bingung kenapa kamu kelihatan tidak nyaman berada di sekitarku?"Jay lama menatapnya, matanya kemudian bergulir ke sana ke mari dengan gumaman abstrak yang Gisel tak mengerti apa yang pemuda itu katakan."Kamu en
Tak terasa ramadhan sudah mencapai di hari ketujuh. Seusai sholat terawih bersama papa dan abangnya, Pandu memutuskan untuk mampir sebentar ke warung untuk membeli jajanan kesukaannya. Setelah sebelumnya berpamitan dengan abang maupun papanya, pemuda itu berlari ke warung milik salah satu warga yang sudah hapal, namanya mbok Jum."Assalamualaikum, mbok! Mau jajan es susu Moli dong! Air nya dikit aja, susu Molinya dua bungkus, ya!""Waalaikum salamcah bagus, jajanannya susu Moli gimana engga tinggi kamu, nih. Siap-siap, duduk dulu, mbok buatkan sebentar, ya!""Siap, mbok!"Pandu mendudukkan dirinya di sebuah tikar yang biasa di gelar oleh Mbok Jum untuk anak-anak muda yang sekedar nongkrong sebentar untukngopi