Tuhan tahu, tapi menunggu, kalau kata pepatah mengatakan demikian, begitu pula dengan yang tengah si kembar alami saat ini. Pandu dan Jay beserta keluarga akhirnya bisa terbebas dari suara bising perkotaan Jakarta. Keluarganya memutuskan untuk pindah ke Kota Yogyakarta, tempat di mana sang ayah dipindahtugaskan sekarang. Pandu menatapi setiap gedung, jalanan, dan ruko tua yang mereka lewati. Meski terbilang masuk kota, suasana hijau dan asri lebih terasa ketimbang saat ia beserta keluarga masih di Jakarta.
Pandu balik mengalihkan pandangan ke arah kembarannya. Jay yang lebih kalem dan tua darinya tiga menit itu sedang sibuk membaca buku komik marvelnya. Ah, meski kembar kesukaan mereka berbeda, Jay lebih suka marvel sedang dia lebih suka DC. Jay orangnya pendiam, tidak seperti dirinya yang lumayan bawel dan luwes dengan orang baru. Menjadi kembar tidak serta merta membuatmu sama persis satu sama lainnya.
"Pan, kamu masih debat juga sama Abangmu?"
Pandu mendecak. "Abang ngadu ke Papa sama Mama, ya? Ngaduan amat sih, padahal masalah kita cuma masalah sepele."
"Enggak ngadu, kalian debat kedengaran dari luar kamar. Kenapa emangnya? Jay enggak suka pindah ke sini?"
"Bukan itu ... " Pandu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, malu mengakui masalah yang sedang mereka hadapi.
"Ya sudah gini, kalian harus segera rukun, ya! Atau Papa adukan masalah ini ke Mama kalian, Mama belum tau soalnya,” pinta Ghandi kemudian kembali melanjutkan kegiatannya berbenah barang.
Pandu sendiri kembali mengangkat kardus dari bagasi mobil yang ia tumpangi, sesekali ia menoleh ke arah Jay yang masih sibuk mengemasi kardus juga tanpa banyak bicara. Pandu mulai memasuki rumah baru mereka. Kata mamanya, kamar Pandu berada di lantai dua bersebelahan dengan Jay juga ruang belajar mereka. "Aduh. Sial ... "
"Kurangi tuh ngomong kasar, mau puasa juga."
Pandu terkesiap, menatap ke arah abangnya yang masih belum menatapnya namun malah sibuk membantu mengeluarkan barang-barang Pandu dari dalam kardus. Dengan telaten pula, Jay mulai mengemas baju adiknya ke dalam lemari. "Bang, sorry ya ... "
"Sorry soal apaan?"
"Iya soal tadi pas mau berangkat, andai tau lebih awal kalau itu sempak unlimited dari produk marvel juga enggak akan kupinjam."
Sempak? Iya benar, masalah mereka adalah rebutan sempak. Berawal dari Pandu yang menyadari kalau dia out of stock celana dalam karena cuaca hujan, dia pun meminjam milik abangnya tanpa bilang dengan asumsi Jay akan mengerti. Ia tak tahu kalau rupanya sempak yang ia ambil dari lemari dan terbungkus rapi di dalam dus mika itu merupakan edisi khusus celana dalam sport keluaran marvel.
Jay menghela napas, dia memang kesal karena benda yang ia sebut pusaka pentingnya malah duluan dipakai Pandu. "Sudahlah enggak masalah, aku juga salah udah naruh sembarangan.” Jay kemudian tersenyum dan meraih dua gelas kolak yang tadi sudah disiapkan Mama.
Pandu menyengir, mau bagaimanapun hatinya terasa lega karena akhirnya ia kembali rukun dengan abangnya. Kegiatan mereka berlanjut hingga tak terasa sore menuju maghrib menjemput.
Sehabis sholat, Pandu, Jay beserta Papa mendatangi rumah Pak RT untuk mengurus berkas kepindahan mereka, namanya Pak Yutardi. Orangnya ramah, salah satu pesohor terkenal di kampung karena cita rasa satai yang ia dagangkan di sekitar alun-alun. "Wah, anaknya kembar, to? Mana ganteng-ganteng, bisalah kita besanan," gurau Pak Yutardi.
"Hahaha, Bapak bisa aja. Iya, mereka masih SMA kelas 3, Pak. Makanya saya mau lengkapi berkas kepindahan di kampung, soalnya besok mau urus kepindahan anak-anak di sekolah baru."
"Sudah dapat sekolahan belum? Kebetulan sepupu saya ada jadi kepsek, di sana anaknya juga sekolah, seorang hafidz Quran juga. Siapa tau bisa jadi temannya adik-adik ganteng ini."
"Iyakah? Bapak ada brosurnya?"
"Ada. Sebentar saya cek dulu di dalam, sambil diminum tehnya, ya! Jangan sungkan sama saya."
Pak Yutardi pun masuk. Jay dan Pandu saling berpandangan, seolah mengerti maksud si adik, Jay pun berkata, "Pa, kalau sekolahnya pondok, aku sama Pandu enggak deh, Pandu paling enggak bisa pisah sama mama."
"Iya, Papa tau. Cuman ditawarin masa langsung ditolak? Siapa tau bukan pondok, kan?" Tak lama berselang, Pak Yutardi kembali dengan brosur sekolah di tangannya. Ternyata benar, sekolah yang Pak Yutardi tawarkan bukan sekolah pondok. Dari apa yang dijabarkan di dalam brosur, sekolahnya terlihat bonafit.
'SMA Lazuardi Bangsa? Kok kayaknya enggak asing, ya? Aku pernah dengar tapi di mana?' batin Pandu.
+++
Seperti kebiasaan Pandu dan Jay, setelah subuh mereka tidak serta merta balik tidur. Alih-alih kembali tidur, duo kembar sehati itu memilih jalan-jalan di sekitar komplek rumah yang mereka tinggali. Karena termasuk kampung yang baru saja tersentuh modernisasi dan mulai banyaknya di bangun hotel mau pun perkantoran, tempat tinggal si kembar masih terbilang asri dengan lingkungan persawahan, beberapa diolah dan dirawat oleh warga sekitar. "Wah, Bang! Sini deh, ada keong!"
"Eh, Pan! Ati-ati entar kotor jadi mandi lagi kita."
"Enggak-enggak, lucu deh, Bang, aku ambil satu ya? Entar kita taruh di kolam teratai."
"Kalau ketahuan Mama, mati kita didaging asap."
"Ah, Abang mah. Satu aja, kok. Ya, ya?" Jay menghela napas, memilih mengangguk. Baru saja Pandu hendak mengambil kantong plastik sembarang untuk menaruh keong sawah, tiba-tiba saja suara melengking seorang gadis membuyarkan kegiatan mereka. "Hei! Kalian ngapain di sawah kakekku?!"
"Lho? Meita?"
"Eh? Pandu? Kak Jay? Kalian ngapain di sini?"
"Kenalin, aku Meita Putri Sholehah. Namamu siapa?""Pandu. Namaku Gandhi Pandu Jayasthu, terus ini abangku namanya Gandhi Putra Jayasthu.""Abangmu ganteng, kok kamu enggak?"Begitulah awal mula pertemanan Pandu dengan Meita. Disebut akur, tidak juga, mereka bermusuhan pun, tidak juga. Satu yang membuat Pandu yakin bahwa Meita adalah sahabat satu-satunya yang tulus karena Meita tak pernah memandang segala sesuatu dari materi dan selalu berusaha setia kawan dalam segala situasi sulit sekali pun."Lho? Kamu kok enggak pulang, Pan?""Mamaku lagi jagain Abang yang sakit, aku lupa bawa payung jadi berteduh dulu.""Sini, deh. Aku anterin, payungku gede buat badan kita yang kecil pasti muat.""Iya, deh. Kamu cewek kok bar-bar, sih?""Hah? Bar-bar itu apaan? Makanan?""Bukan
Hujan yang masih setia berjatuhan tak pelak menahan langkah Meita untuk nekad pulang dan membasahi badannya di bawah air langit itu. Hari ini adalah awal ramadan dimulai dan semenjak kejadian itu, Meita semakin enggan menyapa ayah tirinya, meski lelaki itu berusaha susah payah untuk meluluhkan hatinya.Meita tentu tidak asing dengan Jordi. Jordi adalah teman lama almarhum ayahnya, salah satu investor yang turut andil dalam pembangunan SMA Lazuardi Bangsa. Jordi juga bukan lelaki pembual, kasar atau pun memiliki perangai buruk. Yang Meita tahu, almarhum ayahnya sangat dekat dengan dia. Dan entah takdir seperti apa, dua tahun setelah kematian sang ayah, ibunya memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu, yang menyebabkan Jordi menjadi ayah tirinya.Ini bukan salah siapa pun, Meita sendiri tidak mau terlalu memusingkan urusan orang tua yang kadang justru dia dianggap hanya mengganggu setiap ia berusaha memberi masukan dan orang yang paling melakukan perlawanan itu adalah
Safaira menghela napas, menatap tumpukan dokumen yang rasanya belum berkurang dari minggu lalu, dia juga baru ingat pagi belum sempat pergi ke supermarket untuk membeli keperluan bahan makanan. Wanita yang akrabnya dipanggil Nyonya Gandhi itu mematikan komputer di depannya, tersenyum seraya mengambil sebuah pigura foto di mana ada dirinya dan suami yang menggendong si kembar semasa bayi.Perjuangannya menjadi seorang ibu tidak mudah. Jauh sebelum menikmati apa yang mereka dapatkan saat ini, Gandhi dan Safaira bekerja sangat keras, selalu berusaha menyeimbangkan. Cobaan itu perlahan mendorong mereka tumbuh menjadi orang tua yang kuat dan berdedikasi. Sebelum mengandung si kembar, Safa sempat keguguran akibat kelelahan. Tuntutan perekonomian mereka saat itu harus disokong berdua, Safa berusaha keras untuk kembali bisa mengandung, hingga lahirlah dua pangeran kebanggaan mereka, Gandhi Putra Jayasthu dan Gandhi Pandu Jayasthu."Nyonya, belum pulang? Sudah makin sore, lho."
Gisel perlahan turun dari ranjang dan duduk di depan meja belajarnya, meraih sebuah tasbih yang sebenarnya bukan miliknya, kemudian ia mengambil rosario yang tergeletak tak jauh dari lampu belajar miliknya. Lama ia menatap kedua benda itu, secara perlahan pula otaknya kembali memutar kejadian tadi sore."Sekali lagi, maaf dan terima kasih banyak, berkatmu ketertinggalanku lumayan terkejar. Jadi kita lebih siap saat olimpiade besok." Gisel tersenyum tulus ke arah Jay yang saat ini sama-sama belum pulang. Gadis itu kemudian berjalan mendekat ke arah Jay yang tampak terkejut, membuatnya heran."Ada perlu apa lagi?""Tidak ada, aku cuman bingung kenapa kamu kelihatan tidak nyaman berada di sekitarku?"Jay lama menatapnya, matanya kemudian bergulir ke sana ke mari dengan gumaman abstrak yang Gisel tak mengerti apa yang pemuda itu katakan."Kamu en
Tak terasa ramadhan sudah mencapai di hari ketujuh. Seusai sholat terawih bersama papa dan abangnya, Pandu memutuskan untuk mampir sebentar ke warung untuk membeli jajanan kesukaannya. Setelah sebelumnya berpamitan dengan abang maupun papanya, pemuda itu berlari ke warung milik salah satu warga yang sudah hapal, namanya mbok Jum."Assalamualaikum, mbok! Mau jajan es susu Moli dong! Air nya dikit aja, susu Molinya dua bungkus, ya!""Waalaikum salamcah bagus, jajanannya susu Moli gimana engga tinggi kamu, nih. Siap-siap, duduk dulu, mbok buatkan sebentar, ya!""Siap, mbok!"Pandu mendudukkan dirinya di sebuah tikar yang biasa di gelar oleh Mbok Jum untuk anak-anak muda yang sekedar nongkrong sebentar untukngopi
Terik di luar mungkin membuat sebagian besar orang malas sekedar pergi keluar rumah, memilih untuk bergumul di dalam kamar, menyalakan kipas atau AC dan menunggu sampai waktu berbuka tiba dengan kegiatan di dalam ruangan. Pandu menyenderkan badannya seraya menatap pemandangan kota dari jendela bus, di sampingnya terlihat Meita yang terus-terusan menatapnya khawatir."Pan, kamu yakin kamu engga apa-apa? Mukamu makin pucat, lho. Kita balik aja, ya?""Nanggung. Udah setengah jalan, lagian aku males di rumah meski engga enak badan gini, mending keluar mumpung ada yang ngajak.""Lagi debat sama abang?"Pandu mengangguk, kembali menatap galau ke arah luar tanpa minat lebih menikmati waktu jalan-jalannya.
Malam tadarus Meita berakhir dengan baik di rumah bersama papanya. Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam video call bersama mamanya setelah teraweh, Meita memutuskan turun menyusul papanya yang masih setia menonton siaran ulang sepak bola sebelum jam tidurnya tiba. Jordi menatap putrinya heran, Meita memang tipikal gadis tomboy tapi biasanya dia malas dan cenderung tidak suka menonton sepak bola."Pah, Mei mau tanya deh?""Hm? Tanya apa, nak?""Apa di sekolah ada semacam OSN atau olimpiade saat ini? Aku bisa ikutan, kan? Papa kepsek pasti bisa mengusahakan."Jordi mematikan televisi di depannya, menatap serius ke putrinya, baru setelahnya menghela napas pelan."Apa ada kaitannya
Hari ini, Pandu memutuskan untuk tidak berangkat sekolah dulu karena demam yang belum sepenuhnya turun. Padahal saat ini sedang banyak-banyaknya latihan ujian. Pandu menghela napas, kembali menutup buku pelajarannya dan merebahkan badannya di atas ranjang, percuma belajar dalam kondisi badan kurang fit begini semua pelajaran tidak mampu dia cerna dengan baik.Pandu kemudian meraih sebuah gantungan kunci di meja kecil samping tempat tidurnya. Gantungan kunci pemberian Meita, entah kenapa dia jadi rindu dengan teman baiknya itu? Sedang apa dia? Apa dia masih marah denganku? Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Pandu, tapi satu yang masih membuatnya berpikir. Tentang dia sendiri yang berusaha keras menyimpan kejadian dimana Jay menyukai Gisel dari Meita, bahkan Jay sendiri menanyakan ini padanya langsung, mengapa Pandu melakukannya?