Share

UNTUK SEBUAH JANJI

Hujan yang masih setia berjatuhan tak pelak menahan langkah Meita untuk nekad pulang dan membasahi badannya di bawah air langit itu. Hari ini adalah awal ramadan dimulai dan semenjak kejadian itu, Meita semakin enggan menyapa ayah tirinya, meski lelaki itu berusaha susah payah untuk meluluhkan hatinya.

Meita tentu tidak asing dengan Jordi. Jordi adalah teman lama almarhum ayahnya, salah satu investor yang turut andil dalam pembangunan SMA Lazuardi Bangsa. Jordi juga bukan lelaki pembual, kasar atau pun memiliki perangai buruk. Yang Meita tahu, almarhum ayahnya sangat dekat dengan dia. Dan entah takdir seperti apa, dua tahun setelah kematian sang ayah, ibunya memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu, yang menyebabkan Jordi menjadi ayah tirinya.

Ini bukan salah siapa pun, Meita sendiri tidak mau terlalu memusingkan urusan orang tua yang kadang justru dia dianggap hanya mengganggu setiap ia berusaha memberi masukan dan orang yang paling melakukan perlawanan itu adalah mamanya sendiri. Meita mengusap air matanya yang lolos.

TEP ...

Meita terkejut, mendapati sepasang kaki yang mengangsurkan payung ke arahnya kemudian tersenyum tipis. "Kak Jay? Kok Kakak di sini?"

"Kamu sendiri ngapain di sini nangis sendirian? Ayo kuantar balik."

"Lho? Pandunya mau Kakak tinggal?"

"Dia terus khawatir sama kamu, cuman masih ada kegiatan. Aku pikir aku juga cemas kamu beda semenjak kejadian kemarin, makanya aku ke sini."

Meita mengangguk, menuruti saran Jay. Mereka berjalan di bawah naungan payung yang sama. Kali ini, Meita tidak sedang berbunga-bunga meski kenyataannya Jay yang sedang memberi tumpangan payung. "Kemarin ... "

"Tidak usah meminta maaf, karena bukan kepadaku kamu minta maaf."

"Maksud Kak Jay apa?"

Jay berhenti melangkah, begitu pula Meita yang berdiri di sampingnya. Perlahan pemuda itu sedikit menunduk menyejajarkan badannya dengan si gadis, menepuk kepalanya lembut. "Nanti kamu bakal tau sendiri. Udah, yuk aku antar pulang. Nanti Pakdhe marah sama aku kalau anak gadisnya enggak balik-balik." Meita mengerjapkan matanya. Dia paling sulit menebak isi kepala Jay, mungkin itu kenapa Jay lebih menarik untuk digali.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di sebuah rumah berukuran sedang, di sana tampak Jordi yang menunggu Meita dengan setia, nampak lega saat Jay mengantarkan putrinya masuk ke dalam. "Maaf agak lama, Pakdhe. Hujannya lebat, pak sopir enggak berani ngebut."

"Oh, enggak apa-apa. Andai pakdhe enggak sakit juga enggak akan ngerepotin. Maaf ya, Jay."

"Lho? Om sakit?"

Jay kembali menepuk pundak Meita, tersenyum tipis sembari berkata dengan pelan dan lembut. "Masuk, gih. Rawat papamu biar lekas sembuh."

+++

"Tadi sebelum pulang, Jay nganterin ini. Kolak pisang kesukaanmu buatan Bulik Gandhi. Kamu makan, ya? Sudah Om panasin, selagi hangat, biar kamu enggak demam."

Meita menatap ke arah Jordi. Sebulan ini, mamanya yang bekerja sebagai model belum bisa pulang dari Belanda karena cuaca buruk. Hal yang wajar bila segala kebutuhan rumah tangga menjadi tanggung jawab Jordi selaku wali, terlebih mereka tidak memakai jasa pembantu.

"Om juga makan."

"Eh?"

Meita mengangguk, mulai menyuapkan kuah kolak ke dalam mulutnya, mengunyah potongan kecil pisang dengan tenang. "Temenin aku makan."

Jordi mengerjapkan perlahan kedua matanya, alih-alih segera mengambil jatah kolaknya, pria kepala tiga itu tersenyum. Kelewat senang saat anak tirinya sedikit membukakan hati. "Ceritain sesuatu ke aku."

"Cerita soal apa, Mei?"

"Mengapa Om mau menikahi Mama?" Jordi terdiam, ini pertama kalinya Meita berani bertanya, biasanya anak ini selalu menghindarinya.

"Mamamu, papamu, dan aku dulu bersahabat. Kami sudah sahabatan sejak SMA. Dulu, karena papamu dan Om ini bukan keturunan warga pribumi, kami punya impian untuk mendirikan sekolah tanpa perlu adanya konflik kamu pribumi atau pun lainnya, sekolah tempat di mana saling berharmoni, membantu, dan rukun."

Jordi tersenyum, kembali mengingat masa-masa itu. "Papamu itu mirip banget sama kamu. Pekerja keras, keras kepala, dan enggak mau berhenti sebelum sampai ke tujuannya. Jauh sebelum Papa jatuh sakit, Meita juga tahu, kan? Kalau Papa punya penyakit lemah jantung."

"Iya, Mei tau, kok. Penyebab Papa meninggal juga faktor kelelahan pas itu. Mei sudah terima sejak kehilangan Papa. Yang Mei enggak paham, kalau Om teman baiknya Papa sama Mama. Kenapa Om mau nikah sama Mama?"

"Karena Om sudah janji sama papamu."

Meita mengerjapkan matanya bingung. Jujur saja, semenjak papa kandungnya meninggal dan kembali menikah lagi, Meita juga jarang menjalin komunikasi dengan mamanya, begitu pula sebaliknya. ‘Janji? Janji apa?’

Dan seolah mengerti isi kepala Meita, Jordi kembali menambahkan kalimatnya. "Papamu pernah bilang ke Mama, kalau dia meninggal, jangan pernah punya pikiran menikah lagi kalau kamu enggak menikah sama Jordi. Papamu juga berpesan pada Om untuk menikahi mamamu bila beliau pergi sebelum kamu beranjak dewasa. Karena kamu anak perempuan dan perlu wali.”

Meita menunduk, perlahan kedua matanya kembali basah. Mengusap-usapnya cepat, ia kembali menatap Jordi yang kali ini tersenyum ke arahnya. Jordi juga mengusap kepalanya dengan sabar.

"Mei, Om minta maaf sama kamu, ya? Sejujurnya, Om enggak pernah berpikir mau merebut posisi Papa di hati Mei dan Mama. Papa Mei tetaplah satu, Om tau itu. Tapi, Om harap Mei izinkan Mama untuk mengisi hari-hari sepinya bersama Om dan terimalah Om menjadi temanmu. Om akan berusaha sebaik mungkin menjadi teman kalian."

Meita menggeleng, perlahan mendekati Jordi dan memeluk ayah tirinya itu. Jordi kembali tersenyum, hatinya perlahan-lahan menghangat bersamaan ia membalas pelukan putrinya. "Maafin Mei sudah ngomong enggak baik kemarin. Mei juga enggak merasa Om menggantikan posisi Papa, hanya Mei takut kalau ada orang lagi yang hadir, Mei akan semakin sendirian."

Dengan sabar, Jordi menghapus jejak basah di pipi Mei. "Om janji akan berusaha keras menjadi penyeimbang antara Mei mau pun Mama. Apapun yang Mei rasakan, jangan pernah dipendam sendirian, karena Mei secara sah adalah tanggung jawab Om, kecuali si Jay mau cepat-cepat lamar kamu."

"Ih! Lagi mellow juga malah ngelawak." Dinginnya gunung es di dalam hati Meita perlahan luruh, hatinya yang semula gersang karena penolakan menerima hujan yang hadir perlahan pula membaik. Benar apa yang Jay katakan beberapa menit lalu, ia masih diberi banyak kecukupan dalam hidupnya, rezeki, dan seseorang teman yang setia menjadi pendengar baik untuknya maupun mamanya, yaitu Jordi.

Malam itu, Meita kembali membiarkannya belajar, membiarkan dirinya sendiri memulai lembaran baru. Dinding kamar yang semula sengaja ia lepas fotonya bersama Mama perlahan kembali ia tata, tak lupa ia juga menyematkan foto Jordi.

DRRT... DRRT...

Meita menolehkan kepalanya, mendapati sebuah pesan notifikasi dari Pandu yang sepertinya baru saja sampai di rumah setelah selesai kegiatan ekstrakurikuler.

From : pandujayasthu

Gimana? Udah rukun? Sorry enggak bisa nemenin hari ini, tapi kolak mama nyampe kan? Di makan bareng sama pakdhe, ya? Cepet akur.

Meita terkekeh pelan. Terlepas dari slengekannya, Pandu tetap Pandu, dia akan selalu setia kawan dan manis dengan semua temannya. Meita merebahkan badannya, meraih sebuah pigura foto di mana ada dirinya, Pandu, dan Jay di sana. Ia senang bisa menjadi sahabat dari duo kembar ini, namun terkadang ia tak bisa membohongi kalau dirinya menginginkan lebih dari sekadar status sahabat, hatinya memilih Jay sejak dulu.

Sayangnya, pemuda itu bahkan tak pernah membuat pergerakan yang jelas. Terkadang bisa sangat perhatian, kadang bisa dingin sedingin kulkas rumahnya.

Meita kembali menaruh pigura itu di atas nakas. Memikirkan sekelumit masalah asmara justru membuatnya mengantuk.

+++

Lonceng utama sekolah berbunyi, menandakan waktu makan siang. Jay berjalan menyusuri koridor menuju perpustakaan setelah sebelumnya ia menandaskan sepotong roti melon yang diberikan oleh penggemar rahasia di dalam lokernya. Karena minggu depan dia ada simulasi fisika, pemuda itu memutuskan untuk belajar sebentar sembari menumpang wi-fi di sana.

Jay memilih bangku paling ujung, dekat dengan jendela utama perpustakaan yang menghadap langsung pada lapangan hijau milik sekolahnya, pemandangannya nampak luar biasa bagus mengingat sekolahnya dekat dengan area perkebunan warga sekitar. Dari atas, Jay juga bisa memerhatikan semua kegiatan anak-anak di SMA-nya.

Mata Jay kemudian bergulir menatap ke arah lain dan berhenti ketika menemukan sosok yang akhir-akhir ini menyita perhatiannya. Gadis itu tampak terkantuk-kantuk dengan sebuah kotak makan yang berada di pangkuannya. Jay tersenyum, meski terbilang jarang mengobrol Jay lumayan mengenal gadis itu. Namanya Gisela Arneta Dwi Untoro, teman satu kelasnya dan satu kelas juga dengan Pandu, kebanyakan orang menyebutnya '4D Fairy' karena kepribadiannya yang unik.

"Pandangin aja teros! Sampe bolong kepalanya Gisel, mah!"

"Eh, Juned. Sejak kapan di sini?"

"Lu gua sapa diem bae, gua kirain kenapa, ternyata liatin gebetan."

"Kagak, gua gak niat gebet dia kok."

"Jangan ngibul deh, gua tau lu naksir dia. Lagian, enggak masalah toh Gisel juga jomlo, cuman enggak tahu deh, katanya lu susah jalin hubungan kayak gitu karena prinsip keluarga lu, kan?"

"Iya. Gua enggak akan nembak dia dalam waktu dekat." Jay berpikir agak lama, kemudian mengimbuhkan kalimatnya lagi seraya nyengir semringah. "Tapi kalau udah siap, bolehlah itu Gisel gua ajak menata rumah tangga."

Candaan mereka tak berselang lama karena posisi mereka di perpustakaan, petugas pun secara halus mengusir mereka mengingat sebentar lagi bel masuk. Juned berpamitan pada Jay, anak itu berada di kelas yang berbeda dengannya. Jay kembali mengecek arlojinya, sore hari ini dia ada kegiatan di laboratorium sekolah karena guru kelasnya mengajukan dirinya untuk menjadi ketua tim penelitian ilmiah olimpiade provinsi. Harusnya latihan dua hari kemarin mereka harus sudah mencaplok sebagian silabus yang harus dikuasai, masalahnya karena satu orang yang sering absen latihan.

"Maaf, apa kamu mau ke laboratorium?" Jay menghentikan langkahnya, ia terkesiap saat mendapati Gisela yang berjalan ke arahnya sembari menenteng jas putih laboratorium dan buku. Gadis itu kemudian tersenyum seraya mengangsurkan tangannya.

"Kamu salah satu anggota tim penelitian, kan? Maaf karena dua minggu kemarin aku sakit dan sering absen. Namaku Gisela, salam kenal."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status