Hujan yang masih setia berjatuhan tak pelak menahan langkah Meita untuk nekad pulang dan membasahi badannya di bawah air langit itu. Hari ini adalah awal ramadan dimulai dan semenjak kejadian itu, Meita semakin enggan menyapa ayah tirinya, meski lelaki itu berusaha susah payah untuk meluluhkan hatinya.
Meita tentu tidak asing dengan Jordi. Jordi adalah teman lama almarhum ayahnya, salah satu investor yang turut andil dalam pembangunan SMA Lazuardi Bangsa. Jordi juga bukan lelaki pembual, kasar atau pun memiliki perangai buruk. Yang Meita tahu, almarhum ayahnya sangat dekat dengan dia. Dan entah takdir seperti apa, dua tahun setelah kematian sang ayah, ibunya memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu, yang menyebabkan Jordi menjadi ayah tirinya.
Ini bukan salah siapa pun, Meita sendiri tidak mau terlalu memusingkan urusan orang tua yang kadang justru dia dianggap hanya mengganggu setiap ia berusaha memberi masukan dan orang yang paling melakukan perlawanan itu adalah mamanya sendiri. Meita mengusap air matanya yang lolos.
TEP ...
Meita terkejut, mendapati sepasang kaki yang mengangsurkan payung ke arahnya kemudian tersenyum tipis. "Kak Jay? Kok Kakak di sini?"
"Kamu sendiri ngapain di sini nangis sendirian? Ayo kuantar balik."
"Lho? Pandunya mau Kakak tinggal?"
"Dia terus khawatir sama kamu, cuman masih ada kegiatan. Aku pikir aku juga cemas kamu beda semenjak kejadian kemarin, makanya aku ke sini."
Meita mengangguk, menuruti saran Jay. Mereka berjalan di bawah naungan payung yang sama. Kali ini, Meita tidak sedang berbunga-bunga meski kenyataannya Jay yang sedang memberi tumpangan payung. "Kemarin ... "
"Tidak usah meminta maaf, karena bukan kepadaku kamu minta maaf."
"Maksud Kak Jay apa?"
Jay berhenti melangkah, begitu pula Meita yang berdiri di sampingnya. Perlahan pemuda itu sedikit menunduk menyejajarkan badannya dengan si gadis, menepuk kepalanya lembut. "Nanti kamu bakal tau sendiri. Udah, yuk aku antar pulang. Nanti Pakdhe marah sama aku kalau anak gadisnya enggak balik-balik." Meita mengerjapkan matanya. Dia paling sulit menebak isi kepala Jay, mungkin itu kenapa Jay lebih menarik untuk digali.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di sebuah rumah berukuran sedang, di sana tampak Jordi yang menunggu Meita dengan setia, nampak lega saat Jay mengantarkan putrinya masuk ke dalam. "Maaf agak lama, Pakdhe. Hujannya lebat, pak sopir enggak berani ngebut."
"Oh, enggak apa-apa. Andai pakdhe enggak sakit juga enggak akan ngerepotin. Maaf ya, Jay."
"Lho? Om sakit?"
Jay kembali menepuk pundak Meita, tersenyum tipis sembari berkata dengan pelan dan lembut. "Masuk, gih. Rawat papamu biar lekas sembuh."
+++
"Tadi sebelum pulang, Jay nganterin ini. Kolak pisang kesukaanmu buatan Bulik Gandhi. Kamu makan, ya? Sudah Om panasin, selagi hangat, biar kamu enggak demam."
Meita menatap ke arah Jordi. Sebulan ini, mamanya yang bekerja sebagai model belum bisa pulang dari Belanda karena cuaca buruk. Hal yang wajar bila segala kebutuhan rumah tangga menjadi tanggung jawab Jordi selaku wali, terlebih mereka tidak memakai jasa pembantu.
"Om juga makan."
"Eh?"
Meita mengangguk, mulai menyuapkan kuah kolak ke dalam mulutnya, mengunyah potongan kecil pisang dengan tenang. "Temenin aku makan."
Jordi mengerjapkan perlahan kedua matanya, alih-alih segera mengambil jatah kolaknya, pria kepala tiga itu tersenyum. Kelewat senang saat anak tirinya sedikit membukakan hati. "Ceritain sesuatu ke aku."
"Cerita soal apa, Mei?"
"Mengapa Om mau menikahi Mama?" Jordi terdiam, ini pertama kalinya Meita berani bertanya, biasanya anak ini selalu menghindarinya.
"Mamamu, papamu, dan aku dulu bersahabat. Kami sudah sahabatan sejak SMA. Dulu, karena papamu dan Om ini bukan keturunan warga pribumi, kami punya impian untuk mendirikan sekolah tanpa perlu adanya konflik kamu pribumi atau pun lainnya, sekolah tempat di mana saling berharmoni, membantu, dan rukun."
Jordi tersenyum, kembali mengingat masa-masa itu. "Papamu itu mirip banget sama kamu. Pekerja keras, keras kepala, dan enggak mau berhenti sebelum sampai ke tujuannya. Jauh sebelum Papa jatuh sakit, Meita juga tahu, kan? Kalau Papa punya penyakit lemah jantung."
"Iya, Mei tau, kok. Penyebab Papa meninggal juga faktor kelelahan pas itu. Mei sudah terima sejak kehilangan Papa. Yang Mei enggak paham, kalau Om teman baiknya Papa sama Mama. Kenapa Om mau nikah sama Mama?"
"Karena Om sudah janji sama papamu."
Meita mengerjapkan matanya bingung. Jujur saja, semenjak papa kandungnya meninggal dan kembali menikah lagi, Meita juga jarang menjalin komunikasi dengan mamanya, begitu pula sebaliknya. ‘Janji? Janji apa?’
Dan seolah mengerti isi kepala Meita, Jordi kembali menambahkan kalimatnya. "Papamu pernah bilang ke Mama, kalau dia meninggal, jangan pernah punya pikiran menikah lagi kalau kamu enggak menikah sama Jordi. Papamu juga berpesan pada Om untuk menikahi mamamu bila beliau pergi sebelum kamu beranjak dewasa. Karena kamu anak perempuan dan perlu wali.”
Meita menunduk, perlahan kedua matanya kembali basah. Mengusap-usapnya cepat, ia kembali menatap Jordi yang kali ini tersenyum ke arahnya. Jordi juga mengusap kepalanya dengan sabar.
"Mei, Om minta maaf sama kamu, ya? Sejujurnya, Om enggak pernah berpikir mau merebut posisi Papa di hati Mei dan Mama. Papa Mei tetaplah satu, Om tau itu. Tapi, Om harap Mei izinkan Mama untuk mengisi hari-hari sepinya bersama Om dan terimalah Om menjadi temanmu. Om akan berusaha sebaik mungkin menjadi teman kalian."
Meita menggeleng, perlahan mendekati Jordi dan memeluk ayah tirinya itu. Jordi kembali tersenyum, hatinya perlahan-lahan menghangat bersamaan ia membalas pelukan putrinya. "Maafin Mei sudah ngomong enggak baik kemarin. Mei juga enggak merasa Om menggantikan posisi Papa, hanya Mei takut kalau ada orang lagi yang hadir, Mei akan semakin sendirian."
Dengan sabar, Jordi menghapus jejak basah di pipi Mei. "Om janji akan berusaha keras menjadi penyeimbang antara Mei mau pun Mama. Apapun yang Mei rasakan, jangan pernah dipendam sendirian, karena Mei secara sah adalah tanggung jawab Om, kecuali si Jay mau cepat-cepat lamar kamu."
"Ih! Lagi mellow juga malah ngelawak." Dinginnya gunung es di dalam hati Meita perlahan luruh, hatinya yang semula gersang karena penolakan menerima hujan yang hadir perlahan pula membaik. Benar apa yang Jay katakan beberapa menit lalu, ia masih diberi banyak kecukupan dalam hidupnya, rezeki, dan seseorang teman yang setia menjadi pendengar baik untuknya maupun mamanya, yaitu Jordi.
Malam itu, Meita kembali membiarkannya belajar, membiarkan dirinya sendiri memulai lembaran baru. Dinding kamar yang semula sengaja ia lepas fotonya bersama Mama perlahan kembali ia tata, tak lupa ia juga menyematkan foto Jordi.
DRRT... DRRT...
Meita menolehkan kepalanya, mendapati sebuah pesan notifikasi dari Pandu yang sepertinya baru saja sampai di rumah setelah selesai kegiatan ekstrakurikuler.
From : pandujayasthu
Gimana? Udah rukun? Sorry enggak bisa nemenin hari ini, tapi kolak mama nyampe kan? Di makan bareng sama pakdhe, ya? Cepet akur.
Meita terkekeh pelan. Terlepas dari slengekannya, Pandu tetap Pandu, dia akan selalu setia kawan dan manis dengan semua temannya. Meita merebahkan badannya, meraih sebuah pigura foto di mana ada dirinya, Pandu, dan Jay di sana. Ia senang bisa menjadi sahabat dari duo kembar ini, namun terkadang ia tak bisa membohongi kalau dirinya menginginkan lebih dari sekadar status sahabat, hatinya memilih Jay sejak dulu.
Sayangnya, pemuda itu bahkan tak pernah membuat pergerakan yang jelas. Terkadang bisa sangat perhatian, kadang bisa dingin sedingin kulkas rumahnya.
Meita kembali menaruh pigura itu di atas nakas. Memikirkan sekelumit masalah asmara justru membuatnya mengantuk.
+++
Lonceng utama sekolah berbunyi, menandakan waktu makan siang. Jay berjalan menyusuri koridor menuju perpustakaan setelah sebelumnya ia menandaskan sepotong roti melon yang diberikan oleh penggemar rahasia di dalam lokernya. Karena minggu depan dia ada simulasi fisika, pemuda itu memutuskan untuk belajar sebentar sembari menumpang wi-fi di sana.
Jay memilih bangku paling ujung, dekat dengan jendela utama perpustakaan yang menghadap langsung pada lapangan hijau milik sekolahnya, pemandangannya nampak luar biasa bagus mengingat sekolahnya dekat dengan area perkebunan warga sekitar. Dari atas, Jay juga bisa memerhatikan semua kegiatan anak-anak di SMA-nya.
Mata Jay kemudian bergulir menatap ke arah lain dan berhenti ketika menemukan sosok yang akhir-akhir ini menyita perhatiannya. Gadis itu tampak terkantuk-kantuk dengan sebuah kotak makan yang berada di pangkuannya. Jay tersenyum, meski terbilang jarang mengobrol Jay lumayan mengenal gadis itu. Namanya Gisela Arneta Dwi Untoro, teman satu kelasnya dan satu kelas juga dengan Pandu, kebanyakan orang menyebutnya '4D Fairy' karena kepribadiannya yang unik.
"Pandangin aja teros! Sampe bolong kepalanya Gisel, mah!"
"Eh, Juned. Sejak kapan di sini?"
"Lu gua sapa diem bae, gua kirain kenapa, ternyata liatin gebetan."
"Kagak, gua gak niat gebet dia kok."
"Jangan ngibul deh, gua tau lu naksir dia. Lagian, enggak masalah toh Gisel juga jomlo, cuman enggak tahu deh, katanya lu susah jalin hubungan kayak gitu karena prinsip keluarga lu, kan?"
"Iya. Gua enggak akan nembak dia dalam waktu dekat." Jay berpikir agak lama, kemudian mengimbuhkan kalimatnya lagi seraya nyengir semringah. "Tapi kalau udah siap, bolehlah itu Gisel gua ajak menata rumah tangga."
Candaan mereka tak berselang lama karena posisi mereka di perpustakaan, petugas pun secara halus mengusir mereka mengingat sebentar lagi bel masuk. Juned berpamitan pada Jay, anak itu berada di kelas yang berbeda dengannya. Jay kembali mengecek arlojinya, sore hari ini dia ada kegiatan di laboratorium sekolah karena guru kelasnya mengajukan dirinya untuk menjadi ketua tim penelitian ilmiah olimpiade provinsi. Harusnya latihan dua hari kemarin mereka harus sudah mencaplok sebagian silabus yang harus dikuasai, masalahnya karena satu orang yang sering absen latihan.
"Maaf, apa kamu mau ke laboratorium?" Jay menghentikan langkahnya, ia terkesiap saat mendapati Gisela yang berjalan ke arahnya sembari menenteng jas putih laboratorium dan buku. Gadis itu kemudian tersenyum seraya mengangsurkan tangannya.
"Kamu salah satu anggota tim penelitian, kan? Maaf karena dua minggu kemarin aku sakit dan sering absen. Namaku Gisela, salam kenal."
Safaira menghela napas, menatap tumpukan dokumen yang rasanya belum berkurang dari minggu lalu, dia juga baru ingat pagi belum sempat pergi ke supermarket untuk membeli keperluan bahan makanan. Wanita yang akrabnya dipanggil Nyonya Gandhi itu mematikan komputer di depannya, tersenyum seraya mengambil sebuah pigura foto di mana ada dirinya dan suami yang menggendong si kembar semasa bayi.Perjuangannya menjadi seorang ibu tidak mudah. Jauh sebelum menikmati apa yang mereka dapatkan saat ini, Gandhi dan Safaira bekerja sangat keras, selalu berusaha menyeimbangkan. Cobaan itu perlahan mendorong mereka tumbuh menjadi orang tua yang kuat dan berdedikasi. Sebelum mengandung si kembar, Safa sempat keguguran akibat kelelahan. Tuntutan perekonomian mereka saat itu harus disokong berdua, Safa berusaha keras untuk kembali bisa mengandung, hingga lahirlah dua pangeran kebanggaan mereka, Gandhi Putra Jayasthu dan Gandhi Pandu Jayasthu."Nyonya, belum pulang? Sudah makin sore, lho."
Gisel perlahan turun dari ranjang dan duduk di depan meja belajarnya, meraih sebuah tasbih yang sebenarnya bukan miliknya, kemudian ia mengambil rosario yang tergeletak tak jauh dari lampu belajar miliknya. Lama ia menatap kedua benda itu, secara perlahan pula otaknya kembali memutar kejadian tadi sore."Sekali lagi, maaf dan terima kasih banyak, berkatmu ketertinggalanku lumayan terkejar. Jadi kita lebih siap saat olimpiade besok." Gisel tersenyum tulus ke arah Jay yang saat ini sama-sama belum pulang. Gadis itu kemudian berjalan mendekat ke arah Jay yang tampak terkejut, membuatnya heran."Ada perlu apa lagi?""Tidak ada, aku cuman bingung kenapa kamu kelihatan tidak nyaman berada di sekitarku?"Jay lama menatapnya, matanya kemudian bergulir ke sana ke mari dengan gumaman abstrak yang Gisel tak mengerti apa yang pemuda itu katakan."Kamu en
Tak terasa ramadhan sudah mencapai di hari ketujuh. Seusai sholat terawih bersama papa dan abangnya, Pandu memutuskan untuk mampir sebentar ke warung untuk membeli jajanan kesukaannya. Setelah sebelumnya berpamitan dengan abang maupun papanya, pemuda itu berlari ke warung milik salah satu warga yang sudah hapal, namanya mbok Jum."Assalamualaikum, mbok! Mau jajan es susu Moli dong! Air nya dikit aja, susu Molinya dua bungkus, ya!""Waalaikum salamcah bagus, jajanannya susu Moli gimana engga tinggi kamu, nih. Siap-siap, duduk dulu, mbok buatkan sebentar, ya!""Siap, mbok!"Pandu mendudukkan dirinya di sebuah tikar yang biasa di gelar oleh Mbok Jum untuk anak-anak muda yang sekedar nongkrong sebentar untukngopi
Terik di luar mungkin membuat sebagian besar orang malas sekedar pergi keluar rumah, memilih untuk bergumul di dalam kamar, menyalakan kipas atau AC dan menunggu sampai waktu berbuka tiba dengan kegiatan di dalam ruangan. Pandu menyenderkan badannya seraya menatap pemandangan kota dari jendela bus, di sampingnya terlihat Meita yang terus-terusan menatapnya khawatir."Pan, kamu yakin kamu engga apa-apa? Mukamu makin pucat, lho. Kita balik aja, ya?""Nanggung. Udah setengah jalan, lagian aku males di rumah meski engga enak badan gini, mending keluar mumpung ada yang ngajak.""Lagi debat sama abang?"Pandu mengangguk, kembali menatap galau ke arah luar tanpa minat lebih menikmati waktu jalan-jalannya.
Malam tadarus Meita berakhir dengan baik di rumah bersama papanya. Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam video call bersama mamanya setelah teraweh, Meita memutuskan turun menyusul papanya yang masih setia menonton siaran ulang sepak bola sebelum jam tidurnya tiba. Jordi menatap putrinya heran, Meita memang tipikal gadis tomboy tapi biasanya dia malas dan cenderung tidak suka menonton sepak bola."Pah, Mei mau tanya deh?""Hm? Tanya apa, nak?""Apa di sekolah ada semacam OSN atau olimpiade saat ini? Aku bisa ikutan, kan? Papa kepsek pasti bisa mengusahakan."Jordi mematikan televisi di depannya, menatap serius ke putrinya, baru setelahnya menghela napas pelan."Apa ada kaitannya
Hari ini, Pandu memutuskan untuk tidak berangkat sekolah dulu karena demam yang belum sepenuhnya turun. Padahal saat ini sedang banyak-banyaknya latihan ujian. Pandu menghela napas, kembali menutup buku pelajarannya dan merebahkan badannya di atas ranjang, percuma belajar dalam kondisi badan kurang fit begini semua pelajaran tidak mampu dia cerna dengan baik.Pandu kemudian meraih sebuah gantungan kunci di meja kecil samping tempat tidurnya. Gantungan kunci pemberian Meita, entah kenapa dia jadi rindu dengan teman baiknya itu? Sedang apa dia? Apa dia masih marah denganku? Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Pandu, tapi satu yang masih membuatnya berpikir. Tentang dia sendiri yang berusaha keras menyimpan kejadian dimana Jay menyukai Gisel dari Meita, bahkan Jay sendiri menanyakan ini padanya langsung, mengapa Pandu melakukannya?
Tuhan tahu, tapi menunggu, kalau kata pepatah mengatakan demikian, begitu pula dengan yang tengah si kembar alami saat ini. Pandu dan Jay beserta keluarga akhirnya bisa terbebas dari suara bising perkotaan Jakarta. Keluarganya memutuskan untuk pindah ke Kota Yogyakarta, tempat di mana sang ayah dipindahtugaskan sekarang. Pandu menatapi setiap gedung, jalanan, dan ruko tua yang mereka lewati. Meski terbilang masuk kota, suasana hijau dan asri lebih terasa ketimbang saat ia beserta keluarga masih di Jakarta.Pandu balik mengalihkan pandangan ke arah kembarannya. Jay yang lebih kalem dan tua darinya tiga menit itu sedang sibuk membaca buku komik marvelnya. Ah, meski kembar kesukaan mereka berbeda, Jay lebih suka marvel sedang dia lebih suka DC. Jay orangnya pendiam, tidak seperti dirinya yang lumayan bawel dan luwes dengan orang baru. Menjadi kembar tidak serta merta membuatmu sama persis satu sama lainnya."Pan, kamu masih debat juga sama Abangmu?"Pandu mendecak.
"Kenalin, aku Meita Putri Sholehah. Namamu siapa?""Pandu. Namaku Gandhi Pandu Jayasthu, terus ini abangku namanya Gandhi Putra Jayasthu.""Abangmu ganteng, kok kamu enggak?"Begitulah awal mula pertemanan Pandu dengan Meita. Disebut akur, tidak juga, mereka bermusuhan pun, tidak juga. Satu yang membuat Pandu yakin bahwa Meita adalah sahabat satu-satunya yang tulus karena Meita tak pernah memandang segala sesuatu dari materi dan selalu berusaha setia kawan dalam segala situasi sulit sekali pun."Lho? Kamu kok enggak pulang, Pan?""Mamaku lagi jagain Abang yang sakit, aku lupa bawa payung jadi berteduh dulu.""Sini, deh. Aku anterin, payungku gede buat badan kita yang kecil pasti muat.""Iya, deh. Kamu cewek kok bar-bar, sih?""Hah? Bar-bar itu apaan? Makanan?""Bukan