Safaira menghela napas, menatap tumpukan dokumen yang rasanya belum berkurang dari minggu lalu, dia juga baru ingat pagi belum sempat pergi ke supermarket untuk membeli keperluan bahan makanan. Wanita yang akrabnya dipanggil Nyonya Gandhi itu mematikan komputer di depannya, tersenyum seraya mengambil sebuah pigura foto di mana ada dirinya dan suami yang menggendong si kembar semasa bayi.
Perjuangannya menjadi seorang ibu tidak mudah. Jauh sebelum menikmati apa yang mereka dapatkan saat ini, Gandhi dan Safaira bekerja sangat keras, selalu berusaha menyeimbangkan. Cobaan itu perlahan mendorong mereka tumbuh menjadi orang tua yang kuat dan berdedikasi. Sebelum mengandung si kembar, Safa sempat keguguran akibat kelelahan. Tuntutan perekonomian mereka saat itu harus disokong berdua, Safa berusaha keras untuk kembali bisa mengandung, hingga lahirlah dua pangeran kebanggaan mereka, Gandhi Putra Jayasthu dan Gandhi Pandu Jayasthu.
"Nyonya, belum pulang? Sudah makin sore, lho."
"Oh, Aini. Kirain siapa, iya ini mau balik, tadi lagi mode kilas balik."
"Duh, jadi pengen punya jodoh segera, deh. Nyonya sama Pak Gandhi itu impian banget, kemana-mana mesra mana anak kembar ganteng-ganteng. Nyonya dulu pasti enggak pernah pacaran atau nakal, ya."
"Kalau pacaran pernah tapi karena beda agama ya putus, Ai. Lagian semenjak itu udah enggak mikir pacaran, eh Allah dekatkan jodoh saya Pak Gandhi ya sudah. Semoga kelak jodohmu juga baik, Ai. Insha Allah."
"Amin-amin, ya sudah, Nyonya. Saya balik duluan, ya? Soalnya kebetulan mau mampir beli takjil."
"Ya sudah hati-hati ya."
"Iya siap, Madam. Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam."
Sepeninggal asistennya tadi, Safa segera menenteng tas kerjanya, barusan suaminya mengirimi pesan kalau ia akan menjemput di supermarket langsung, sekalian membantunya membawa belanjaan. Supermarket tempat di mana Safa berbelanja tidaklah jauh, cukup berjalan dua blok saja. Safa mulai mengambil barang apa saja yang akan ia beli dan memasukkannya ke troli, sesekali ia akan mencoret barang yang sudah ia temukan di catatan sebagai penanda. Safa berhenti sejenak di depan deretan rak makanan kucing, benar juga ia perlu membeli makan kucing mereka—Cimol—juga.
BRUKH
"Eh? Maaf, saya enggak bermaksud ... "
"Lho? Kamu Safa, kan?"
"Ah, maaf kamu siapa, ya?" Orang yang Safa tabrak itu terkekeh, pelan-pelan menurunkan masker yang menutupi sebagian wajahnya, kemudian melempar senyum ke arah Safa. "Marcel?"
"Iya, ini aku. Apa kabarmu? Lama enggak liat, ya. Makin cantik saja." Safa tertawa ringan. Ia tak menyangka kalau dia akan bertemu dengan mantan kekasihnya semasa SMA dulu, meski statusnya mantan, ia sama sekali tidak menyimpan dendam atau pun menyimpan rasa. Safa sangat yakin bahwa Marcel sendiri sudah menikah dengan seorang wanita baik dan seiman. Tidak seperti saat mereka yang menjalin hubungan dengan keterpaksaan karena perbedaan.
"Sendirian aja? Sama siapa belanjanya?"
"Oh, sama anakku cewek, tadi ada teman lakinya juga. Pulang agak telat gegara ada proyek olimpiade."
"Oh, ya? Anakku satunya juga ikutan, sekolah di mana anakmu?"
"Di SMA Lazuardi Bangsa, tapi dia sudah kelas tiga ini."
"Sama, kok. Anakku juga kelas tiga, dua-duanya. Mereka kembar."
"Nah, itu anakku. Gisel! Sayang, sini salim dulu sama Tante."
"Lho? Mama?" Jay menatap mamanya bingung, begitu pula Safa yang menatap anaknya. Marcel dan anak gadisnya saling berpandangan sebelum melempar pertanyaan secara bersamaan.
"Dia anakmu?"
"Dia mamamu?"
Mereka terdiam, namun setelahnya tertawa bersama. Safa menyambut baik saat Gisel dengan sopan menjabat tangannya seraya menempelkannya di pipi, memberi salam. Marcel kembali menimpali. "Dunia itu sempit sekali, ya? Tadi Gisel itu bilang karena kasihan sama temannya yang pulang larut gegara dia telat ikut proyek olimpiade dia mau ajak anak ini jajan sekalian diantar balik, eh ternyata anakmu, to? Kembarannya mana?"
"Nanti kembarannya nyusul sama Papa ... "
"Safa." Safa menoleh, kaget saat tiba-tiba sosok suaminya sudah berdiri tak jauh dari tempat mereka, di belakangnya ada Pandu yang sudah berganti baju tengah menenteng sebuah semangka.
"Ma! Pa! Beli ini, ya! Pandu sama Abang kangen makan semangka, nih."
Suasana yang tadi hangat tiba-tiba saja terasa berbeda, meski masih berusaha ramah, terlihat jelas bahwa Gandhi tidak suka dengan kehadiran Marcel di dekat istrinya. "Hai, Gan. Apa kabar? Tadi secara kebetulan kita ketemu, kok. Jangan masam gitu, dong."
"Oh, iya enggak apa-apa emang kalau enggak kebetulan berani gitu situ nemuin saya sama istri?"
"Papa. Udah, ah ... "
"Pandu, bantu bawa belanjaan mamamu, Jay juga, ya. Papa masih perlu ngobrol sama Om Marcel." Jay yang hendak memprotes segera mendapat tatapan mematikan dari Pandu, entah kenapa Pandu merasa ayahnya ini tidak suka sama om yang tadi disebut bernama Marcel ini.
"Gisel, masuk ke mobil, ya? Udaranya makin dingin, nanti kamu kambuh sakitnya."
"Iya, Papa."
Marcel kembali menatap Gandhi. Sekilas menghela napas seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Jangan marah ke Safa. Bukan salah dia juga. Dan kami betulan ketemu tanpa sengaja, anakmu tadi numpang mobil niatnya mau kuantar karena Gisel, Jay baliknya telat juga."
"Aku percaya dengan Safa kalau dia enggak akan aneh-aneh. Aku cuman mau minta tolong sama kamu. Baik Safa mau pun anakku dan anakmu terlebih anak-anak kita, aku mau Jay konsen sekolah saja, jangan main apalagi pacaran."
"Lho? Siapa yang main atau pacaran? Anakku sama anakmu itu ... "
"Itu saja, tolong akrabmu pada Safa dibatasi. Terima kasih, aku pamit."
+++
Dari perjalanan pulang hingga berbuka puasa menuju jam tarawih situasi rumah keluarga Gandhi yang biasanya hangat terasa menegangkan karena mood kepala keluarganya yang belum membaik. Nyonya Gandhi tampak menyibukkan diri dengan menyeduh teh yang ia racik dengan bunga melati di dalamnya. Teh racikan ini adalah favorit suami kesayangannya.
"Kalau dia tidak beda agama sama kamu, aku yakin kamu akan terima dia daripada menerima taaruf hingga menikah bersamaku."
Nyonya Gandhi menghela napas, namanya sedang kesal dan cemburu, bahasa suaminya itu juga akan tajam. Sudah biasa baginya. Melupakan rasa sedihnya, Nyonya Gandhi mencoba mengetuk lembut pintu ruang kerja suaminya. "Mas? Aku masuk, ya? Ini aku buatin teh kesukaanmu."
"Hm."
Setelah pintu terbuka pelan, ia masuk dan mendapati suaminya yang mulai lebih melunak namun masih sibuk mengalihkan perhatian ke pekerjaan. Dasar tsundere. Dengan sabar, Nyonya Gandhi menuangkan teh ke dalam cangkir, tak lupa menaruh biskuit keju kesukaan sang suami.
"Masih marah?"
"Siapa yang marah? Kamu aja yang geer mikirnya aku marah."
"Astaga." Nyonya Gandhi tertawa, menarik kursi lain untuk duduk di dekat sang suami. Dengan lembut pula menggenggam tangan suaminya. "Mas, coba lihat aku, deh. Aku mau cerita."
"Apa?"
Nyonya Gandhi tersenyum. Mengusap perlahan tangan suaminya dalam genggaman dan mulai bercerita. "Dahulu kala, ada anak perempuan yang sangat enggak pede sama penampilan fisiknya, semua yang ada dalam dirinya selalu ia anggap sebagai kekurangan dan segala sesuatu yang ia perjuangkan selalu berakhir kandas, tak terkecuali soal asmara."
Nyonya Gandhi menjeda, mengusap cincin di jari manisnya seraya tersenyum, kemudian melanjutkan. "Di tengah badai ketidakpercayaan diri perempuan ini berdoa supaya dipertemukan sebuah rumah tempatnya melepas lelah, sebuah rumah tempatnya merajut kisah dan saling mengobati ketika luka itu ada, hingga Allah beri dia kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki diri dan bertemu rumah itu. Di dalam kepalaku, enggak pernah terpikirkan untuk menerima lamaran siapapun dia sebaik apa dia kalau dia tidak senapas sama aku. Dan Mas perlu tahu, perjalanan kita sejauh ini tidak mudah, memperjuangkan buah hati kita juga sulit. Jadi, bagaimana bisa aku berpaling dari kalian?"
Gandhi terhenyak mendengarkan penuturan istrinya, tak berselang lama, ia merengkuh istrinya erat-erat dalam pelukan, melafalkan kalimat maaf ribuan kalinya seraya mengusap penuh kasih belakang kepala istrinya. Nyonya Gandhi terkekeh pelan, menyandarkan kepalanya di pundak sang suami. "By the way, Mas tau enggak kalau Jay deket sama anaknya Marcel?"
"Iya, tau. Cuman anak itu lebih tertutup daripada Pandu. Aku cemas itu anak enggak fokus belajar malah patah hati."
"Emang Mas masih mau larang Pandu sama Jay pacaran bahkan setelah lulusan tiba?"
"Aku enggak larang mereka, boleh temenan, cuman kalau dekat tanpa ada kejelasan aku juga enggak suka. Bukan faktor Marcel ayahnya Gisel, aku lebih enggak mau Jay kecewa karena sejak awal Gisel sama dia enggak bisa menyatu, Sayang. Kamu yang pernah mengalami pasti tau benar rasanya."
"Benar juga. Aku pikir awalnya dia lagi pedekate sama Meita. Kalau sama dia, aku enggak masalah, sih, Mas. Toh, kita kenal orang tuanya."
"Kamu coba ajak ngobrol si Jay aja. Siapa tahu dia jadi mengerti, sebelum rasanya semakin mendalam."
"Iya, Mas. Nanti aku coba komunikasikan sama Pandu juga."
Gisel perlahan turun dari ranjang dan duduk di depan meja belajarnya, meraih sebuah tasbih yang sebenarnya bukan miliknya, kemudian ia mengambil rosario yang tergeletak tak jauh dari lampu belajar miliknya. Lama ia menatap kedua benda itu, secara perlahan pula otaknya kembali memutar kejadian tadi sore."Sekali lagi, maaf dan terima kasih banyak, berkatmu ketertinggalanku lumayan terkejar. Jadi kita lebih siap saat olimpiade besok." Gisel tersenyum tulus ke arah Jay yang saat ini sama-sama belum pulang. Gadis itu kemudian berjalan mendekat ke arah Jay yang tampak terkejut, membuatnya heran."Ada perlu apa lagi?""Tidak ada, aku cuman bingung kenapa kamu kelihatan tidak nyaman berada di sekitarku?"Jay lama menatapnya, matanya kemudian bergulir ke sana ke mari dengan gumaman abstrak yang Gisel tak mengerti apa yang pemuda itu katakan."Kamu en
Tak terasa ramadhan sudah mencapai di hari ketujuh. Seusai sholat terawih bersama papa dan abangnya, Pandu memutuskan untuk mampir sebentar ke warung untuk membeli jajanan kesukaannya. Setelah sebelumnya berpamitan dengan abang maupun papanya, pemuda itu berlari ke warung milik salah satu warga yang sudah hapal, namanya mbok Jum."Assalamualaikum, mbok! Mau jajan es susu Moli dong! Air nya dikit aja, susu Molinya dua bungkus, ya!""Waalaikum salamcah bagus, jajanannya susu Moli gimana engga tinggi kamu, nih. Siap-siap, duduk dulu, mbok buatkan sebentar, ya!""Siap, mbok!"Pandu mendudukkan dirinya di sebuah tikar yang biasa di gelar oleh Mbok Jum untuk anak-anak muda yang sekedar nongkrong sebentar untukngopi
Terik di luar mungkin membuat sebagian besar orang malas sekedar pergi keluar rumah, memilih untuk bergumul di dalam kamar, menyalakan kipas atau AC dan menunggu sampai waktu berbuka tiba dengan kegiatan di dalam ruangan. Pandu menyenderkan badannya seraya menatap pemandangan kota dari jendela bus, di sampingnya terlihat Meita yang terus-terusan menatapnya khawatir."Pan, kamu yakin kamu engga apa-apa? Mukamu makin pucat, lho. Kita balik aja, ya?""Nanggung. Udah setengah jalan, lagian aku males di rumah meski engga enak badan gini, mending keluar mumpung ada yang ngajak.""Lagi debat sama abang?"Pandu mengangguk, kembali menatap galau ke arah luar tanpa minat lebih menikmati waktu jalan-jalannya.
Malam tadarus Meita berakhir dengan baik di rumah bersama papanya. Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam video call bersama mamanya setelah teraweh, Meita memutuskan turun menyusul papanya yang masih setia menonton siaran ulang sepak bola sebelum jam tidurnya tiba. Jordi menatap putrinya heran, Meita memang tipikal gadis tomboy tapi biasanya dia malas dan cenderung tidak suka menonton sepak bola."Pah, Mei mau tanya deh?""Hm? Tanya apa, nak?""Apa di sekolah ada semacam OSN atau olimpiade saat ini? Aku bisa ikutan, kan? Papa kepsek pasti bisa mengusahakan."Jordi mematikan televisi di depannya, menatap serius ke putrinya, baru setelahnya menghela napas pelan."Apa ada kaitannya
Hari ini, Pandu memutuskan untuk tidak berangkat sekolah dulu karena demam yang belum sepenuhnya turun. Padahal saat ini sedang banyak-banyaknya latihan ujian. Pandu menghela napas, kembali menutup buku pelajarannya dan merebahkan badannya di atas ranjang, percuma belajar dalam kondisi badan kurang fit begini semua pelajaran tidak mampu dia cerna dengan baik.Pandu kemudian meraih sebuah gantungan kunci di meja kecil samping tempat tidurnya. Gantungan kunci pemberian Meita, entah kenapa dia jadi rindu dengan teman baiknya itu? Sedang apa dia? Apa dia masih marah denganku? Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Pandu, tapi satu yang masih membuatnya berpikir. Tentang dia sendiri yang berusaha keras menyimpan kejadian dimana Jay menyukai Gisel dari Meita, bahkan Jay sendiri menanyakan ini padanya langsung, mengapa Pandu melakukannya?
Tuhan tahu, tapi menunggu, kalau kata pepatah mengatakan demikian, begitu pula dengan yang tengah si kembar alami saat ini. Pandu dan Jay beserta keluarga akhirnya bisa terbebas dari suara bising perkotaan Jakarta. Keluarganya memutuskan untuk pindah ke Kota Yogyakarta, tempat di mana sang ayah dipindahtugaskan sekarang. Pandu menatapi setiap gedung, jalanan, dan ruko tua yang mereka lewati. Meski terbilang masuk kota, suasana hijau dan asri lebih terasa ketimbang saat ia beserta keluarga masih di Jakarta.Pandu balik mengalihkan pandangan ke arah kembarannya. Jay yang lebih kalem dan tua darinya tiga menit itu sedang sibuk membaca buku komik marvelnya. Ah, meski kembar kesukaan mereka berbeda, Jay lebih suka marvel sedang dia lebih suka DC. Jay orangnya pendiam, tidak seperti dirinya yang lumayan bawel dan luwes dengan orang baru. Menjadi kembar tidak serta merta membuatmu sama persis satu sama lainnya."Pan, kamu masih debat juga sama Abangmu?"Pandu mendecak.
"Kenalin, aku Meita Putri Sholehah. Namamu siapa?""Pandu. Namaku Gandhi Pandu Jayasthu, terus ini abangku namanya Gandhi Putra Jayasthu.""Abangmu ganteng, kok kamu enggak?"Begitulah awal mula pertemanan Pandu dengan Meita. Disebut akur, tidak juga, mereka bermusuhan pun, tidak juga. Satu yang membuat Pandu yakin bahwa Meita adalah sahabat satu-satunya yang tulus karena Meita tak pernah memandang segala sesuatu dari materi dan selalu berusaha setia kawan dalam segala situasi sulit sekali pun."Lho? Kamu kok enggak pulang, Pan?""Mamaku lagi jagain Abang yang sakit, aku lupa bawa payung jadi berteduh dulu.""Sini, deh. Aku anterin, payungku gede buat badan kita yang kecil pasti muat.""Iya, deh. Kamu cewek kok bar-bar, sih?""Hah? Bar-bar itu apaan? Makanan?""Bukan
Hujan yang masih setia berjatuhan tak pelak menahan langkah Meita untuk nekad pulang dan membasahi badannya di bawah air langit itu. Hari ini adalah awal ramadan dimulai dan semenjak kejadian itu, Meita semakin enggan menyapa ayah tirinya, meski lelaki itu berusaha susah payah untuk meluluhkan hatinya.Meita tentu tidak asing dengan Jordi. Jordi adalah teman lama almarhum ayahnya, salah satu investor yang turut andil dalam pembangunan SMA Lazuardi Bangsa. Jordi juga bukan lelaki pembual, kasar atau pun memiliki perangai buruk. Yang Meita tahu, almarhum ayahnya sangat dekat dengan dia. Dan entah takdir seperti apa, dua tahun setelah kematian sang ayah, ibunya memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu, yang menyebabkan Jordi menjadi ayah tirinya.Ini bukan salah siapa pun, Meita sendiri tidak mau terlalu memusingkan urusan orang tua yang kadang justru dia dianggap hanya mengganggu setiap ia berusaha memberi masukan dan orang yang paling melakukan perlawanan itu adalah