Malam tadarus Meita berakhir dengan baik di rumah bersama papanya. Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam video call bersama mamanya setelah teraweh, Meita memutuskan turun menyusul papanya yang masih setia menonton siaran ulang sepak bola sebelum jam tidurnya tiba. Jordi menatap putrinya heran, Meita memang tipikal gadis tomboy tapi biasanya dia malas dan cenderung tidak suka menonton sepak bola.
"Pah, Mei mau tanya deh?"
"Hm? Tanya apa, nak?"
"Apa di sekolah ada semacam OSN atau olimpiade saat ini? Aku bisa ikutan, kan? Papa kepsek pasti bisa mengusahakan."
Jordi mematikan televisi di depannya, menatap serius ke putrinya, baru setelahnya menghela napas pelan.
"Apa ada kaitannya sama Jay yang jadi ketua kelompok? Makanya ingin ikut? OSN besok untuk kelas tiga, sayang. Sekalian buat mengukur kemampuan mereka sebelum ujian kelulusan dan masuk universitas."
"Tapi, aku mampu, kok!"
"Iya, papa tahu kamu mampu, masalahnya anggota OSN sudah lengkap, kemarin sempat kosong tapi sudah terisi kembali."
"Iss, dasar Gisel perebut gebetan orang!"
"Lho? Kok kamu bisa tahu anak yang balik ke kelompok OSN itu Gisel?"
Meita menghela napas, akhirnya ia pun memutuskan menceritakan semua yang ia alami tadi sore hingga pertengkarannya bersama Pandu, Jordi mendengarkan dengan seksama, sesekali tersenyum kecil ketika raut muka putrinya berubah-ubah dari kesal menjadi netral, dari netral menjadi kesal lagi.
"Aku ikhlas, sih kalau kak Jay suka sama kak Gisel itu, masalahnya aku kok jadi dongkol banget gitu, pa sama Pandu."
"Kenapa gitu? Pandu, kan sudah berusaha menjaga perasaan kamu meski berakhir kamu melihatnya sendiri, nak."
"Iya, tapi aku kesel tahu, pah! Dia engga cerita sama aku sejujurnya dari awal, terus sampe bela-belain sembunyiin masalah ini biar aku engga kepikiran, ujungnya dia sakit, terus..."
"Terus Mei merasa harus turut bertanggung jawab karena Pandu sakit karena kepikiran sendirian?"
"Iya..."
Meita menunduk, memainkan jarinya tanpa arti kemudian kembali menghela napas. Ia kembali menatap papanya penuh atensi.
"Apa papa sering gitu sama mamah?"
"Gitu gimana, hm?"
"Menyembunyikan beberapa hal biar mamah engga cemas. Apalagi situasi sekarang mamah baru pulang setelah lebaran."
"Iya, salah satunya pertengkaran kita tempo hari."
"Hah? Serius, pah?"
Jordi terkekeh, mengacak rambut putrinya itu penuh sayang, lalu kembali menjawab rasa ingin tahu putrinya itu dengan sabar.
"Mei harus tahu perbedaan anak perempuan dengan anak laki-laki itu seperti apa, kalau perempuan itu menang dalam hal ekspresi jadi mudah buat mereka mengungkapkan isi hati, lega kalau sudah curhat. Berbeda dengan anak laki-laki."
"Memang kalau laki-laki engga bisa curhat? Pandu biasanya bisa, kok!"
"Iya, tapi mungkin ego Pandu satunya menahan buat engga bahas hal ini dengan kamu. Bukan karena Pandu tidak percaya sama kamu, lebih karena Pandu merasa hal ini tidak akan ada artinya kalau hanya melukai kamu, orang yang bagi Pandu penting.."
Meita mengerjapkan matanya, mencerna setiap ucapan sang papa. Jordi kembali melanjutkan dengan tanpa mengurangi rasa sabarnya.
"Dari yang Mei ceritakan papa bisa tahu, kok. Pandu itu sangat mempedulikan dan menghargai perasaan Mei ke Jay, itulah kenapa dia berperang dengan dirinya sendiri, antara harus cerita atau tidak. Dan mungkin saat ini, dia masih bergelut dengan pikirannya. Kamu engga kasihan? Sudah habis di marahin, lagi sakit pula.."
"Ih, papa gitu! Aku jadi merasa bersalah."
"Hei, kok malah mau nangis lagi."
Jordi terkekeh, kembali memeluk anaknya itu dan berusaha menguatkan putrinya.
"Kalau Mei merasa bersalah, itu artinya Allah kasih kamu hidayah. Besok, Mei datangi rumah Pandu dan minta maaf, ya?"
Meita mendongak menatap papanya, tersenyum tipis seraya mengangguk, kemudian kembali memeluk erat papanya itu. Berkat Pandu juga, ia sekarang memiliki hubungan baik dengan papa, tanpa ada sekat ataupun rasa asing.
"Makasih, ya pah. Jangan bosan nasehatin Mei.."
"Engga akan. Nah, udah malam ini. Bobok, yuk? Yang soal masalah hari ini di pikir besok lagi. Oke?"
"Oke, pa!"
+++
Pandu mengerjapkan matanya, terjaga karena rasanya demam yang sedang melandanya belum juga turun, belum lagi suara isakan tangis yang memilukan dan sedikit mengerikan di tengah malam begini. Jangan bilang ada hantu yang lagi nangis? Pikir Pandu paranoid.
"Astaghfirullah! Bang! Ngapain sih pake simpuh deket kasurku! Mana nangis pula! Kirain jejadian, tahu!"
Jay menatap sedih ke arah adik kembarnya, mengelap ingusnya dengan lengan kaos dan segera memeluk erat badan sang adik. Pandu mengerjapkan matanya bingung, sudah terhitung jarang mereka melakukan skinship seperti ini karena kadang Jay merasa memalukan melakukan di depan orang tua mereka. Ada apa? Apa abangnya mimpi buruk?
"Bang, kenapa, sih? Mimpi buruk?"
"Maafin abang, Pan. Abang salah bikin kamu sampe sakit begini."
Jay melepas pelukannya, menyentuh kening adiknya yang masih lumayan panas. Tangisnya kembali pecah namun buru-buru Pandu membekapnya dan menyuruhnya untuk pelan-pelan saja.
"Kalau papa mama denger, di kira kita gelut lagi, bang! Elah, aku cuman demam, kok! Engga masalah."
"Aku hapal kamu, Pan. Kamu itu selalu mementingkan kepentingan keluarga di atas kamu sendiri, kita bertengkar kemarin soal Gisel, kamu pendam rasa kesal kamu dan memilih lupain karena kamu engga mau menyimpan dendam, dan sesayang itu kamu ke aku maupun Meita. Kamu masih berusaha menutupi apa yang kulakukan sama temanmu itu. Maaf, maafin abang yang engga bisa menjaga kamu dengan baik.."
"Ah, abang jangan bilang gitu. Meski Pandu kesel sama tindakan abang, Pandu juga mengerti abang kelak pasti punya kehidupan sendiri yang engga bisa asal Pandu atur, begitu juga papa sama mama. Kami hanya khawatir, terutama mama, kalau abang mengalami hal serupa yang pernah mama alami barengan sama papanya Gisel, om Marcel."
Pandu mengusap lengan abangnya perlahan, mengulas senyum kecil meyakinkan semuanya akan baik-baik saja nanti.
"Makasih, ya Pan. Abang bangga sekali punya adik sepertimu."
"Ah, bikin malu tengah malem aja, abang mah! Tapi, aku agak kepo dikit boleh?"
"Soal apa?"
"Soal Gisel, dia kenapa kayak panik tadi?"
"Oh, iya. Mau cerita tadi belum sempat. Gisel itu penderita Post Traumatic Stress Disorder, di singkatnya PTSD. Yang aku tahu, dulu setelah berpisah sama mama, om Marcel itu kembali menjalin hubungan dengan cewek muslim, hingga menikah di Paris, tapi satu dan lain hal terjadi sebuah kecelakaan dimana mamanya Gisel tak selamat."
"Itu juga alasan abang engga bisa ninggalin dia?"
"Iya, aku sadar dia pun punya perasaan yang sama, yang jadi masalahku saat ini, aku juga engga mau terlibat hubungan tanpa di dasari agama dan ujungnya pacaran engga jelas. Hanya saja, melihat situasi Gisel sekarang, abang engga sampai hati buat membahasnya."
Pandu mendengarkan dengan seksama setiap yang Jay ucapkan. Ia paham sekarang situasi abangnya pun sedang rumit, belum lagi OSN yang sudah di depan mata.
"Dan satu lagi, Pan. Gisel itu punya penyakit auto imun, dia akan sering pingsan atau demam ketika penyakitnya kambuh, dan engga jarang akan lupa dengan semua yang sudah ia ingat karena efek terapi yang dia jalani. Aku pernah membahas soal mundurnya dia dari OSN tapi dia bersikeras untuk ikut dan membuktikan bahwa dia yang punya PTSD dan autoimun bisa juga berprestasi seperti kebanyakan orang."
"Berat juga, aku jadi bingung nanggapinnya gimana, bang."
Pandu menghela napas pelan, ia kembali mengangguk dan melanjutkan apa yang menurutnya lebih bijak saat ini.
"Daripada membahas memperjelas hubungan saat ini kupikir abang perlu temani dia sebagai orang di sisinya aja, bukan pacar juga, tapi sebagai sahabat. Abang juga tahu kalau pacaran belum bisa kita lakukan selama kita belum dewasa banget."
"Aku juga berpikir begitu, by the way kamu sama Meita bertengkar?"
"Debat biasa, mah. Paling besok aku minta maaf, cuman engga tahu juga kuat engga demam aja belum turun."
Jay mengangguk mengiyakan, kembali menyuruh Pandu untuk tidur sementara pemuda itu turun menuju dapur untuk mengganti kompresan air dan mengambil air minum. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi, mama dan papanya terlihat masih terlelap dan beberapa kali alarm ponsel mamanya berbunyi. Jay tersenyum seraya menghampiri kamar mereka, mematikan alarm ponsel itu dan memastikan orang tuanya belum bangun. Kali ini biar dia saja yang memasak untuk keluarganya.
+++
Sekembalinya Jay menuju kamar Pandu, ia menemukan adiknya itu sudah terlelap, dengan cekatan dan tanpa membangunkannya, Jay kembali mengompres kening Pandu.
"Lho? Kamu masak, nak?"
"Eh, mama. Yah, padahal Jay udah berusaha engga buat suara, bangun juga endingnya, hehe."
"Mama engga kebangun kaget kok, alami aja meski alarm belum nyala kadang mama udah bangun. Sini mama bantu masak."
"Mama siapin air minum aja, masaknya Jay bantu. Kasihan beberapa hari ini Jay udah salah sama mama."
Nyonya Gandhi mengerjapkan mata, tersenyum seraya sekilas menghela napas, wanita itu kemudian berjalan menuju lemari es hendak memotong beberapa buah. Ia melirik sekilas putra sulungnya.
"Keadaan Gisel gimana, hm?"
"Sejauh ini aman, kok mah. Hanya serangan paniknya suka tiba-tiba muncul, apalagi OSN tinggal hitungan hari."
Nyonya Gandhi mengangguk, kemudian menyuapkan buah ke arah putranya. Ia kembali mengulas senyum ke arah Jay.
"Melihat kamu sekarang, rasanya seperti kembali melihat mama yang dulu."
"Apa om Marcel punya sakit yang sama?"
"Engga, dia sehat aja. Hanya situasi yang kamu hadapi, kamu berkorban demi kebaikan anak itu. Mama pun pernah melakukannya, pesan mama satu, Jay. Jangan pernah kamu tinggalkan Tuhanmu untuk seorang manusia, dan jangan biarkan dia terpaksa meninggalkan Tuhannya demi kita juga."
Jay terdiam mendengarkan nasehat ibunya. Ibunya itu kembali melanjutkan apa yang menjadi pikirannya.
"Selama ini, baik papa dan mama tidak pernah menyangka akan bisa menjadi orang tua yang baik. Sampai sekarang masih, ketika kami di hadapkan hal dimana melibatkan perbedaan antara anak dan orang tua, kami akan kembali menyerahkan hal itu kepadamu, bukan tanpa alasan, tapi karena kami percaya kamu bisa menyelesaikan dengan versimu sendiri."
Nyonya Gandhi mengusap kepala putranya, menatap menerawang seraya tersenyum keibuan.
"Bayi mama yang biasa suka nangis kalau mama tinggal masak dulu sepertinya sudah besar, ya? Sudah kenal cewek, sudah bisa naksir, hihi. Bertemanlah dengan dia sepuasmu dan secukupnya, bantu dia melawan hari-hari sulitnya jika kamu bisa, ingat juga, jangan pernah memaksakan diri dan terlalu berharap dengan apa yang sudah kita kerjakan, oke?"
"Yee mamah, nih! Malah ngeledek. Tapi, makasih engga pernah bosan memberikan masukan ke Jay, mah."
Mereka berdua tertawa, kembali melanjutkan memasak mereka seraya menunggu waktu menuju sahur tiba. Lagi-lagi, Jay kembali bersyukur kesekian kalinya, bersyukur sekali kalau ia lahir dalam keluarga dimana mama dan papanya yang menjadi orang tua mereka, serta Pandu yang menjadi adiknya.
-to be continue
Hari ini, Pandu memutuskan untuk tidak berangkat sekolah dulu karena demam yang belum sepenuhnya turun. Padahal saat ini sedang banyak-banyaknya latihan ujian. Pandu menghela napas, kembali menutup buku pelajarannya dan merebahkan badannya di atas ranjang, percuma belajar dalam kondisi badan kurang fit begini semua pelajaran tidak mampu dia cerna dengan baik.Pandu kemudian meraih sebuah gantungan kunci di meja kecil samping tempat tidurnya. Gantungan kunci pemberian Meita, entah kenapa dia jadi rindu dengan teman baiknya itu? Sedang apa dia? Apa dia masih marah denganku? Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Pandu, tapi satu yang masih membuatnya berpikir. Tentang dia sendiri yang berusaha keras menyimpan kejadian dimana Jay menyukai Gisel dari Meita, bahkan Jay sendiri menanyakan ini padanya langsung, mengapa Pandu melakukannya?
Tuhan tahu, tapi menunggu, kalau kata pepatah mengatakan demikian, begitu pula dengan yang tengah si kembar alami saat ini. Pandu dan Jay beserta keluarga akhirnya bisa terbebas dari suara bising perkotaan Jakarta. Keluarganya memutuskan untuk pindah ke Kota Yogyakarta, tempat di mana sang ayah dipindahtugaskan sekarang. Pandu menatapi setiap gedung, jalanan, dan ruko tua yang mereka lewati. Meski terbilang masuk kota, suasana hijau dan asri lebih terasa ketimbang saat ia beserta keluarga masih di Jakarta.Pandu balik mengalihkan pandangan ke arah kembarannya. Jay yang lebih kalem dan tua darinya tiga menit itu sedang sibuk membaca buku komik marvelnya. Ah, meski kembar kesukaan mereka berbeda, Jay lebih suka marvel sedang dia lebih suka DC. Jay orangnya pendiam, tidak seperti dirinya yang lumayan bawel dan luwes dengan orang baru. Menjadi kembar tidak serta merta membuatmu sama persis satu sama lainnya."Pan, kamu masih debat juga sama Abangmu?"Pandu mendecak.
"Kenalin, aku Meita Putri Sholehah. Namamu siapa?""Pandu. Namaku Gandhi Pandu Jayasthu, terus ini abangku namanya Gandhi Putra Jayasthu.""Abangmu ganteng, kok kamu enggak?"Begitulah awal mula pertemanan Pandu dengan Meita. Disebut akur, tidak juga, mereka bermusuhan pun, tidak juga. Satu yang membuat Pandu yakin bahwa Meita adalah sahabat satu-satunya yang tulus karena Meita tak pernah memandang segala sesuatu dari materi dan selalu berusaha setia kawan dalam segala situasi sulit sekali pun."Lho? Kamu kok enggak pulang, Pan?""Mamaku lagi jagain Abang yang sakit, aku lupa bawa payung jadi berteduh dulu.""Sini, deh. Aku anterin, payungku gede buat badan kita yang kecil pasti muat.""Iya, deh. Kamu cewek kok bar-bar, sih?""Hah? Bar-bar itu apaan? Makanan?""Bukan
Hujan yang masih setia berjatuhan tak pelak menahan langkah Meita untuk nekad pulang dan membasahi badannya di bawah air langit itu. Hari ini adalah awal ramadan dimulai dan semenjak kejadian itu, Meita semakin enggan menyapa ayah tirinya, meski lelaki itu berusaha susah payah untuk meluluhkan hatinya.Meita tentu tidak asing dengan Jordi. Jordi adalah teman lama almarhum ayahnya, salah satu investor yang turut andil dalam pembangunan SMA Lazuardi Bangsa. Jordi juga bukan lelaki pembual, kasar atau pun memiliki perangai buruk. Yang Meita tahu, almarhum ayahnya sangat dekat dengan dia. Dan entah takdir seperti apa, dua tahun setelah kematian sang ayah, ibunya memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu, yang menyebabkan Jordi menjadi ayah tirinya.Ini bukan salah siapa pun, Meita sendiri tidak mau terlalu memusingkan urusan orang tua yang kadang justru dia dianggap hanya mengganggu setiap ia berusaha memberi masukan dan orang yang paling melakukan perlawanan itu adalah
Safaira menghela napas, menatap tumpukan dokumen yang rasanya belum berkurang dari minggu lalu, dia juga baru ingat pagi belum sempat pergi ke supermarket untuk membeli keperluan bahan makanan. Wanita yang akrabnya dipanggil Nyonya Gandhi itu mematikan komputer di depannya, tersenyum seraya mengambil sebuah pigura foto di mana ada dirinya dan suami yang menggendong si kembar semasa bayi.Perjuangannya menjadi seorang ibu tidak mudah. Jauh sebelum menikmati apa yang mereka dapatkan saat ini, Gandhi dan Safaira bekerja sangat keras, selalu berusaha menyeimbangkan. Cobaan itu perlahan mendorong mereka tumbuh menjadi orang tua yang kuat dan berdedikasi. Sebelum mengandung si kembar, Safa sempat keguguran akibat kelelahan. Tuntutan perekonomian mereka saat itu harus disokong berdua, Safa berusaha keras untuk kembali bisa mengandung, hingga lahirlah dua pangeran kebanggaan mereka, Gandhi Putra Jayasthu dan Gandhi Pandu Jayasthu."Nyonya, belum pulang? Sudah makin sore, lho."
Gisel perlahan turun dari ranjang dan duduk di depan meja belajarnya, meraih sebuah tasbih yang sebenarnya bukan miliknya, kemudian ia mengambil rosario yang tergeletak tak jauh dari lampu belajar miliknya. Lama ia menatap kedua benda itu, secara perlahan pula otaknya kembali memutar kejadian tadi sore."Sekali lagi, maaf dan terima kasih banyak, berkatmu ketertinggalanku lumayan terkejar. Jadi kita lebih siap saat olimpiade besok." Gisel tersenyum tulus ke arah Jay yang saat ini sama-sama belum pulang. Gadis itu kemudian berjalan mendekat ke arah Jay yang tampak terkejut, membuatnya heran."Ada perlu apa lagi?""Tidak ada, aku cuman bingung kenapa kamu kelihatan tidak nyaman berada di sekitarku?"Jay lama menatapnya, matanya kemudian bergulir ke sana ke mari dengan gumaman abstrak yang Gisel tak mengerti apa yang pemuda itu katakan."Kamu en
Tak terasa ramadhan sudah mencapai di hari ketujuh. Seusai sholat terawih bersama papa dan abangnya, Pandu memutuskan untuk mampir sebentar ke warung untuk membeli jajanan kesukaannya. Setelah sebelumnya berpamitan dengan abang maupun papanya, pemuda itu berlari ke warung milik salah satu warga yang sudah hapal, namanya mbok Jum."Assalamualaikum, mbok! Mau jajan es susu Moli dong! Air nya dikit aja, susu Molinya dua bungkus, ya!""Waalaikum salamcah bagus, jajanannya susu Moli gimana engga tinggi kamu, nih. Siap-siap, duduk dulu, mbok buatkan sebentar, ya!""Siap, mbok!"Pandu mendudukkan dirinya di sebuah tikar yang biasa di gelar oleh Mbok Jum untuk anak-anak muda yang sekedar nongkrong sebentar untukngopi
Terik di luar mungkin membuat sebagian besar orang malas sekedar pergi keluar rumah, memilih untuk bergumul di dalam kamar, menyalakan kipas atau AC dan menunggu sampai waktu berbuka tiba dengan kegiatan di dalam ruangan. Pandu menyenderkan badannya seraya menatap pemandangan kota dari jendela bus, di sampingnya terlihat Meita yang terus-terusan menatapnya khawatir."Pan, kamu yakin kamu engga apa-apa? Mukamu makin pucat, lho. Kita balik aja, ya?""Nanggung. Udah setengah jalan, lagian aku males di rumah meski engga enak badan gini, mending keluar mumpung ada yang ngajak.""Lagi debat sama abang?"Pandu mengangguk, kembali menatap galau ke arah luar tanpa minat lebih menikmati waktu jalan-jalannya.