Daniel terdiam sejenak, matanya terpaku pada kilauan yang memantul dari anting berkilau yang tergeletak di sudut tembok dekat ruang kerja kakeknya. Daniel meraih anting itu dengan hati-hati. Tiba-tiba, suara langkah ringan asisten rumah tangga memecah keheningan ruangan. Daniel segera menghentikannya, matanya menatap tajam ke arah asisten tersebut. "Apakah semalam ada tamu yang datang menemui Grandpa?" tanya Daniel. "Maaf, Tuan Muda. Semalam, Tuan Besar memerintahkan kami semua untuk membantu persiapan ulang tahunnya, jadi tidak ada seorang pun yang tinggal," jawab asisten rumah tangga itu dengan suara lembut."Tidak ada seorang pun yang tinggal?" tanya Daniel. "Tuan Besar memerintahkan kami semua untuk mengosongkan rumah ini," jawab asisten rumah tangga itu dengan suara yang penuh kepatuhan dan rasa hormat. 'Mengosongkan rumah ini? Tapi, untuk apa?' batin Daniel merasa bingung. Daniel menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Baiklah, aku mengerti. Kamu boleh kemb
Saat malam tiba, jiwa Daniel yang telah kembali ke tubuh aslinya tampak duduk tegak di sofa ruang tamu, matanya terfokus pada layar televisi yang menampilkan film lama diputar. Namun, pikirannya jauh dari adegan film tersebut. Pertanyaan tentang keberadaan Olivia di kediaman kakeknya terus menghantuinya. "Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Emily membuyarkan lamunan Daniel yang duduk di sampingnya. "Em, sepertinya aku harus pergi malam ini," ucap Daniel dengan suara pelan. "Pergi ke mana?" tanya Emily dengan nada penasaran. "Ada sesuatu yang harus aku selesaikan," jawab Daniel, mencoba menyembunyikan rasa gelisahnya di balik senyum samar. "Sesuatu?" gumam Emily, mencoba membaca ekspresi Daniel yang tersembunyi di balik senyumnya. Daniel mengangguk pelan sebelum menjawab, "Iya, ada sesuatu yang harus aku selesaikan."Emily merasakan kekhawatiran yang tak terucapkan, namun dia memilih untuk tidak menanyakan lebih lanjut. "Pergilah, jangan pulang terlalu malam," uc
Olivia kembali terhanyut dalam kenangan saat dia bersembunyi dari sosok misterius itu. Ketika langkah kaki orang itu berhenti tepat di dekat tempat persembunyiannya, Olivia merasa detak jantungnya semakin cepat. Dia hanya bisa berdiri dalam diam, takut akan terbongkar keberadaannya. Sosok itu terbungkus dalam jubah hitam yang menutupi identitasnya sepenuhnya. Meskipun tidak bisa melihat wajahnya, suara berat dan tegasnya menusuk ke dalam hati Olivia saat dia tertawa dengan begitu keras sebelum akhirnya berkata. "Selamat tinggal, Dad."Perkataan orang misterius itu segera disampaikan oleh Olivia kepada Daniel. Wajah Daniel terpancar kegelisahan dan kekhawatiran yang tak mampu dia sembunyikan. "Baiklah, aku mengerti," ucap Daniel dengan suara yang hampir tidak kedengaran. "Kamu pasti akan tetap mendukung perusahaanku, kan?" tanya Olivia penuh kecemasan. Daniel menoleh tajam ke arah Olivia "Apakah kamu siap jika aku membutuhkan kesaksian darimu?" tanyanya dengan suara tegas.Olivia te
Kaca pecah yang dilemparkan oleh sosok misterius itu berserakan di atas lantai, sementara aroma alkohol yang tumpah membasahi permukaan lantai. Tubuhnya masih hidup, namun jiwa yang terkubur dalam kegelapan sepertinya telah mati sejak lama. Setiap detiknya dipenuhi rasa hampa dan kekosongan yang tak terucapkan, membuatnya meragukan makna hidup yang tengah dijalaninya.Dering telepon tiba-tiba memecah keheningan yang menyelimuti ruangan, membuyarkan segala pikiran gelap yang menghantui sosok misterius tersebut."Halo, Bos," suara anak buahnya memecah keheningan. "Pesanan telah tiba di tujuan."Sosok misterius itu menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum menjawab, "Apakah ada kendala selama proses pengiriman?""Semuanya berjalan mulus, tidak ada hambatan," jawab anak buah itu."Baiklah," ucap sosok misterius itu sebelum memutuskan sambungan telepon. ***Keesokan paginya, jiwa Emily dan Daniel kembali bertukar. Emily merasa ingin bergerak, tetapi tak bisa karena tan
Saat Daniel memutar ulang rekaman tersebut, ia dengan jelas melihat bahwa ada waktu tertentu yang tidak tercatat dalam rekaman CCTV. Seolah-olah ada celah waktu yang hilang, di mana rekaman langsung melompat dari satu waktu ke waktu berikutnya tanpa ada jejak aktivitas di antaranya. Kening Daniel berkerut, kecurigaan mulai menyelimuti dirinya bahwa ada upaya kesengajaan orang misterius itu untuk memanipulasi rekaman CCTV dengan sengaja menghapus waktu tertentu. "Dia telah menghapus rekaman ini," gumam Daniel. Rahangnya mengeras dengan tangannya yang mengepal kuat, menahan kemarahan yang hendak meluap di dalam dirinya. Daniel segera mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya menari di tombol keyboard hingga dia menemukan nomor kontak seseorang yang bisa membantunya dalam hal ini, kepala tim IT di perusahaannya. Dengan ketegasan, Daniel menekan nomor tersebut dan menunggu sambungan untuk meminta bantuan. "Halo," terdengar suara kepala tim IT perusahaan Winston. "Halo, saya adalah Emily,
Saat dihadapkan pada pertanyaan tersebut, sopir pribadi itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya senyum tipis yang menyelinap di wajahnya, memancarkan aura misterius yang sulit untuk ditebak. Tanpa aba-aba, mobil Daniel tiba-tiba berhenti di tepi jalan yang sunyi."Maaf, Pak. Saya harus bertemu dengan seseorang di sini. Apakah Bapak tidak keberatan untuk menunggu saya sebentar saja?" tanya sopir pribadi itu dengan nada sopan dan memohon, sementara tatapan matanya tetap menyimpan rahasia yang tak terungkap.Melihat ekspresi bingung yang terpancar dari wajah Emily, sopir pribadi itu menambahkan dengan penuh keyakinan, "Saya tidak akan lama, Pak.""Baiklah kalau begitu," jawab Emily tanpa secercah kecurigaan pun terlintas dalam benaknya, karena telah mempercayai sopir pribadi Daniel dengan sepenuh hati."Terima kasih, Pak," ucap sopir pribadi itu dengan sopan sebelum melangkah keluar dari mobil tersebut.Setelah sopir pribadi itu pergi, Emily mengambil ponselnya dengan harapan bisa
Emily mengangkat pandangannya ke arah suara yang memanggil namanya, dan di sana, di balik cahaya yang hangat, dia melihat sosok yang begitu dikenal olehnya."Daniel?" gumam Emily dengan suara yang penuh tanda tanya, matanya mencoba memfokuskan pada sosok di hadapannya. Sosok itu mendekat, langkah demi langkah yang penuh makna. Daniel, dengan tatapan penuh makna, mengulangi kata-katanya, "Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kamu sampai meninggalkanku." Wajah Daniel tampak begitu pucat dan penuh kesedihan. "Kembalilah, Em. Jangan tinggalkan aku," tambahnya dengan suara gemetar. Air mata Emily jatuh membasahi pipinya di ruang ICU. Kilasan mimpi di dalam alam bawah sadarnya membangkitkan emosinya, membuatnya menangis tanpa dapat menahan rasa sakit yang ia rasakan. "Dokter, detak jantungnya sudah kembali," ujar perawat dengan suara penuh kelegaan.Dokter yang sedang fokus melakukan tindakan defibrillator, mengangguk cepat. "Bagus, terus monitor kondisinya." ***Di ruang tunggu, Dan
Ingatan akan rekaman video yang dilihatnya pada kamera tersembunyi kakeknya membuat cengkeraman tangannya pada setir semakin menguat. Matanya memerah menahan emosi yang meluap di hatinya. Dengan perasaan yang masih teriris oleh ingatan yang menyakitkan, Daniel akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit tempat Emily dirawat. Setelah tiba di rumah sakit, langkah-langkah Daniel membawanya menuju ruang tunggu di mana Fred duduk dengan ekspresi cemas yang terpancar jelas dari wajahnya. "Kamu ke mana, Em?" tanya Fred dengan nada cemas. "Apa kamu sudah menunggu lama? Maafkan aku," ucap Daniel. "Em, apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Fred dengan suara penuh kekhawatiran. "Kamu bisa menceritakannya padaku. Sejak kapan putriku menjadi sangat tertutup seperti ini?" Daniel menjawab dengan senyuman pahit di bibirnya, mencoba menyembunyikan hal yang membebani pikirannya. Dia menatap Fred dalam diam. Fred tidak menyadari bahwa orang yang berdiri di had