Saat dihadapkan pada pertanyaan tersebut, sopir pribadi itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya senyum tipis yang menyelinap di wajahnya, memancarkan aura misterius yang sulit untuk ditebak. Tanpa aba-aba, mobil Daniel tiba-tiba berhenti di tepi jalan yang sunyi."Maaf, Pak. Saya harus bertemu dengan seseorang di sini. Apakah Bapak tidak keberatan untuk menunggu saya sebentar saja?" tanya sopir pribadi itu dengan nada sopan dan memohon, sementara tatapan matanya tetap menyimpan rahasia yang tak terungkap.Melihat ekspresi bingung yang terpancar dari wajah Emily, sopir pribadi itu menambahkan dengan penuh keyakinan, "Saya tidak akan lama, Pak.""Baiklah kalau begitu," jawab Emily tanpa secercah kecurigaan pun terlintas dalam benaknya, karena telah mempercayai sopir pribadi Daniel dengan sepenuh hati."Terima kasih, Pak," ucap sopir pribadi itu dengan sopan sebelum melangkah keluar dari mobil tersebut.Setelah sopir pribadi itu pergi, Emily mengambil ponselnya dengan harapan bisa
Emily mengangkat pandangannya ke arah suara yang memanggil namanya, dan di sana, di balik cahaya yang hangat, dia melihat sosok yang begitu dikenal olehnya."Daniel?" gumam Emily dengan suara yang penuh tanda tanya, matanya mencoba memfokuskan pada sosok di hadapannya. Sosok itu mendekat, langkah demi langkah yang penuh makna. Daniel, dengan tatapan penuh makna, mengulangi kata-katanya, "Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kamu sampai meninggalkanku." Wajah Daniel tampak begitu pucat dan penuh kesedihan. "Kembalilah, Em. Jangan tinggalkan aku," tambahnya dengan suara gemetar. Air mata Emily jatuh membasahi pipinya di ruang ICU. Kilasan mimpi di dalam alam bawah sadarnya membangkitkan emosinya, membuatnya menangis tanpa dapat menahan rasa sakit yang ia rasakan. "Dokter, detak jantungnya sudah kembali," ujar perawat dengan suara penuh kelegaan.Dokter yang sedang fokus melakukan tindakan defibrillator, mengangguk cepat. "Bagus, terus monitor kondisinya." ***Di ruang tunggu, Dan
Ingatan akan rekaman video yang dilihatnya pada kamera tersembunyi kakeknya membuat cengkeraman tangannya pada setir semakin menguat. Matanya memerah menahan emosi yang meluap di hatinya. Dengan perasaan yang masih teriris oleh ingatan yang menyakitkan, Daniel akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit tempat Emily dirawat. Setelah tiba di rumah sakit, langkah-langkah Daniel membawanya menuju ruang tunggu di mana Fred duduk dengan ekspresi cemas yang terpancar jelas dari wajahnya. "Kamu ke mana, Em?" tanya Fred dengan nada cemas. "Apa kamu sudah menunggu lama? Maafkan aku," ucap Daniel. "Em, apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Fred dengan suara penuh kekhawatiran. "Kamu bisa menceritakannya padaku. Sejak kapan putriku menjadi sangat tertutup seperti ini?" Daniel menjawab dengan senyuman pahit di bibirnya, mencoba menyembunyikan hal yang membebani pikirannya. Dia menatap Fred dalam diam. Fred tidak menyadari bahwa orang yang berdiri di had
Suara yang tidak asing membuyarkan konsentrasi Daniel, membuatnya berbalik dengan perasaan waspada. Di belakangnya, nenek misterius itu berdiri dengan tubuhnya yang rapuh, menatap Daniel dengan mata tajam yang seolah-olah dapat menembus jauh ke dalam jiwanya. Kehadirannya memberikan aura misterius, membuat bulu tengkuk Daniel meremang seketika.Nenek misterius itu mengangguk ke arah pintu rumah dengan lembut. "Masuklah ke dalam," ucapnya dengan suara yang tenang.Dengan langkah hati-hati, Daniel berjalan menuju ruang tamu, diikuti oleh nenek misterius yang berada di belakangnya. Mereka akhirnya duduk di ruang tamu yang terasa sepi namun sarat dengan atmosfer yang mencekam.'Bagaimana aku bisa sampai ke sini?' batin Daniel dalam hati, kebingungan terpancar jelas dari matanya. "Akulah yang membawamu kemari," sahut nenek misterius itu dengan suara yang tenang, seolah-olah dapat membaca pikiran Daniel. "Siapa kamu sebenarnya?" desak Daniel, suaranya dingin dan tegas. "Apa tujuanmu melak
Selama beberapa bulan yang panjang, Daniel masih belum juga bangun dari tidur panjangnya setelah terjebak dalam keadaan koma. Emily, setia berada di sampingnya setiap hari, merawatnya dengan penuh kasih dan kesabaran.Setiap hari, Emily membacakan buku-buku favorit Daniel. Suaranya mengalun lembut memenuhi ruangan yang sunyi, menciptakan suasana hangat yang menyelimuti Daniel. Emily berharap bahwa suara-suara itu dapat mencapai jiwa Daniel, di balik keadaannya yang tak berdaya.Emily masih belum tahu bagaimana jiwa mereka bisa kembali ke raga mereka masing-masing. Seharusnya dialah yang terbaring lemah di ranjang itu karena jiwanya terjebak dalam tubuh Daniel saat kecelakaan itu terjadi. Namun, entah bagaimana, jiwanya bisa kembali ke raganya. Harapan dan ketakutan bercampur aduk di dalam hatinya, menantikan keajaiban yang mungkin datang agar Daniel bisa tersadar dan mereka bisa kembali bersatu. "Sayang, selamat pagi. Apakah kamu mendengarku?" ucap Emily dengan suara yang bergetar pa
Robert mengeluarkan ponselnya untuk menelepon seseorang. Sementara itu, langit senja mulai memudar, memancarkan warna oranye yang hangat di balik gedung-gedung tinggi."Halo," terdengar suara dari balik telepon."Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku," ucap Robert dengan senyum licik yang terhias di bibirnya. Dengan tatapan tajam, dia melirik ke arah jendela, seakan merenungkan rencana jahatnya yang tak terbantahkan.***"Daniel, apakah kamu tidak bosan dengan tidur terus seperti itu?" gerutu Emily sambil menatap Daniel. Suasana ruangan terasa hening, hanya terdengar suara detak monitor yang mengiringi momen cemas Emily di samping tempat tidur Daniel. Cahaya senja mulai meredup, memancarkan warna oranye lembut melalui jendela kamar."Aku sudah hamil dan kandunganku sudah berjalan enam bulan. Sudah selama itu kamu meninggalkanku. Apa kamu tidak kasihan padaku dan anak kita?" tanya Emily dengan air matanya yang menetes di atas tangan Daniel, menciptakan bayangan haru di ruangan yang
Ketika kepergian pria berpakaian perawat itu, dia tidak sengaja bertabrakan dengan Richard yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar Daniel. Ekspresi pria berpakaian perawat itu terlihat biasa saja tanpa ketegangan yang ada sehingga tidak menimbulkan sebuah kecurigaan pada diri Richard. Namun, begitu Richard melangkahkan kakinya ke dalam kamar rawat Daniel, pandangannya langsung tertuju pada tubuh Daniel yang sedang kejang-kejang dan monitor detak jantung yang berdenyut tidak teratur. Gelombang kepanikan langsung melanda hati Richard saat melihat kondisi yang tak wajar dari Daniel. Tanpa ragu, dia segera mengambil tindakan cepat dengan memanggil tim medis untuk memberikan pertolongan pada Daniel. Sementara itu, Emily baru saja kembali dari kamar mandi dan terkejut melihat sejumlah tim medis yang tampak panik memasuki ruangan Daniel. Dengan hati yang berdebar, langkahnya cepat menuju kamar Daniel, di mana kekhawatiran dan kebingungan bercampur aduk dalam benaknya."Apa yang terjadi?
Mereka dengan sigap mengepung pria suruhan Robert, menahan gerakannya. Daniel, yang masih lemah, tetap menatap pria tersebut dengan penuh keberanian.Pria suruhan itu tersudut, mencoba mencari jalan keluar, namun kehadiran petugas kepolisian yang menahan gerakannya membuatnya sadar bahwa permainannya telah berakhir. Dalam keadaan tegang, pria itu akhirnya menyerah. Richard, dengan senyum lega di wajahnya, menghampiri Daniel. Ketika Daniel mendapatkan kembali kesadaran dari komanya beberapa hari yang lalu, mereka berdiskusi untuk merencanakan jebakan terhadap pria suruhan Robert. Mereka sepakat untuk merahasikan kesembuhan Daniel dari siapapun termasuk Emily, agar rencana mereka tidak terbongkar.Daniel menjalin kerjasama erat dengan tim detektif untuk mengeksekusi rencana mereka. Meskipun masih dalam proses pemulihan, Daniel tetap memberikan kontribusi berarti dalam upaya menjebak pria suruhan itu."Akhirnya kita berhasil menangkapnya, Pak," ujar Richard sambil tersenyum pada Daniel
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u