Sejenak, kepanikan melanda pikirannya, "Astaga, apa yang sudah kulakukan?" bisiknya pada diri sendiri. Dengan hati-hati, dia mulai melepaskan pelukannya, berusaha sebaik mungkin untuk tidak membangunkan Daniel.
"Apakah saya tidur dengan seorang manusia semalam?" tanya Daniel memecah keheningan yang membuat Emily tersentak kaget."Apa saya melakukan kesalahan semalam?" tanya Emily sambil berusaha mengingat apa yang telah dilakukannya."Saya seperti tidur dengan seekor beruang buas yang siap menerkam saya kapan saja. Belum lagi kamu yang selalu mendengkur," ujar Daniel, suaranya datar namun tajam.Emily yang terkejut dengan komentar itu, hanya bisa memberikan senyum kecil yang gugup. "Maafkan saya, saya tidak menyadarinya," jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa malu.Daniel memandang Emily dengan tatapan yang tegas dan langsung. "Bersiaplah, kita akan segera pulang," ujarnya, suaranya tidak memberikan ruang untuk protes.DanielEmily terpaku, matanya membesar dalam kepanikan. "Astaga! Saya... saya minta maaf, Pak! Saya tidak sengaja," ucapnya dengan suara gemetar, ketakutan akan konsekuensi dari kesalahannya."Ini sangat panas," omel Sean, sambil meraba pakaian yang basah dan noda kopi yang sekarang merusak penampilannya.Emily, dengan cepat mengambil beberapa tisu dan mulai membersihkan noda dari baju Sean. Tetapi noda yang dihapus menjadi semakin melebar. Tangan Sean menahan tangan Emily dengan begitu kencang dan erat dan tatapannya berubah menjadi semakin menakutkan. "Sakit, Pak. Tolong lepaskan saya," ucap Emily berusaha melepaskan diri. Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut, dia benar-benar terganggu saat ini."Kamu bilang seseorang yang bekerja di sini memiliki kemampuan, bukan? Lihat sekretarismu ini," katanya sambil melirik Emily dengan pandangan yang meremehkan. "Dia tampak begitu ceroboh. Dia bahkan tidak layak mencapai posisi sekretaris di sini. Bagaimana mungkin orang seperti dia bis
"Pak Daniel, Anda baik-baik saja?" suara penuh kekhawatiran itu terdengar memecah kesunyian, menggema di dinding-dinding ruangan.Emily menelan saliva, merasakan pipinya memanas dalam malu yang menyengat. Ah, memalukan sekali! Ini benar-benar memalukan. Astaga! pikirannya berkecamuk, mencari jalan keluar dari situasi yang tak terduga ini. Tiba-tiba, sebuah suara tenang dan berwibawa memecah keheningan, "Biar saya yang membantu Pak Daniel. Silahkan lanjutkan pekerjaan kalian," terdengar sebuah suara memecah keheningan. Seolah-olah terhipnotis oleh perintah yang tak terduga itu, semua orang mulai bergerak, satu demi satu, meninggalkan ruangan. Saat Emily mendongak, dia terkejut melihat Daniel yang memberikan tatapan tajam padanya."Te-terima kasih, Pak," ucap Emily, merasa berterima kasih atas bantuan Daniel.Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut. "Kamu hampir mengacaukan pertemuan ini dan kamu sudah berhasil membuat saya malu." "Maaf, Pak," ucap Emily. "Cepatlah bersiap
Emily yang berada di tubuh Daniel akhirnya duduk di hadapan salah satu mitra bisnis W Company. Emily, yang masih menyesuaikan diri di tubuh Daniel, merasa gugup. Dia mengenal Mr. Tanaka sebagai mitra yang cerdas dan tajam. Sebagai sekretaris, dia hanya terbiasa dengan tugas-tugas administratif, bukan keputusan eksekutif.Mr. Tanaka dengan penampilannya yang rapi dan sikapnya yang tegas membuka pembicaraan. "Jadi, bagaimana kita akan meningkatkan kerja sama di tahun mendatang?" tanyanya. Emily merasakan getaran ringan di telinganya, tanda bahwa Daniel sedang berbicara melalui earpiece. "Kita perlu memfokuskan pada integrasi sistem AI kita dengan infrastruktur logistik yang ada," bisik Daniel dengan tenang. Emily mengulangi kata-katanya dengan percaya diri, berusaha memperbaiki dirinya agar tidak melakukan kesalahan seperti sebelumnya. Emily kembali menambahkan dengan kata-katanya sendiri. "Dengan cara ini, kita dapat memprediksi tren pasar dan menyesuaikan distribusi kita secara real-
Emily perlahan membuka matanya, berkedip beberapa kali untuk mengusir kabut tidur yang masih melekat. Cahaya lembut menyinari wajahnya, dan di sana, tepat di hadapannya, adalah Daniel. Bukan sekadar Daniel, atasannya yang selalu tampak serius, tetapi Daniel yang sedang tertawa dengan suara rendah yang hangat dan lembut meskipun jiwa Daniel masih terperangkap dalam tubuhnya. Daniel, yang terkejut melihat Emily terbangun, segera menghentikan tawanya. Ada kilauan yang tak terduga di matanya, sebuah kilatan kegembiraan yang cepat berlalu.Kesadaran Emily kembali dan dia menyadari kepalanya yang bertumpu di telapak tangan Daniel sehingga dia pun cepat-cepat memperbaiki duduknya kembali. "Maaf, Pak. Saya tertidur," ucap Emily, suaranya bergetar sedikit karena malu. "Sebaiknya kita melanjutkan pelajarannya besok," ucap Daniel dengan suara yang lembut, namun tetap berwibawa. Emily, yang masih terpaku pada perubahan halus dalam ekspresi Daniel
Di tengah hujan salju yang turun perlahan, Emily melangkah keluar dari mobil dengan hati yang berat. Pandangannya tertuju pada pemandangan yang memilukan di depannya. Ethan, mantan kekasih yang masih dia cintai dengan sepenuh hati, kini tertawa bahagia bersama wanita lain. Mereka berdua tampak begitu serasi, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang singkat namun mengandung makna, sebuah pemandangan yang terjadi tepat di hadapan Emily. Nafas Emily tercekat, dan seketika itu juga, dunianya seakan runtuh. Air mata mulai membasahi pipinya, berlomba dengan butiran salju yang menempel di kulitnya. Daniel, yang telah mengikuti Emily keluar dari mobil, berdiri di sampingnya, akhirnya menyadari apa yang telah membuat Emily begitu terguncang."Emily?" suara Ethan terdengar terkejut. Matanya membulat saat melihat sosok yang dia kira adalah Emily. Namun, yang dia tidak tahu, itu bukanlah Emily yang dia kenal. Itu adalah Daniel, yang kini terjebak dalam tubuh Emily. Em
Daniel menatap Sean dengan pandangan tajam dan dingin, suaranya sehalus es namun menusuk, "Kamu bahagia melakukan ini?" Sean mengangkat bahu dan tersenyum santai. "Hei, tenanglah. Aku hanya menekan pedal gas sedikit lebih dalam. Wanita itu? Dia muncul tiba-tiba jadi bukan salahku kalau aku hampir menabraknya," jawabnya. "Sean," Daniel memulai, suaranya tetap tenang. "Kamu memahami aturan, bukan? Aturan bukanlah mainan. Terutama di area parkir, di mana kecepatan harus dikontrol. Sebagai asisten manajer baru, kamu harusnya menjadi teladan, bukan pemicu kekacauan." "Pemicu kekacauan? Siapa? Aku?" Sean tertawa kecil, suaranya penuh dengan keangkuhan yang tak tersembunyi. "Aku tidak melakukan kesalahan." "Kali ini, aku akan mengabaikan insiden ini," suaranya tenang namun ada getaran tegas di dalamnya. "Namun, jika perilaku ini terulang kembali, aku tidak akan ragu untuk mengambil tindakan disipliner yang diperlukan. Anggap ini sebagai peringatan terakhirmu dan kesempatan untuk memper
Mia memberikan senyum yang lembut dan penuh arti. "Sampai jumpa nanti malam," katanya.Emily terdiam sejenak, merenungkan makna di balik kata-kata Mia tetapi akhirnya Emily memilih tidak mengambil pusing dan pergi dari kantin itu. Sambil berjalan menuju ruangannya, Emily tidak bisa menghilangkan perkataan Mia dari pikirannya. Apakah Pak Daniel tahu sesuatu tentang ini? Mungkin saja, saat Pak Daniel berada di tubuhku, mereka ada menjanjikan sesuatu?Emily mengeluarkan ponselnya, jemarinya lincah mengetikkan pertanyaan untuk Daniel seputar Mia. Namun, setiap kata yang terbentuk hanya berakhir dihapus kembali. Pesan itu tak pernah benar-benar terkirim. "Ah, sudahlah. Gak usah dipikirkan lagi," ucapnya, mencoba meyakinkan diri sendiri sambil menarik nafas dalam-dalam.Hari ini merupakan hari yang cukup sibuk untuk Emily. Sambil menyesap kopi yang telah dingin, dia memeriksa tumpukan dokumen yang harus ia arsipkan. Kontrak-kontrak baru, prop
Dengan langkah yang ragu-ragu, Emily mengikuti Mia yang berjalan dengan percaya diri yang memancar menuju klub malam yang gencar diperbincangkan di kota itu. Cahaya neon yang berkelap-kelip menyambut mereka, sementara dentuman musik yang menggelegar seolah-olah menembus sampai ke sumsum tulang. Mia, yang sepanjang perjalanan dari rumah Emily menyelimuti dirinya dengan jubah panjang, tiba-tiba melepas jubahnya, mengungkapkan gaun terbuka yang memukau, berkilauan seperti bintang-bintang yang bersinar di langit malam. Mia menarik tangan Emily, membawanya melewati kerumunan yang berdansa dengan liar, menuju ke ruangan VIP yang tersembunyi di sudut klub. Emily merasakan jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena musik yang memenuhi ruang dan menguasai indranya, tetapi juga karena kecemasan yang tumbuh di dalam dadanya, kecemasan yang terasa seperti seribu kupu-kupu yang terbang tak tentu arah. Saat pintu ruangan VIP terbuka, Emily terkejut melihat empat wajah dari masa lalu yang dike