Di tengah hujan salju yang turun perlahan, Emily melangkah keluar dari mobil dengan hati yang berat. Pandangannya tertuju pada pemandangan yang memilukan di depannya. Ethan, mantan kekasih yang masih dia cintai dengan sepenuh hati, kini tertawa bahagia bersama wanita lain. Mereka berdua tampak begitu serasi, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang singkat namun mengandung makna, sebuah pemandangan yang terjadi tepat di hadapan Emily.
Nafas Emily tercekat, dan seketika itu juga, dunianya seakan runtuh. Air mata mulai membasahi pipinya, berlomba dengan butiran salju yang menempel di kulitnya. Daniel, yang telah mengikuti Emily keluar dari mobil, berdiri di sampingnya, akhirnya menyadari apa yang telah membuat Emily begitu terguncang."Emily?" suara Ethan terdengar terkejut. Matanya membulat saat melihat sosok yang dia kira adalah Emily. Namun, yang dia tidak tahu, itu bukanlah Emily yang dia kenal. Itu adalah Daniel, yang kini terjebak dalam tubuh Emily.EmDaniel menatap Sean dengan pandangan tajam dan dingin, suaranya sehalus es namun menusuk, "Kamu bahagia melakukan ini?" Sean mengangkat bahu dan tersenyum santai. "Hei, tenanglah. Aku hanya menekan pedal gas sedikit lebih dalam. Wanita itu? Dia muncul tiba-tiba jadi bukan salahku kalau aku hampir menabraknya," jawabnya. "Sean," Daniel memulai, suaranya tetap tenang. "Kamu memahami aturan, bukan? Aturan bukanlah mainan. Terutama di area parkir, di mana kecepatan harus dikontrol. Sebagai asisten manajer baru, kamu harusnya menjadi teladan, bukan pemicu kekacauan." "Pemicu kekacauan? Siapa? Aku?" Sean tertawa kecil, suaranya penuh dengan keangkuhan yang tak tersembunyi. "Aku tidak melakukan kesalahan." "Kali ini, aku akan mengabaikan insiden ini," suaranya tenang namun ada getaran tegas di dalamnya. "Namun, jika perilaku ini terulang kembali, aku tidak akan ragu untuk mengambil tindakan disipliner yang diperlukan. Anggap ini sebagai peringatan terakhirmu dan kesempatan untuk memper
Mia memberikan senyum yang lembut dan penuh arti. "Sampai jumpa nanti malam," katanya.Emily terdiam sejenak, merenungkan makna di balik kata-kata Mia tetapi akhirnya Emily memilih tidak mengambil pusing dan pergi dari kantin itu. Sambil berjalan menuju ruangannya, Emily tidak bisa menghilangkan perkataan Mia dari pikirannya. Apakah Pak Daniel tahu sesuatu tentang ini? Mungkin saja, saat Pak Daniel berada di tubuhku, mereka ada menjanjikan sesuatu?Emily mengeluarkan ponselnya, jemarinya lincah mengetikkan pertanyaan untuk Daniel seputar Mia. Namun, setiap kata yang terbentuk hanya berakhir dihapus kembali. Pesan itu tak pernah benar-benar terkirim. "Ah, sudahlah. Gak usah dipikirkan lagi," ucapnya, mencoba meyakinkan diri sendiri sambil menarik nafas dalam-dalam.Hari ini merupakan hari yang cukup sibuk untuk Emily. Sambil menyesap kopi yang telah dingin, dia memeriksa tumpukan dokumen yang harus ia arsipkan. Kontrak-kontrak baru, prop
Dengan langkah yang ragu-ragu, Emily mengikuti Mia yang berjalan dengan percaya diri yang memancar menuju klub malam yang gencar diperbincangkan di kota itu. Cahaya neon yang berkelap-kelip menyambut mereka, sementara dentuman musik yang menggelegar seolah-olah menembus sampai ke sumsum tulang. Mia, yang sepanjang perjalanan dari rumah Emily menyelimuti dirinya dengan jubah panjang, tiba-tiba melepas jubahnya, mengungkapkan gaun terbuka yang memukau, berkilauan seperti bintang-bintang yang bersinar di langit malam. Mia menarik tangan Emily, membawanya melewati kerumunan yang berdansa dengan liar, menuju ke ruangan VIP yang tersembunyi di sudut klub. Emily merasakan jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena musik yang memenuhi ruang dan menguasai indranya, tetapi juga karena kecemasan yang tumbuh di dalam dadanya, kecemasan yang terasa seperti seribu kupu-kupu yang terbang tak tentu arah. Saat pintu ruangan VIP terbuka, Emily terkejut melihat empat wajah dari masa lalu yang dike
"Kenapa hari ini aku sial sekali? Baru saja dipertemukan dengan rubah betina, sekarang harus bertemu dengan rubah jantan," gumam Emily, suaranya bergetar dengan frustrasi yang terpendam."Apa yang kamu katakan?" tanya Sean, alisnya berkerut dalam kebingungan."Menyingkirlah, kamu menutupi jalanku," ucap Emily."Aku tidak menyangka, aku pikir kamu adalah gadis yang baik dan polos. Ternyata kamu bisa menjadi seliar ini juga," kata Sean dengan nada sinis, matanya menyapu tubuh Emily dengan tatapan yang mengukur.Emily merasakan tatapan itu seperti sentuhan fisik, membuat kulitnya merinding dalam ketidaknyamanan. Dia merapatkan lengan atas dadanya, berusaha melindungi diri dari pandangan Sean yang terasa menjijikkan. Namun, Sean, dengan kejahilannya, meraih kacamata Emily dan menariknya perlahan."Hei, apa yang kamu lakukan? Kembalikan kacamataku!" seru Emily, suaranya meninggi dalam kepanikan."Ternyata kamu cukup cantik kalau tanpa
"Gila? Berani sekali kamu menyebut Mia gila?" Zoe membela dengan nada yang bergetar, takjub bahwa Emily berani melontarkan kata-kata itu pada Mia."Bagaimana bisa tantanganku terasa lebih berat daripada Emma? Aku harus mencium salah satu pengunjung, sementara dia hanya perlu menelepon mantan kekasihnya," keluh Emily, suaranya penuh dengan rasa tidak adil."Apa kamu pikir semudah itu menelepon mantan?" tantang Emma. "Coba saja kalau begitu. Apa kamu juga bisa melakukannya? Jika mantanmu tidak mau mengangkat teleponmu, apa kamu siap menerima hukuman dari kami?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dengan implikasi. Apakah Ethan akan mengangkat telepon dariku? batin Emily, bertanya-tanya dalam hati, ingatannya melayang ke pertemuan terakhir mereka yang penuh ketegangan.Kesabaran Mia habis. Dengan gerakan cepat, dia menarik rambut Emily, membuatnya merintih kesakitan. "Dengar, Em," bisik Mia. "Aku yang membuat aturan di sini. Kamu hanya perlu m
"Jangan Mia... Aku mohon..." Suara Emily terus mengigau dalam tidurnya, tangannya terangkat seolah-olah berusaha menghalau bayangan buruk yang hanya dia yang bisa melihat. Daniel, yang menyaksikan Emily bergumul dengan mimpi buruknya, segera meraih tangan yang terulur itu. Kebingungan melanda pikiran Daniel, tidak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Hanya dengan melihat Emily seperti kesakitan, membuatnya tidak tega, padahal selama ini dia yang paling mengharapkan Emily terluka dan kesakitan seperti di hadapannya saat ini. "Tenanglah, aku di sini..." bisik Daniel, suaranya mengalun begitu lembut, meresap ke dalam alam bawah sadar Emily, tangan mereka tergenggam erat.Seketika, seolah ada sihir yang bekerja, ketenangan menyelimuti Emily. Kerutan di wajahnya menghilang, dan dengan perlahan, dia kembali ke pelukan mimpi tanpa bayang-bayang kelam. Beberapa menit berlalu, dan seperti ada aliran listrik yang mengalir antara mereka, tubuh mere
Alis Emily mengerut, bayangan kebingungan yang semakin pekat terlukis di wajahnya. Dengan gerakan tangan yang tergesa-gesa, Daniel mencoret-coret sesuatu di atas kertas."Aku akan... menjelaskan semuanya nanti, di rumah," kata Emily dengan suara gemetar, matanya berusaha menangkap setiap goresan pena Daniel yang tergesa-gesa di atas kertas putih itu.Tanpa menjawab, kakek Daniel segera memutuskan sambungan telepon. Degup jantung Emily berpacu, tak beraturan, pikirannya menjadi sangat kacau saat ini. "Bagaimana ini, Pak? Apa yang akan terjadi pada kita?" suara Emily bergetar, penuh keraguan. "Sepertinya kakek Bapak tidak akan menyukaiku. Apakah kita benar-benar siap untuk melangkah sejauh ini... untuk menikah?"Kemudian, dengan nada yang lebih rendah, hampir berbisik, Emily menambahkan, "Dan media... Bagaimana media sampai tahu kita berencana untuk menikah?" "Karena saya yang mengatakan itu kepada media," ucap Daniel dengan suara yang te
Mia menatap dengan mata yang menyala, api kemarahan berkobar di dalamnya. "Aku tidak pernah menyangka kamu akan berani mengancamku," katanya, suaranya bergetar bukan karena takut, tetapi karena amarah yang memuncak. "Aku mencoba bernegosiasi denganmu," balas Daniel, suaranya tegas. "Jika aku bisa memastikan video itu terhapus di tanganku sendiri, aku juga akan memastikan bahwa tidak ada satu pun rahasiamu yang akan bocor," jelas Daniel. "Dan jika aku menolak?" tantang Mia, alisnya terangkat. Daniel tersenyum tipis. "Coba pertimbangkan, siapa yang akan lebih dirugikan dalam hal ini jika videoku dan rahasiamu bocor?" tanya Daniel.Rahang Mia mengeras, menahan gelombang amarah yang meluap di dalam dirinya. Dengan gerakan tegas, ia mengeluarkan ponsel dan memberikannya kepada Daniel. "Kamu boleh menghapusnya, tetapi jika informasi tentangku tersebar, aku tidak akan tinggal diam, Em," ucapnya tajam.Daniel menerima ponsel dari tan